Satu sendok terakhir. Hup. Pri tersenyum puas. Disodorkan mangkuk kosong itu. Perut yang tadi keroncongan, terisi sudah. Hujan yang turun sejak pagi membuat perut mudah lapar. Bandung utara benar-benar basah kini.
Ketika Pri bangkit dan hendak meninggalkan jongko, seorang gelandangan melemparkan kerikil tepat mengenai kaki kirinya. Pri menoleh. Dasar pengemis tak tahu diri, umpatnya. Ia tak peduli dan ngeloyor menembus rintik hujan. Tapi baru beberapa langkah, sebuah kerikil hinggap di pundak. Pluk! Ah, siapa pula ini.
“Mau apa kau ? Main lempar seenak perut!” semprotnya.
“Saya lapar, Kawan! Beritahu tukang bakso itu, daripada sisa kuah dibuang kenapa tidak diberikan saja padaku,” kata pengemis itu seraya menatap tajam. Berani juga ia menatapku, bisik hati Pri. Ketika lelaki kerempeng itu teringat kata-kata pengemis tadi, ia mengernyit. Kawan ? Permainan apa lagi ini, ada seorang pengemis memanggilku kawan. Apa aku pantas jadi kawan pengemis.
Samasekali tak pernah terpikir oleh Pri, siapa sesungguhnya pengemis itu. Atau barangkali sebuah pikiran bodoh, kalau sampai menaruh belas kasihan berlebihan kepada seorang pengemis. Pri benar-benar tak pernah berpikiran macam-macam, terlintas pun tidak kecuali sebatas kecurigaan karena disebut “kawan” itu tadi.
Hujan masih rintikrintik. Bandung utara makin dingin dan basah. Serombongan mahasiswa pulang dari kampus menyerbu tukang jajanan sebelum pulang. Senja tak mengenakkan, pikir Pri. Tangan kanannya merogoh saku celana, menghitung lembaran uang. Ketika tiba di mobil angkot yang diparkir berseberangan dengan tukang bakso itu, Pri masih terus berpikir antara kepenatan dan uang setoran. Selintas kemudian pengemis itu hilang dari benaknya. Peduli amat, pikirnya. Siapapun pengemis itu dan apapun pekerjaannya tak terlalu banyak waktu yang untuk memikirkannya.
Tapi pikiran itu benar-benar hanya sejenak, ketika menstarter mobil dari kaca spion Pri tegas melihat di pojok belakang mobilnya, pengemis tadi berselonjor kaki. Astagfirullah, benar-benar kurang ajar. Pri mengusap wajah. Kapan pengemis itu naik, pikirknya. Ketika pikiranya benar-benar buntu, pengemis itu malah terkekeh.
“Mau terus jalan atau langsung pulang, Kawan ?”
“Ah, apa urusanmu ! Cepat turun, penumpang mana yang mau bareng sama kamu, heh !” Pri jadi tak sabar. Kalau saja tidak terus istigfar, ia pasti sudah bicara lebih kasar lagi sekalipun sesungguhnya hal itu tak pernah ia lakukan sebelumnya, kepada siapapun termasuk juga kepada pengemis.
“Kau pun sekarang mengakui, ternyata dari pakaian juga kau menilai orang…,” pengemis tadi makin terkekeh hinga kelopak matanya berair.
Benar-benar Pri tercenung mendengar kata-kata pengemis itu. Kalaupun akhirnya Pri mau berpikir tentang hal itu semua semata karena kata-kata pengemis itu tadi. Bukan memikirkan sosok pengemis yang memuakkan dari bau apek yang tersebar itu. Ah, dalam rintik hujan kali ini memang harus terus bersabar agar tidak terlalu keluar umpatan yang tidak berarti lagi.
Dulu Pri pernah bersikeras memang tidak memandang orang dari kulitnya, dari pakaiannya. Bagaimana bagus pakaian seseorang tetap ketika kena debu akan dicuci. Tapi tidak demikian dengan ketika menilai orang dari dalam, menilai kepribadian. Tapi semakin Pri mencoba memahami orang lain, semakin banyak ia dibuatnya frustasi.
Dua orang gadis manis dan tentu saja wangi mendekat. Tapi begitu melihat ada pengemis sedang terkekeh di jok belakang, keduanya batal naik. Pri cuma garuk-garuk kepala. Matanya menyipit dan memikirkan siapa sesungguhnya pengemis yang kelewat nekat dan seperti sengaja memancing kemarahan itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan!”
“Ah, memangnya punya uang dari mana kau ? Kalaupun kau sanggup bayar, kenapa tidak kau urungkan saja jadi pengemis hari ini,” Pri makin bersungut.
“Bukankah kau setuju, kawan, seseorang hidup dengan dunianya sendiri-sendiri ? Hidup dengan guratan nasib sendiri-sendiri ? Masak hanya karena perbedaan baju saja kau jadi uring-uringan tak mau membawaku pulang, padahal kita satu jurusan,” kini pengemis itu yang menggerutu. Ia pun kemudian turun, Pri benar-benar lega kini. Dengan suara lantang ia pun berteriak : Riung…Riung…Riung…
Pada hujan rintik-rintik di lain waktu, Pri juga menunggu muatan dengan mobil angkutan pada jurusna yang sama pula, di Bandung Utara yang kemarin juga. Seorang Pri perlente kini telah menunggu lama di jok belakang tanpa suara, tidak pula gelisah.
“Sebentar lagi, Pak, barangkali ada dua tiga penumpang lagi, supaya tidak terlalu kosong,” Pri langsung memohon tanpa diminta. Lelaki perlente itu cuma tersenyum. Tangan kanannya memegang dasi, ia memperlihatkan betapa bangga dengan dasinya itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan !” katanya kemudian. Pri mendadak terhenyak. Ia teringat kata-kata pengemis tempo hari, tepat seperti apa yang dikatakana lelaki perlente barusan, dengan nada bicara yang nyaris sama pula.
“Mau jalan nggak, Kawan ?”
“Ya, ya, ya, jalan, Pak !” Pri benar-benar gagap. Tangan kanannya secara refleks menstarter dan mobil pun melaju ka erah bawah, berkelok di jalan yang macet menuju Riung Bandung, sesuai dengan jurusannya.
“Aneh juga orang sekarang, hanya beda baju dan penampilan, beda pula perlakuan,” terdengar suara lelaki perlente tadi dari jok belakang. Pri menoleh. Tampak kini gurat wajah lelaki perlente tadi memang mirip dengan pengemis tempo hari. Pri berpikir keras, siapa sebenarnya lelaki ini. Apakah ia malaikat yang akan memberi berkah, seperti dalam beberapa kisah yang berpenampilan buruk rupa pada suatu hari, di lain hari berwajah laksana ksatria hanya untuk menguji keimanan seseorang. Ah, apa mungkin malaikat turun ke angkot di kota yang semakin sumpek ini.
Berkelebat wajah pengemis tempo hari. Ada yang sama tapi entah pada apanya, Pri juga masih bingung. Makin jauh Pri berpikir, makin sumpek terasa di dadanya. Pikirannya memang mentok, tak bisa menembus dinding ketidak tahuannya itu.
Saat Pri membanting stir ke kiri menghindari becak, lelaki perlente itu terkekeh kembali.
“Andai seorang pengemis yang memotong jalan, tentu kau mengumpat, Kawan. Beruntunglah yang di becak tadi seorang lelaki perlente,” katanya kemudian menyindir. Pri merah muka.
“Ah, bapak, ya biasa saja. Saya hanya menghargai karena mereka itu manusia. Tidak lebih.” Pri lalu mencoba tersenyum. Tapi merah di pipi memang tak bisa disembunyikan lagi. “Bapak turun di mana?”
“Sama dengan pengemis kotor biasa turun. Kau tahu kan, Kawan ?” kata lelaki perlente itu menatap tajam ke arah Pri. Pria benar-benar tercenung kini.
“Pengemis mana ya, Pak ? Angkot ini memang belum pernah narik pengemis, kok ! Apa di jok itu tercium bau amis pengemis, Pak, barangkali,” Pri basa-basi. Untuk kesekian kalinya lelaki perlente itu hanya tersenyum. Ketika Pri menginjak rem hendak menaikkan penumpang lain, lelaki perlente tadi cepat-cepat turun dan menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Ambil saja lebihnya, buat cadangan kalau-kalau pengemis tempo hari bersikeras naik mobil ini lagi,” katanya kemudian. Pri hanya melongo benar-benar malaikat telah turun ke kota ini. Pri bersorak girang dan lelaki perlente itu hanya geleng-geleng kepala.
***
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
Kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal
(Q.S Al-Hujuraat : 13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar