Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Rabu, 27 Juli 2016

MATA AIR

Cerpen : E. Rokajat Asura
Matahari di tengah pusat langit membakar ubun-ubun, membakar yang ada di bumi dan sekelilingnya. Dia mengusap keringat dengan punggung tangannya, tapi keringat itu terus mengucur dari dahi bahkan terus ke pipi hingga akhirnya sampai juga pada sudut bibirnya. Sebagian terjilat, asin dan ia cepat-cepat membuang bersama sebagian sisa-sisa ludahnya. Ada juga sebagian keringat itu yang berhasil mengucur dengan leluasa melalui sela-sela kosong dibalik bajunya. Entah kenapa panas demikian menyengat, samasekali tak memberi kesempatan untuk mereka yang jalan kaki. Di sini samasekali tak ada tempat berteduh, tak juga ada tempat untuk sejenak melepaskan lelah. Dia seperti teringat akan sebuah kisah kelak pada hari terakhir dimana seluruh manusia akan berbaris di padang tak bertepi disaksikan matahari sejengkal dari atas kepala. Dia termenung menekan dada dan merasakan betapa keringnya kerongkongan sehingga ketika dia bernapas bahkan sekedar mengeluh pun, serasa keluar asap dari mulutnya. Sesekali menelan ludah yang tak lagi ada cairannya, mata lelah itu menatap nanar pada titik terjauh, seperti itu pula jarak yang harus dia tempuh jauh dan panjang, bahkan mungkin apa yang telah dilaluinya sampai detik ini tidak setengah dari seluruh yang harus ditempuhnya. Tanah ini bukan gurun pasir, bukan di timur tengah, tapi di sebuah tanah yang tak pernah ditanami apa-apa tidak pernah menghasilkan apa-apa selain badai pasir. Entah tanah dimana tapi yakin ada bahkan dekat dan sangat dekat dengan diri kita. Tapi perlu dicatat, tidak semua yang melewati tanah ini merasa panas sebaliknya ada yang mampu merasakan kesejukan luar biasa. Tidak. Bukan dengan memasang alat di belakang kepala, tidak pula ada AC tapi dengan cara sendiri-sendiri. Dia terus tertatih menempuh jarak yang masih jauh. Entah dimana, di kelokan yang mana apakah harus ke kiri atau ke kanan, dia sendiri tidak begitu jelas memahaminya. Hanya saja dengan sisa-sisa tenaga dia, wanita itu, ya wanita itu akan terus berjalan dan berjalan sampai benar-benar menemukan sumber air. Dia bukan Siti Hajar yang menempuh jarak terjauh untuk putra tercinta Ismail. Dia seorang wanita dengan catatan perjalanan hidup yang panjang dan wangi. Dia akan terus berjalan sampai menemukan sumber air, bukan untuk mandi tidak pula untuk membuang dahaga. Paling tidak pada mata air itu dia ingin bicara ternyata betapa penting setitik air ketika ada di tanah gersang seperti ini. Kemarin baru dia merasakan betapa pentingnya jemari kaki ketika di sudut rumah terantuk kaki kursi dan berdarah. Kemarin baru dia bersyukur memiliki jemari kaki yang lengkap. Tapi apakah rasa syukur itu ada dan terlisankan harus didahului sebuah kecelakaan ? Syukur macam apa itu. Dia khawatir rasa syukur itu bukan karena merasa diri kecil di depan kebesaran Allah, tapi karena dia telah terbebas dari rasa sakit. Ah, betapa bodoh hidup dipermainkan otak dan perasaan. Dia masih terus berjalan dan merasakan betapa kerongkongan semakin kering. Lalu tiba-tiba dia berhenti menunduk lesu melihat jemari kakinya yang gemetar. Lama termenung entah apa yang sedang dipikirkan, apakah sedang berpikir akan mendirikan pabrik di tanah gersang itu sehingga akan ada sebuah kehidupan atau justru ia sedang berpikir kenapa tidak jadi semut saja yang dalam kekecilannya itu tentu tak terlalu banyak membutuhkan energi untuk berjalan. Pandangan tiba-tiba nanar, dada terguncang hebat ketika di hadapannya dalam jarak cukup jauh terlihat air seperti sebuah kolam, airnya jernih dan menyejukan. Lalu ia bergegas mendekati kolam itu, terus berjalan hanya tetap tak selesai. Ah, tiba-tiba ia mengeluh dan merasakan betapa lelah terasa sampai ke ujung rambut di kaki itu. “Ya, Allah, kenapa sumber air itu tak ada di tempatnya. Padahal aku yakin ada di sini, ya di sini dekat tiang pancang ini. Bener, ya, Allah, di sini aku tadi melihatnya. Hem, apakah wanita kotor sepertiku ini tidak boleh menghilangkan dahaga, tidak boleh pula sekedar membasahi tenggorokan. Padahal kau Maha Tahu, betapa kering kerongkongan ini, ya, Allah !” Bruk, dia terduduk kehabisan tenaga. Benar-benar kehabisan tenaga terutama tadi ketika mempercepat langkah saat dilihatnya di depan ada sumber air sejuk dan menggoda. Dia terduduk tanpa tenaga dan hanya melamun yang bisa dilakukannya saat itu. Saat matahari membakar bumi, saat panas menyengat sanubari dia memang hanya bisa melamun. Melamun betapa nikmat andai ada setitik air saja yang lewat ke kerongkongannya. Dia mulai menangis sedih, tapi sayang dari sudut mata lelahnya itu samasekali tak keluar air mata walau setitik. Dengan sisa tenaganya ia mencoba berdiri, tapi tak kuasa karena pada hitungan dua ia telah ambruk bahkan mencium tanah sehingga bibir dan pipinya merasakan betapa pasir itu menyengat. Ah, masih untung ada daun jatuh entah darimana sehingga wajahnya tidak terlalu terbakar. Betapa nikmat jadi daun jatuh terbawa angin, ia memang setengah mati tapi masih bisa menolong orang sekalipun wanita kotor seperti dirinya saat itu. Pada saat itulah tiba-tiba ia dalam khayalnya melihat layar raksasa, tak ada Jeremy Thomas dan Bella Saphira di sana. Tapi dalam layar raksasa itu justru dia melihat dirinya sendiri, perjalanan hidupnya selama ini sejak dari masa balita sampai dia menemukan pekerjaan dosa dan menyadari tanpa bisa melepaskan jeratnya. Pada layar raksasa itu ia sendiri berlinang air mata bukan karena rangkaian cerita hasil rekacipta seorang penulis skenario, bukan, bukan itu. Tapi air mata itu muncul karena dia melihat betapa perjalanan hidupnya itu layak untuk ditangisi. Seperti hari itu, Salasa, tanggal 13 Juni seminggu setelah ulang tahun kelima belas. Oom Syamsu, pamannya dari ibu telah berhasil dengan buas sekali mencengkramkan kuku-kukunya menghilangkan kehormatan seorang gadis cantik yang selama ini dijaga dengan segenap perasaan. Dia menangis sampai keluar airmata darah tapi tetap saja kehormatan itu tak bisa kembali. Kehormatan yang tersembunyi itu samasekali tak bisa diganti. Dia pada saat itu telah menjadi gadis yang kotor. Kelas dua SMA lalu dia akrab dengan Ho Ming Cai, seorang babah pemilik hotel di puncak. Pada layar raksasa itu tergambar jelas, saat tahun baru, engkoh Ho Ming Cai pun telah pula merusak dirinya tapi saat itu ia tidak menangis air mata darah selain air mata pura-pura. Tapi ada satu hal yang membuatnya sakit saat engkoh itu menyuruhnya pulang dan memberi uang untuk ongkos. “Pulang sana hoh, kalna oweh tidak butuh lagi kamu hoh, dia sudah tidak palawan hoh…” Sakit itu terus membekas dan sejak itu pula dia selalu jatuh dari satu dekapan seorang laki-laki ke dekapan laki-laki lain. Entah berapa lama hanya yang jelas sebagian besar dalam layar raksasa itu tergambar kehidupan kelam dan memuakkan. Waktu ia mengucek sudut matanya karena terasa ada pasir yang menggoda, barulah dia benar-benar sadar bahwa layar raksasa itu adalah rekaman kehidupannya sendiri. Persis tak ada yang terlewat, bahkan pada setiap denyut nadinya pun tergambar tanpa cacat. Sungguh sebuah rekaman maha canggih yang tak terpikirkan sebelumnya. Entah siapa yang telah merekamnya dengan tingkat keakuratan maha sempurna itu. Dia menekan dada, terpejam dan merasakan bagiamana seluruh tubuhnya tanpa tenaga. “Ya, Allah, hanya padamu aku berharap, silakan ambil cerita kelam masa laluku itu,” gemetar suara, entah pada siapa. Pada tanah lapang maha luas itu tentu tak akan ada yang bisa mendengarnya sekalipun menjerit apalagi hanya bergumam. Pada saat itulah ia melamun dan teringat akan cerita Dayang Sumbi yang sedang asyik menenun, lalu alat tenunnya dan terjatuh sampai akhirnya dia bicara kepada siapa saja yang bisa membawakan alat tenunnya, kalau ia wanita akan dijadikan saudara sementara kalau ia laki-laki akan dijadikan suaminya. Dia, wanita itu pun sama bicara, kepada siapa saja yang bisa membawakan setetes air atau mau menunjukan kemana arah yang membawa kaki ke pinggir sungai, kalau ia lelaki akan dijadikan suami dan apabila perempuan akan menjadi saudara sejati. Tapi beda dengan pengalaman Dayang Sumbi, pada dia tak yang mau datang, jangankan manusia, nyamuk saja tidak ada. Dia berusaha bangkit kembali, tertatih dan menggusur tubuh dengan sisa-sisa tenaga. Dia tetap bersikeras untuk terus berjalan sampai akhirnya menemukan sumber air. Di depan lagi-lagi ia menemukan mata air bahkan terasa betapa segarnya tenggorokannya setelah terbasus air. Ingin rasanya mandi, seperti dulu saat dibawa ayahnya ke pinggir pantai. Dia bisa bebas bermain air. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat sewaktu sekolah, renang, bahkan terus berenang sampai benar-benar lelah. Air itu semakin terasa menyejukan dahaga. Ya, Allah, dekatkan aku pada sumber air. Nggak, nggak akan seperti para pejabat yang membuang air hanya untuk mengguyur mobil-mobil mewahnya, tak peduli tetangga-tetangganya kesulitan air. Tidak, aku tidak akan seperti itu ya, Allah, kalau saja kau masih memberi kesempatan mempertemukan aku dengan air itu. Saat berjalant tertatih, tiba-tiba daun jatuh di atas kepalanya. Ia memegangnya dan menatap nanar, betapa daun yang baru jatuh itu langsung kekuningan tersengat matahari. Ya, Allah, kenapa daun ini yang kau kirim. Bukankah daun ini mustahil bisa membawa setitik air, ya, Allah ? Lama ia tertegun menghitung langkah yang entah pada langkah ke berapa ratus ribunya ia benar-benar harus berhenti. Berhenti bukan karena lelah tapi berhenti karena saatnya harus berhenti, paling tidak ketika dia menemukan sumber air itu. “Ya, Allah, aku tak sanggup lagi. Jangankan untuk terus berjalan, mengangkat ujung jari saja tanpa tenaga. Ya, Allah, kenapa hanya aku yang harus merasakan betapa beratnya beban ini ?” bisiknya diantara deru angin. Pada saat itulah dia mulai jalan lagi tapi tidak mengandalkan tenaga, sebab ia berjalan bertumpu pada kekuatan angin kini. Tidak aneh ia sudah tidak memiliki keinginan menemukan sumber air lagi, tidak pula berusaha untuk meluruskan langkah. Semuanya mengandalkan pada kekuatan angin, kemana ia akan dibawa tanpa bisa menolak apalagi protes pada kehendak angin itu. Kalaulah angin bertiup ke selatan, ke sana pula ia terdorong. Saat angin bertiup ke timur, ke sana ia berjalan. Begitulah terus detik demi detik hingga akhirnya saat angin diam, dia sampai di sebuah tempat entah dimana, entah kampung apa namanya. Sekujur tubuhnya tak jelas merasakan sakit ada di sebelah mana. Perih, panas dan entah bagaimana dia harus mengatakan penderitaannya saat itu. Maklum ketika angin bertiup sesungguhnya ia tidak berjalan tapi lebih tepat kalau dikatakan menggelinding. Dalam pasir panas itu, ia menggelinding, sehingga terasa pasir panas itu seperti mencakar-cakar kulitnya. Tak hanya ceceran darah yang keluar tapi juga terasa remuk. Pada saat dia diam dalam sakit, entah kenapa tiba-tiba telinganya mendengar dengan jelas gemiricik air. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Sejenak diam dan berdiri dengan sekuat tenaga, dahaga itu benar-benar tak bisa ditahan lagi. Kerongkongannya bergolak rasa panas ingin segera dilewati air. Tak salah memang, sebelah kiri ada sumur kecil di atas pasir memusar seperti sehabis tersedot angin. Dia merayap pelan, dan tertegun di bibir sumur itu. Jauh, dalam jarak tak berbatas terlihat air menari-nari. Ah, betapa segara sekalipun baru memandangnya. “Ya, Allah, semoga ini bukan rekayasa lagi, bukan fatamorgana lagi, tapi benar-benar air yang keluar dari jemari kasihmu ya, Allah. Kasihmu yang selalu tercurah pada manusia kotor sekalipun.,” katanya dalam diam. Lalu ia merasa betapa sudut-sudut matanya basah. Tanpa berhenti bersyukur lalu dengan memakai kain sebagai tambang, ia jatuhkan kain itu ke dalam sumur. Dalam jarak terjauhnya terdengar ujung kain yang entah berapa puluh meter itu menyentuh bibir air. Soal ujung kain yang terus memanjang itu, dia pun tak sempat berpikir karena yang ia harapkan ujung kain yang basah tetap mengandung air hingga bisa membahasi tenggorokannya. Pelan kain itu ditariknya, ujung kain memang basah lalu ia mendongak. Air jatuh pelan ke tenggorokannya, membahasi kekeringan di sana. Sisanya ujung kain itu dipakainya membasuh wajah. Baru saja dua tiga kali ia lakukan caranya itu, tiba-tiba terganggu suara dengusan anjing seraya menjulur-julurkan lidahnya. Dia cepat menjulurkan kainnya, diputar-putar sebentar agar banyak menyerap air, beberapa saat kemudian kain itu ditariknya kembali. Setetes dua tetes air sempat masuk ke mulut anjing yang menganga. Tapi sayang diberi minum anjing bukannya segar malah terlihat tak bergerak lagi. Dia terduduk lesu berurai air mata. Kenapa bukan anjing itu yang lebih dulu diberi air dan bukan dirinya, sehingga mungkin bisa memperpanjang umurnya. *** “Selamat ya, Nyonya, kelihatannya lebih seger sekarang,” Suster Hana yang selama ini merawatnya di ruang VIP itu menyapa ramah. “Apa yang masih terasa, Nyonya ?” “Alhamdulillah, sudah enakan, Suster. Tapi ini entah kenapa pikiran saya kok sulit konsentrasi, sampai-sampai susah membedakan apakah saya ini sedang mimpi atau ada di alam nyata,” Mainar Suwandi, istri direktur utama PT. Topan Persada, importir barang-barang mewah untuk kalangan jetset negeri ini. “Maksudnya apa, Nyonya ?” Suster Hana terus memeriksa, bahkan terlalu berlebihan hanya untuk menunjukan bahwa dia seorang suster yang care terhadap pasiennya. Tentu saja hanya dia lakukan untuk pasien di ruang VIP dan VVIP saja. Ada harapan lain apa yang dilakukan suter Hana yaitu dia berharap Mainar Suwandi akan merasa betah dan nyaman, sehingga nanti ketika keluar dari rumah sakit akan bicara panjang lebar pada seluruh koleganya sehingga kelak apabila kolega-koleganya itu sakit akan memilih rumah sakit ini. Dia hapal benar, seringkali ada pasien dari kalangan jetset yang pura-pura sakit hanya karena ingin merasakan dirawat di sebuah rumah sakit modern dan mahal sehingga akan memperpanjang deretan pujian dari teman-temannya. “Tadi saja, Suster, waktu diberi minuman sama Dokter Jefrey, saya langsung merasakan seperti sedang melamun, lalu saya berada di sebuah tanah gersang tanpa pepohonan, matahari demikian sangat dekat membakar ubun-ubun. Saya terus berjalan sambil merasakan dahaga, terus berjalan mencari pepohonan hanya untuk mengurangi rasa panas, Suster,” jelas Nyonya Mainar Suwandi serius menceritakan pengalaman yang baru saja ia alami. “Oh, pangaruh obat barangjali, Nyonya, agar bisa istirahat lebih tenang supaya cepat terjadi recovery,” Suster Hana tersenyum ramah. “Tapi kenapa kok sebagian besar seperti perjalanan hidup saya sendiri, Suster ? Apakah ini mimpi atau apa…” “Nggak usah banyak pikiran, Nya. Mendingan mimpi di sini daripada di gedung parlemen, ya nggak kan nya ?” Suster Hana tersenyum manis sekali. Nyonya Mainar Suwandi ikut tersenyum, menarik selimut yang melorot ke pinggang. Lagi-lagi Suster Hana tersenyum. Pada setiap yang dia lakukan, pada setiap upaya agar seluruh pasien VIP itu nyaman, pasti Suster Hana akan mendapat pujian dari direktur rumah sakit. Kredit point untuk perjalanan karirnya sendiri. Selama terpejam sebenarnya Nyonya Mainar sedang mencari kembali layar raksasa yang menceritakan perjalanan hidupnya itu. Tapi entah kenapa tidak semudah seperti menemukannya. Pada saat konsentrasi mencari jalan cerita itu tiba-tiba ia mendengar suara anjing kehausan. Pelan Nyonya Mainar bangun, dari jendela ruangannya terlihat jelas seekor anjing menjulur-julurkan lidahnya. Tiba-tiba saja Nyonya Mainar Suwandi merasakan kepalanya pening, seluruh ruangan seperti bergerak dan berputar-putar. Dia kembali ingat pengalaman bathin yang baru saja dilaluinya tadi, terutama pada saat ia menyesal karena tidak bisa menolong anjing yang kehausan. Saat itu juga tiba-tiba Ny. Mainar ambruk. Pada berita koran keesokan harinya ditulis besar, Nyonya Mainar Suwandi koma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar