Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Minggu, 29 Januari 2017

Membaca Ajip Rosidi

KACAMATA AJIP ROSIDI
Oleh : E. Rokajat Asura *)

Saya merasa beruntung bisa tahu siapa Ajip Rosidi, tanpa perlu tahu apakah Ajip Rosidi mengetahui saya atau tidak.  Saya merasa beruntung karena beberapa alasan. Sebagai orang yang sama-sama senang menulis, Ajip Rosidi patut diteladani. Jauh sebelum orang merasa yakin bahwa profesi menulis bisa dijadikan sandaran hidup, Ajip Rosidi telah meyakini pilihannya. Ia memutuskan untuk tidak ikut ujian di Sekolah Madya setelah di depan matanya terjadi bagaimana orang berani berbuat apa saja, hanya untuk membeli bocoran soal. Demi selembar ijazah. Sebagai seorang remaja – pada saat itu – Ajip telah memiliki kacamata yang jelas, memiliki sudut pandang yang fokus bagaimana dunia pendidikan hanya mencetak orang-orang yang tergantung pada selembar kertas. Pada saat yang sama, ia sudah merasa hidup dengan uang hasil tulisan-tulisannya. Sehingga kejelasan sudut pandang itu telah sampai pada kesimpulan apakah seorang pengarang membutuhkan ijazah untuk bisa hidup? Tidak. Ia kemudian memutuskan bahwa hidupnya tidak akan tergantung kepada selembar ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah.

Kacamata Ajip Rosidi memang jelas. Ia bisa memandang dunia dengan jernih. Maka kemudian saya merasa yakin, dengan kacamata saya sendiri, bila ia adalah sosok yang patut dijadikan sebagai eksternal motivator. Peraih hadiah Sastra Nasional bidang puisi 1955-1956 dan prosa 1957-1958 ini, menyandarkan keyakinan bahwa seorang pengarang tidak membutuhkan ijazah pada dua kerja intelektual – membaca dan menulis.

Dengan membaca Ajip Rosidi merasa yakin – bisa kita baca dalam otobiografinya – dengan membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat, tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi.

Dengan menulis Ajip Rosidi tidak hanya berhasil melahirkan karya yang luar biasa, tetapi juga telah menemukan kejujuran. Kejujuran dalam berkarya. Seperti telah diakui banyak pembaca otobiografinya berjudul  “Hidup Tanpa Ijazah : Yang Terekam Dalam Kenangan” terbitan Pustaka Jaya, 2008, yang tidak berusaha membangkitkan rasa sayang dan simpati atau rasa rindu pada dirinya sendiri. Ia telah jujur menempatkan posisinya dengan tidak kagum pada anak ajaib dari masa kanak-kanaknya, sehingga memberi informasi yang penting bukan sekedar basa-basi seperti kebanyakan biografi para tokoh belakangan ini untuk mengejar gelar tokoh inspiratif atau pencitrataan di ranah publik.

Dengan membaca Aji Rosidi kelahiran Jatiwangi 31 Januari 1938 ini, telah banyak melacak jejak dan tonggak sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyumbangkan pikirannya dalam bidang sosial politik, menyusun biografi seniman dan tokoh politik. Dengan membaca, Ajip Rosidi yang tak tamat sekolah menengah ini justru dipercaya mengajar di perguruan tinggi, termasuk mengajar di Jepang sejak 1967.

Dengan menulis Ajip Rosidi telah meraih prestasi jauh melampaui orang bergelar panjang. Ketika menerima anugerah Doktor Honoris Causa dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Pajajaran, Ajip Rosidi merasa hal itu tidak penting. Tentu bukan berarti mengecilkan arti gelar akademik, tetapi dengan menulis ia telah melahirkan karya-karyanya yang jauh melampaui gelar kehormatan itu. Sehingga 30 tahun sebelum Universitas Pajajaran menganugerahi gelar kehormatan itu, perguruan tinggi di Jepang justru telah lebih dahulu membeli gelar guru besar. Sampai tahun 1983 saja, ia dinobatkan sebagai pengarang cerpan dan sajak paling produktif, yang menghasilkan 326 judul dan dipublikasikan di 22 majalah.

Dengan menulis dan membaca, Ajip Rosidi bisa menuliskan kembali peristiwa yang berkaitan dengan dirinya sehari-hari puluhan tahun ke belakang secara jernih dan jujur. Maka alasan saya menjadikannya sebagai eksternal motivator, langkah tepat yang tak mungkin saya hapus sekalipun sampai hari ini belum pernah bertatap wajah.

*) seorang pengagum Ajip Rosidi yang telah menerbitkan puluhan buku.

Cuplikan Novel Alfiah (2)


   "Bapak mau nembang opo?”
“Nembang pengusir penyakit.”
“Ya, sudah. Kalau bapak mau nembang ya nembang saja.”
“Suaraku ndak bagus.”
“Kalau bagus bapak pasti sudah jadi penyanyi, ndak dadi guru,” ujar Alfiah. Sudirman mengangguk. Tetapi tampaknya ia kurang begitu percaya diri. Padahal waktu main tonil dan ada nyanyiannya, sepertinya biasa-biasa saja.
“Mana tembangnya?”
Sudirman mengangguk. Lalu ia mulai melantunkan lagu itu. Liriknya masih hapal, tapi nada dan cengkok lagunya tak ingat lagi. Sehingga kadang terdengar langgam kinanti, kadang maskumambang. Tetapi Alfiah tidak protes. Ia mendengarkan setiap kata dalam lirik lagu itu.