Informasi
Kamis, 05 Mei 2016
BERBAGI BERSAMA: dari sebuah bukit...: resensi buku, film, informas...
BERBAGI BERSAMA: dari sebuah bukit...: resensi buku, film, informas...: dari sebuah bukit...: resensi buku, film, informasi lomba dan e book: air mata surga : Bagaimana jika seorang gadis kecil mengalami cobaan y...
BERBAGI BERSAMA: KABAR DARI JUGUN IANFU
BERBAGI BERSAMA: KABAR DARI JUGUN IANFU: Pekik Kemerdekaan Sang Jugun Ianfu Posted by nida on Agu 25, 2015 in Pustaka | Komentar Dinonaktifkan pada Pekik Kemerdekaan Sang ...
BERBAGI BERSAMA: CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku...
BERBAGI BERSAMA: CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku...: CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako : oleh E. Rokajat Asura Penerbit : Edelweis Harga : Rp.32.000,- ...
BERBAGI BERSAMA: DERITA JUGUN IANFU
BERBAGI BERSAMA: DERITA JUGUN IANFU: Oleh : Hani Septia Rahmi* Enang Rokajat Asura adalah penulis novel bergenre sejarah yang saya kenal melalui karya Dwilogi-nya; “Prabu Sil...
BERBAGI BERSAMA: DERITA JUGUN IANFU
BERBAGI BERSAMA: DERITA JUGUN IANFU: Oleh : Hani Septia Rahmi* Enang Rokajat Asura adalah penulis novel bergenre sejarah yang saya kenal melalui karya Dwilogi-nya; “Prabu Sil...
DERITA JUGUN IANFU
Oleh : Hani Septia Rahmi*
Enang Rokajat Asura adalah penulis novel bergenre sejarah yang saya kenal melalui karya Dwilogi-nya; “Prabu Siliwangi” dan “Wangsit Siliwangi” terbitan Edelwiss 2009. Perkenalan saya dengan berlanjut ketika saya berkunjung ke Rumah Buku, di salah satu sudut ruang, karya terbaru beliau menghiasi rak-rak display toko buku tersebut. Ada dua karya beliau terpajang, yaitu “Kupilih Jalan Gerilya”, sebuah novel biografi Panglima Jendral Soedirman dan “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako.”
Saya memilih novelnya yang berjudul “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako”. Sepengetahuan saya tak banyak bacaan ataupun novel yang mengangkat kisah kehidupan bangsa Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang atau Perang Asia Timur Raya terutama tentang “comfort women” atau Jugun Ianfu. Beberapa bacaan yang penah saya baca mengenai Jugun Ianfu adalah karya seperti “Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer” (Pramoedya Ananta Toer); “Momoye, Mereka Memanggilku” (Eka Hindra); dan “Cantik itu Luka” (Eka Kurniawan).
Novel ini memberikan gambaran tentang bentuk kekejaman Kekaisaran Jepang terhadap perempuan Indonesia. Novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” merupakan kisah kehidupan seorang remaja putri pada periode 1942-1945. Lasmirah, begitu remaja putri berasal dari Suryotarunan, belum pernah mengalami menstruasi, dan tak pernah membayangkan takdirnya akan menjadi “Ransum Nippon”. Impiannya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal di Borneo pupus sudah. Zus Mer, seorang kenalannya di Suryotarunan yang menjanjikan padanya menjadi penyanyi terkenal di Borneo, ternyata malah mengantarkan Lasmirah hidup menjadi seorang Jugun Ianfu di Ianjo Telawang, selama kurun waktu Perang Timur Raya. “Lasmirah”, nama yang memiliki arti berkilauan, kini kehilangan kilauannya, berganti dengan Miyako.
Ianjo Telawang, sebuah rumah bordil militer di daerah Kalimantan Selatan, menjadi tempat yang menyimpan kenangan pahit para penghuninya, tak terkecuali Miyako. Namun meskipun menggoreskan kenangan pahit bagi Miyako yang menghantuinya seumur hidup sebagai seorang Jugun Ianfu, di dalam Ianjo Telawang inilah Miyako menemukan dua orang pria yang mencintainya dengan cara berbeda. Cinta pertama diperoleh dari seorang perwira menengah atas angkatan darat Jepang, tamu dari Ianjo Telawang bernama Yamada. Sosok Yamada memberikan kenyamanan dan harapan keluar dari Ianjo. Yamada memberikan janji untuk memiliki keluarga dan hidup di Jepang ataupun Jawa. Namun, sosok ini pula yang menyebabkan Miyako beberapa kali bermasalah selama di Telawang.
Cinta kedua berasal dari seorang tentara PETA yang tinggal bersama keluarga pemusik Sahilatua di sebelah barat Ianjo Telawang, bernama Pram atau Pramudia. Sebelum perkenalan “resmi” yang disponsori Ayumi atau Rosa, salah seorang penghuni Ianjo Telawang dan pemusik Sahilatua, secara kebetulan Miyako pernah melihat Pram sebelum keberangkatannya ke Borneo di Stasiun Pasar Turi. Pada pemuda inilah, hati Miyako tertambat. Tak hanya menjanjikan mengeluarkan Miyako dari Telawang, pada akhir kisah dia pula yang mengusahakan agar hal itu terwujud. Tak hanya janji semata!
Secara garis besar, novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” mengadaptasi kisah hidup Mardiyem, seorang Jugun Ianfu di Asrama Telawang yang pernah ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dengan judul “Momoye, Mereka Memanggilku”. Alur cerita yang maju mundur menyebabkan novel ini bukanlah bacaan yang dapat dibaca “sekali duduk”. Dibutuhkan konsentrasi dan keseriusan dalam membaca dan memahaminya. Untuk menggambarkan situasi kehidupan Miyako dan Ianjo Telawang, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga di luar cerita.
Sebagai novel sejarah, “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako”, memiliki batas terkait konteks kejadian, tempat, dan waktu. Hal ini dapat menjadi kelemahan novel, penceritaan pun terasa monoton, terlebih lagi bagi pembaca yang sebelumnya telah membaca “Momoye, Mereka Memanggilku”. Namun, apabila penulis melakukan eksplorasi yang lebih mendalam dari segi materi, ide penceritaan, dan pemilihan kata, akan membuat novel ini yang lebih menarik lagi.
Terlepas dari kekurangan tersebut, novel ini menjadi salah satu dari sedikit tulisan yang mengangkat tema Jugun Ianfu. Selama ini –sepengetahuan saya, keberadaan Jugun Ianfu selama Zaman Pendudukan Jepang merupakan fakta sejarah yang tidak pernah dibahas dalam pelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah. Hadirnya novel ini dapat memberikan informasi dasar mengenai Jugun Ianfu. Pengemasan informasi yang dilakukan secara populer, menyebabkan pembaca mudah menangkap keseluruhan isi dari tulisan E. Rojakat Asura ini –di luar konteks alur cerita.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui salah satu sisi kelam Perang Asia Timur Raya bagi Indonesia, direkomendasikan untuk membaca buku ini. Selamat membaca! [ ]
- Hani Septia Rahmi adalah penggemar TTS (Teka-teki Silang), merindu kekasih yang jauh, bergiat di Komunitas Aleut dan Sahabat Boschahttps://pustakapreangerblog.wordpress.com/tag/enang-rokajat-asura/
Rabu, 04 Mei 2016
CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako
CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako: oleh E. Rokajat Asura Penerbit : Edelweis Harga : Rp.32.000,- Perempuan cantik itu bernama Lasmirah. Impian un...
CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako
CINTA BUKU BANGET: Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako: oleh E. Rokajat Asura Penerbit : Edelweis Harga : Rp.32.000,- Perempuan cantik itu bernama Lasmirah. Impian un...
KABAR DARI JUGUN IANFU
Pekik Kemerdekaan Sang Jugun Ianfu
Oleh Ardi Wina Saputra

Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno berpesan hendaknya rakyat harus berdikari. Berdiri di bawah kaki sendiri. Merdeka! Kata merdeka tidak muncul pasca kemerdekaan, tapi kata itu justru meletup membara ketika perang masih berlangsung. Bangsa ini tidak akan merdeka, tanpa mental-mental merdeka yang dimiliki oleh rakyatnya. Novel Jugun Ianfu menyajikan sepercik semangat kemerdekaan itu.
Dikisahkan seorang wanita Yogyakarta bernama Lasmirah bercita-cita menjadi penyanyi terkenal. Suasana perang nampaknya tak menyurutkan mental Lasmi untuk memadamkan cita-cita yang telah dipupuk sejak kecil. Ayah Lasmi bekerja sebagai abdi dalem Keraton dan setiap malam, Laksmi diperkenankan untuk ikut menonton bahkan berlatih musik-musik keroncong bersama para pembesar dan Ndoro yang baik hati. Menyanyi adalah cara paling efektif untuk menghibur rasa sepinya semenjak ditinggal sang ibunda.
Bermodalkan suara emas dan paras rupawan, Laksmi memberanikan diri untuk mengikuti ajakan Zus Mer dan Bang Zul untuk ke Borneo. Mereka berdua adalah seniman dan orang ternama di daerah tempat tinggal Laksmi. Siapa sangka, gadis bertubuh indah ini dijual pada Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu. Ia bersama beberapa wanita lain diangkut truk ke Surabaya lalu dinaikkan kapal laut menuju Borneo. Sesampainya di Borneo, ia ditaruh di Asrama Telawang. Di tempat inilah babak baru kehidupan Lasmirah dimulai. Ia dipaksa setiap hari harus melayani kenpetai Jepang. Belum lagi perlakuan kasar yang diberikan oleh para kenpetai itu. Sejak menginjakkan kaki di Asrama Telawang, nama Lasmirah berubah menjadi Miyako
Asrama Telawang dikelola oleh Tuan Cikada, ia sangat keras menjurus kasar dalam memperlakukan para Jugun Ianfu. Terlebih pada Miyako. Kekasarannya pada Miyako sungguh melampaui batas. Hal itu karena Miyako selalu berani bersikap menuntut keadilan. Bahkan dengan keras Miyako pernah berkata pada Cikada,”Hidup mati bukan tuan yang menentukan, tetapi Tuhan” (hlm 296). Itu menunjukkan bahwa Miyako siap mati demi menuntut keadilan. Tentu jawaban demikian berbuah siksaan.
Meskipun sering disiksa, Miyako tak henti-hentinya menyuarakan kebenaran. Itulah yang membuat para Jugun Ianfu simpati padanya. Sikapnya yang berani dan cerdas, juga mampu memantik perhatian Pramudya, salah satu tentara PETA mantan anggota KNIL yang saat itu ditugaskan di Borneo. Lelaki gagah berparas tampan itu juga berasal dari Jawa. Benih cinta mulai tumbuh di sini. Layaknya kemerdekaan, cinta juga butuh diperjuangkan. Cinta Pram pada Miyako tidaklah mudah. Hal tersebut karena Yamada, laksamana Jepang yang sering menggunakan jasa Miyako, juga menyatakan perasaan yang sama.
Kisah cinta segi tiga membalut nafas kehidupan Miyako di Borneo. Bahkan Pram dan Yamada sering terlibat konflik fisik. Tujuan keduanya sama, memerdekakan Miyako. Pram dengan taktik jitunya ingin membawa Miyako kembali ke Yogya. Sementar itu, Yamada, dengan janji dan rayuan gombalnya ingin membawa Miyako ke Jepang. Perjuangan mencapai cinta Miyako seiring dengan perjuangan para tentara pribumi untuk lolos dari cengkeraman Jepang.
Latar cerita yang diambil melemparkan ingatan pembaca pada masa kekejaman Jepang di tahun 1942-1945. Sesekali bahkan dilemparkan lagi lebih jauh ke tahun 1935-1936 ke masa kecil Lasmirah. Yogyakarta, Surabaya, dan Borneo merupakan tiga tempat yang sering dideskripsikan dalam cerita.
Novel yang ditulis E. Rokajat Asura ini mampu membuat pembaca miris dengan kata-kata yang diciptakannya. Kekerasan fisik Jepang dan kekerasan hati Miyako dipaparkan secara gamblang. Meskipun bercerita tentang Jugun Inafu, tapi pemaparan sungguh jauh dari kesan seksual, apalagi porno. Keintiman digambarkan secara tersirat dengan halus tanpa menimbulkan interpretasi berlebihan. Meskipun demikian ada hal utama yang harus diperhatikan, yaitu pembatas fragmen. Sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada pembatas fragmen di setiap bab, membuat pembaca yang belum terbiasa dengan novel akan kelelahan untuk mengimajinasikan cerita. Sering tiba-tiba penulis mengaitkan peristiwa yang dialami tokoh dengan masa lalunya. Tanpa pembatas fragmen hal itu akan menyulitkan pembaca.
Lepas dari kekurangannya, novel ini mampu menggetarkan sanubari pembaca terlebih dalam berjuang menyikapi penderitaan. Kemauan untuk berdikari dan merdeka yang ditunjukkan oleh Lasmirah serasa menampar pembaca untuk lebih terlecut lagi semangatnya mempertahankan kemerdekaan. Jugun Ianfu bukan hanya menyadarkan pembaca pada luka lama Ibu Pertiwi, tapi sekaligus menyadarkan kembali bahwa kemerdekaan tidaklah mudah untuk diperoleh. Merdeka!
Penulis adalah mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesiahttp://komunikasi.um.ac.id/2015/08/pekik-kemerdekaan-sang-jugun-ianfu/
dari sebuah bukit...: resensi buku, film, informasi lomba dan e book: air mata surga
dari sebuah bukit...: resensi buku, film, informasi lomba dan e book: air mata surga: Bagaimana jika seorang gadis kecil mengalami cobaan yang begitu besar dalam hidupnya. Cobaan yang bertubi-tubi, dimulai dengan kanker yang...
Selasa, 03 Mei 2016
BERBAGI BERSAMA: SUSUK SI MANIS
BERBAGI BERSAMA: SUSUK SI MANIS: Oleh : E. Rokajat Asura Sebagai seorang penyanyi Dangdut, Mirna tak seberuntung Evi Tamala. Ia juga tak sehebat Iis Dahlia. Mirna masih...
BERBAGI BERSAMA: DI KAMPUNG NUDIS
BERBAGI BERSAMA: DI KAMPUNG NUDIS: Oleh : E. Rokajat Asura SUATU HARI BILL CLINTON MAU BERKUNJUNG KE KAMPUNG NUDIS … TAU KAN NAMANYA ORANG NUDIS … UDAH JARANG MANDI … MAKE...
BERBAGI BERSAMA: DI KAMPUNG NUDIS
BERBAGI BERSAMA: DI KAMPUNG NUDIS: Oleh : E. Rokajat Asura SUATU HARI BILL CLINTON MAU BERKUNJUNG KE KAMPUNG NUDIS … TAU KAN NAMANYA ORANG NUDIS … UDAH JARANG MANDI … MAKE...
DI KAMPUNG NUDIS
Oleh : E. Rokajat Asura
SUATU HARI BILL CLINTON MAU BERKUNJUNG KE KAMPUNG NUDIS … TAU KAN NAMANYA ORANG NUDIS … UDAH JARANG MANDI … MAKE BAJU SEENAKNYA … MALAH BANYAK YANG SENENGNYA BUBULUCUNAN … WAH BILL CLINTON BINGUNG JUGA … MAU PAKE BAJU RESMI NANTI DIKIRA NGGAK NGEHORMATIN KAUM NUDIS … MAU BUBULUCUNAN MALU JUGA … AKHIRNYA DIKUMPULIN ITU SEMUA PENASEHAT KEPRESIDENAN … DER MEREKA NGADAIN RAPAT KILAT … PAKAIAN APA YANG COCOK DIPAKE BILL CLINTON KEUR BERKUNJUNG KA KAMPUNG NUDIS TEA … MACEM-MACEM YANG PUNYA USUL … ADA YANG NYURUH PAKE PAKEAN SANTEY … ADA YANG NYURUH PAKE PAKEAN RESMI SUPAYA KELIATAN PRESIDENNYA … TAPI AKHIRNYA SEPAKAT BILL CLINTON TERPAKSA KUDU BUBULUCUNAN SUPAYA BISA DITERIMA SAMA KAUM NUDIS … YA SUDAH LAH … SAYA BUBULUCUNAN SAJA KATA BIIL CLINTON TEH … TAPI BEGITU REK BERANGKAT BINGUNG DEUI … KUMAHA CARANA TURUN TINA KAPAL MENUJU KAMPUNG NUDIS … MASA BUBULUCUNAN … NANTI DISANGKA PRESIDEN GILA … AKHIRNYA RAPAT LAGI … SEMUA NGASIH USUL … TAPI AKHIRNYA PUNYA CARA … PRESIDEN NAEK HELIKOPTER AJA SAMPAI DI LAPANGAN KAMPUNG NUDIS … DARI SANA MAH BEGITU TURUN LANGSUNG LARI-LARI … OKE LAH … PRESIDEN TEH NGALAH DEUI BAE … PAS BERANGKAT PRESIDEN NAEK HELI … DAN BEGITU SAMPAI DI KAMPUNG NUDIS PRESIDEN LANGSUNG TUTUP MATA KARENA MALU ... TAH SAMBIL TUTUP MATA BERETEK PRESIDEN LARI MENUJU TEMPAT PERTEMUAN … TAPI BEGITU SAMPAI KE TEMPAT PERTEMUAN KAUM NUDIS TEH KALAHKA BARAKATAK SALEUSEURIAN .. PUGUH BAE BIIL CLINTON TEH KAGET … BEGITU BUKA MATA … GEBEG .. BIIL CLINTON NGAGEBEG … TERNYATA … SEMUA PENDUDUK KAMPUNG NUDIS MAKE BAJU LENGKEP … DIJAS JEUNG DIDASI … MAKLUM REK NYAMBUT PRESIDEN TEA … HARITA KENEH BILL CLINTON NGALENGGEREK KAPAEHAN …
SUATU HARI BILL CLINTON MAU BERKUNJUNG KE KAMPUNG NUDIS … TAU KAN NAMANYA ORANG NUDIS … UDAH JARANG MANDI … MAKE BAJU SEENAKNYA … MALAH BANYAK YANG SENENGNYA BUBULUCUNAN … WAH BILL CLINTON BINGUNG JUGA … MAU PAKE BAJU RESMI NANTI DIKIRA NGGAK NGEHORMATIN KAUM NUDIS … MAU BUBULUCUNAN MALU JUGA … AKHIRNYA DIKUMPULIN ITU SEMUA PENASEHAT KEPRESIDENAN … DER MEREKA NGADAIN RAPAT KILAT … PAKAIAN APA YANG COCOK DIPAKE BILL CLINTON KEUR BERKUNJUNG KA KAMPUNG NUDIS TEA … MACEM-MACEM YANG PUNYA USUL … ADA YANG NYURUH PAKE PAKEAN SANTEY … ADA YANG NYURUH PAKE PAKEAN RESMI SUPAYA KELIATAN PRESIDENNYA … TAPI AKHIRNYA SEPAKAT BILL CLINTON TERPAKSA KUDU BUBULUCUNAN SUPAYA BISA DITERIMA SAMA KAUM NUDIS … YA SUDAH LAH … SAYA BUBULUCUNAN SAJA KATA BIIL CLINTON TEH … TAPI BEGITU REK BERANGKAT BINGUNG DEUI … KUMAHA CARANA TURUN TINA KAPAL MENUJU KAMPUNG NUDIS … MASA BUBULUCUNAN … NANTI DISANGKA PRESIDEN GILA … AKHIRNYA RAPAT LAGI … SEMUA NGASIH USUL … TAPI AKHIRNYA PUNYA CARA … PRESIDEN NAEK HELIKOPTER AJA SAMPAI DI LAPANGAN KAMPUNG NUDIS … DARI SANA MAH BEGITU TURUN LANGSUNG LARI-LARI … OKE LAH … PRESIDEN TEH NGALAH DEUI BAE … PAS BERANGKAT PRESIDEN NAEK HELI … DAN BEGITU SAMPAI DI KAMPUNG NUDIS PRESIDEN LANGSUNG TUTUP MATA KARENA MALU ... TAH SAMBIL TUTUP MATA BERETEK PRESIDEN LARI MENUJU TEMPAT PERTEMUAN … TAPI BEGITU SAMPAI KE TEMPAT PERTEMUAN KAUM NUDIS TEH KALAHKA BARAKATAK SALEUSEURIAN .. PUGUH BAE BIIL CLINTON TEH KAGET … BEGITU BUKA MATA … GEBEG .. BIIL CLINTON NGAGEBEG … TERNYATA … SEMUA PENDUDUK KAMPUNG NUDIS MAKE BAJU LENGKEP … DIJAS JEUNG DIDASI … MAKLUM REK NYAMBUT PRESIDEN TEA … HARITA KENEH BILL CLINTON NGALENGGEREK KAPAEHAN …
SUSUK SI MANIS
Oleh : E. Rokajat Asura
Sebagai seorang penyanyi Dangdut, Mirna tak seberuntung Evi Tamala. Ia juga tak sehebat Iis Dahlia. Mirna masih untuk kelas daerah, sementara Evi Tamala dan Iis Dahlia tingkat nasional. Tapi cita-cita untuk jadi seorang penyanyi hebat, barangkali lebih dari Iis Dahlia dan Evi Tamala. Mirna lahir dan besar di kota kelahirannya, jauh dari hiruk-pikuknya kota Jakarta. Bukan tak ada niat hijrah ke ibukota, tapi tak punya keberanian dan tak mendapat restu dari kedua orang tuanya.
Padahal dilihat dari suaranya yang merdu, mestinya Mirna bisa jadi penyanyi Dangdut hebat. Paling tidak sudah harus masuk ke dapur rekaman. Ia memang selama ini sering masuk dapur, tapi bukan untuk rekaman. Ia masuk dapur untuk bikin sayur dan sambel pete. Kasihan Mirna. Ia punya kemampuan, tapi tak ada hokki. Padahal kedua orang tuanya sejak kecil sudah membantu agar Mirna bernasib mujur. Konon, ketika memberi nama, kedua orang tuanya telah menghitung agar jatuh pada ‘naptu’ yang baik. Kemudian menjelang remaja, selalu disuruh mandi air kembang. Tapi itulah nasib yang belum berpihak pada Mirna. Ia hanya jadi penyanyi Dangdut dari satu hajatan kecil ke hajatan kecil lainnya, hanya manggung dari satu kampung ke kampung lainnya, dengan bayaran alakadarnya pula.
Suatu hari ia pernah mendengar teman-teman sebaya bercerita tentang penggunaan susuk. Tidak hanya satu orang temannya yang mengaku pernah menggunakan susuk. Bahkan ia sendiri mengantarkan temannya ke seorang yang ahli di bidang susuk. Susuk itu dimaksudkan agar orang lain senang dan memiliki sifat pengasihan.
Dari sekian banyak temannya yang menggunakan susuk, semuanya mengakui akan keberhasilannya. Melihat keberhasilan itu, Mirna menjadi tertarik untuk menggunakan susuk. Namun yang menjadi persoalan adalah dana. Dana untuk memasang susuk ke tempat orang pintar temannya itu cukup mahal. Sementara itu Mirna, bukan tergolong orang berada, tidak akan mampu membayarnya. Jangankan untuk membiayai susuk, untuk makan saja, orang tuanya sudah kewalahan.
Bagi Mirna susuk adalah sebuah cara agar ia cepat memperoleh ketenaran. Terdorong oleh keinginan menyenangkan keluarga, akhirnya ia berusaha mencari uang yang diperlukan untuk membiayai susuk. Ia pergi ke teman dekatnya, tapi tidak juga ada yang mau memberi pinjaman. Padahal ketika bertanya pada orang pinter, memang disebutkan kalau ingin maju, Mirna harus segera punya penglaris. Mendengar keterangan orang pinter tersebut, baik Mirna maupun kedua orang tuanya sama-sama setuju.
“Mestinya bapak usaha, bantu Mirna, agar jadi laris !” desak ibu Mirna.
“Ya, aku juga sedang berpikir seperti itu. Tapi harus usaha apalagi ? Kau barangkali punya simpanan barang sedikit, Mir ?” bapaknya berpaling pada Mirna, yang baru saja meminum wedang jahe dan ramuan tradisional lainnya untuk menghaluskan suara.
“Ya, bapak, aku punya simpanan dari mana ? Honor setiap manggung kan selalu dikasihkan sama bapak. Aku hanya minta sisanya untuk beli bedak dan lipstik. Itu saja !”
Mendengar jawaban Mirna seperti itu, ketiganya merenung. Memang sulit mencari uang untuk membayar maskawin, agar Mirna ditanami susuk. Biar laris. Kalaulah sudah laris, tentu harapan untuk menembus dunia rekamanan akan jauh lebih gampang.
Seminggu setelah pembicaraan itu, akhirnya bapak Mirna mendapat pinjaman dari seorang rentenir. Maka berangkatlah Mirna bersama bapaknya ke orang pinter, yang katanya bisa menanamkan susuk dengan harga maskawin yang tidak terlalu besar.
Menurut orang pinter, susuk itu harus ditanam di paha dan pantat. Awalnya Mirna ngeri juga. Masak harus dipasang di paha dan pantat, protesnya. Kedua tempat itu kan termasuk daerah rawan. Tapi ketika orang pinter itu menyebutkan bahwa di kedua tempat tersebut merupakan tempat yang paling cocok, akhirnya Mirna mengalah. Di paha dan pantatnya sekarang dipasang susuk. Entah bagaimana cara memasangnya, Mirna sendiri tak memperhatikan dengan jelas. Ia sendiri merasa risih, ada yang memegang paha dan pantatnya.
Setelah menggunakan susuk, Mirna jadi lebih lincah di atas panggung. Ia jadi semakin dahsyat goyangnya, dan selalu mengumbar senyum pada siapapun. Sejak saat itu ia jadi semakin laris. Kini tidak hanya dikenal di kampung-kampung, tapi juga telah merambah ke kota kecamatan bahkan pernah beberapa kali manggung di kabupaten. Sekali waktu pernah manggung bersama artis dangdut ibukota atas undangan satu partai politik. Tentu saja Mirna dan orang tuanya semakin bahagia. Paling tidak pemasukan dari hasil menyanyi itu semakin banyak.
“Kamu sekarang jadi hebat. Susuk itu benar-benar ampuh ya, Mir ?” tanya bapaknya suatu hari saat Mirna kosong tidak manggung.
“Lha, iya, dong, Pak, buktinya aku semakin laris !” Mirna tersenyum.
“Syukurlah !” ibunya ikut bicara.
Begitulah roda keberuntungan sekarang sedang berada di tangan Mirna. Setiap manggung selalu banyak penonton. Tidak aneh kalau Mirna semakin banyak diundang, dan semakin laris. Suatu hari ia harus manggung di salah satu hajatan orang kaya di kampungnya. Tidak tanggung-tanggung, Mirna dan grup Dangdut yang membawanya manggung sejak pagi sampai sore, kemudian disambung lagi dari sehabis Isya sampai tengah malam. Nah, ketika break Mirna dan kawan-kawan makan sepuasnya. Segala makanan disodorkan. Maklum untuk menjamu artis terkenal. Saat makan itulah, entah kenapa Mirna begitu tertarik sama jengkol.
“Hati-hati, Mir, jangan terlalu banyak makan sambel. Apalagi makan jengkol bisa-bisa suaramu parau, susah nanti malam nggak bisa nyanyi lama.” Pemimpin grup Dangdut itu memberi saran. Mirna mengangguk. Ia terus makan dengan lahapnya. Beberapa buah jengkol itu dicocolkan ke sambel dan dilahapnya dengan nikmat. Selesai makan Mirna mulas-mulas. Tentu saja grup Dangdut dan empunya hajat jadi kalang kabut. Bagaimana kalau Mirna nanti malam tak bisa nyanyi, gara-gara terus pingin ke belakang. Padahal berita Mirna akan manggung malam nanti, sudah tersebar kemana-mana. Berbagai upaya dilakukan, tapi tetap saja, setiap sepuluh menit Mirna harus ke belakang, mencret-mencret sampai-sampai wajahnya nampak pucat. Beruntung ada seorang dukun pinter, ngasih resep, dan setelah ke belakang untuk terakhir kalinya Mirna sembuh.
Malampun tiba dan Mirna manggung dengan sangat memukau. Siapa yang akan menyangka kalau beberapa jam sebelum manggung, artis itu mencret-mencret. Tepukan demi tepukan terus menggema, suitan dan sawer terus mengalir. Semakin malam semakin dahsyat. Mungkin karena kecapekan, setelah pentas itu dikabarkan Mirna sakit. Acara manggung pun banyak yang ia batalkan.
Selang beberapa Minggu, tawaran jadi sepi kembali. Mirna curiga jangan-jangan susuknya sudah mulai kurang ampuh. Akhirnya Mirna pergi ke orang pinter yang ngasihnya. Tapi betapa kagetnya ia, karena ternyata orang pinter yang menanamkan susuk itu sudah tidak ada di rumahnya. Rumahnya disita polisi dan ia sendiri harus ditahan. Tuduhanya terbukti, ia dengan sengaja memasang susuk palsu. Ternyata yang selama ini ia pasangkan bukan intan, tapi hanya perhiasan sepuhan. Konon kalau tidak cocok bisa membahayakan. Mirna dan ayahnya tentu saja kaget. Kenapa bisa terjadi demikian. Kalau memang palsu, kenapa Mirna jadi laris ?
Masih dengan tanda tanya, mereka akhirnya pulang. Di sebuah korban diberitakan, seorang pemasang susuk yang tengah diperiksa polisi mengaku jujur, ia selalu memasang susuk di paha dan pantat karena ingin melihat daerah sensitif secara leluasa. Sialan ! Mirna benar-benar mengumpat. Lebih kaget lagi ketika ia datang kepada orang pinter yang lain, ternyata susuk yang ditanam di paha dan pantatnya itu samasekali bukan susuk selain sebuah paku payung. Kalau tetap dibiarkan bisa berkarat dan membahayakan keselamatannya. Akhirnya susuk itu dicabut.
Mirna terus menyesal. Kalau memang susuk itu susuk palsu, kenapa ia selama ini laris ? Barangkali Mirna lupa. Setelah ia dipasang susuk, muncul keberanian yang luar biasa. Dengan keberanian itu pula ia tak sungkan untuk goyang, dan bisa mengeluarkan suara emasnya dengan leluasa. Apa karena kebebasan bernyanyi dan bergoyang itu yang memuaskan penonton ?
***
Sebagai seorang penyanyi Dangdut, Mirna tak seberuntung Evi Tamala. Ia juga tak sehebat Iis Dahlia. Mirna masih untuk kelas daerah, sementara Evi Tamala dan Iis Dahlia tingkat nasional. Tapi cita-cita untuk jadi seorang penyanyi hebat, barangkali lebih dari Iis Dahlia dan Evi Tamala. Mirna lahir dan besar di kota kelahirannya, jauh dari hiruk-pikuknya kota Jakarta. Bukan tak ada niat hijrah ke ibukota, tapi tak punya keberanian dan tak mendapat restu dari kedua orang tuanya.
Padahal dilihat dari suaranya yang merdu, mestinya Mirna bisa jadi penyanyi Dangdut hebat. Paling tidak sudah harus masuk ke dapur rekaman. Ia memang selama ini sering masuk dapur, tapi bukan untuk rekaman. Ia masuk dapur untuk bikin sayur dan sambel pete. Kasihan Mirna. Ia punya kemampuan, tapi tak ada hokki. Padahal kedua orang tuanya sejak kecil sudah membantu agar Mirna bernasib mujur. Konon, ketika memberi nama, kedua orang tuanya telah menghitung agar jatuh pada ‘naptu’ yang baik. Kemudian menjelang remaja, selalu disuruh mandi air kembang. Tapi itulah nasib yang belum berpihak pada Mirna. Ia hanya jadi penyanyi Dangdut dari satu hajatan kecil ke hajatan kecil lainnya, hanya manggung dari satu kampung ke kampung lainnya, dengan bayaran alakadarnya pula.
Suatu hari ia pernah mendengar teman-teman sebaya bercerita tentang penggunaan susuk. Tidak hanya satu orang temannya yang mengaku pernah menggunakan susuk. Bahkan ia sendiri mengantarkan temannya ke seorang yang ahli di bidang susuk. Susuk itu dimaksudkan agar orang lain senang dan memiliki sifat pengasihan.
Dari sekian banyak temannya yang menggunakan susuk, semuanya mengakui akan keberhasilannya. Melihat keberhasilan itu, Mirna menjadi tertarik untuk menggunakan susuk. Namun yang menjadi persoalan adalah dana. Dana untuk memasang susuk ke tempat orang pintar temannya itu cukup mahal. Sementara itu Mirna, bukan tergolong orang berada, tidak akan mampu membayarnya. Jangankan untuk membiayai susuk, untuk makan saja, orang tuanya sudah kewalahan.
Bagi Mirna susuk adalah sebuah cara agar ia cepat memperoleh ketenaran. Terdorong oleh keinginan menyenangkan keluarga, akhirnya ia berusaha mencari uang yang diperlukan untuk membiayai susuk. Ia pergi ke teman dekatnya, tapi tidak juga ada yang mau memberi pinjaman. Padahal ketika bertanya pada orang pinter, memang disebutkan kalau ingin maju, Mirna harus segera punya penglaris. Mendengar keterangan orang pinter tersebut, baik Mirna maupun kedua orang tuanya sama-sama setuju.
“Mestinya bapak usaha, bantu Mirna, agar jadi laris !” desak ibu Mirna.
“Ya, aku juga sedang berpikir seperti itu. Tapi harus usaha apalagi ? Kau barangkali punya simpanan barang sedikit, Mir ?” bapaknya berpaling pada Mirna, yang baru saja meminum wedang jahe dan ramuan tradisional lainnya untuk menghaluskan suara.
“Ya, bapak, aku punya simpanan dari mana ? Honor setiap manggung kan selalu dikasihkan sama bapak. Aku hanya minta sisanya untuk beli bedak dan lipstik. Itu saja !”
Mendengar jawaban Mirna seperti itu, ketiganya merenung. Memang sulit mencari uang untuk membayar maskawin, agar Mirna ditanami susuk. Biar laris. Kalaulah sudah laris, tentu harapan untuk menembus dunia rekamanan akan jauh lebih gampang.
Seminggu setelah pembicaraan itu, akhirnya bapak Mirna mendapat pinjaman dari seorang rentenir. Maka berangkatlah Mirna bersama bapaknya ke orang pinter, yang katanya bisa menanamkan susuk dengan harga maskawin yang tidak terlalu besar.
Menurut orang pinter, susuk itu harus ditanam di paha dan pantat. Awalnya Mirna ngeri juga. Masak harus dipasang di paha dan pantat, protesnya. Kedua tempat itu kan termasuk daerah rawan. Tapi ketika orang pinter itu menyebutkan bahwa di kedua tempat tersebut merupakan tempat yang paling cocok, akhirnya Mirna mengalah. Di paha dan pantatnya sekarang dipasang susuk. Entah bagaimana cara memasangnya, Mirna sendiri tak memperhatikan dengan jelas. Ia sendiri merasa risih, ada yang memegang paha dan pantatnya.
Setelah menggunakan susuk, Mirna jadi lebih lincah di atas panggung. Ia jadi semakin dahsyat goyangnya, dan selalu mengumbar senyum pada siapapun. Sejak saat itu ia jadi semakin laris. Kini tidak hanya dikenal di kampung-kampung, tapi juga telah merambah ke kota kecamatan bahkan pernah beberapa kali manggung di kabupaten. Sekali waktu pernah manggung bersama artis dangdut ibukota atas undangan satu partai politik. Tentu saja Mirna dan orang tuanya semakin bahagia. Paling tidak pemasukan dari hasil menyanyi itu semakin banyak.
“Kamu sekarang jadi hebat. Susuk itu benar-benar ampuh ya, Mir ?” tanya bapaknya suatu hari saat Mirna kosong tidak manggung.
“Lha, iya, dong, Pak, buktinya aku semakin laris !” Mirna tersenyum.
“Syukurlah !” ibunya ikut bicara.
Begitulah roda keberuntungan sekarang sedang berada di tangan Mirna. Setiap manggung selalu banyak penonton. Tidak aneh kalau Mirna semakin banyak diundang, dan semakin laris. Suatu hari ia harus manggung di salah satu hajatan orang kaya di kampungnya. Tidak tanggung-tanggung, Mirna dan grup Dangdut yang membawanya manggung sejak pagi sampai sore, kemudian disambung lagi dari sehabis Isya sampai tengah malam. Nah, ketika break Mirna dan kawan-kawan makan sepuasnya. Segala makanan disodorkan. Maklum untuk menjamu artis terkenal. Saat makan itulah, entah kenapa Mirna begitu tertarik sama jengkol.
“Hati-hati, Mir, jangan terlalu banyak makan sambel. Apalagi makan jengkol bisa-bisa suaramu parau, susah nanti malam nggak bisa nyanyi lama.” Pemimpin grup Dangdut itu memberi saran. Mirna mengangguk. Ia terus makan dengan lahapnya. Beberapa buah jengkol itu dicocolkan ke sambel dan dilahapnya dengan nikmat. Selesai makan Mirna mulas-mulas. Tentu saja grup Dangdut dan empunya hajat jadi kalang kabut. Bagaimana kalau Mirna nanti malam tak bisa nyanyi, gara-gara terus pingin ke belakang. Padahal berita Mirna akan manggung malam nanti, sudah tersebar kemana-mana. Berbagai upaya dilakukan, tapi tetap saja, setiap sepuluh menit Mirna harus ke belakang, mencret-mencret sampai-sampai wajahnya nampak pucat. Beruntung ada seorang dukun pinter, ngasih resep, dan setelah ke belakang untuk terakhir kalinya Mirna sembuh.
Malampun tiba dan Mirna manggung dengan sangat memukau. Siapa yang akan menyangka kalau beberapa jam sebelum manggung, artis itu mencret-mencret. Tepukan demi tepukan terus menggema, suitan dan sawer terus mengalir. Semakin malam semakin dahsyat. Mungkin karena kecapekan, setelah pentas itu dikabarkan Mirna sakit. Acara manggung pun banyak yang ia batalkan.
Selang beberapa Minggu, tawaran jadi sepi kembali. Mirna curiga jangan-jangan susuknya sudah mulai kurang ampuh. Akhirnya Mirna pergi ke orang pinter yang ngasihnya. Tapi betapa kagetnya ia, karena ternyata orang pinter yang menanamkan susuk itu sudah tidak ada di rumahnya. Rumahnya disita polisi dan ia sendiri harus ditahan. Tuduhanya terbukti, ia dengan sengaja memasang susuk palsu. Ternyata yang selama ini ia pasangkan bukan intan, tapi hanya perhiasan sepuhan. Konon kalau tidak cocok bisa membahayakan. Mirna dan ayahnya tentu saja kaget. Kenapa bisa terjadi demikian. Kalau memang palsu, kenapa Mirna jadi laris ?
Masih dengan tanda tanya, mereka akhirnya pulang. Di sebuah korban diberitakan, seorang pemasang susuk yang tengah diperiksa polisi mengaku jujur, ia selalu memasang susuk di paha dan pantat karena ingin melihat daerah sensitif secara leluasa. Sialan ! Mirna benar-benar mengumpat. Lebih kaget lagi ketika ia datang kepada orang pinter yang lain, ternyata susuk yang ditanam di paha dan pantatnya itu samasekali bukan susuk selain sebuah paku payung. Kalau tetap dibiarkan bisa berkarat dan membahayakan keselamatannya. Akhirnya susuk itu dicabut.
Mirna terus menyesal. Kalau memang susuk itu susuk palsu, kenapa ia selama ini laris ? Barangkali Mirna lupa. Setelah ia dipasang susuk, muncul keberanian yang luar biasa. Dengan keberanian itu pula ia tak sungkan untuk goyang, dan bisa mengeluarkan suara emasnya dengan leluasa. Apa karena kebebasan bernyanyi dan bergoyang itu yang memuaskan penonton ?
***
BERBAGI BERSAMA: SELAMAT PAGI, DIAZ
BERBAGI BERSAMA: SELAMAT PAGI, DIAZ: Oleh : E. Rokajat Asura Namanya Diaz. Manis dan senang bercerita. Seperti kebanyakan anak usia TK selalu bikin gemes. Bagiku makhluk ke...
BERBAGI BERSAMA: GILA SUKSES DAN PRODUKSI
BERBAGI BERSAMA: GILA SUKSES DAN PRODUKSI: Pikiran Rakyat Minggu, 3 Nopember 1996 Halaman 7 Oleh ENANG ROKAJAT ASURA Sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang dan produk terdahul...
GILA SUKSES DAN PRODUKSI
Pikiran Rakyat Minggu, 3 Nopember 1996 Halaman 7
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
Sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang dan produk terdahulu memang bukan rahasia lagi. Dengan tidak terlalu mengada-ada, pada era post-modernisme dimana kreativitas seseorang semakin baur dan transparan, sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang sepertinya telah dilegitimasi. Bahkan jika untuk urusan film atau sinetron kita selama ini berpihak pada Barat, dengan asumsi bahwa produk Barat dari segi kuateknik beberapa langkah lebih maju, di sana tiru-meniru telah pula menjadi “ruh” beberapa produk mereka.
Kita sikapi saja misalnya kesuksesan Mission Impossible yang sekarang dibintangi Tom Cruise. Sebelum diracik dalam format layar lebar, Mission Impossible adalah sebuah serial televisi. Pertamakali ditayangkan CBS sekitar tahun 1966, 24 tahun kemudian ABC pun ikut menayangkan (produksi ulang) dengan beberapa perbaikan dari segi casting.
Produksi ulang (bahkan dengan sengaja meniru) karena produk terdahulunya populer dan laris dalam dunia film atau sinetron, jika masih memberi peluang untuk munculnya interpretasi baru terhadap produk terdahulu itu tentu saja kita bisa segera mengamini. Tanpa bermaksud mengimami Barat, pertimbangan inilah yang tampak jadi ruh pada beberapa judul film atau sinetron yang diproduksi ulang.
Namun jika meniru produk lain atau memproduksi ulang sebuah film atau sinetron, semata karena “gatalan” akan kesuksesan orang lain, sikap seperti ini yang mau tidak mau harus segera ancang-ancang untuk mengambil jarak sebelum mengamininya. Karena biasanya jika melulu mengacu pada sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulu, dengan sendirinya akan mengabaikan apa yang namanya kuateknik dan tak ada keinginan untuk memberi interpretasi baru terhadap produk tersebut.
Coba saja sekarang kita berpindah pandang pada bumi nusantara dalam kondisi booming sinetron sekarang ini, tiru-meniru akan kesuksesan produk lain atau produksi ulang sebuah karya cipta (film atau sinetron), lebih berat unsur “gatal” akan kesuksesan orang lain daripada ingin memberi interpretasi baru. Ketika Si Manis Jembatan Ancol (untuk pertamakali ditayangkan RCTI) ternyata sukses, kita sekrang dijejali produk baru yang nyata-nyata meniru, yakni Mariam Si Manis Jembatan Ancol (Indosiar) dan Kembalinya Si Manis (RCTI). Hanya sayang rating Mariam Si Manis Jembatan Ancol ini hanya (22) jauh dibawah Si Doel Anak Sekolahan (42), bahkan tak berkutik menghadapi produk baru seperti Shangrilla (29).
Kanan Kiri Oke dalam format layat lebar dengan bintang Warkop DKI yang lumayan sukses kala itu, kini diangkat jadi serial di RCTI lewat judul yang sama, dengan pilihan pemain jatuh pada Doyok dan Kadir. Cara yang sama dilakukan untuk judul film atau sinetron layar lebar Semua Bisa Diatur. Namun apakah kedua seri sinetron yang mendompleng kesuksesan produk terdahulunya dalam format layar lebar serta merta sukses ? Kenyataan justru banyak yang sebaliknya. Sementara ini hasilnya baru “alakadarnya” bahkan tak jarang justru makin terpuruk. Jangankan mampu mengulang sukses, yang “alakadarnya” saja keburu kehabisan nafas dan mati.
Novel terlaris Lupus dari Hilman yang jadi booming sebagai novel remaja terpopuler, dari segi popularitas tentu saja menguntungkan. Kini Lupus diangkat pula ke dalam sinetron seri dan ditayangkan Indosiar. Asumsinya tentu sinetronisasi novel tersebut diharapkan akan pula mengulang sukses seperti novelnya. Bahkan agar sinetronnya tidak kehilangan rasa dan idiom-idiomnya, penulis skenarionya adalah juga pengarang novel tersebut. Tapi bagaimana hasilnya, sinetron seri Lupus ini nyaris terpuruk kalau dikatakan gagal. Lupus hanya memperoleh rating (11) atau cuma urutan keempat terbawah dari 20 sinetron lokal terpopuler (SRI 1995 / base : All individuals). Masih lumayan apa yang dilakukan produser Wiro Sableng, yang sama-sama mendompleng popularitas cerita komik (beberapa serinya bahkan telah diangkat ke layar lebar) karya Bastian Tito tersebut memperoleh rating (20). Artinya popularitas sinetron ini bisa mengungguli sinetron yang lebih dahulu lahir yakni Semua Bisa Diatur (11) dan Kanan Kiri Oke (13) yang sama-sama produk domplengan pada pendahulunya yang telah populer.
Sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulunya juga dilakukan tidak saja dari film atau sinetron ke sinetron, dari novel dan komik ke sinetron, tapi juga dari sandiwara radio populer. Pertimbangannya yaitu tadi ingin mendompleng pendahulunya yang terlanjur populer. Panji Tengkorak, Wiro Sableng, Si Buta Dari Goa Hantu adalah beberapa sinetron seri yang diproduksi ulang dari film layar lebar kedalam format sinetron dengan beberapa perbaikan. Sawung Kampret, Di Bawah Matahari Bali (sebuah kumpulan cerpen Gerson Foyk), Sengsara Membawa Nikmat, Siti Nurbaya adalah beberapa sinetron seri yang diambil dari buku yang memang telah lebih dahulu populer. Bahkan Salah Asuhan jelas-jelas diambil dari sebuah novel yang justru menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Namun nasibnya malah rontok dibanding pendahulunya yang didomplengnya yaitu Siti Nurbaya yang sampai sekarang masih melekat dalam ingatan pemirsa.
Sementara sinetron yang diambil dari sandiwara radio yang sangat populer sekalipun, nasibnya justru malah kalah populer dibanding dengan sandiwara radionya. Bahkan beberapa diantaranya bisa dikatakan gagal dari sisi perolehan rating, yang selama ini jadi andalan sebagai satu-satunya indikator banyak tidaknya acara tersebut ditonton khalayak. Sebut saja misalnya Saur Sepuh, Ibuku Malang Ibuku Sayang, Tutur Tinular maupun Kaca Benggala. Satu hal selain penggarapan yang memang kurang maksimal, adalah adanya imajinasi yang terganggu dibanding dengan sandiwara radio yang sedimikian bebas memberi peluang kepada pendengar untuk mengembara dalam imajinasi (theater of mind).
Kasus rontoknya popularitas (dari perolehan rating) sinetron seri yang meniru atau produksi ulang dari cerita terdahulunya, baik dari layar lebar, novel, kumpulan cerpen, komik maupun sandiwara radio lebih mengacu pada segi penggarapan yang kurang matang. Kita mafhum tentu saja, produksi satu seri sinetron selalu diburu waktu produksi. Diperketatnya limit waktu produksi, tentu saja karena lebih mempertimbangkan soal cost-production. Sehingga kepenasaran khalayak yang telah membaca komik maupun novelnya, telah menonton ceritanya dalam format layar lebar maupun sebagai pendengar sandiwara radio yang setia, samasekali tidak terjawab dan tidak terpenuhi sehingga dengan sendirinya akan kecewa ketika menemukan bentuk sinetronnya yang jauh panggang dari api.
Kekecewaan khalayak tadi semakin kental dengan kurang terperhatikannya unsur-unsur casting pemain, penulisan dari cerita buku maupun komik kedalam sebuah skenario sinetron yang sangat membutuhkan kepiawaian, pemilihan waktu tayang yang kurang tepat, terganggunya kenikmatan menonton karena sisipan iklan komersial yang kurang bagus, serta kurangnya ekploitasi teknologi yang akan menyebabkan kekaguman khalayak penonton. Hal terakhir ini dengan mudah bisa kita temukan pada sinetron seri impor terutama dari Mandarin dan Jepang, sehingga tidak aneh kalau serial impor justru dengan mudah digemari dan ratingnyapun tinggi. Kita bisa menyebut untuk periode April 1996, Maria Cinta Yang Hilang meraih rating (29), Power Rangers (12) atau Pendekar Negeri Tayli (12) langsung melonjak dan bisa disejajarkaan dengan produk lokal yang telah lama ada.
Namun yang jelas ruh dari semua problematika penggarapan produksi ulang atau meniru produk terdahulu tersebut, karena faktor miskinnya kreativitas sejak dari produser, sutradara, penulis skenario sampai kepada crew yang lebih menuntut kepintaran untuk menggagas imajinasi penonton. Dan miskinnya kreativitas sinetron lokal tersebut karena sekadar memburu omzet, bahwa sebuah tayangan lokal harus sekian prosen lebih dari tayangan impor, disamping eksistensi dan sikap stasiun televisi yang justru diburu keharusan kembali modal yang telah dikeluarkan.
Jika iklim produksi sinetron lokal masih belum terbebaskan dari problematika yang sangat prinsipil seperti disinggung di muka tadi, maka apakah artinya sebuah Festival Sinetron Indonesia yang meraup kocek sangat besar itu, kalau pada ujungnya selalu dihadapkan pada problematika klasik seperti nasib perfilman kita tempo hari.
****
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
Sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang dan produk terdahulu memang bukan rahasia lagi. Dengan tidak terlalu mengada-ada, pada era post-modernisme dimana kreativitas seseorang semakin baur dan transparan, sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang sepertinya telah dilegitimasi. Bahkan jika untuk urusan film atau sinetron kita selama ini berpihak pada Barat, dengan asumsi bahwa produk Barat dari segi kuateknik beberapa langkah lebih maju, di sana tiru-meniru telah pula menjadi “ruh” beberapa produk mereka.
Kita sikapi saja misalnya kesuksesan Mission Impossible yang sekarang dibintangi Tom Cruise. Sebelum diracik dalam format layar lebar, Mission Impossible adalah sebuah serial televisi. Pertamakali ditayangkan CBS sekitar tahun 1966, 24 tahun kemudian ABC pun ikut menayangkan (produksi ulang) dengan beberapa perbaikan dari segi casting.
Produksi ulang (bahkan dengan sengaja meniru) karena produk terdahulunya populer dan laris dalam dunia film atau sinetron, jika masih memberi peluang untuk munculnya interpretasi baru terhadap produk terdahulu itu tentu saja kita bisa segera mengamini. Tanpa bermaksud mengimami Barat, pertimbangan inilah yang tampak jadi ruh pada beberapa judul film atau sinetron yang diproduksi ulang.
Namun jika meniru produk lain atau memproduksi ulang sebuah film atau sinetron, semata karena “gatalan” akan kesuksesan orang lain, sikap seperti ini yang mau tidak mau harus segera ancang-ancang untuk mengambil jarak sebelum mengamininya. Karena biasanya jika melulu mengacu pada sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulu, dengan sendirinya akan mengabaikan apa yang namanya kuateknik dan tak ada keinginan untuk memberi interpretasi baru terhadap produk tersebut.
Coba saja sekarang kita berpindah pandang pada bumi nusantara dalam kondisi booming sinetron sekarang ini, tiru-meniru akan kesuksesan produk lain atau produksi ulang sebuah karya cipta (film atau sinetron), lebih berat unsur “gatal” akan kesuksesan orang lain daripada ingin memberi interpretasi baru. Ketika Si Manis Jembatan Ancol (untuk pertamakali ditayangkan RCTI) ternyata sukses, kita sekrang dijejali produk baru yang nyata-nyata meniru, yakni Mariam Si Manis Jembatan Ancol (Indosiar) dan Kembalinya Si Manis (RCTI). Hanya sayang rating Mariam Si Manis Jembatan Ancol ini hanya (22) jauh dibawah Si Doel Anak Sekolahan (42), bahkan tak berkutik menghadapi produk baru seperti Shangrilla (29).
Kanan Kiri Oke dalam format layat lebar dengan bintang Warkop DKI yang lumayan sukses kala itu, kini diangkat jadi serial di RCTI lewat judul yang sama, dengan pilihan pemain jatuh pada Doyok dan Kadir. Cara yang sama dilakukan untuk judul film atau sinetron layar lebar Semua Bisa Diatur. Namun apakah kedua seri sinetron yang mendompleng kesuksesan produk terdahulunya dalam format layar lebar serta merta sukses ? Kenyataan justru banyak yang sebaliknya. Sementara ini hasilnya baru “alakadarnya” bahkan tak jarang justru makin terpuruk. Jangankan mampu mengulang sukses, yang “alakadarnya” saja keburu kehabisan nafas dan mati.
Novel terlaris Lupus dari Hilman yang jadi booming sebagai novel remaja terpopuler, dari segi popularitas tentu saja menguntungkan. Kini Lupus diangkat pula ke dalam sinetron seri dan ditayangkan Indosiar. Asumsinya tentu sinetronisasi novel tersebut diharapkan akan pula mengulang sukses seperti novelnya. Bahkan agar sinetronnya tidak kehilangan rasa dan idiom-idiomnya, penulis skenarionya adalah juga pengarang novel tersebut. Tapi bagaimana hasilnya, sinetron seri Lupus ini nyaris terpuruk kalau dikatakan gagal. Lupus hanya memperoleh rating (11) atau cuma urutan keempat terbawah dari 20 sinetron lokal terpopuler (SRI 1995 / base : All individuals). Masih lumayan apa yang dilakukan produser Wiro Sableng, yang sama-sama mendompleng popularitas cerita komik (beberapa serinya bahkan telah diangkat ke layar lebar) karya Bastian Tito tersebut memperoleh rating (20). Artinya popularitas sinetron ini bisa mengungguli sinetron yang lebih dahulu lahir yakni Semua Bisa Diatur (11) dan Kanan Kiri Oke (13) yang sama-sama produk domplengan pada pendahulunya yang telah populer.
Sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulunya juga dilakukan tidak saja dari film atau sinetron ke sinetron, dari novel dan komik ke sinetron, tapi juga dari sandiwara radio populer. Pertimbangannya yaitu tadi ingin mendompleng pendahulunya yang terlanjur populer. Panji Tengkorak, Wiro Sableng, Si Buta Dari Goa Hantu adalah beberapa sinetron seri yang diproduksi ulang dari film layar lebar kedalam format sinetron dengan beberapa perbaikan. Sawung Kampret, Di Bawah Matahari Bali (sebuah kumpulan cerpen Gerson Foyk), Sengsara Membawa Nikmat, Siti Nurbaya adalah beberapa sinetron seri yang diambil dari buku yang memang telah lebih dahulu populer. Bahkan Salah Asuhan jelas-jelas diambil dari sebuah novel yang justru menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Namun nasibnya malah rontok dibanding pendahulunya yang didomplengnya yaitu Siti Nurbaya yang sampai sekarang masih melekat dalam ingatan pemirsa.
Sementara sinetron yang diambil dari sandiwara radio yang sangat populer sekalipun, nasibnya justru malah kalah populer dibanding dengan sandiwara radionya. Bahkan beberapa diantaranya bisa dikatakan gagal dari sisi perolehan rating, yang selama ini jadi andalan sebagai satu-satunya indikator banyak tidaknya acara tersebut ditonton khalayak. Sebut saja misalnya Saur Sepuh, Ibuku Malang Ibuku Sayang, Tutur Tinular maupun Kaca Benggala. Satu hal selain penggarapan yang memang kurang maksimal, adalah adanya imajinasi yang terganggu dibanding dengan sandiwara radio yang sedimikian bebas memberi peluang kepada pendengar untuk mengembara dalam imajinasi (theater of mind).
Kasus rontoknya popularitas (dari perolehan rating) sinetron seri yang meniru atau produksi ulang dari cerita terdahulunya, baik dari layar lebar, novel, kumpulan cerpen, komik maupun sandiwara radio lebih mengacu pada segi penggarapan yang kurang matang. Kita mafhum tentu saja, produksi satu seri sinetron selalu diburu waktu produksi. Diperketatnya limit waktu produksi, tentu saja karena lebih mempertimbangkan soal cost-production. Sehingga kepenasaran khalayak yang telah membaca komik maupun novelnya, telah menonton ceritanya dalam format layar lebar maupun sebagai pendengar sandiwara radio yang setia, samasekali tidak terjawab dan tidak terpenuhi sehingga dengan sendirinya akan kecewa ketika menemukan bentuk sinetronnya yang jauh panggang dari api.
Kekecewaan khalayak tadi semakin kental dengan kurang terperhatikannya unsur-unsur casting pemain, penulisan dari cerita buku maupun komik kedalam sebuah skenario sinetron yang sangat membutuhkan kepiawaian, pemilihan waktu tayang yang kurang tepat, terganggunya kenikmatan menonton karena sisipan iklan komersial yang kurang bagus, serta kurangnya ekploitasi teknologi yang akan menyebabkan kekaguman khalayak penonton. Hal terakhir ini dengan mudah bisa kita temukan pada sinetron seri impor terutama dari Mandarin dan Jepang, sehingga tidak aneh kalau serial impor justru dengan mudah digemari dan ratingnyapun tinggi. Kita bisa menyebut untuk periode April 1996, Maria Cinta Yang Hilang meraih rating (29), Power Rangers (12) atau Pendekar Negeri Tayli (12) langsung melonjak dan bisa disejajarkaan dengan produk lokal yang telah lama ada.
Namun yang jelas ruh dari semua problematika penggarapan produksi ulang atau meniru produk terdahulu tersebut, karena faktor miskinnya kreativitas sejak dari produser, sutradara, penulis skenario sampai kepada crew yang lebih menuntut kepintaran untuk menggagas imajinasi penonton. Dan miskinnya kreativitas sinetron lokal tersebut karena sekadar memburu omzet, bahwa sebuah tayangan lokal harus sekian prosen lebih dari tayangan impor, disamping eksistensi dan sikap stasiun televisi yang justru diburu keharusan kembali modal yang telah dikeluarkan.
Jika iklim produksi sinetron lokal masih belum terbebaskan dari problematika yang sangat prinsipil seperti disinggung di muka tadi, maka apakah artinya sebuah Festival Sinetron Indonesia yang meraup kocek sangat besar itu, kalau pada ujungnya selalu dihadapkan pada problematika klasik seperti nasib perfilman kita tempo hari.
****
SELAMAT PAGI, DIAZ
Oleh : E. Rokajat Asura
Namanya Diaz. Manis dan senang bercerita. Seperti kebanyakan anak usia TK selalu bikin gemes. Bagiku makhluk kecil itu yang pertama dikenal ketika menempati rumah ini. Tentu saja lewat pengasuhnya. Dia menempati rumah di hadapan kami satu rumah ke arah kiri tepatnya. Artinya tidak tepat di hadapan rumah kami. Seperti layaknya di kompleks perumahan, rumah disusun berjejer ke samping, dalam bentuk couple. Orang tua Diaz menempati dua rumah sekaligus, kemudian bentuk mukanya dirubah sedemikian rupa sehingga tampak lebih luas dan mewah. Tapi kemewahan rumah itu selalu lenyap dalam pandangan kami, karena hanya makhluk kecil yang lucu dan bikin gemes itulah yang selalu menarik perhatian. Bahkan entah kenapa ketika ketemu sama pengasuhnya, selalu saja terdorong untuk bertanya dan selalu ingin tahu lebih banyak tentang Diaz.
Saat aku berangkat ke tempatku mengajar di salah satu SMP kota ini, terlihat Diaz telah siap di teras dengan seragam taman kanak-kanaknya. Anak manis itu selalu menyapa ; “Celamat pagi Bu Guyu !”. Begitu pula ketika pulang sore hari, Diaz telah siap menunggu. Kadang dia telah rapi dan wangi, tapi sering pula masih terkantuk-kantuk. Kupikir tentu ia baru bangun dari tidur siangnya.
Keakraban aku dengan Diaz sebenarnya yang mempertemukan dua keluarga kami. Kang Danipun jadi akrab dengan papa Diaz, apalagi ternyata keduanya punya kegemaran yang sama yaitu main catur. Tapi karena kesibukan masing-masing, mereka praktis hanya bisa ketemu di setiap akhir pekan, itupun kalau papa Diaz tidak jalan-jalan keluar rumah dan biasanya baru pulang hampir tengah malam. Sesekali aku berkunjung ke rumahnya. Sekalipun hanya sampai teras depan, tapi aku bisa memastikan orang tua Diaz memang orang berada. Dari teras saat pintu jati sedikit terbuka, akan tampak perabotan tertata rapi. Ada sebuah sofa kulit warna krem serasi dengan cat dinding. Pada garasi yang terletak di samping kanan rumah, orang akan dengan mudah menemukan sedan keluaran baru yang harganya tentu sangat mahal. Menurut kang Dani, papa Diaz seorang insinyur sipil dan kerja di sebuah BUMN, mamanya seorang sarjana tapi lebih senang menanggalkan kesarjanaanya dan hanya mengurusi rumah tangga. Karena menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya karir paling tepat bagi seorang wanita, dari kacamata manapun kita memandang katanya. Diaz adalah anak pertama mereka. Tidak aneh kalau tampak sangat overprotective. Pengasuhnya pernah bilang padaku, hanya ke rumah kami anak itu boleh keluar rumah. Tidak pernah lebih jauh dari itu selain antar jemput ke sekolah.
“Celamat pagi, Bu Guyu !” sapa Diaz suatu pagi. Aku tersenyum dan jongkok lalu mencium anak manis itu. Ia melambaikan tangan ketika aku berjalan meninggalkannya. Setiap pagi sejak pindah ke rumah ini, aku jadi punya kerjaan baru menyapa dan mencium anak tetangga kami itu. Kang Dani sering sedikit menyalahkanku akan kemesraan yang terjadi setiap pagi itu. Bukan kenapa-kenapa, dari kemesraan itu buntutnya aku jadi terlalu perasa akan status rumah tangga kami yang sampai hari ini belum dikaruniai momongan. Sejak sering ketemu Diaz, kenapa jadi sering uring-uringan hanya karena belum punya anak, bilang kang Dani suatu malam. Aku akui malam itu rumah kami terasa sunyi. Di televisi tak ada satupun acara yang menarik perhatian kami, kemudian kami memutuskan untuk segera tidur. Tapi di dalam kamar justru muncul khayalan-khayalan yang berujung pada protes suamiku seperti tadi.
Pagi-pagi berikutnya aku tetap menikmati pertemuan singkat itu. Aku tak peduli pada warning dari kang Dani, yang nggak mau aku berubah melankolis gara-gara akrab dengan anak lucu itu. Bahkan setiap sore aku demikian semangat saat melihat gerbang kompleks perumahan kami. Seratus meter berjalan lurus dari gerbang utama, kemudian belok kanan melewati beberapa rumah sampai ketemu jalan, belok kiri dan melewati tujuh rumah, di sanalah aku selalu ketemu Diaz. Aku selalu rindu dengan senyumnya, suaranya, dan kebiasaan bercerita tentang segala hal yang menurutnya baru.
Suatu sore ia cerita kalau bisa menghitung sampai sepuluh. Iapun mulai menghitung dengan menggunakan jari-jemariku. Sore yang lain ia cerita kalau telah bisa berdoa sebelum tidur. Lalu dengan patah-patah iapun mulai melantunkan doa sebelum tidur. Aku benar-benar senang melihatnya. Aku peluk anak manis itu dan dihujani dengan ciuman. Ciuman kebanggaan dari seorang ibu. Kalau saja pengasuhnya tidak mengingatkan bahwa Diaz akan dimandikan, aku akan lupa dan menganggap bahwa anak manis itu adalah anakku sendiri. Anak kebanggaanku. Entah kenapa aku bisa berpikiran setolol itu. Apakah karena aku sendiri belum dikaruniai seorang anak atau karena kami terlampau saling akrab.
Ketika aku ceritakan semua kejadian itu pada kang Dani, betapa marahnya ia. Bahkan berjanji akan mengusir anak itu kalau aku masih terlihat berakrab-akrab dengannya. Entah kenapa aku hanya menangis sendiri. Aku tak mau makan malam, tak menonton televisi, tidak memeriksa pekerjaan anak-anak, juga tidak berkeinginan untuk mandi. Aku hanya diam di kamar. Kang Dani mungkin menganggap semua yang aku lakukan itu adalah cara protesku pada rencana “gila”-nya. Entah jam berapa saat itu, ketika ia masuk ke kamar dan berbisik kalau ia tak akan mengusir Diaz. Mana mungkin aku melakukan semua itu, ia anak orang lain. Aku tak akan setolol itu, ulangnya. Perasaanku berbunga-bunga. Entah kenapa.
Sebenarnya aku tak akan mau mendengar cerita pengasuh Diaz, kalau saja tahu ceritanya itu akan berbuntut rasa kecewa di hatiku. Pengasuhnya bilang, mama Diaz sering dibuatnya kesal karena Diaz sekarang ini tak mau digendong. Saat Diaz nangis katanya, mamanya tak bisa membuat anak itu diam. Baru ketika pengasuhnya berjanji, akan membawanya ke “bu guyu”, anak itu mulai berangsur-angsur diam.
“Nggak tahu bu Guru, Diaz juga sering mengigau saat tidur kalau sehari saja tidak ketemu ibu.” cerita pengasuhnya saat aku kembali dari liburan catur wulan. Kebetulan saat liburan itu aku diijinkan kang Dani untuk diam di rumah mama. Sore harinya Diaz datang, baru selesai mandi dan tercium wangi bedak bayi. Aku demikian rindu mencium wangi seperti itu. Tapi tentu saja tidak suka mendengar cerita pengasuhnya tadi. Kalau Diaz sampai mengigau karena tidak ketemu aku, tentu ini artinya telah membuat ia menderita. Terus terang aku tak ingin mendengar ia menderita. Ia adalah bagian dari kebahagiaanku. Kalau ia sebuah pualam, maka keindahannya yang selama ini aku nikmati, karenanya aku tentu akan bertanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan merawat pualamku itu.
Aku samasekali tak pernah berpikir bahkan untuk memimpikannyapun tidak punya keberanian, bahwa kejujuran pengasuh Diaz tempo hari itu, adalah awal dari kepahitan yang harus aku terima. Ya, kepahitan yang berawal karena hilangnya pualamku.
Seperti pagi-pagi sebelumnya aku berangkat kerja. Di halaman Diaz menyambutnya dengan ocehan “celamat pagi, Bu guyu !”. Akupun menjawabnya “selamat pagi, Diaz !”. Iapun tersenyum, lalu merentangkan tangan mungilnya. Seperti kebiasaanku selama ini, aku sedikit berjongkok dan menciumnya. Tapi saat kami mempertemukan rasa kangen itu, tiba-tiba terdengar suara mamanya membentak.
“Mbak Diaz ! Masuk !”
Anak itu ketakutan lalu menghambur ke arah pengasuhnya. Entah apa yang telah terjadi. Tapi saat aku mengangguk pada mamanya yang berdiri kukuh itu, ia samasekali tak membalasnya. Bahkan aku menangkap roman tidak senang. Akupun berlalu. Benar-benar sakit hati rasanya. Tapi rasa sakit itu aku coba pendam dan benar-benar aku kendalikan agar jangan sampai membuatku terpuruk. Perasaanku sedikit lega saat menangkap rasa bersalah yang terpancar dari sorot mata pengasuhnya. Aku bisa mereka-reka bahkan jadi teringat kembali pada cerita pengasuhnya itu. Cemburu ? Ah, masak iya, bukankah sebenarnya aku yang harus cemburu pada mereka ? Keluarga yang menyenangkan. Tidak saja berlimpah kekayaan, tapi juga dikaruniai seorang anak selucu Diaz.
Sore itu aku tak menemukan Diaz. Bahkan keesokan harinya saat aku berangkat, juga tak menemukan anak manis itu lagi. Besoknya dan setiap pagi juga saat sore hari, aku tak pernah melihatnya lagi. Sakitkah ia ? Aku benar-benar merasa kehilangan. Berkali-kali aku ingin menelpon untuk segera menanyakan kabar tentang Diaz. Tapi setiap itu pula aku teringat sorot mata penuh benci dari mamanya. Jemariku tak punya kekuatan untuk memijit nomer-nomer itu. Akhirnya aku hanya melamun dan mengutuki diri sendiri. Sejak kejadian itu aku seperti kehilangan semangat. Menyambut pagi rasanya lemas bahkan kalau saja tidak mengingat tanggung jawab dan arti kehadiranku di ruang kelas, pasti aku akan memilih diam menyendiri di kamar. Setiap pulang dan melihat gerbang, selalu muncul sedikit harap, mudah-mudahan sore ini aku bisa melihatnya. Harapan itu tumbuh dan menjalar pada seluruh aliran darah, membuat langkahku bersemangat. Aku jadi ingat ketika rasa kangen pada kang Dani saat kami pacaran tidak terkendali, demikian sukacita ketika melihat sosoknya dan sangat kecewa ketika yang dinantikan tak kunjung tiba. Kekecewaan seperti itu pula saat aku tak menemukan Diaz di halaman.
Tanpa Diaz, aku seperti kehilangan sebagian jiwaku. Mungkin kang Dani melihat dan menyadari setiap perubahan itu. Suatu malam ia memaksaku ngajak jalan-jalan. Kami memilih sebuah café yang agak sepi, duduk di kursi di sudut ruangan yang menjorok. Di sanalah kang Dani mulai bicara.
“Aku paham kamu merasa kehilangan, tapi sebenarnya kalau aku boleh jujur, aku sangat bahagia. Paling tidak dengan kejadian ini akan mengembalikan kesadaran kamu yang selama ini hilang.”
“Enak aja ngomong. Sejak kapan aku kehilangan kesadaran ?” protesku.
“Sejak kamu akrab dengan Diaz. Kalau kamu mau jujur, sebenarnya kamu sedang berada dalam dunia angan-angan. Itulah kenapa aku tak setuju, kamu terlalu akrab dengan anak tetangga itu.”
“Mestinya kamu tidak bicara seperti itu, Dan. Coba sedikit mengerti tentang perasaanku sebagai istrimu … “
“Yang belum dikaruniai momongan…” kang Dani melanjutkan. Aku diam. “lima tahun kita menikah, dan belum punya momongan. Selama ini kita sepakat untuk menunggu dan selalu menunggu, dengan tanpa harus terlalu melankolis. Tapi kenapa setelah kamu ketemu Diaz, kamu jadi kehilangan kontrol ?”
“Kamu tidak paham !”
“Tentang apa ? Tentang perasaan wanita ? Tentang kesepian seorang ibu yang tidak mendengar rengek seorang bayi ? Tentang status perkawinan yang baru akan dinilai lengkap dengan kehadiran anak ?”
“Kamu tidak paham ! Aku menyesal masuk café ini. Kalau tahu akan dimarahi seperti ini, pasti akan aku tolak.” Aku menghabiskan minuman yang tersisa, melap bibir agar tidak belepotan dan angkat kaki tanpa menunggu reaksi suamiku. Tapi di pelataran parkir aku merasakan kesepian yang teramat sangat. Beruntung kang Dani memelukku erat dan aku membenamkan muka ke dadanya.
Entah apa komentarku pada malam di café itu, yang jelas tak bisa mengobati rasa kangenku pada Diaz. Sore hari lewat gordyn aku melihat sedan keluar dari garasi, di jok depan jelas hanya ada mama Diaz. Ia nyopir sendiri. Ketika aku melihat dengan jelas, di mobil itu tak ada Diaz, tiba-tiba muncul keberanianku untuk menelpon. Telpon diterima oleh pengasuhnya. Entah kenapa aku jadi gugup.
“Sore, Mbak. Diaz ada ?”
“Dari mana ?”
“Bu Guru !”
“Lagi tidur, Bu !” katanya pelan. Aku tercenung dan teringat kembali cerita pengasuhnya ketika aku liburan di mama, Diaz sering mengigau menyebut namaku. Apa sekarang juga masih seperti itu ?
Klik ! telpon ditutup dari arah sana. Mungkin karena terlalu lama menunggu dan tak mendengar suaraku lagi. Kalau kejadian itu dilakukan karena mama Diaz cemburu pada keakrabanku dengan putrinya, selayaknya aku minta maaf. Tapi bagaimana caranya, inilah yang selalu membuatku bingung dan buntu. Kalau aku tiba-tiba datang dan minta maaf karena terlampau akrab dengan Diaz, bukankah akan semakin mengukuhkan praduganya selama ini bahwa kami memang sangat akrab. Kalau harus bertanya kenapa tidak pernah menemukan Diaz lagi, bukankah ini ketololanku yang nyata. Tentu akan dengan enteng ia bicara, apa pedulinya aku pada putrinya ? Lagi-lagi aku tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Suatu pagi seperti biasa aku berangkat kerja. Setiap pagi dan sore, aku sengaja membuang harapanku akan melihat Diaz lagi. Aku melangkah keluar rumah tanpa memperhatikan kiri kanan, terutama saat melewati rumah Diaz. Aku tak ingin berangan-angan lagi. Karena aku sangat sadar, angan-anganku itu pada akhirnya akan mengakibatkan aku menderita.
“Celamat pagi, bu Guyu !”
“Diaz ?” aku tersentak dan bersorak mendengar suara putri mungil itu. Aku berbalik dan betapa kagetnya menemukan Diaz berdiri di balik pagar besi yang kokoh dan tinggi. Tangannya yang mungil mencengkram terali pagar, dan wajahnya ditekan pada lubang diantara persilangan terali pagar itu, seperti ingin bebas dari benda yang menghalanginya. Aku benar-benar tak kuasa selain mematung untuk beberapa saat.
“Celamat pagi, bu Guyu !” dengar ia mengulanginya lagi.
“Selamat pagi, Diaz !” jawabku serak. Lalu bergegas pergi tak ingin melihatnya lagi. Aku tak ingin melambungkan kembali angan-anganku. Tak tak mau melihat wajah manis putri khayalku itu terkerangkeng terali pagar yang kokoh dan tinggi.
“Bu Guyu, jahat !”
Aku mendengar dengan sangat jelas. Tapi entah suara siapa. Suara Diazkah ? Atau suara nuraniku sendiri ? Entahlah !!
***
Janganlah kamu sekalian satu sama lain saling hasad menghasad
tipu-menipu, benci-membenci, jauh menjauhi dan janganlah merebut
atau menjual barang yang sedang dijual atau dibeli orang lain
Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara
seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain
tidak boleh ia menganiaya, enggan membelanya dan mendustainya
dan menghinanya
(HR. Bukhari dan Muslim)
Namanya Diaz. Manis dan senang bercerita. Seperti kebanyakan anak usia TK selalu bikin gemes. Bagiku makhluk kecil itu yang pertama dikenal ketika menempati rumah ini. Tentu saja lewat pengasuhnya. Dia menempati rumah di hadapan kami satu rumah ke arah kiri tepatnya. Artinya tidak tepat di hadapan rumah kami. Seperti layaknya di kompleks perumahan, rumah disusun berjejer ke samping, dalam bentuk couple. Orang tua Diaz menempati dua rumah sekaligus, kemudian bentuk mukanya dirubah sedemikian rupa sehingga tampak lebih luas dan mewah. Tapi kemewahan rumah itu selalu lenyap dalam pandangan kami, karena hanya makhluk kecil yang lucu dan bikin gemes itulah yang selalu menarik perhatian. Bahkan entah kenapa ketika ketemu sama pengasuhnya, selalu saja terdorong untuk bertanya dan selalu ingin tahu lebih banyak tentang Diaz.
Saat aku berangkat ke tempatku mengajar di salah satu SMP kota ini, terlihat Diaz telah siap di teras dengan seragam taman kanak-kanaknya. Anak manis itu selalu menyapa ; “Celamat pagi Bu Guyu !”. Begitu pula ketika pulang sore hari, Diaz telah siap menunggu. Kadang dia telah rapi dan wangi, tapi sering pula masih terkantuk-kantuk. Kupikir tentu ia baru bangun dari tidur siangnya.
Keakraban aku dengan Diaz sebenarnya yang mempertemukan dua keluarga kami. Kang Danipun jadi akrab dengan papa Diaz, apalagi ternyata keduanya punya kegemaran yang sama yaitu main catur. Tapi karena kesibukan masing-masing, mereka praktis hanya bisa ketemu di setiap akhir pekan, itupun kalau papa Diaz tidak jalan-jalan keluar rumah dan biasanya baru pulang hampir tengah malam. Sesekali aku berkunjung ke rumahnya. Sekalipun hanya sampai teras depan, tapi aku bisa memastikan orang tua Diaz memang orang berada. Dari teras saat pintu jati sedikit terbuka, akan tampak perabotan tertata rapi. Ada sebuah sofa kulit warna krem serasi dengan cat dinding. Pada garasi yang terletak di samping kanan rumah, orang akan dengan mudah menemukan sedan keluaran baru yang harganya tentu sangat mahal. Menurut kang Dani, papa Diaz seorang insinyur sipil dan kerja di sebuah BUMN, mamanya seorang sarjana tapi lebih senang menanggalkan kesarjanaanya dan hanya mengurusi rumah tangga. Karena menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya karir paling tepat bagi seorang wanita, dari kacamata manapun kita memandang katanya. Diaz adalah anak pertama mereka. Tidak aneh kalau tampak sangat overprotective. Pengasuhnya pernah bilang padaku, hanya ke rumah kami anak itu boleh keluar rumah. Tidak pernah lebih jauh dari itu selain antar jemput ke sekolah.
“Celamat pagi, Bu Guyu !” sapa Diaz suatu pagi. Aku tersenyum dan jongkok lalu mencium anak manis itu. Ia melambaikan tangan ketika aku berjalan meninggalkannya. Setiap pagi sejak pindah ke rumah ini, aku jadi punya kerjaan baru menyapa dan mencium anak tetangga kami itu. Kang Dani sering sedikit menyalahkanku akan kemesraan yang terjadi setiap pagi itu. Bukan kenapa-kenapa, dari kemesraan itu buntutnya aku jadi terlalu perasa akan status rumah tangga kami yang sampai hari ini belum dikaruniai momongan. Sejak sering ketemu Diaz, kenapa jadi sering uring-uringan hanya karena belum punya anak, bilang kang Dani suatu malam. Aku akui malam itu rumah kami terasa sunyi. Di televisi tak ada satupun acara yang menarik perhatian kami, kemudian kami memutuskan untuk segera tidur. Tapi di dalam kamar justru muncul khayalan-khayalan yang berujung pada protes suamiku seperti tadi.
Pagi-pagi berikutnya aku tetap menikmati pertemuan singkat itu. Aku tak peduli pada warning dari kang Dani, yang nggak mau aku berubah melankolis gara-gara akrab dengan anak lucu itu. Bahkan setiap sore aku demikian semangat saat melihat gerbang kompleks perumahan kami. Seratus meter berjalan lurus dari gerbang utama, kemudian belok kanan melewati beberapa rumah sampai ketemu jalan, belok kiri dan melewati tujuh rumah, di sanalah aku selalu ketemu Diaz. Aku selalu rindu dengan senyumnya, suaranya, dan kebiasaan bercerita tentang segala hal yang menurutnya baru.
Suatu sore ia cerita kalau bisa menghitung sampai sepuluh. Iapun mulai menghitung dengan menggunakan jari-jemariku. Sore yang lain ia cerita kalau telah bisa berdoa sebelum tidur. Lalu dengan patah-patah iapun mulai melantunkan doa sebelum tidur. Aku benar-benar senang melihatnya. Aku peluk anak manis itu dan dihujani dengan ciuman. Ciuman kebanggaan dari seorang ibu. Kalau saja pengasuhnya tidak mengingatkan bahwa Diaz akan dimandikan, aku akan lupa dan menganggap bahwa anak manis itu adalah anakku sendiri. Anak kebanggaanku. Entah kenapa aku bisa berpikiran setolol itu. Apakah karena aku sendiri belum dikaruniai seorang anak atau karena kami terlampau saling akrab.
Ketika aku ceritakan semua kejadian itu pada kang Dani, betapa marahnya ia. Bahkan berjanji akan mengusir anak itu kalau aku masih terlihat berakrab-akrab dengannya. Entah kenapa aku hanya menangis sendiri. Aku tak mau makan malam, tak menonton televisi, tidak memeriksa pekerjaan anak-anak, juga tidak berkeinginan untuk mandi. Aku hanya diam di kamar. Kang Dani mungkin menganggap semua yang aku lakukan itu adalah cara protesku pada rencana “gila”-nya. Entah jam berapa saat itu, ketika ia masuk ke kamar dan berbisik kalau ia tak akan mengusir Diaz. Mana mungkin aku melakukan semua itu, ia anak orang lain. Aku tak akan setolol itu, ulangnya. Perasaanku berbunga-bunga. Entah kenapa.
Sebenarnya aku tak akan mau mendengar cerita pengasuh Diaz, kalau saja tahu ceritanya itu akan berbuntut rasa kecewa di hatiku. Pengasuhnya bilang, mama Diaz sering dibuatnya kesal karena Diaz sekarang ini tak mau digendong. Saat Diaz nangis katanya, mamanya tak bisa membuat anak itu diam. Baru ketika pengasuhnya berjanji, akan membawanya ke “bu guyu”, anak itu mulai berangsur-angsur diam.
“Nggak tahu bu Guru, Diaz juga sering mengigau saat tidur kalau sehari saja tidak ketemu ibu.” cerita pengasuhnya saat aku kembali dari liburan catur wulan. Kebetulan saat liburan itu aku diijinkan kang Dani untuk diam di rumah mama. Sore harinya Diaz datang, baru selesai mandi dan tercium wangi bedak bayi. Aku demikian rindu mencium wangi seperti itu. Tapi tentu saja tidak suka mendengar cerita pengasuhnya tadi. Kalau Diaz sampai mengigau karena tidak ketemu aku, tentu ini artinya telah membuat ia menderita. Terus terang aku tak ingin mendengar ia menderita. Ia adalah bagian dari kebahagiaanku. Kalau ia sebuah pualam, maka keindahannya yang selama ini aku nikmati, karenanya aku tentu akan bertanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan merawat pualamku itu.
Aku samasekali tak pernah berpikir bahkan untuk memimpikannyapun tidak punya keberanian, bahwa kejujuran pengasuh Diaz tempo hari itu, adalah awal dari kepahitan yang harus aku terima. Ya, kepahitan yang berawal karena hilangnya pualamku.
Seperti pagi-pagi sebelumnya aku berangkat kerja. Di halaman Diaz menyambutnya dengan ocehan “celamat pagi, Bu guyu !”. Akupun menjawabnya “selamat pagi, Diaz !”. Iapun tersenyum, lalu merentangkan tangan mungilnya. Seperti kebiasaanku selama ini, aku sedikit berjongkok dan menciumnya. Tapi saat kami mempertemukan rasa kangen itu, tiba-tiba terdengar suara mamanya membentak.
“Mbak Diaz ! Masuk !”
Anak itu ketakutan lalu menghambur ke arah pengasuhnya. Entah apa yang telah terjadi. Tapi saat aku mengangguk pada mamanya yang berdiri kukuh itu, ia samasekali tak membalasnya. Bahkan aku menangkap roman tidak senang. Akupun berlalu. Benar-benar sakit hati rasanya. Tapi rasa sakit itu aku coba pendam dan benar-benar aku kendalikan agar jangan sampai membuatku terpuruk. Perasaanku sedikit lega saat menangkap rasa bersalah yang terpancar dari sorot mata pengasuhnya. Aku bisa mereka-reka bahkan jadi teringat kembali pada cerita pengasuhnya itu. Cemburu ? Ah, masak iya, bukankah sebenarnya aku yang harus cemburu pada mereka ? Keluarga yang menyenangkan. Tidak saja berlimpah kekayaan, tapi juga dikaruniai seorang anak selucu Diaz.
Sore itu aku tak menemukan Diaz. Bahkan keesokan harinya saat aku berangkat, juga tak menemukan anak manis itu lagi. Besoknya dan setiap pagi juga saat sore hari, aku tak pernah melihatnya lagi. Sakitkah ia ? Aku benar-benar merasa kehilangan. Berkali-kali aku ingin menelpon untuk segera menanyakan kabar tentang Diaz. Tapi setiap itu pula aku teringat sorot mata penuh benci dari mamanya. Jemariku tak punya kekuatan untuk memijit nomer-nomer itu. Akhirnya aku hanya melamun dan mengutuki diri sendiri. Sejak kejadian itu aku seperti kehilangan semangat. Menyambut pagi rasanya lemas bahkan kalau saja tidak mengingat tanggung jawab dan arti kehadiranku di ruang kelas, pasti aku akan memilih diam menyendiri di kamar. Setiap pulang dan melihat gerbang, selalu muncul sedikit harap, mudah-mudahan sore ini aku bisa melihatnya. Harapan itu tumbuh dan menjalar pada seluruh aliran darah, membuat langkahku bersemangat. Aku jadi ingat ketika rasa kangen pada kang Dani saat kami pacaran tidak terkendali, demikian sukacita ketika melihat sosoknya dan sangat kecewa ketika yang dinantikan tak kunjung tiba. Kekecewaan seperti itu pula saat aku tak menemukan Diaz di halaman.
Tanpa Diaz, aku seperti kehilangan sebagian jiwaku. Mungkin kang Dani melihat dan menyadari setiap perubahan itu. Suatu malam ia memaksaku ngajak jalan-jalan. Kami memilih sebuah café yang agak sepi, duduk di kursi di sudut ruangan yang menjorok. Di sanalah kang Dani mulai bicara.
“Aku paham kamu merasa kehilangan, tapi sebenarnya kalau aku boleh jujur, aku sangat bahagia. Paling tidak dengan kejadian ini akan mengembalikan kesadaran kamu yang selama ini hilang.”
“Enak aja ngomong. Sejak kapan aku kehilangan kesadaran ?” protesku.
“Sejak kamu akrab dengan Diaz. Kalau kamu mau jujur, sebenarnya kamu sedang berada dalam dunia angan-angan. Itulah kenapa aku tak setuju, kamu terlalu akrab dengan anak tetangga itu.”
“Mestinya kamu tidak bicara seperti itu, Dan. Coba sedikit mengerti tentang perasaanku sebagai istrimu … “
“Yang belum dikaruniai momongan…” kang Dani melanjutkan. Aku diam. “lima tahun kita menikah, dan belum punya momongan. Selama ini kita sepakat untuk menunggu dan selalu menunggu, dengan tanpa harus terlalu melankolis. Tapi kenapa setelah kamu ketemu Diaz, kamu jadi kehilangan kontrol ?”
“Kamu tidak paham !”
“Tentang apa ? Tentang perasaan wanita ? Tentang kesepian seorang ibu yang tidak mendengar rengek seorang bayi ? Tentang status perkawinan yang baru akan dinilai lengkap dengan kehadiran anak ?”
“Kamu tidak paham ! Aku menyesal masuk café ini. Kalau tahu akan dimarahi seperti ini, pasti akan aku tolak.” Aku menghabiskan minuman yang tersisa, melap bibir agar tidak belepotan dan angkat kaki tanpa menunggu reaksi suamiku. Tapi di pelataran parkir aku merasakan kesepian yang teramat sangat. Beruntung kang Dani memelukku erat dan aku membenamkan muka ke dadanya.
Entah apa komentarku pada malam di café itu, yang jelas tak bisa mengobati rasa kangenku pada Diaz. Sore hari lewat gordyn aku melihat sedan keluar dari garasi, di jok depan jelas hanya ada mama Diaz. Ia nyopir sendiri. Ketika aku melihat dengan jelas, di mobil itu tak ada Diaz, tiba-tiba muncul keberanianku untuk menelpon. Telpon diterima oleh pengasuhnya. Entah kenapa aku jadi gugup.
“Sore, Mbak. Diaz ada ?”
“Dari mana ?”
“Bu Guru !”
“Lagi tidur, Bu !” katanya pelan. Aku tercenung dan teringat kembali cerita pengasuhnya ketika aku liburan di mama, Diaz sering mengigau menyebut namaku. Apa sekarang juga masih seperti itu ?
Klik ! telpon ditutup dari arah sana. Mungkin karena terlalu lama menunggu dan tak mendengar suaraku lagi. Kalau kejadian itu dilakukan karena mama Diaz cemburu pada keakrabanku dengan putrinya, selayaknya aku minta maaf. Tapi bagaimana caranya, inilah yang selalu membuatku bingung dan buntu. Kalau aku tiba-tiba datang dan minta maaf karena terlampau akrab dengan Diaz, bukankah akan semakin mengukuhkan praduganya selama ini bahwa kami memang sangat akrab. Kalau harus bertanya kenapa tidak pernah menemukan Diaz lagi, bukankah ini ketololanku yang nyata. Tentu akan dengan enteng ia bicara, apa pedulinya aku pada putrinya ? Lagi-lagi aku tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Suatu pagi seperti biasa aku berangkat kerja. Setiap pagi dan sore, aku sengaja membuang harapanku akan melihat Diaz lagi. Aku melangkah keluar rumah tanpa memperhatikan kiri kanan, terutama saat melewati rumah Diaz. Aku tak ingin berangan-angan lagi. Karena aku sangat sadar, angan-anganku itu pada akhirnya akan mengakibatkan aku menderita.
“Celamat pagi, bu Guyu !”
“Diaz ?” aku tersentak dan bersorak mendengar suara putri mungil itu. Aku berbalik dan betapa kagetnya menemukan Diaz berdiri di balik pagar besi yang kokoh dan tinggi. Tangannya yang mungil mencengkram terali pagar, dan wajahnya ditekan pada lubang diantara persilangan terali pagar itu, seperti ingin bebas dari benda yang menghalanginya. Aku benar-benar tak kuasa selain mematung untuk beberapa saat.
“Celamat pagi, bu Guyu !” dengar ia mengulanginya lagi.
“Selamat pagi, Diaz !” jawabku serak. Lalu bergegas pergi tak ingin melihatnya lagi. Aku tak ingin melambungkan kembali angan-anganku. Tak tak mau melihat wajah manis putri khayalku itu terkerangkeng terali pagar yang kokoh dan tinggi.
“Bu Guyu, jahat !”
Aku mendengar dengan sangat jelas. Tapi entah suara siapa. Suara Diazkah ? Atau suara nuraniku sendiri ? Entahlah !!
***
Janganlah kamu sekalian satu sama lain saling hasad menghasad
tipu-menipu, benci-membenci, jauh menjauhi dan janganlah merebut
atau menjual barang yang sedang dijual atau dibeli orang lain
Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara
seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain
tidak boleh ia menganiaya, enggan membelanya dan mendustainya
dan menghinanya
(HR. Bukhari dan Muslim)
Langganan:
Postingan (Atom)