Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Jumat, 29 Juli 2016

Parfum dan Saputangan

PARFUM DAN SAPUTANGAN http://erasura.blogspot.com/2016/07/parfum-dan-saputangan.html

PARFUM DAN SAPUTANGAN

Oleh : E. ROKAJAT ASURA
Selain serentetan pertanyaan, parfum dan saputangan merupakan dua barang yang bisa memberi indikasi apakah pasangan kita selingkuh atau tidak. Teori sederhana ini pernah beberapa kali dilakukan oleh seorang istri nun jauh dari ujung Tangerang sana. Believe it or not, begitu kata orang. Tapi yang namanya teori sederhana, artinya validitasnya juga masih mengandung error. Mengandung error atau tidak, toh Sumi, kita sebut saja demikian, masih mau menggunakannya. 

"Kenapa kau, Sum, kok jadi begitu perhatian sama parfum dan saputangan ?" celetuk temannya.  "
"Abisnya aku penasaran banget, apakah suamiku selingkuh atau tidak." "Emang bisa ?" "Kata teori sih begitu..." 
"Teori darimana ?" 
 "Tau ah...yang pasti aku akan mencobanya daripada terus penasaran," jelas Sumi lagi. Maka sejak mendeklarasikan niatnya itu, Sumi jadi rajin mempelajari setiap wangi parfum. Dalam waktu singkat ia pun sudah hapal beberapa wangi parfum yang biasa digunakan perempuan dan mana yang biasa digunakan laki-laki. Ia pun hafal nama-nama parfum dari kelas eksekutif sampai kelas sopir. Maklum sebagai seorang sales di perusahaan cukup besar, suaminya sering berhubungan dengan orang dari berbagai kalangan. 
 "Coba apa nama parfum ini, apa buat laki apa buat wanita ?" tanya seorang sahabatnya sekedar memberikan test apakah Sumi benar-benar sudah kampiun dalam urusan parfum atau belum. Sumi menciumnya beberapa kali. Pikirannya mengingat-ingat sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian ia menyebutkan nama satu parfum. 
"Bener nggak ?"
"Ho-oh...tapi untuk wanita apa laki-laki ?" 
"Parfum laki-laki !" jawab Sumi pasti. Temannya angkat jempol karena Sumi bisa menjawab dengan pasti. Nah, dalam urusan saputangan pun Sumi sama piawainya. Ia bisa hapal mana saputangan untuk laki mana untuk wanita, bagaimana lipatan saputangan pria dan bagaimana lipatan saputangan yang biasa dilakukan wanita. 
*** 
Sudah seminggu suami Sumi pulang lambat. Katanya sih banyak kerjaan, bertemu klien di beberapa tempat. Sumi tak begitu saja percaya, tapi ia pun tidak langsung sewot menghadapi masalah itu. Ia beranggapan, kalaulah memang suaminya itu selingkuh, berpindah ke lain hati, maka ia ingin menyelesaikannya secara baik dan benar. Begitulah tekad Sumi. 
"Abang capek dong ?" rajuk Sumi 
"Terang dong..." 
"Mau makan dulu apa mandi dulu, Bang ?" 
"Istirahat saja dulu lah..." jelas suami Sumi seraya merebahkan badan di sofa. Sumi menyimpan tas suami ke kamar belakang, tempat dimana dia bisa menyelesaikan tugas kantor. Lalu kembali ke ruang tengah, membawa minum dan penganan. Suaminya melahap semua sajian istrinya dengan nikmat. Samasekali tidak menaruh curiga apa-apa. 

Singkat kata ketika suaminya mandi, dengan teliti Sumi menciumi kemeja suaminya. Ia terus menciumi di bagian-bagian dimana suaminya biasa menyemprotkan parfum. Ketika menciumi bagian kiri kemeja suaminya, Sumi mulai curiga. Di sana ia mencium wangi parfum yang lain dari biasanya. Ia kembali menciumnya dan semakin nyatalah bahwa di sana telah menempel wangi parfum merek tertentu yang biasa dipakai oleh perempuan. Malam itu perang pun tidak bisa dihindari. Sumi terus mencecar dengan berbagai pertanyaan yang intinya memojokkan suaminya. Sebaliknya sang suami tak menerima tuduhan-tuduhan itu karena memang ia samasekali tidak merasa telah berpindah ke lain hati. Kalau berpindah ke lain warung sih pernah, karena kantin langganannya memang sedang tutup. Pikiranya daripada mati kelaparan, mendingan berpaling ke lain warung. 
"Abang telah bohong, abang memeluk wanita lain ya 'kan ?" cecar Sumi.  
"Sum, mana mungkin aku punya waktu memeluk wanita lain. Lagipula kapan waktunya, dari pagi sampai malam aku terus bertemu klien, Sum." 
"Siapa tahu salah satu klien itu adalah wanita." 
"Emang..." 
 "Tuh, kan, jadi benar abang ngaku selingkuh ?" 
 "Sumi, nyebut, nyebut !" Adu mulut berlanjut menjadi pertengkaran hebat, lalu berubah menjadi aksi lempar-lemparan. Pokoknya malam itu benar-benar terjadi perang, lebih dahsyat dari perang Irak kemarin. Keesokan harinya orang ketiga pun dipanggil. Maklum hubungan mereka sudah semakin panas. Saking panasnya, ketika telor mentah disimpan dekat mereka berdua, sepuluh menit kemudian langsung matang.  
"Atas dasar apa dik Sumi menuduh suami selingkuh ?" tanya penasihat perkawinan. 
"Saya sudah mencium wangi parfum yang aneh dan biasa dipakai wanita di kemeja suami saya, Pak ! Dan itu sudah berlangsung beberapa kali," jelas Sumi. "Benar begitu, Mas ?" tanya penasihat perkawinan kepada suami Sumi.
"Kalau urusan wangi parfum, memang benar, Pak. Sebenarnya sebulan belakangan ini saya nyambi jualan parfum dari salah satu perusahaan. Untuk nambah-nambah penghasilan. Mungkin karena saking seringnya memegang parfum yang dikhususkan untuk wanita, nempel di kemeja saya, Pak !" 
"Benar begitu ?" 
"Benar, Pak, saya berani sumpah !" jelas suami Sumi seraya memperlihatkan catatan-catatan penjualan. Di sana memang tertulis jenis parfum, jumlah pesanan dan nama pelanggannya. Mendengar penjelasan itu, Sumi agak mereda juga kemarahannya. 
"Ternyata begitu katanya dik Sumi !" 
 "Tapi saya tidak percaya !" "Bagus, kalau kau tidak percaya, sekarang juga akan kubawa ka counter parfum dan menemui salah seorang calon pembeli," jelas suami Sumi. Memang demikian akhirnya sang suami membawa istrinya ke counter parfum tempat ia memesan barang, kemudian siang itu juga dibawa menemui salah seorang calon pembelinya. Puaslah Sumi. Suaminya memang tidak selingkuh. Dari sisi parfum, samasekali tidak bisa dijadikan alasan.
"Jadi benar abang tidak selingkuh ?" 
"Memangnya kenapa, Sum ? Kau masih curiga rupanya ?" 
"Curiga sih tidak, cuma waspada." 
 "Lalu ?" 
"Dari parfum memang tidak terbukti, tapi saputangan ini punya siapa ?" tanya Sumi seraya menyerahkan saputangan warna cerah dan di sana ada sulaman tertulis sebuah nama. Suaminya tampak tersentak. Ia samasekali tidak pernah mengingat saputangan siapa sebenarnya yang sedang dipegang istrinya itu. 
"Ini saputangan siapa ?" 
"Aku nggak tahu, Sum !" 
"Nggak tahu atau pura-pura tidak tahu ?"
Suaminya tidak menjawab karena memang tidak tahu. Sejak penemuan saputangan itu Sumi langsung minta cerai. Seminggu setelah cerai, ibunya datang dari kampung. 
"Bagaimana, Sum, apa suamimu senang menerima saputangan bikinan mak sendiri itu ?" 
"Saputangan ?" 
"Ya, mak ‘kan pernah mengirim saputangan padamu !"
"Warna cerah dan ada inisial SM ?" 
 "Iya, itu kan singkatan namamu, Sumi Maemunah !" Sumi langsung pingsan. Entah teori mana yang menjelaskannya, kenapa saat itu juga pingsan. ***

Rabu, 27 Juli 2016

Mata Air

MATA AIR http://erasura.blogspot.com/2016/07/mata-air.html

MATA AIR

Cerpen : E. Rokajat Asura
Matahari di tengah pusat langit membakar ubun-ubun, membakar yang ada di bumi dan sekelilingnya. Dia mengusap keringat dengan punggung tangannya, tapi keringat itu terus mengucur dari dahi bahkan terus ke pipi hingga akhirnya sampai juga pada sudut bibirnya. Sebagian terjilat, asin dan ia cepat-cepat membuang bersama sebagian sisa-sisa ludahnya. Ada juga sebagian keringat itu yang berhasil mengucur dengan leluasa melalui sela-sela kosong dibalik bajunya. Entah kenapa panas demikian menyengat, samasekali tak memberi kesempatan untuk mereka yang jalan kaki. Di sini samasekali tak ada tempat berteduh, tak juga ada tempat untuk sejenak melepaskan lelah. Dia seperti teringat akan sebuah kisah kelak pada hari terakhir dimana seluruh manusia akan berbaris di padang tak bertepi disaksikan matahari sejengkal dari atas kepala. Dia termenung menekan dada dan merasakan betapa keringnya kerongkongan sehingga ketika dia bernapas bahkan sekedar mengeluh pun, serasa keluar asap dari mulutnya. Sesekali menelan ludah yang tak lagi ada cairannya, mata lelah itu menatap nanar pada titik terjauh, seperti itu pula jarak yang harus dia tempuh jauh dan panjang, bahkan mungkin apa yang telah dilaluinya sampai detik ini tidak setengah dari seluruh yang harus ditempuhnya. Tanah ini bukan gurun pasir, bukan di timur tengah, tapi di sebuah tanah yang tak pernah ditanami apa-apa tidak pernah menghasilkan apa-apa selain badai pasir. Entah tanah dimana tapi yakin ada bahkan dekat dan sangat dekat dengan diri kita. Tapi perlu dicatat, tidak semua yang melewati tanah ini merasa panas sebaliknya ada yang mampu merasakan kesejukan luar biasa. Tidak. Bukan dengan memasang alat di belakang kepala, tidak pula ada AC tapi dengan cara sendiri-sendiri. Dia terus tertatih menempuh jarak yang masih jauh. Entah dimana, di kelokan yang mana apakah harus ke kiri atau ke kanan, dia sendiri tidak begitu jelas memahaminya. Hanya saja dengan sisa-sisa tenaga dia, wanita itu, ya wanita itu akan terus berjalan dan berjalan sampai benar-benar menemukan sumber air. Dia bukan Siti Hajar yang menempuh jarak terjauh untuk putra tercinta Ismail. Dia seorang wanita dengan catatan perjalanan hidup yang panjang dan wangi. Dia akan terus berjalan sampai menemukan sumber air, bukan untuk mandi tidak pula untuk membuang dahaga. Paling tidak pada mata air itu dia ingin bicara ternyata betapa penting setitik air ketika ada di tanah gersang seperti ini. Kemarin baru dia merasakan betapa pentingnya jemari kaki ketika di sudut rumah terantuk kaki kursi dan berdarah. Kemarin baru dia bersyukur memiliki jemari kaki yang lengkap. Tapi apakah rasa syukur itu ada dan terlisankan harus didahului sebuah kecelakaan ? Syukur macam apa itu. Dia khawatir rasa syukur itu bukan karena merasa diri kecil di depan kebesaran Allah, tapi karena dia telah terbebas dari rasa sakit. Ah, betapa bodoh hidup dipermainkan otak dan perasaan. Dia masih terus berjalan dan merasakan betapa kerongkongan semakin kering. Lalu tiba-tiba dia berhenti menunduk lesu melihat jemari kakinya yang gemetar. Lama termenung entah apa yang sedang dipikirkan, apakah sedang berpikir akan mendirikan pabrik di tanah gersang itu sehingga akan ada sebuah kehidupan atau justru ia sedang berpikir kenapa tidak jadi semut saja yang dalam kekecilannya itu tentu tak terlalu banyak membutuhkan energi untuk berjalan. Pandangan tiba-tiba nanar, dada terguncang hebat ketika di hadapannya dalam jarak cukup jauh terlihat air seperti sebuah kolam, airnya jernih dan menyejukan. Lalu ia bergegas mendekati kolam itu, terus berjalan hanya tetap tak selesai. Ah, tiba-tiba ia mengeluh dan merasakan betapa lelah terasa sampai ke ujung rambut di kaki itu. “Ya, Allah, kenapa sumber air itu tak ada di tempatnya. Padahal aku yakin ada di sini, ya di sini dekat tiang pancang ini. Bener, ya, Allah, di sini aku tadi melihatnya. Hem, apakah wanita kotor sepertiku ini tidak boleh menghilangkan dahaga, tidak boleh pula sekedar membasahi tenggorokan. Padahal kau Maha Tahu, betapa kering kerongkongan ini, ya, Allah !” Bruk, dia terduduk kehabisan tenaga. Benar-benar kehabisan tenaga terutama tadi ketika mempercepat langkah saat dilihatnya di depan ada sumber air sejuk dan menggoda. Dia terduduk tanpa tenaga dan hanya melamun yang bisa dilakukannya saat itu. Saat matahari membakar bumi, saat panas menyengat sanubari dia memang hanya bisa melamun. Melamun betapa nikmat andai ada setitik air saja yang lewat ke kerongkongannya. Dia mulai menangis sedih, tapi sayang dari sudut mata lelahnya itu samasekali tak keluar air mata walau setitik. Dengan sisa tenaganya ia mencoba berdiri, tapi tak kuasa karena pada hitungan dua ia telah ambruk bahkan mencium tanah sehingga bibir dan pipinya merasakan betapa pasir itu menyengat. Ah, masih untung ada daun jatuh entah darimana sehingga wajahnya tidak terlalu terbakar. Betapa nikmat jadi daun jatuh terbawa angin, ia memang setengah mati tapi masih bisa menolong orang sekalipun wanita kotor seperti dirinya saat itu. Pada saat itulah tiba-tiba ia dalam khayalnya melihat layar raksasa, tak ada Jeremy Thomas dan Bella Saphira di sana. Tapi dalam layar raksasa itu justru dia melihat dirinya sendiri, perjalanan hidupnya selama ini sejak dari masa balita sampai dia menemukan pekerjaan dosa dan menyadari tanpa bisa melepaskan jeratnya. Pada layar raksasa itu ia sendiri berlinang air mata bukan karena rangkaian cerita hasil rekacipta seorang penulis skenario, bukan, bukan itu. Tapi air mata itu muncul karena dia melihat betapa perjalanan hidupnya itu layak untuk ditangisi. Seperti hari itu, Salasa, tanggal 13 Juni seminggu setelah ulang tahun kelima belas. Oom Syamsu, pamannya dari ibu telah berhasil dengan buas sekali mencengkramkan kuku-kukunya menghilangkan kehormatan seorang gadis cantik yang selama ini dijaga dengan segenap perasaan. Dia menangis sampai keluar airmata darah tapi tetap saja kehormatan itu tak bisa kembali. Kehormatan yang tersembunyi itu samasekali tak bisa diganti. Dia pada saat itu telah menjadi gadis yang kotor. Kelas dua SMA lalu dia akrab dengan Ho Ming Cai, seorang babah pemilik hotel di puncak. Pada layar raksasa itu tergambar jelas, saat tahun baru, engkoh Ho Ming Cai pun telah pula merusak dirinya tapi saat itu ia tidak menangis air mata darah selain air mata pura-pura. Tapi ada satu hal yang membuatnya sakit saat engkoh itu menyuruhnya pulang dan memberi uang untuk ongkos. “Pulang sana hoh, kalna oweh tidak butuh lagi kamu hoh, dia sudah tidak palawan hoh…” Sakit itu terus membekas dan sejak itu pula dia selalu jatuh dari satu dekapan seorang laki-laki ke dekapan laki-laki lain. Entah berapa lama hanya yang jelas sebagian besar dalam layar raksasa itu tergambar kehidupan kelam dan memuakkan. Waktu ia mengucek sudut matanya karena terasa ada pasir yang menggoda, barulah dia benar-benar sadar bahwa layar raksasa itu adalah rekaman kehidupannya sendiri. Persis tak ada yang terlewat, bahkan pada setiap denyut nadinya pun tergambar tanpa cacat. Sungguh sebuah rekaman maha canggih yang tak terpikirkan sebelumnya. Entah siapa yang telah merekamnya dengan tingkat keakuratan maha sempurna itu. Dia menekan dada, terpejam dan merasakan bagiamana seluruh tubuhnya tanpa tenaga. “Ya, Allah, hanya padamu aku berharap, silakan ambil cerita kelam masa laluku itu,” gemetar suara, entah pada siapa. Pada tanah lapang maha luas itu tentu tak akan ada yang bisa mendengarnya sekalipun menjerit apalagi hanya bergumam. Pada saat itulah ia melamun dan teringat akan cerita Dayang Sumbi yang sedang asyik menenun, lalu alat tenunnya dan terjatuh sampai akhirnya dia bicara kepada siapa saja yang bisa membawakan alat tenunnya, kalau ia wanita akan dijadikan saudara sementara kalau ia laki-laki akan dijadikan suaminya. Dia, wanita itu pun sama bicara, kepada siapa saja yang bisa membawakan setetes air atau mau menunjukan kemana arah yang membawa kaki ke pinggir sungai, kalau ia lelaki akan dijadikan suami dan apabila perempuan akan menjadi saudara sejati. Tapi beda dengan pengalaman Dayang Sumbi, pada dia tak yang mau datang, jangankan manusia, nyamuk saja tidak ada. Dia berusaha bangkit kembali, tertatih dan menggusur tubuh dengan sisa-sisa tenaga. Dia tetap bersikeras untuk terus berjalan sampai akhirnya menemukan sumber air. Di depan lagi-lagi ia menemukan mata air bahkan terasa betapa segarnya tenggorokannya setelah terbasus air. Ingin rasanya mandi, seperti dulu saat dibawa ayahnya ke pinggir pantai. Dia bisa bebas bermain air. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat sewaktu sekolah, renang, bahkan terus berenang sampai benar-benar lelah. Air itu semakin terasa menyejukan dahaga. Ya, Allah, dekatkan aku pada sumber air. Nggak, nggak akan seperti para pejabat yang membuang air hanya untuk mengguyur mobil-mobil mewahnya, tak peduli tetangga-tetangganya kesulitan air. Tidak, aku tidak akan seperti itu ya, Allah, kalau saja kau masih memberi kesempatan mempertemukan aku dengan air itu. Saat berjalant tertatih, tiba-tiba daun jatuh di atas kepalanya. Ia memegangnya dan menatap nanar, betapa daun yang baru jatuh itu langsung kekuningan tersengat matahari. Ya, Allah, kenapa daun ini yang kau kirim. Bukankah daun ini mustahil bisa membawa setitik air, ya, Allah ? Lama ia tertegun menghitung langkah yang entah pada langkah ke berapa ratus ribunya ia benar-benar harus berhenti. Berhenti bukan karena lelah tapi berhenti karena saatnya harus berhenti, paling tidak ketika dia menemukan sumber air itu. “Ya, Allah, aku tak sanggup lagi. Jangankan untuk terus berjalan, mengangkat ujung jari saja tanpa tenaga. Ya, Allah, kenapa hanya aku yang harus merasakan betapa beratnya beban ini ?” bisiknya diantara deru angin. Pada saat itulah dia mulai jalan lagi tapi tidak mengandalkan tenaga, sebab ia berjalan bertumpu pada kekuatan angin kini. Tidak aneh ia sudah tidak memiliki keinginan menemukan sumber air lagi, tidak pula berusaha untuk meluruskan langkah. Semuanya mengandalkan pada kekuatan angin, kemana ia akan dibawa tanpa bisa menolak apalagi protes pada kehendak angin itu. Kalaulah angin bertiup ke selatan, ke sana pula ia terdorong. Saat angin bertiup ke timur, ke sana ia berjalan. Begitulah terus detik demi detik hingga akhirnya saat angin diam, dia sampai di sebuah tempat entah dimana, entah kampung apa namanya. Sekujur tubuhnya tak jelas merasakan sakit ada di sebelah mana. Perih, panas dan entah bagaimana dia harus mengatakan penderitaannya saat itu. Maklum ketika angin bertiup sesungguhnya ia tidak berjalan tapi lebih tepat kalau dikatakan menggelinding. Dalam pasir panas itu, ia menggelinding, sehingga terasa pasir panas itu seperti mencakar-cakar kulitnya. Tak hanya ceceran darah yang keluar tapi juga terasa remuk. Pada saat dia diam dalam sakit, entah kenapa tiba-tiba telinganya mendengar dengan jelas gemiricik air. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Sejenak diam dan berdiri dengan sekuat tenaga, dahaga itu benar-benar tak bisa ditahan lagi. Kerongkongannya bergolak rasa panas ingin segera dilewati air. Tak salah memang, sebelah kiri ada sumur kecil di atas pasir memusar seperti sehabis tersedot angin. Dia merayap pelan, dan tertegun di bibir sumur itu. Jauh, dalam jarak tak berbatas terlihat air menari-nari. Ah, betapa segara sekalipun baru memandangnya. “Ya, Allah, semoga ini bukan rekayasa lagi, bukan fatamorgana lagi, tapi benar-benar air yang keluar dari jemari kasihmu ya, Allah. Kasihmu yang selalu tercurah pada manusia kotor sekalipun.,” katanya dalam diam. Lalu ia merasa betapa sudut-sudut matanya basah. Tanpa berhenti bersyukur lalu dengan memakai kain sebagai tambang, ia jatuhkan kain itu ke dalam sumur. Dalam jarak terjauhnya terdengar ujung kain yang entah berapa puluh meter itu menyentuh bibir air. Soal ujung kain yang terus memanjang itu, dia pun tak sempat berpikir karena yang ia harapkan ujung kain yang basah tetap mengandung air hingga bisa membahasi tenggorokannya. Pelan kain itu ditariknya, ujung kain memang basah lalu ia mendongak. Air jatuh pelan ke tenggorokannya, membahasi kekeringan di sana. Sisanya ujung kain itu dipakainya membasuh wajah. Baru saja dua tiga kali ia lakukan caranya itu, tiba-tiba terganggu suara dengusan anjing seraya menjulur-julurkan lidahnya. Dia cepat menjulurkan kainnya, diputar-putar sebentar agar banyak menyerap air, beberapa saat kemudian kain itu ditariknya kembali. Setetes dua tetes air sempat masuk ke mulut anjing yang menganga. Tapi sayang diberi minum anjing bukannya segar malah terlihat tak bergerak lagi. Dia terduduk lesu berurai air mata. Kenapa bukan anjing itu yang lebih dulu diberi air dan bukan dirinya, sehingga mungkin bisa memperpanjang umurnya. *** “Selamat ya, Nyonya, kelihatannya lebih seger sekarang,” Suster Hana yang selama ini merawatnya di ruang VIP itu menyapa ramah. “Apa yang masih terasa, Nyonya ?” “Alhamdulillah, sudah enakan, Suster. Tapi ini entah kenapa pikiran saya kok sulit konsentrasi, sampai-sampai susah membedakan apakah saya ini sedang mimpi atau ada di alam nyata,” Mainar Suwandi, istri direktur utama PT. Topan Persada, importir barang-barang mewah untuk kalangan jetset negeri ini. “Maksudnya apa, Nyonya ?” Suster Hana terus memeriksa, bahkan terlalu berlebihan hanya untuk menunjukan bahwa dia seorang suster yang care terhadap pasiennya. Tentu saja hanya dia lakukan untuk pasien di ruang VIP dan VVIP saja. Ada harapan lain apa yang dilakukan suter Hana yaitu dia berharap Mainar Suwandi akan merasa betah dan nyaman, sehingga nanti ketika keluar dari rumah sakit akan bicara panjang lebar pada seluruh koleganya sehingga kelak apabila kolega-koleganya itu sakit akan memilih rumah sakit ini. Dia hapal benar, seringkali ada pasien dari kalangan jetset yang pura-pura sakit hanya karena ingin merasakan dirawat di sebuah rumah sakit modern dan mahal sehingga akan memperpanjang deretan pujian dari teman-temannya. “Tadi saja, Suster, waktu diberi minuman sama Dokter Jefrey, saya langsung merasakan seperti sedang melamun, lalu saya berada di sebuah tanah gersang tanpa pepohonan, matahari demikian sangat dekat membakar ubun-ubun. Saya terus berjalan sambil merasakan dahaga, terus berjalan mencari pepohonan hanya untuk mengurangi rasa panas, Suster,” jelas Nyonya Mainar Suwandi serius menceritakan pengalaman yang baru saja ia alami. “Oh, pangaruh obat barangjali, Nyonya, agar bisa istirahat lebih tenang supaya cepat terjadi recovery,” Suster Hana tersenyum ramah. “Tapi kenapa kok sebagian besar seperti perjalanan hidup saya sendiri, Suster ? Apakah ini mimpi atau apa…” “Nggak usah banyak pikiran, Nya. Mendingan mimpi di sini daripada di gedung parlemen, ya nggak kan nya ?” Suster Hana tersenyum manis sekali. Nyonya Mainar Suwandi ikut tersenyum, menarik selimut yang melorot ke pinggang. Lagi-lagi Suster Hana tersenyum. Pada setiap yang dia lakukan, pada setiap upaya agar seluruh pasien VIP itu nyaman, pasti Suster Hana akan mendapat pujian dari direktur rumah sakit. Kredit point untuk perjalanan karirnya sendiri. Selama terpejam sebenarnya Nyonya Mainar sedang mencari kembali layar raksasa yang menceritakan perjalanan hidupnya itu. Tapi entah kenapa tidak semudah seperti menemukannya. Pada saat konsentrasi mencari jalan cerita itu tiba-tiba ia mendengar suara anjing kehausan. Pelan Nyonya Mainar bangun, dari jendela ruangannya terlihat jelas seekor anjing menjulur-julurkan lidahnya. Tiba-tiba saja Nyonya Mainar Suwandi merasakan kepalanya pening, seluruh ruangan seperti bergerak dan berputar-putar. Dia kembali ingat pengalaman bathin yang baru saja dilaluinya tadi, terutama pada saat ia menyesal karena tidak bisa menolong anjing yang kehausan. Saat itu juga tiba-tiba Ny. Mainar ambruk. Pada berita koran keesokan harinya ditulis besar, Nyonya Mainar Suwandi koma.

Selasa, 26 Juli 2016

Belajar Adil

BELAJAR ADIL SEJAK DARI RUMAH http://erasura.blogspot.com/2016/07/belajar-adil-sejak-dari-rumah.html

BELAJAR ADIL SEJAK DARI RUMAH

Oleh : E. Rokajat Asura 

 Kata adil menjadi kata kunci untuk menilai sebuah kinerja dan keberpihakan pada kebenaran. Dan keadilan merupakan isu hangat dan tuntutan utama dalam peradaban manusia sepanjang dalam praktek kehidupan bermasyarakat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mencederai rasa kemanusiaan. Sedemikian pentingnya tentang rasa adil dan keadilan ini, sehingga do’a seorang pemimpin yang adil termasuk dari tiga kelompok doa yang makbul. 

 Pada saat rasa keadilan menjadi barang langka dan rasa kemanusiaan dicederai, maka konsep berkeadilan semestinya menjadi pendidikan akhlak yang diajarkan kepada anak-anak sejak kecil dan selayaknya pula rumah menjadi pesantren untuk menumbuhkan sikap dan konsep berkeadilan. Orang tua yang menjadi figur sekaligus guru yang menumbuh kembangkan keadilan, dimulai dari hal-hal sederhana. 

Pada saat sikap adil telah menjadi sikap hidup sehari-hari, boleh berbesar hati bahwa anak-anak akan mengamalkan sikap hidup tersebut dalam pergaulannya atau setidaknya akan menjadi tameng pada saat ada gejala keadilan mulai diselewengkan. Konsep adil dan keadilan menjadi salah satu fokus perhatian Islam sebagai salah satu pilar mencapai keadaan rahmatan lil alamin. 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan dari An-Numan bin Al Basyir ra, bahwa ayah Numan pernah membawa dirinya menghadap Rasulullah SAW. Ayahnya berkata saya pernah memberikan kepada anakku ini seorang budak yang dulu kepunyaanku. Rasulullah SAW bertanya Apakah masing-masing anakmu, kamu beri seperti anakmu ini ? Ayah Numan berkata Tidak, ya, Rasulullah ! Rasulullah SAW bersabda kalau begitu tariklah kembali pemberianmu itu ! 

 Dalam riwayat lain dikatakan setelah Rasulullah SAW mendengar penjelasan ayah Numan tersebut, lalu beliau bersabda Takutlah kepada Allah SWT dan berbuatlah adil terhadap anak-anak kalian.. 

 Konsep adil sudah harus diperkenalkan kepada anak-anak bahkan untuk urusan yang dianggap sepele. Benar bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan yang berbeda-beda tapi bukan berarti untuk dibeda-bedakan pula dalam hal pemberian misalnya. Prinsip keadilan harus tetap dipenuhi orang tua ketika akan memberi sesuatu kepada anaknya. Sepanjang rasa keadilan itu terpenuhi, membeda-bedakan dalam arti kuantitas tak akan menjadi masalah. Tapi dengan semata mempertimbangkan bahwa kenyataannya masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda, lalu menyebabkan orang tua membeda-bedakan pula pemberian tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan itulah yang diingatkan Rasulullah SAW sebagai perbuatan aniaya. Suatu hari dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Basyir mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan telah memberi hadiah kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda Wahai Basyir, apakah kamu punya anak selain anak ini ? Basyir menjawab Ya, Rasulullah ! Lalu, Rasulullah melanjutkan pertanyaannya Apakah semua anak-anakmu juga kamu beri hadiah seperti ini ? Dijawab Basyir Tidak !. Mendengar jawaban Basyir seperti itu, Rasulullah pun menegaskan Kalau begitu janganlah kamu jadikan aku sebagai saksi, sebab aku tidak menjadi saksi perbuatan aniaya. 

Dalam riwayat lain dijelaskan dengan susunan kata-kata yang berbeda yakni Mintalah persaksian akan hal ini kepada orang lain selain aku. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan kalimatnya Apakah akan menggembirakanmu, jika ketaatan anak-anakmu kepadamu sama ? Basyir menjawab Begitulah ! Lalu, Rasulullah SAW bersabda : Maka jangan mengutamakan anak yang melebihi yang lain kalau begitu. Tidak bisa disangkal bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda. Konsep kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences yang digagas oleh Howard Gardner menegaskan tentang hal ini. Howard membagi kecerdasan seseorang ke dalam 8 model kecerdasan berdasarkan kecenderungan-kecederungannya. Pembagian delapan bentuk kecerdasan ini berasal dari pengumpulan data seorang anak bukan berdasarkan tes-tes tertutup seperti yang diterapkan pada tes IQ yang hanya membedakan anak pintar dan kurang pintar. 

 Howard Gardner menyimpulkan bahwa kecerdasan seseorang, samasekali tidak terkait dengan kondisi fisik (rasialis), kondisi brain dan hasil tes-tes standar. Jadi tidak diperlukan tes tertutup seperti tes IQ atau tes ketidak mampuan seseorang yang hanya akan menyudutkan secara psikis dengan pelabelan ketidak mampuan tersebut. Dalam pandangan Howard, kecerdasan seseorang itu terkait dengan discovering ability, the right man on the right place serta benefiditas. Dengan demikian kecerdasan itu adalah kebiasaan atau prilaku yang diulang-ulang yang melahirkan pikiran-pikiran kreatif dan bisa mengatasi masalah. Dengan berpijak pada landasan teoritis Howard Gardner ini, apakah sikap orang tua yang seringkali membeda-bedakan pemberian kepada anak-anaknya dengan alasan masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, dapat dibenarkan atau justru sedang menanamkan benih sikap mencederai rasa adil ? 

Tanpa mempertimbangkan tentang rasa keadilan, Rasulullah SAW menilai sikap seperti itu sebagai perbuatan aniaya. Kalau saja sepakat bahwa rumah adalah pesantren tempat menggodok anak-anak untuk menjadi sosok bener-bageur-pinter (benar-baik-cerdas), maka ketika orang tua yang menjadi figur, teladan sekaligus guru mencederai rasa keadilan, sebenarnya ia sedang menanamkan benih ketidak adilan. Tidak perlu heran kalau kemudian kelak tidak saja orang tua yang menuai rasa ketidak adilan itu melainkan juga masyarakat. Tak ada kata lain bagi pribadi-pribadi yang sebenarnya adalah khalifah fil ardli untuk senantiasa hati-hati bahkan sangat hati-hati dalam segala hal, termasuk juga pada saat memberi sesuatu kepada anak-anak kita. Kehati-hatian itu pula yang telah dicontohkan parah salafus saleh, para alim ulama dahulu, sehingga berhasil mencapai derajat insan kamil. ***

Kabayan

KABAYAN NYEBRANG REL http://erasura.blogspot.com/2016/07/kabayan-nyebrang-rel.html

KABAYAN NYEBRANG REL

KABAYAN NYEBRANG REL SUATU HARI KABAYAN JALAN-JALAN KE BANDUNG … DARI CICADAS DIA JALAN KAKI KE ARAH KOSAMBI … SINGKAT CERITA DIA NYAMPE JUGA KE DAERAH KOSAMBIL DEKET PERLINTASAN JALAN KERETA API … BEGITU MAU NYEBRANG REL KABAYAN LIAT ADA TULISAN … DILARANG MELINTASI REL … WAH CEUK PIKIRAN KABAYAN TEH … SAYA HARUS NYEBRANGNYA DINA TUNGTUNG REL … SOALNYA TIDAK BOLEH MELINTASI REL … MAKANYA DIA TIDAK JADI NYEBRANG REL TAPI JALAN AJA DISISI REL SAMBIL NYARI DIMANA TUNGTUNGNYA … SATU KILO TIDAK KETEMU JUGA… DUA KILOMETER TIDAK KETEMU JUGA … SINGKAT CERITA SUDAH JALAN KAKI KANA SAPULUH KILOMETERNA … TAPI KABAYAN TIDAK NEMUIN TUNGTUNG RELNYA … MAKANYA TADINYA MAU KE PASAR KOSAMBI JADI NGGAK NYAMPE-NYAMPE …