Informasi
Rabu, 01 Juni 2016
HUPS...HILANGLAH DIA...
Oleh : E. Rokajat Asura
"Huh, hebat, dia bisa menghilang !" teriak seorang anak ketika tukang sulap itu hilang dari pandangan matanya. Sebuah illusi. Mungkin memang begitu, tapi seorang anak kecil tak akan paham dengan illusi. Lain dengan orang dewasa, seperti Joni, seorang pemuda pengangguran di sebuah perumahan pinggiran Jakarta. Ketika melihat seorang lelaki kerempeng yang dipercaya berilmu tinggi, sakti sakdurung winarah, mengaku bisa menghilang, ia tidak percaya begitu saja. Joni minta pembuktian.
"Aku harus menunjukan bisa menghilang kepadamu ?"
"Ya !" jawab Joni pendek.
"Kau yakin tidak akan berkedip sehingga bisa melihat apakah benar-benar menghilang atau hanya tipuan mata semata ?"
"Baiklah, aku janji, tak akan berkedip sebelum kau benar-benar bisa menghilang," jawab Joni. Lalu lelaki kerempeng itu mulai komat-kamit. Ia mengeluarkan saputangan dari dalam sakunya dan segera tercium bau minyak tertentu, yang dalam kalangan supranaturalis diyakini sebagai media penghubung ke alam halus. Joni hampir menutup hidup kalau tidak takut lelaki kerempeng itu tersinggung.
"Kita mulai," jelas lelaki kerempeng itu secara tiba-tiba. Joni mengangguk dan agak gugup.
"Silakan !"
Dan hups...sekali mengibaskan saputangan, lelaki kerempeng itu hilang dari pandangan mata Joni. Tentu saja kejadian itu membuat Joni berdecak kagum. Pandangan matanya jelas menyiratkan rasa penasaran yang luar biasa. Setelah memanggil beberapa kali pada lelaki kerempeng, keajaiban untuk kedua kalinya terjadi di hadapan Joni. Lelaki kerempeng itu tiba-tiba ada di hadapannya, persis di tempat ia menghilang tadi.
Dari kejadian menakjubkan itu terjalinlah persahabatan. Bahkan makin lama meningkat jadi hubungan saling ketergantungan. Joni demikian tergantung pada lelaki kerempeng itu karena ia memang menginginkan ilmu itu. Ilmu bisa menghilang. Setumpuk rencana bahkan telah tersusun rapih dalam memori otaknya.
"Ilmu itu tidak terlalu sulit untuk dipelajari, tapi yang sulit itu menjaga diri agar tidak berlaku sombong karena memiliki ilmu itu," terang lelaki kerempeng itu berdiplomasi.
"Kalau memang tidak gampang membawanya, kenapa kemarin-kemarin kau sengaja mempertontonkan kepandaianmu sehingga aku tertarik ?” desak Joni.
"Itulah garis nasib !"
"Jadi aku juga bernasib mujur bisa mempelajari ilmu itu ?"
"Begitulah !" jawab lelaki kerempeng itu singkat.
Sebuah ritual singkat telah dilaksanakan. Kini, Joni sudah tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lelaki kerempeng itu karena ia memang ingin menyelesaikan ilmunya. Ilmu bisa menghilang. Seperti garis nasib, semuanya berjalan normal. Joni bisa melampaui tahapan-tahapan yang telah ditentukan lelaki kerempeng itu. Singkat kata pada suatu hari yang telah ditentukan, akhirnya Joni disahkan telah memiliki ilmu itu dengan predikat cum laude.
Percobaan pertama dilakukan Joni pada tetangganya. Saat itu menjelang malam, di gardu ronda terlihat beberapa orang teman sedang ngobrol. Setelah menggunakan ilmunya, Joni kemudian duduk diantara mereka. Anehnya tak seorang pun yang menyadari kehadiran Joni. Bahkan ketika korek api yang tergeletak di dekat salah seorang temannya diambil Joni, tak ada yang protes. Baru menyadari korek api telah hilang ketika akan digunakan.
Joni bersorak girang karena telah berhasil memiliki ilmu bisa menghilang. Rencana yang memang telah tersusun rapih itu mulai dilaksanakan satu demi satu. Suatu hari Joni masuk ke sebuah toko, ia berhasil mengambil beberapa barang keperluan sehari-hari tenpa ketahuan penjaga toko. Lain kali ia datang ke rumah orang kaya, beberapa potong pakaian dan sejumlah uang bisa digasaknya. Joni lagi-lagi bersorak girang. Ternyata hidup itu gampang kalau memang mau sedikit berkorban.
Ilmu bisa menghilang ternyata telah merubah Joni yang pengangguran menjadi seorang pemuda yang berduit. Apa saja barang yang diinginkan akan dengan gampang diperoleh. Tidak mengherankan mulai dari pakaian, HP, jam tangan, sepatu sampai keperluan lainnya dari merk-merk terkenal dengan gampang diperoleh Joni. Tidak mengherankan pula kalau belakangan Joni menjadi trend setter bagi teman-temannya di kampung itu.
Suatu hari ketika Joni sedang duduk-duduk di pos ronda, dari arah lain muncul seorang ibu berpakaian sederhana. Ibu itu menenteng tas kecil. Melihat seorang ibu berjalan sendirian, tiba-tiba muncul niat jahat Joni. Ia merogoh saputangannya dan mulai dikibaskan. Saat itu juga Joni merasa kalau ia telah menghilang. Memang benar dalam penglihatan banyak orang, Joni saat itu telah menghilang dengan sempurna. Tapi tidak dalam pandangan si ibu. Sehingga ketika Joni mulai beraksi, dengan lantang ibu berteriak "maling...maling". Mendengar teriakan seperti itu Joni gugup dan berlari. Saking kagetnya sampai-sampai ia kembali terlihat oleh pandangan semua orang. Ajian menghilang Joni rupanya telah gagal berfungsi. Beberapa orang yang kebetulan mendengar teriak ibu tadi langsung bergerak, mengejar Joni. Dalam waktu tidak terlalu lama Joni sudah tertangkap dan langsung dihakimi masa. Babak belurlah dia.
***
Ibu yang akan dijambret Joni tadi masuk ke dalam sebuah rumah sederhana. Letaknya di ujung gang beberapa meter dari bantaran sungai, sehingga ketika air sungai meluap, banjirlah rumahnya. Di dalam kamar, seorang lelaki tua tergolek tak berdaya. Matanya cekung, tubuhnya sangat kurus dengan napas yang perlahan seperti akan segera berhenti.
"Ini mas aku bawakan obat. Aku telah menjual salah satu bajuku tadi di pasar loak. Beruntung obat ini tidak jadi hilang," cerita ibu itu.
"Kenapa memang ?" tanya lelaki tua itu yang ternyata suaminya.
"Tadi di depan gang aku akan dijambret seorang anak. Sedang mabuk barangkali, sehingga tidak bisa membedakan mana wanita berduit dan mana wanita kesusahan sepertiku," cerita ibu itu lagi. Ia tersenyum sebentar demikian pula suaminya.
"Alhamdulillah, artinya obat ini memang jalan hidup yang harus aku minum. Terima kasih ya, Allah," sambut lelaki tua itu. Kemudian ia makan satu keping biskuit diikuti dengan meminum obat yang baru saja diberikan sang istri. Lelaki tua itu menghela napas panjang. Ada rasa sesal terpancar dari wajahnya, tapi sesaat kemudian ia tampak sumringah. Paling tidak ia telah meminum obat itu, artinya ia boleh untuk berangan-angan. Andai kata nanti sembuh, tentu budi baik sang istri yang penyabar itu akan dibalasnya.
"Kau sudah makan hari ini ?"
"Sudah ! Mas sendiri sudah makan belum ? Kok nasi dan lauknya masih tersisa," tanya sang istri ketika ia melihat setengah piring nasi dan sekerat lauk.
"Buat kau ! Kau tentu lapar seharian nyari duit buat beli obat."
"Aku masih kuat, mas yang lebih memerlukan makan itu supaya lekas sembuh," sergah sang istri sambil keluar dari kamar. Ia masuk kamar mandi, wudlu dan sebentar kemudian telah khusyuk sholat. Suaminya di kamar tercenung haru. Pada saat seperti itulah kemudian ia berdo'a untuk kesembuhan penyakitnya dan untuk kesehatan istrinya. Sebuah potret sederhana tapi menerima garis nasib dengan lapang dada.
***
Sayang Joni tidak pernah tahu siapa ibu yang akan dijambretnya tadi. Ia selalu memakai ukuran diri sendiri ketika menilai orang lain. Ia kini duduk lesu di kamar tahanan. Dalam kesendiriannya itu ia bukannya menyesal, tapi sebaliknya berkali-kali mengamalkan ilmu menghilangnya. Tapi entah kenapa ilmu itu seperti menghilang tanpa bekas dari dalam dirinya. Karena karmakah ia atau justru telah melanggar pantangan ? Wallohu alam.**
Selasa, 31 Mei 2016
BUMI MAKIN SEMPIT
Cerpen : E. Rokajat Asura
(Dipublikasikan di Pikiran Rakyat Minggu, Juli 1993)
BUMI bulat makin lapang. Su tersenyum. Alhamdulillah, betapa indahnya hidup di alam bebas. Bisa menghirup udara segar tanpa dibentak Sipir. Terbentang jalan lurus tanpa batu tanpa kerikil. Teduh. Damai. Disepanjang jalan Tampa tumbuh subur pepohonan, menghijau di tanah merdeka. Oh, selamat datang kebebasan. Selamat datang kemerdekaan, bisik Su saat itu. Saat dia melambaikan tangan pada Sipir penjara. Saat dia melambai perpisahaan pada tembok kaku, yang selama ini membelenggunya. Saat dia mengharamkan untuk menginjak kembali tanah penjara. Ya, saat dia baru seminggu yang lalu bebas. Ya, Allah, katanya lirih, aku ini bukan orang baik-baik, tapi aku tak akan mampu menerima murkamu. Berilah petunjuk ya, Allah !
Lenguh sapi piaraan, begitu merdu ditelinga Su. Ada kerinduan akan alam desa yang mungkin masih tersisa gemericik air pancuran. Tawa canda anak bertelanjang dada, nanyian gembala demikian mengusik nurani. Sebuah lagu lama. Tapi bagi Su, justru pemandangan seperti itu yang selama ini terbawa mimpi. Su bergegas melangkah saat itu. Ia ngin segera merangkul sang ayah, yang tentu sudah semakin rapuh termakan usia dan digerogoti penderitaannya. Ingin rasanya segera sungkem, kepada emaknya yang nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Dan tentu saja, Su pun ingin segera mencium tangan dara pilihannya, calon istrinya. Delapan bulan cukup merana hidup dipenjara. Waktu sesingkat itu harus dibeli dengan ceceran daging, yang kini nampah tinggal tulang terbungkus kulit. Tak Tampa lagi Su yang gempal kini .
Tapi hari ini, menginjak hari ke delapan dia bebas, Su benar-benar jengah. Dunia impian tak pernah ramah menyapa. Semua serba kaku. Semua turut menusuk-nusuk hati. Luka Su semakin berdarah kini. Hampir saja ia mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga, tadi subuh. Matahari terasa semakin dekat, hanya sejengkal di atas kepala. Bumi makin padat. Langit serasa runtuh ke jagat. Su terhimpit diantara puing-puing beton, yang pongah dan sombong. Benar-benar menyakitkan. Gerah. Jengah. Serba salah. Puluhan mata, rausan bahkan mungkin ribuan, menusuk-nusuk punggung, hingga tulang rusuk remuk. Su tak kuasa. Tak berdaya menghadapi cibiran, sindiran dan ejekan. Su tak bisa menghadapi emaknya yang kecut dengan gurat-gurat ketuaan menebal di dahi. Rupanya emaknya kecewa berat karena anaknya dipenjara. Hidup jjadi apatis baginya. Lbih-lebih ketika mengetahui bahwa anaknya bebas. Inilah penjara kedua bagi Su. Su sadar. Dia telah mengecewakan emaknya., tidak bisa tuntas jadi seorang ustadz. Padahal dia tahu, untuk memasukkannya ke pesantren dulu, plus bekal dan biaya ini itu, emaknya menggadaikan kalung warisan.
Konon, menurut cerita adiknya, hingga kini kalung itu tidak pernah bisa tertembus. Tapi Su yakin, bukan karena kalung itu yang membuat emaknya kecut. Bukan. Bukan itu. Yang membuat emaknya kecut, bagi Su adalah penjara ketiga. Sejak dia datang, menginjakkan kaki di kampung ini, bapaknya tak pernah sekalipun menegur. Memang masih sering makan berrsama, ke pancuran bersama. Tapi itu hanya kepura-puraan semata. Seperti layaknya seeorang anak ketika main ruma-rumahan. Hari ini, hari kedelapan bagi Su, dia benar-benar ingin kembali ke penjara. Setidaknya hidup di dalam penjara, masih punya harga diri. Jika dia mengurungkan niatnya untuk menenggak racun serangga, bukan karena takut. Tapi segelas racun, Cuma akan mengantarrkan ke laiang lahat atau paling beruntung ke rumah sakit. Bukan ke penjara. Itu pun kalau masih ada yang mau peduli. Padahal keinginan Su adalah kembali ke penjara.
Bukan cuma dua atau tiga penjara yang kini mengurung Su. Tapi empat. Lima. Enam. Bahkan seisi duania adalah penjara baginya. Kecuali di penjara yang satu. Dia tak lebih seonggok tahi, di mata manusia kini. Satu-satunya orang yang masih mau menerima kehadirannya adalah Sumirah, calon isterinya yang kini sudah digaet orang. Karena Sumirah yakin, Su bukan pembunuh. Su bukan pencuri. Semua itu hanya sebuah skenario, ciptaaan putra juragan ikan, suaminya kini. Tapi sayang, Sumirah sudah jadi isteri orang. Sumirah benar-benar telah sumerah pada anak juragan ikan.
Sumirah menangis ketika bertemu di pancuran kemarin dulu. Dia amat menyesal tak bisa memegang janji. Tapi saat itu su hanya mesem. Berapa hatinya sakit. Karena menurutnya, cerita Sumirah tadi Cuma basa-basi. Seperti kebanyakan wanita, yang selalu merasa menyesal dijodohkan orang tuanya. Padahal diam-daiam, mereka telah menyediakan secawan cinta untuk lelaki pilihan orang tuanya itu. Munafik.
Sumirah memang surga bagi Su. Tapi itu dulu. Karena Sumirah kini bukan Sumirah yang dulu. Kini dia adalah isteri juragan ikan yang disegani. Pakaian Sumirah juga bagus-bagus. Sementara Su masih sepeerti dulu, berpakaia alakadarnya. Bahkan kini ditambah gelar barunya : bekas Narapidana. Juragan makin menganga, membuat Su perih. Hatinya terkoyak.
Siang ini, sumirah ngajak kencan. Ditempat kencannya dulu, delapan bulan yang lalu. Di sebuah bukit kecil, di atas perkampungan. Rumputnya masih hijau seperti dulu. Sumirah merajuk saat bertemu Su kemarin sore. Burung-burung beterbangan, berseliweran di atas kepala, cerita Sumirah seakan ingin mengingatkan cerita cinta yang demikian menyegarkannya dulu. Su masih tertegun saat itu. Berat rasanya untuk mengiyakan ajakan isteri orang. Mengajak kencan isteri orang sama dengan mencuri. Dan tuduhan itu pula yang menggiring Su ke penjara, delapan bulan yang lalu. Mestikah kinni diulangi lagi?.
Su benar-benar tak mau diajak kencan Sumirah. Itulah kenapa tadi pagi, dia nekad hendak menenggak racun serangga. Tapi juga seperti dulu, Su sang at kesulitan untuk mengatakan tidak kepada Sumirah tercinta. Sekalipun hal itu bertolak belakang dengan suara hatinya. Diam-diam Su melangkah ke kaki bukit kecil, di atas perkampungan.
***
Angin semilir mempermainkan pucuk rumput gajah. Padi yang menghijau beriak seperti hamparan permadani. Tapi keindahan itu samasekali tak berarti bagi Su. Dia lebih tertarik mengamati jemari Sumirah yang sedang mempermainkan pisau dapur. Sesaat Su terkesiap. Naudzubillahi min dzalik, benda semacam itulah yang dulu mengantarkan dia ke penjara. Seperti sedang membuka lembaran masa silam, saat itu Su melihat adegan-adegan itu sangat gamblang.
“Katanya mau ngobrol, tapi kenapa Bulan bawa pisau ?” akhirnya meledak juga kepenasaran Su. Dia membuka mulut, dan bicara dengan bergetar. Seperti pertamakali ngorol dengan Sumirah dulu, di dalam kandang kuda. Bulan adalah panggilan sayang Su kepada Sumirah. Sumirah tersenyum. Tersembul butiran mutiara di celah bibirnya yang memerah.
“Karena saya hendak membunuh, Kakang !” jelas Sumirah datar. Pandangan lurus ke depan, wajahnya benar-benar berubah dingin. Kaku. Su sempat bergidik. Seperti tersedot magnet raksasa.
“Membunuh ? Astagfirullah, benarkah ?” Su pura-pura tenang, membohongi hatinya yang tersentak tak karuan.
“Benar !” jelas Sumirah tegas. Dipertegas dengan anggukan kepala. Rambutnya terjurai indah ke depan. “Dulu, pisau dapur seperti ini yang mengantarkan kakang ke penjara. Kini, dengan pisau dapur seperti ini pula yang akan mengantarkan saya ke penjara yang sama,” lanjut Sumirah tanpa mengubah nada bicaranya. Benar-benar ajaib dalam pandangan Su saat itu. Su hanya melongo, bibirnya tak terkatup. Dia benar-benar telah kena magnet. Sumirah melanjutkan bicaranya :
“Jika saya dipenjara, kakang segeralah menikah. Dengan siapa saja, dengan wanita mana saja. Tak perlu bicara soal cinta, nanti jika saya bebas dan kebetulan bertemu kakang, kakang boleh bicara bahwa kakang terpaksa menikah karena dijodohkan. Dan saya pun tentu boleh mencibir, seperti apa yang kakang lakukan tempo hari. Tempo hari, ketika saya mengatakan bawha saya menikah karena dijodohkan.” jelas Sumirah. Nada bicaranya merendah bahkan nyaris tak terdengar. Tenggorokannya seperti tersekat. Pundak Sumirah nampak terguncang sesaat, menahan gejolak yang meletup-letup. Tapi dia berusaha menggigit bibir, agar tak terus menangis. Dia seperti takut kena cibir Su yang kedua kalinya, sehingga membuat hatinya lebih perih lagi.
Su makin tersentak. Dia baru sadar ke mana arah pembicaraan Sumirah tadi. Hati kecilnya mengakui, bahwa sebenarnya dia masih tetap mencintai Sumirah. Cibiran tempo hari itu hanya karena harinya terlampau perih. Tapi apalah artinya cinta, bagi orang yang dibelenggu puluhan penjara. Bukankah cinta hanya akan tumbuh pada orang-orang yang bebas, bisik Su jujur.
“Mungkin jika saya telah merasakan kehidupan penjara, saya pun akan berubah jadi manusia perasa. Hidup serta salah dan serba curiga,” sindir Sumirah tanpa mengubah posisi duduknya. Pandangannya tetap menerawang jauh ke depan, melihat burung-burung bercengkrama dengan alam. Tangannya masih tetap memegang pisau. Su tak bicara saat itu. Mulutnya terkunci rapat. Karena baginya diam adalah kebenaran. Diapun membenarkan kata-kata Sumirah barusan. Semuanya.
Dari arah pematang bergerombol orang-orang sambil mengacung-acungkan golok dan tombak. Makin dekat makin jelas, mereka menuju ke arah Su dan Sumirah. Su segera bangkit. Naluri kelelakiannya berkata bahwa dia dalam bahaya. Tapi aneh tak secuilpun terbersit niat untuk lari menghindar. Tidak. Tidak perlu takut, tekadnya. Dan ketika orang-orang itu mendekat, berteriak menuding ke arah Su dengan golok dan tombak terhunus, Su tetap mematung. Di belalakangnya Sumirah sama-sama mematung.
“Pencuriii…pencuriii….!” teriak mereka. Su sempat melihat, lelaki yang berdiri paling belakang adalah anak Juragan Ikan, suami Sumirah. Tiba-tiba Sumirah maju ke depan dengan mengacungkan pisau dapur.
“Dia bukan pencuri,” teriaknya. “Sayalah pencurinya dan pisau ini akan segera merobek perut kalian,” katanya lagi. Semuanya tertegun. Langkahnya terhenti. Tak terkecuali anak Juragan Ikan itu..
“Mundurlah, Sum ! Kami ingin memberi pelajaran kepada bajingan itu. Dia telah menodai kampung kita, dia telah membunuh, dia telah mencuri dan kini malah hendak melarikan istri orang,” tukas seseorang, yang lain menyambut dengan teriakan seraya mengacung-acungkan golok dan tombak.
“Pencuriii…pencuriii…” teriak mereka.
“Saya akan mundur setelah kalian bersujud, dan berjanji tak akan menyebut dia sebagai pencuri, apalagi pembunuh !” teriak Sumirah dengan wajah memerah.
“Sum, sadarlah kau ? Ya, Allah, kenapa jadi begini ?” hanya itu yang keluar dari mulut putra Juragan Ikan. Sumirah terkeke, pundaknya nampak terguncang.
“Banci!” katanya kemudian
“Sum ? Tegakah kau ? Masyallah, Sum, sadarlah !” terdengar suara putra Juragan Ikan memelas. Su masih tertegun. Tenggorokannya terasa kasat. Ingin rasanya melabrak orang-orang yang ada di depannya itu. Beruntung, ketika suasana makin panas dan nyaris menumpahkan darah, datang pak Kades. Suasana sedikit mereda. Orang-orang itu pulang dengan seribu kepenasaran. Sumirah lega. Dia tertegun disamping Su yang memerah. Tersimpan dendam yang teramat sang at. Masyarakat benar-benar pejara bagi Su.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, tiga hari kemudian, Sumirah ditemukan bersimbah darah dekat pancuran. Dia direnggut maut lewat sebilah pisau dapur. Sementara itu diketahui Su menghilang. Entah kemana.
***
Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku
sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Q.S Yusuf : 53)
KAKATUA BOTAK
Oleh : E.Rokajat Asura
SEORANG LURAH PUNYA BURUNG KAKATUA SANGAT PINTAR NGOMONG .. POKOKNYA NGOMONG APAPUN ITU BURUNG SANGAT LANCAR … TAPI SAYANG ITU BURUNG KAKATUA PUNYA SIFAT JELEK … SUKA NGEJAR-NGEJAR DAN MEMAKSA AYAM BETINA … POKOKNYA SETIAP NGELIAT AYAM BETINA PASTI DIKEJAR-KEJAR DAN DIPAKSA … PAK LURAH SENDIRI UDAH ARAL NGADEPIN KEBIASAAN JELAK BURUNGNYA ITU … YANG NAMANYA DIPERINGATIN SAMA DIHUKUM MAH UDAH BELASAN KALI … TAPI ITU BURUNG TETEP AJA NGGAK BISA NGILANGIN KEBIASAAN BURUKNYA … DIITUNG-ITUNG UDAH LEBIH DARI SEMBILAN PULUH KALI MENGEJAR DAN MEMAKSA AYAM BETINA … MAKANYA KETIKA SAMPAI KESERATUS KALINYA, PAK LURAH BENAR-BENAR SANGAT MURKA … POKOKNYA ITU BURUNG DICABUTIN BULU-BULUNYA SAMPAI BOTAK … MAKSUDNYA SIH SUPAYA ITU BURUNG KAKATUA KAPOK … TAPI BEGITU BERES NYABUTIN BULU BURUNG KAKATUANYA PAK LURAH BARU NYADAR … ADUH KATANYA BESOK KAN MAU DATANG TAMU .. ARTIS-ARTIS TERKENAL DARI JAKARTA … MAU DIKEMAIN INI BURUNG … PADAHAL SUDAH DIGEMBAR-GEMBOR DIA ITU PUNYA BURUNG SANGAT PINTER NGOMONG … NYA AHIRNYA PAK LURAH PUNYA AKAL … UDAH LAH MENDINGAN DIPAKE MASKOT AJA … BURUNG KAKATUA YANG UDAH TURUNDUL TEH DISIMPEN DI MEJA SAMBIL DISURUH NGASIH SELAMAT DATANG SAMA ARTIS … TETEP BISA KELIATAN HEBATNYA CENAH … MOAL MERHATIIN TEUING BULU-BULUNA ANU TURUNDUL TEA … SINGKAT CERITANYA DIAJARIN GIMANA CARANYA NYAMBUT TAMU … EH DASAR BURUNG PINTER BARAYA … KAKATUA ITU PERSIS BISA NGOMONG SEPERTI MANUSIA … TAH BEGITU ROMBONGAN ARTIS DATANG PAK LURAH UDAH SIAP MENYAMBUT TERMASUK SI KAKATUA PINTER TEA ... ARTIS YANG PERTAMA DATANG ADALAH BELLA SHAPIRA … ATUH LANGSUNG AJA KAKATUA TEH NGOMONG … SELAMAT DATANG NONA BELLA … MAKIN CANTIK AJA CENAH … BAGUS KAKATUA KATA PAK LURAH BANGGA … TERUS DATANG LAGI ARTIS JEREMI THOMAS … ITU BURUNG LANGSUNG NGASIH SELAMAT … SELAMAT DATANG KANG THOMAS … GIMANA TERSANJUNGNYA … LANCAR-LANCAR AJA … BAGUS KAMU KAKATUA KATA PAK LURAH TAMBAH SENENG … GILIRAN SELANJUTNYA DATANG EL MANIK DAN OZZY SAHPUTRA YANG BOTAK TEA … NA DA ETA MAH ARI BARAKATAK TEH SI KAKATUA NYAKAKAK BARI TUTUNJUK KA EL MANIK JEUNG OZZY … HAHAHA … EUY TURUNDUL … KALUAR SIAH JALMA TURUNDUL … TUKANG MAKSA AYAM BETINA … CENAH …

Langganan:
Postingan (Atom)