Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Kamis, 19 Mei 2016

Cermin

SEPANJANG KEINGINAN UDIN http://erasura.blogspot.com/2016/05/sepanjang-keinginan-udin.html

Bulan Pucat

BULAN PUCAT PASI http://erasura.blogspot.com/2016/05/bulan-pucat-pasi.html

BULAN PUCAT PASI

Cerpen: E.Rokajat Asura
“Ayah saja yang nganter Putri, Ibu kan sibuk !” “Masyaallah, malu saya punya anak laki-laki seperti kamu, Du !” pak Manan menunduk sedih. Emak mengusap-usap pundak suaminya dengan tenaga sisa ketuaannya. *** Seekor kupu-kupu pincang hinggap di dahan. Kupu-kupu itu mengingatkan Pandu pada setangkai mawar yang dipetiknya sepuluh tahun lalu, kemudian diberikan pada Elsya. Tapi itu dulu. Romantisme masa lalu. Elsya sekarang tak butuh mawar lagi, tak butuh rayuan lagi. Elsya sekarang sebuah robot cantik yang kaku, di otaknya telah diprogram sejumlah target dari perusahaannya. Ya, Allah, entah salah siapa kenapa Elsya jadi miniatur tersukses seorang ibu yang merasa diri hebat karena bisa eksis sekalipun lama ditinggal mati suaminya. Pandu malu menatap bayangannya sendiri, yang mengejek bahkan mencibir mentertawakan. Lelaki itu lalanang jagat, seribu langkah dalam satu langkah mengangkangi perempuan. Berat memang, tapi itulah lelaki. Tanah Sunda tak pernah mau menerima, lelaki yang kehilangan kelelakiannya. Prabu Siliwangi tak pernah pudar keharumannya, karena sebagai seorang lelaki tak kehilangan kelelakiannya. Bahkan seorang Kabayan yang kata orang dungu sekalipun, berani berkata lantang “aku ini lelaki.” Apalagi kalau berkaca dengan kacamata agama bahwa seorang lelaki adala pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. “Ya, Allah, aku terlanjur berbuat aniaya terhadap diriku sendiri, jika engkau tidak mengampuni aku dan tidak mengasihiku, pastilah aku akan tergolong orang-orang yang rugi.” lirih suara Pandu saat itu. Seperti menggelindingkan bola salju, Pandu harus melihat hasil pekerjaanya. Elsya makin lama makin besar dan tinggi hati. Kasihan Putri, keluh Pandu diantara setumpuk buku-buku yang baru saja dibaca siswa belasan tahun itu. Dalam halaman-halaman yang terlipat, Pandu mencium kejenakaan anak-anak itu. Pemandangan yang tak pernah dia temukan pada diri Putri. “Alhamdulillah, Putri itu pintar.” “Ya. Putri bahkan cerdas. Sedikit lagi dia jenius.” “Ayah kecewa ?” “Tidak.” “Tapi kenapa mengeluh ?” Elsya tak mengerti. Tapi ketika dilihatnya Pandu, suaminya diam, Elsya pun tak ngotot mencari tahu ketidak mengertiannya tadi. Malam pun merajut sepi sendiri meninggalkan Sandekala yang terkapar tak berdaya. Elsya asyik dengan pekerjaan kantor yang tak terselesaikan dan Pandu asyik dengan lamunannya sendiri dalam lembaran koran yang terus dibolak-baliknya itu. “Kalau ayah ngantuk, tidur saja duluan. Ibu tanggung, kerjaan ini harus dibawa besok.” Elsya tak acuh, pandangannya tetap pada monitor Travelmate 507-nya sesekali membetulkan frame kacamata. Pandu terlihat mendelik dan tanpa berkata-kata ngeloyor masuk kamar. Semakin panjanglah malam-malam itu dilaluinya dengan posisi sebagai pecundang. Darah menggelegak haus, mencari tuan yang kehilangan nyali. Pandu mengurungkan niatnya merebahkan tulang-tulang ragawi yang kelelahan mencari makna, ketika telinganya menangkap suara dari kamar putrinya. Tertatih dia menuju kamar Putri, dilihatnya anak semata wayang itu tertidur sangat pulas. Pandu tersenyum senang dan kecemasanya sontak sirna. Terlalu khawatir saja sebenarnya yang membuat Pandu seperti mendengar rengekan putrinya itu. Setelah membetulkan selimut tebal bermotif warna-warni bunga agar Putri tidur dengan aman dan hangat, Pandu pun keluar. Di kamar Pandu hanya rebahan, matanya belum ngantuk benar saat itu. Hanya karena Elsya menyuruh dan terdorong takut mengganggu kesibukan istrinyalah, membuatnya masuk kamar. Jangankan berdebat, cekcok sedikit saja Pandu nggak suka. Apalagi cekcok hanya gara-gara masuk kamar tidak secara bersama-sama. Seperti biasa lelaki yang terlampau tua untuk seukurannya itu membentangkan lamunan pada langit-langit kamar, dan semakin larut ketika lamunan itu datang berseliweran seperti camar-camar nakal mencari tiang sampan. Satu dari sekian lamunan itu berhasil memperdaya Pandu dan menengadah pasrah. *** Pada sengatan matahari. Pandu kecil berlari-lari di pematang yang baru saja selesai panen dan menyisakan bau jerami yang terendam, mengejar bebek yang berlari tak beraturan. Di belakanganya pak Manan teriak-teriak bersaing dengan bebek-bebek piaraanya. “Kau harus berhasil mengembalikan bebek-bebek liar itu pada rombonganya, Du. Kau laki-laki. Harus bisa mingpin !” Pandu kecil terengah-engah kehabisan nafas dan langkah-langkah kecilnya di pematang itu nampak kesususahan, sesekali terpeleset. Matahari menyengat dan melelehkan cairan tubuh Pandu kecil. “Ayah ! Putri nangis kok malah ngelamun sih ! Ibu kan lagi tanggung !” Elsya berdiri di pintu kamar. Pandu tergesa bangkit dan memang terdengar Putri masih merengek. “Astagfirullah, kenapa tidak kau samperin, anak ketakutan kok dibiarin gitu ?! Dia kan bisa shock !” “Lho ? Kok ibu yang disalahin sih ? Pake istigfar lagi, sepertinya ayah sudah tidak….” “Putri kan anakmu juga !” “Tapi yang mau punya anak kan kamu, Yah !” “Masyallah, Elsya, sadarkah apa yang kamu ucapkan itu ?” Pandu bergegas menuju kamar anaknya. Putri memang menangis dan sedang ditepukin si bibi. Begitu dilihatnya Pandu masuk, si bibi membungkuk dan menyingkir. “Kenapa katanya, Bi ?” “Nggak tahu, Pak ! Non Putri tiba-tiba nangis nggak bisa didiemin … “ “Sudah ! Bibi pergi saja !” Pandu mendekap Putri hingga diam. Sejenak tak terdengar tangis lagi kecuali sisa-sisanya. Pelan Pandu menepuk-nepuk pundak Putri, sebentar kemudian anak itu pun tertidur di pangkuannya. *** “Ibu jahat ya, Bi ?” “Lho .. kok non Putri bicara begitu. Ndak boleh ! Itu namanya pamali. Sama orang tua nggak boleh bicara seperti itu !” Bibi tersentak mendengar kata-kata Putri seperti itu. “Abisnya nggak pernah sayang sama Putri !” “Ibu pasti sayang !” “Kok nggak pernah nganter Putri sekolah ? Ibu pasti jahat … “ “Ssst … !” Bibi menempelkan telunjuk di bibir tuanya. “Nanti Putri masuk neraka ya ?” “Ya … kalau jahat sama orang tua, akan masuk neraka !” “Kalau ibu jahat sama Putri, ibu masuk neraka nggak ?” “Aduh si non … kok ada-ada aja ! Ya … bibi nggak tahu !” Bibi salah tingkah. Sarapan yang masih tersisa dipaksa dimasukan kedalam mulut Putri, tapi anak itu tetap tak mau membuka mulutnya. “Ayah itu orang kampung ya, Bi ? Suka main sama bebek ya ?” “Ya … nggak tahu ! Sudah sekarang makan dulu … biar non Putri sehat.” “Nggak mau … makan aja sama bibi !” *** Putri sekolah siang atau sekolah pagi, tugas Pandu mengantarnya. Sebagai petugas perpustakaan, Pandu memang tidak terlalu sibuk. Hampir seluruh waktu tugasnya dipakai melayani anak-anak. Karena lebih banyak waktu luang, tugas antar jemput baginya bukan sebuah beban yang akan memusingkan kepala. Elsya memang sangat sibuk, sebuah kondisi yang memaksa Pandu untuk memakluminya. Salah sendiri kenapa kemarin dulu mengijinkan Elsya cari kerja. Sebagai sarjana ekonomi dari universitas pavorite di kota ini, Elsya memang banyak peluang untuk mendapat kesempatan maju dan sekarang telah dibuktikannya. Sebagai marketing manager dari sebuah perusahaan besar, tak bisa dihadapi dengan setengah-setengah apalagi kalau sekedar main-main. Apalagi Pandu pernah ngomong, kalau mau kerja ya silakan, asal jangan merasa dipaksa dan ia sendiri sejak awal menegaskan tak mau mendengar keluh-kesah. Bumi pun berputar pada kuasa-Nya, kemudian menorehkan sejarah demi sejarah pada tiap diri yang bernyawa. Bukan keinginan Pandu kalau kemudian dia jadi lebih banyak tahu tentang masalah rumah dibanding istrinya. Bukan pula alasan untuk terus-terusan dijadikan bahan pertengkaran. Baginya hidup adalah pengabdian. Pada Tuhan, pada alam dan pada sesama. Kalau pun harus lebih rendah segalanya dari istri, dia menerima sebagai torehan sejarah dari alam yang harus diterimanya. Tapi tentang godaan itu tetap saja sering menyelusup pada pori-pori nuraninya, yang kadang membuatnya kering tenggorokan. “Kamu itu lelaki, Pandu. Lelaki adalah pemimpin bagi anak istrinya. Astagfirullah al-adziim…bagaimana kau bisa jadi pemimpin, kalau kendali rumah tangga justru ada di tangan istrimu !” suatu hari pak Manan pernah menggugatnya. Tapi Pandu cuma tersenyum. Begitu pun ketika Putri menanyakan kenapa ibunya tak pernah mau mengantarnya ke sekolah, Pandu tak terlalu banyak berkata selain elusan sayang di kepala putrinya itu. Tapi kejadian tadi malam benar-benar membuat Pandu sakit. Perih. Ketika Putri merengek terus karena demam, Elsya hanya teriak minta Pandu mengurusnya padahal dia sendiri hanya asyik berselancar di dunia maya yang jadi kegemaran barunya. Pandu sibuk ngelonin Putri dan membiarkan kelelakianya tercabik-cabik, hancur ke kasur kehidupan tanpa arti. Pun ketika Pandu tertidur di kamar anaknya, sampai pagi terang tak ada seorang pun yang membangunkan kecuali si bibi yang mau membersihkan kamar. Dunia begitu sumpek. Putri masih demam dan diputuskan untuk tidak sekolah, sementara Pandu juga mangkir karena khawatir akan terjadi apa-apa dengan putrinya. Si bibi hanya terlolos bengong menyaksikan pemandangan hari itu. Seorang bapak ngelonin putrinya dan sang ibu sibuk di luar rumah. Tapi si bibi tak ambil pusing, dia asyik dengan pekerjaannya. Hanya sesekali saja masuk kamar Putri, ketika membawa air panas dan sarapannya. Menjelang sore demam Putri makin menjadi bahkan anak manis itu sampai mengigau. Pandu benar-benar bingung apa yang harus dikerjakannya. Pada saat bingung terngiang kembali suara bapaknya. Makin lama makin keras dan menguasai setiap sudut kesadarannya. Akhirnya Pandu menelpon Elsya. Dari seberang sana terdengar nada ketus dan tak sabaran untuk bicara lama-lama. Katanya sedang disibukan dengan pekerjaanya. “Emangnya penting banget kerjaan itu ?” protes Pandu. “Lho .. kok nanya begitu, kayak anak kecil saja. Udah. Ibu akan buru-buru pulang.” Klik gagang telpon disimpan menyisakan sesak di dada Pandu. Dalam nanar pandangannya Pandu mulai merasakan satu demi satu ketidak beresan itu datang silih berganti. Ketika Putri ngigau malam, tugasnya untuk menenangkannya. Bahkan suatu hari ketika si bibi pulang kampung dan Putri mau dibikinin orange juice, Pandu yang sibuk bikin di dapur sementara Elsya asyik menelpon dengan seorang klien. Sekarang terasa betapa hebatnya seorang klien sampai menelpon ke rumah. Puncak dari semua sakit hati itu yang sayang baru disadarinya belakangan ini, mengantarkan Pandu berjalan gontai masuk ke kamar dan lama berdiri kaku di depan lemari pakaian. Dalam sakit hati pula tangan-tangan yang lama tak menunjukan kekekarannya itu sampai juga memegang travel bag dan membukanya. Beberapa pakaian dibereskan. Baru saja hendak menutup rizsleting travel bag yang diisi pakaian pribadinya itu, tiba-tiba matanya terantuk pada sebuah amplop kabinet di bawah tumpukan baju istrinya. Pelan amplop tersebut ditariknya. Tak ada identitas apapun di sana selain bagian bawahnya yang agak gembung berisi sesuatu didalamnya. Terdorong rasa penasaran, Pandu membuka ikatannya dan menarik isinya. Betapa kagetnya dia ketika isi amplop kabinet tersebut ternyata sejumlah amplop warna kuning dan tertera namanya. Amplop yang biasa dia terima setiap awal bulan dari tempatnya bekerja. Lebih kaget lagi ternyata isinya pun masih tetap utuh. Pandu benar-benar sakit dan bahkan mungkin kini telah mulai berdarah. Luka itu terus menganga mengeluarkan nanah dendam. Terngiang kembali kata-kata bapaknya. Terbayang kemudian Elsya ongkang kaki di atas kursi arogansinya. Jangan salahkan siapa-siapa kalau kemudian bisikan hatinya sudah bulat, sore itu juga dia pergi. Tapi ketika di ruang tengah dilihatnya Putri, langkahnya kembali ragu-ragu. Dalam kebimbangannya itu, dia melihat sorot mata si bibi yang penuh tanda tanya. “Bapak mau kemana sore-sore begini ?” “Emh…anu, Bi, saya mau ke dokter.” Pandu gugup. “Kok bawa tas besar ?” giliran si bibi yang merasa aneh. Pandu makin gugup. “Emh … Putri masih panas. Siapa tahu harus opname. Bibi tunggu rumah saja. Kalau ibu pulang, bilang saya ke dokter. Ayo, Putri !” entah kenapa dari bibir Pandu meluncur kata-kata seperti itu, dan refleks tangannya membentang. Putri pun tak banyak bicara, dia gelayutan meninggalkan sorot penasaran dari mata pembantunya. *** Elsya benar-benar gelisah. Semua dokter kenalannya yang biasa merawat Putri, tak seorang pun ngasih jawaban yang melegakan. Dari daftar pasen tak ada nama Putri maupun nama suaminya. Hampir tengah malam, saat Elsya merasakan puncak kegelisahannya. Ditemani si bibi yang tak bicara sepatah katapun, Elsya tak bisa menahan air matanya. Entah air mata apa, kecewakah atau apa dia sendiri masih sangsi, yang jelas malam itu dia mau menangis. Baru malam itu dia merasakan kesepian setelah tidak melihat suaminya, tidak menyaksikan mata bulat putrinya. Kemarin bahkan tadi siang di kantor, Elsya masih merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah benar karena ingin mendongkrak kehidupan rumah tangganya. Tak pernah menyangka sedikitpun kalau pengalihan tugas menjaga Putri pada suaminya, akan berakhir dengan minggatnya Pandu. Terngiang suara mama. Terngiang protes tak tuntas dari suaminya. Terngiang rengek Putri ketika demam. Membuat Elsya kehilangan kesabarannya dan teriak kesal mengagetkan si bibi yang terlolong bengong. Pagi-pagi benar Elsya menelpon polisi tentang kepergian suami dan putrinya, kemudian ngecek beberapa rumah sakit untuk memastikan bahwa tak ada seorang pun korban kecelakaan malam tadi bernama Putri atau Pandu. Siang itu Elsya tidak kerja, kepalanya pening tak karuan. Dia bingung sendiri harus kemana mencari, yang terlihat saat itu hanya tembok-tembok tinggi di sekelilingnya. Kalau saja si bibi tidak ngomong soal keinginan Putri berkunjung ke embahnya di kampung, Elsya tentu tak akan pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari tahu di rumah mertuanya. Sejak malam yang kepikir hanya mamanya semata. Saat itu juga Elsya menelpon mertuanya. “Maaf, Mas Pandu ada di situ, Pak ?” “Siapa ?” “Saya, Elsya, pak ?” “Elsya ? Masak nggak tahu suamimu pergi ke mana.” “Ehm … “ “Kau juga nggak tahu kapan suamimu pergi ?” “Ehm .. saya … “ “Sibuk dengan kerjaan ?” Klik. Elsya menghela nafas panjang. Sebagai wanita dia merasa telah melakukan kebodohan yang teramat sangat, paling tidak semua itu terlihat dengan masih bisa bertahannya di rumah sampai saat itu padahal anak dan suaminya pergi entah kemana. Ada cibiran dalam kata-kata mertuanya tadi, tapi tidak demikian yang dia dengar dari mamanya. “Besok juga dia kembali. Berapa sih gaji dia. Apa bisa buat menghidupi dirinya dan Putri ?” Carut-marut di kelopak mata Elsya makin tak beraturan, seperti coretan-coretan anak kecil yang baru bisa pegang pensil. Sebagai seorang marketing manager yang terbiasa menghadapi masalah-masalah rumit, ternyata Elsya bertekuk lutut ketika menghadapi masalah itu. Sebagai wanita dia merasa telah terpedaya oleh ambisinya. Sebagai seorang ibu dia telah kehilangan kesempatan untuk hadir di sisi putri tercintanya manakala sakit. “Kau harus menang. Tatap lawan bicaramu dan taklukan !” “Kepada siapa ?” “Semuanya ! Termasuk juga suamimu !” “Mas Pandu ?” “Ya ! Buat dia bertekuk lutut sebagai seorang laki-laki yang kehilangan kelelakiannya, karena disanalah kamu akan hidup dalam ambisimu.” Terngiang terus kata-kata mamanya itu. Sebagai seorang wanita, mama memang sangat mengagumkan. Ditinggalkan bapak sendiri dalam usia perkawinan masih belia, mengurus Elsya sendiri dengan keringat bahkan mungkin air mata. Warisan dari kakek yang habis dipakai mengobati papa, membuat mama hidup dalam kubangan penderitaan. Tapi dengan semangat akhirnya bangkit dan terus berdiri tegak dalam ambisinya. “Aku tak bisa, Ma. Aku sayang Putri !” jerit bathin Elsya saat itu. HP di saku blezer merah marun berbunyi. Mama yang telpon. Kurang semangat Elsya menerimanya. “Belum pulang juga laki-laki itu ?” katanya dari seberang sana. Elsya mengiyakan tanpa darah. “Kau tak boleh kalah. Jangan sekali-kali kau bersusah payah untuk mencarinya, karena kalau kamu bersusah payah mencari artinya kamu sudah membeberkan alas tidur untuk tidurmu sendiri. Kau paham ?” Elsya mengangguk diiringi suara mengiyakan pelan. “Elsya ? Masak nggak tahu suamimu pergi ke mana. Kau juga nggak tahu kapan suamimu pergi ? Sibuk dengan kerjaan ?” silih berganti suara mertua dan mamanya, datang merayap pada pendengaran bathin Elsya. Sejenak kegalauan itu berhenti ketika ditelpon dari kantor, dan ada yang harus ditandatangani saat itu juga. Elsya menyuruh staffnya untuk datang ke rumah. Wajah pun dia ganti dengan seraut wajah manis tapi berwibawa seperti yang selama ini didapatkan para klien perusahaanya. Esoknya ada telpon dari GM, Elsya harus ke Singapura dan segalanya sudah disiapkan. Elsya tak bisa menolak karena ini urusan hidup dan matinya perusahaan. Selama seminggu di Singapura hanya sepenggal-sepenggal saja dari waktunya yang bisa dia optimalkan untuk kerjaan. Beberapa kali nelpon ke rumah, Pandu dan Putri belum juga pulang. Pulang kembali dengan hati setengah-setengah, setengah bingung dan setengah kangen. Kemudian Elsya minta cuti beberapa hari, tapi soal laporan dari Singapura akan tetap dikerjakan di sela-sela hari cutinya. Perut terasa melilit. Baru sore itu Elsya sadar kalau dia belum makan sejak kemarin malam. Apa yang disajikan si bibi samasekali tak menarik minatnya. Maka malam itu dalam perjalanan ke rumah mertuanya, Elsya mampir di rumah makan Sunda. Tapi tetap apa yang telah dibayangkan didalam mobil tadi, samasekali tak menggugah selera makannya. Akhirnya hanya meneguk orange juice kemudian meninggalkan meja. Elsya benar-benar kecewa karena harapannya kandas lagi. Padahal yang dia harapkan adalah suara Putri menyambutnya begitu dia menutup pintu mobil. Tapi rumah tua itu semakin nampak lesu. Dia tak melihat benih-benih keceriaan yang bisa makin mekar. Ketika mengetuk pintu, pak Manan yang datang. Dengan sorot mata kurang ramah laki-laki separuh baya itu hanya memberi isyarat mengajaknya masuk. Dari dulu pak Manan memang selalu nampak angkuh dan kurang bersahabat setiap menyambut Elsya, apalagi ketika tahu bagaimana mamanya pernah menyinggung perasaannya. Urusan sepele saat itu sebenarnya, gara-gara pak Manan datang dengan pakaian sederhana dan membawa setandan pisang hasil dari kebunnya. Tapi mama sangat marah, karena tak mau punya besan seperti itu. “Kau rupanya !” “Iya, Pak ! Selamat sore.” Elsya menunduk dan siap-siap untuk sungkem, tapi pak Manan menarik tangannya dan dilingkarkan di belakang membuatnya nampak sangat angkuh. “Sore ! Masuk !” “Terima kasih. Bapak udah dapat kabar ?” hati-hati sekali Elsya mengajukan pertanyaan itu. Pak Manan acuh tak acuh hingga pertanyaan itu tak menemukan jawaban. Sebentar kemudian Emak datang, seperti biasa ramah sekali pada Elsya. Seperti timur dan barat antara pak Manan dengan Emak. “Nak Elsya !” “Emak ! Maafian saya !” Elsya tak sungkan untuk sungkem, dan pada pangkuan wanita tua itu Elsya juga tak sungkan untuk menyatakan apa-apa yang membuatnya tersenggal di tenggorokan. Pak Manan sedikit teriak dari dalam : “tanya cepat mau apa dia kemari, supaya kita tidak terlalu berlama-lama. Ketinggalan kereta Emak sendiri kan yang repot, aku sih masih bisa jalan sampai jalan propinsi.” Emak mengelus kepala Elsya dan pelan mengangkatnya. Elsya mendongak, matanya sembab. Sebuah pemandangan yang jarang sekali nampak pada wajah Elsya, sebagai seorang eksekutif muda yang enerjik. “Kau pasti cari Pandu dan anakmu, kan ?” Elsya mengangguk. “Nggak usah khawatir. Ada di dalam. Masuklah ! Emak tinggal dulu, mau ke kecamatan. Ada urusan sama bapaknya Pandu.” Elsya mengganguk dan matanya yang bulat itu kini benar-benar penuh harap. Kalau saja tidak malu, tentu dia akan berlari dan tak akan sungkan lagi untuk sungkem pada suaminya. Kalaulah dengan mencuci telapak kaki Pandu bisa menebus rasa bersalahnya, saat itu juga Elsya mau melakukannya. Tapi rupanya rasa kangen itu pada anak dan suaminya saat itu terlalu mahal untuk dia dapatkan dengan mudah. *** Di ambang pintu kamar Elsya melihat Pandu berdiri kaku. Matanya menatap tak ramah. Sementara dia tak melihat Putri. Entah dimana, yang jelas bathinnya meyakini kalau buah hatinya itu ada di dalam ruangan rumah sederhana yang didominasi bambu tersebut. “Darimana kau tahu aku ada disini ?” tanya Pandu membuyarkan kebekuan. Elsya tak segera menjawab selain menatap ragu seperti anak perawan memasuki halaman rumah lelaki yang menaksirnya. “Kata hatiku yang mengajak aku ke sini !” pelan Elsya melangkah mendekat pada Pandu yang tetap terpatung kaku. “Masih juga punya hati rupanya wanita hebat seperti kamu.” “Memangnya kenapa ?” “Aku menunggu hinaan apalagi yang akan kau tebarkan disini !” “Ayah ?! Apa maksudmu ? Kapan aku menghina ayah ?” “Kapan ? Kapan akan berakhir maksudmu ?” Pandu mencibir, kemudian melangkah dan duduk di kursi tengah rumah. Sebentar kemudian dari dalam kamar Putri keluar dan berlari ke arah Pandu melewati Elsya yang baru saja merentangkan tangan menyambutnya. Tapi anak itu seperti ketakutan. Elsya benar-benar diam. Dia seperti menyaksikan sebuah pemandangan asing saat itu. “Udah bangun cayang, uh cup .. cup .. Enak bobonya ?” “Putri haus !” kata Putri sambil sesekali menguap. “Habis minum mau bobo lagi ?” “He-eh … “ Putri mengangguk. “Putri ? Sini mama gendong ! Nggak kangen sama mama ?” Elsya mendekat, tapi anak itu malah memeluk erat ayahnya. “Sudah lah ! Lebih baik kau pulang. Kantormu akan bangkrut kalau berlama-lama ditinggalkan seorang manager macam kamu. Biarkan Putri di sini, karena dia telah menemukan dunianya sendiri. Aku tak mau dia kehilangan dunianya seperti ayahnya yang lama kehilangan kelelakiannya.” “Ayah ini bicara apa sih ? Ibu kok nggak ngerti.” “Aku ini sakit, Elsya. Sakit. Lebih sakit lagu dengan pertanyaan-pertanyaan tololmu itu. Apa kau nggak merasa telah mencapakanku bahkan menginjak-injak aku.” Pandu tak bisa menyembunyikan kemarahannya. Kalau saja Putri tidak mengguncang-guncang pundaknya, Pandu akan keterusan. Diciumnya Putri, kemudian dia berdiri dan menggendong Putri dibawa masuk ke kamar. Elsya mengikuti tapi terpaku di ambang pintu ketika melihat Pandu melotot tak suka. Kebekuan mengambang kemudian mengkristal pada bathin masing-masing. Elsya duduk kembali di kursi menghadap halaman. Pelan dari dalam kamar terdengar Pandu cerita pada Putri tentang Sandekala yang mau menelan bulan. Entah cerita apa lagi yang didengar Elsya saat itu, karena sebagian dari waktunya larut pada lamunan-lamunan kosong. Sebentar kemudian Pandu keluar dari kamar dan mendekati Elsya yang sedang menatap kosong ke arah halaman. “Putri sudah tertidur. Cepet katakan apa maksud kamu datang ke mari ?” dengan bicara agak ditekan Pandu seperti sengaja ingin membuyarkan lamunan Elsya. “Aku kangen sama Putri !” “Sama Putri ?!” “Juga sama kamu, Ayah !” “Sama aku ?” “Iya, apa itu salah ?” “Tidak ! Yang salah cara kamu menilai orang. Baru kemarin aku merasa bagaimana aku sakit hati. Aku tak pernah menyangka sedikitpun, kalau gajiku selama ini hanya kau simpan dalam sebuah amplop besar dan tak sempat kau buka. Aku yakin itu. Maka lengkaplah Si Pandu ini sebagai pecundang dan harus mencium tanah kehinaan.” Elsya diam. Dia ingat benar kelakuannya selama ini. Dia tak pernah lagi membuka amplop gaji suaminya seperti awal-awal meniti rumah tangga dulu. Segala keperluan telah dicukupi, sehingga tak merasa perlu lagi untuk membukanya. “Aku tak bermaksud menghinamu, Ayah. Tapi okelah. Aku mohon maaf. Aku terlalu sempit memandang selama ini. Tapi jangan halangi aku untuk kangen-kangenan sama Putri.” Elsya tak ngotot lagi seperti biasanya. Dia seperti telah menemukan kembali sifatnya yang dulu dalam sepenggal lamunannya tadi. “Tidak. Aku tak ingin anakku disentuh seorang ibu yang kehilangan kewanitaaanya. Aku tak rela anakku dididik untuk jadi sombong dan tinggi hati.” Pandu tetap tegang. “Lebih baik kau segera pulang, supaya mamamu tak menelpon lagi ke mari dan memuntahkan kata-kata kotornya. Aku takut kehilangan kesabaranku dan tiba-tiba melukai ibumu.” “Kapan mama telpon ?” “Sebelum kau datang tadi ! Kau tahu mau kemana emak dan bapakku ?” Elsya menggeleng. “Mau berkunjung ke rumah seorang ustadz, karena takut hatinya tidak terkendali karena menerima hinaan dari ibumu.” Elsya terdiam. Pipinya makin terasa panas. Terngiang kembali bagaimana kata-kata ibunya ketika dia menelpon dan mengatakan Pandu dan Putri tidak ada di rumah. Elsya seperti baru sadar, bahwa selama ini kekagumannya pada ibunya itu justru telah menularkan kebusukan. Tak tahu berterima kasih, tak bisa menghormati orang lain dan hidup selalu mau menang sendiri adalah sedikit watak yang dia dapatkan dari darah ibunya sendiri. Elsya tertunduk malu. Tanpa kata-kata dia keluar dari rumah sederhana itu. Dia berjalan menyusuri jalan panjang meninggalkan kendaraan mewahnya, meninggalkan segala atribut yang selama ini telah membelenggunya sampai sulit untuk menghormati seorang lelaki karyawan sebuah perpustakaan negara, padahal laki-laki itu adalah suaminya sendiri. *** Sepuluh tahun silam. Pandu dan Putri berjalan sesekali berlarian di sebuah taman kota. Seorang perempuan tua compang-camping menikmati pemandangan itu. Tak sadar bibirnya tergetar dan terlolos kata : “Putri !”. Astagfirullah. *** Ada tiga hal yang termasuk kebinasaan Pertama, seorang pemimpin bilamana kamu berbuat baik, dia tak berterima kasih, dan kalau kamu berbuat kesalahan dia tidak memaafkan Kedua, tetangga yang busuk hatinya, kalau dia melihat kebaikan Ditutup-tutupi, tetapi kalau melihat suatu kejelekan dia kan sebarluaskan. Dan ketiga, seorang istri bila kamu berada di rumah senantiasa Mengganggumu dan kalau kamu sedang tidak ada di rumah, Ia mengkhianatimu. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) ***

SEPANJANG KEINGINAN UDIN

Oleh : E.Rokajat Asura
Namanya sangat singkat, Udin. Cuma empat hurup, tidak kurang tidak lebih. Dari sononya namanya ya seperti itu. Ini bukan nama rekayasa bukan pula singkatan. Tapi soal keinginan jangan tanya. Keinginan Udin panjang sekali, lebih panjang dari rel kereta api Jakarta – Surabaya. Sejak kecil Udin selalu memelihara keinginan demi keinginan itu. Bahkan beberapa diantara keinginan itu ada yang sampai menjadikannya sebuah obsesi. Memang tidak selamanya keinginan itu terwujud, banyak juga yang tidak terlaksana sehingga keinginan tinggal keinginan. Setiap akhir tahun sudah jadi kebiasaan Udin yaitu mengadakan introspeksi tentang keinginan mana yang terlaksana dan keinginan mana yang tidak terlaksana. Nah, kesimpulan pada tahun sekarang ternyata banyak keinginan yang tidak terlaksana. Artinya selama tahun ini prestasi Udin sangat buruk. Tidak heran kalau sekarang dia selalu merenung mencari akal dan ramuan yang jitu, agar keinginan-keinginan di tahun depan nanti akan banyak yang terlaksana. Paling tidak 51 satu prosen dari keinginan itu terlaksana, dan 49 yang tidak terlaksana. Sengaja menggunakan komposisi seperti itu agar kelihatannya lebih keren, atau paling tidak mengikuti bagaimana para pemegang saham menentukan kebijakan. Hampir setiap hari, pagi-pagi benar Udin telah memegang buku dan pensil. Dia mulai menulis satu demi satu keinginan yang ingin diwujudkan dalam tahun depan. Selama seminggu mencatat keinginan-keinginan itu akhirnya telah tertulis tidak kurang dari 60 buah keinginan. Jumlah yang fantastis tentu saja, karena dengan jumlah keinginan sebanyak itu, paling sedikit dalam sebulan harus mewujudkan lima buah keinginan. “Inilah planning saya untuk tahun depan,” jelas Udin ketika Sugeng, salah seorang teman dekatnya menanyakan apa yang ditulisnya selama seminggu ini. Satu demi satu Sugeng menelitinya, lalu ia senyam-senyum dengan sejumlah catatan yang ada dalam buku milik sahabatnya itu. “Kamu punya jurus apa untuk mewujudkan semua keinginan ini ?” tanya Sugeng serius. Ditanya seperti itu Udin tidak langsung menjawab. Dia sendiri masih bingung, jurus apa yang paling ampuh agar semua keinginan yang telah ditulisnya dalam buku cukup tebal itu semuanya terwujud. “Kamu perlu seorang peramal, yang harus meramal nasib kamu tahun depan nanti. Nah, keinginan-keinginan yang sesuai dengan ramalan itulah yang harus kamu prioritaskan. Dengan cara seperti itu kamu tidak akan terlalu membuang-buang energi secara percuma. Kalau kamu butuh seorang peramal, aku punya teman !” jelas Sugeng seraya menuliskan nama dan alamat temannya yang terkenal sebagai peramal. Sesaat Udin seperti ragu-ragu dengan usulan Sugeng itu, tapi akhirnya dia menerima juga. Menurut pemikiran Udin saat itu, dengan diramal paling tidak dia sendiri akan memiliki jurus untuk memilih dan memilah keinginan mana saja yang harus diprioritaskan. Singkat cerita pada suatu hari Udin pergi ke tempat meramal. Di sana mulailah dia diramal, dari mulai rejeki, jodoh sampai sejumlah keinginan yang telah dicatatnya. Sejam berikutnya, Udin telah melenggang meninggalkan tempat itu dengan wajah ceria. Betapa tidak, menurut ramalan di akhir tahun ini, dia akan menerima kejutan demi kejutan yang berkaitan dengan rejeki. Kejutan demi kejutan itu konon akan datang langsung ke rumahnya. Maka melambunglah khayalan Udin. Andaikata dikejutkan dengan diperolehnya sejumlah rejeki pada akhir tahun ini, dia punya rencana dari mulai mengganti sepeda motor, mencat rumah, wisata dan tentu saja melamar gadis pujaannya. Pagi-pagi Udin sudah mandi, lalu duduk di depan teras lengkap dengan buku dan pensil. Dia mulai menuliskan rencana. Pertama, mengganti sepeda motor. Dia hitung berapa harga motor lamanya dan berapa harga motor baru sehingga munculah margin. Dalam kolom pemasukan ia menuliskan, andaikata kejutan itu sejumlah lima belas juta maka sekian prosen dipakai untuk nambah beli motor, sekian prosen untuk mencat rumah, wisata dan sekian prosen untuk disimpan di dalam tabungan agar nanti kalau telah cukup waktu menikah, tidak akan terlalu kelabakan. Jam sepuluh pagi Udin belum beranjak dari tempat duduknya karena menunggu datangnya kejutan. Hari itu dia memutuskan untuk tidak pergi jualan, karena takut ketika kejutan itu datang, dia sendiri tidak sedang di tempat. Sampai sore hari ternyata kejutan itu belum juga datang. Kecewakah Udin ? Ternyata tidak. Dia justru berharap, siapa tahu kejutan itu akan datang besok. Sebaliknya dia mulai instrospeksi. Tadi pagi jam delapan dia sudah duduk di teras, tapi siapa tahu kejutan itu justru datang jam tujuh saat dia sedang di kamar mandi. Keesokan harinya jam tujuh Udin sudah menunggu kejutan. Tapi sampai sore hari bahkan sampai tengah malam kejutan itu tidak muncul juga. Pada hari ketiga ia bangun lebih pagi dan jam enam sudah duduk di teras menunggu kejutan. Tapi anehnya sampai sore kejutan itu belum muncul juga. Udin tetap tidak kecewa, sebaliknya keesokan harinya jam lima pagi sudah duduk di teras untuk menunggu sang kejutan tiba. Demikianlah terus, Udin selang sehari selalu memundurkan waktu duduk di teras itu. Hingga akhirnya entah pada hari ke berapa, Udin genap tidak tidur samasekali. Selama itu pula ia tidak pergi dagang sehingga sebagian dari tabungannya mulai dikuras untuk biaya hidup selama beberapa hari menunggu kejutan. Apalagi pengeluaran selama menunggu kejutan itu benar-benar melambung, karena untuk segala keperluan Udin menyuruh orang lain sementara dia sendiri duduk di teras menunggu sang kejutan datang. Dia sengaja menyuruh orang untuk melayani dirinya, agar tidak ada kesempatan kejutan lewat begitu saja. Hampir sebulan duduk di teras menunggu sang kejutan, Udin dikabarkan ambruk. Maklum karena terlalu sering begadang sehingga kesehatannya terganggu. Lalu Udin dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan harus opname. Menurus hipotesa dokter, Udin menderita tekanan darah rendah komplikasi dengan wasir. Udin yang diopname akhirnya sampai juga beritanya kepada Sugeng yang saat itu baru pulang dari Surabaya. Sahabat dekatnya itu datang menjenguk. Melihat wajah Udin yang pucat dengan tulang pipi yang menonjol, Sugeng benar-benar tidak kuasa menahan tangis. “Kenapa kamu jadi begini, Din ?” tanya Sugeng sambil berurai air mata. Udin tidak segera menjawab melainkan menunjuk ke atas meja kecil tempat buku yang selama ini dipegangnya tersimpan. Sugeng membuka-buka buku. Pada halaman dalam ada tulisan besar : Kamu Akan Mendapatkan Kejutan Rejeki Yang Datang Ke Rumah. Dibawah tulisan itu ada juga serentetan tulisan yang berisikan rencana mengganti sepeda motor, wisata dan melamar gadis pujaanya. Di halaman lain Sugeng membaca tulisan tentang hari pertama Udin menunggu kejutan sampai akhirnya dia ambruk. Pada tulisan-tulisan itu terlihat bulatan-bulatan stabilo yang memberi tanda kalau hari itu Udin gagal menerima kejutan. “Kenapa kamu jadi bodoh begini, Din ?” “Aku tidak bodoh, justru karena aku pintar semua itu terjadi. Kata peramal teman kamu itu, semua ramalan akan terjadi kalau kita percaya seratus prosen dan melatih kesabaran dari apa saja yang diramalkannya itu,” jelas Udin terbata-bata mengingat kesehatannya belum pulih. Mendengar pengakuan Udin seperti itu, untuk kesekian kalinya Sugeng hanya menggelengkan kepala. “Din, yang namanya ramalan itu hanya sebuah prediksi, bukan sesuatu yang pasti. Kejutan rejeki itu mustahil datang kalau kamu hanya menunggu, duduk termenung di depan teras. Coba kamu bayangkan, kalau selama sebulan ini kamu terus berdagang, kamu terus pergi ke pasar, menjalin hubungan dengan orang lain, berapa keuntungan yang akan kamu peroleh sekarang ? Mungkin itulah kejutan rejeki kamu di akhir tahun. Tapi sekarang, kamu bukannya mendapat kejutan rejeki malah sebaliknya sangat banyak kehilangan rejeki. Buang-buang rejeki.” Udin termenung. Entah kenapa selama sebulan ke belakang dia benar-benar telah berlaku bodoh, menunggu rejeki turun dari langit tanpa berusaha sedikit pun. Udin kemudian memejamkan mata, dengan kegagalan seperti itu berapa point keinginannya lenyap begitu saja. Akhir tahun yang menyedihkan tentu saja. ***

Testimoni

TAFSIR WANGSIT SILIWANGI http://erasura.blogspot.com/2016/05/tafsir-wangsit-siliwangi.html

TAFSIR WANGSIT SILIWANGI

Testimoni : Aam Hamidah*) Meni pogot maos Tafsir Wangsit Siliwangi teh (semangat sekali membaca Tafsir Wangsit Siliwangi itu). Sesekali air mata mengalir, teringat buyut-buyut Teteh, jaman masih bocah dulu. Tradisi nanggap pantun selalu diadakan terutama sehabis panen. Konon leluhur Teteh adalah keturunan dari yang menghilangkan jejak, berbaur dengan masyarakat banyak. Buyut Teteh pernah cerita, beliau punya ikat pinggang yang terbuat dari emas permata, tapi hanya karena sebuah kesalahan, ikat pinggang itu hilang. Ingat benar setiap menceritakan kisah itu, buyut Teteh bercerita sambil menahan tangis. Beliau bilang padahal itu peninggalan terakhir dari leluhur. Jadi bagi Teteh, membaca dan beli buku-buku tentang Sunda itu supaya anak cucu tahu tentang karuhunnya. Itu saja. Meski kadang mereka nanya, bagaimana bisa kita masih keturunan Tubagus dari Banten? Heheh…Itulah kesempatan Teteh buat bercerta. Nuhun, Yi, atas panggaliannya tentang Siliwangi, Teteh jadi tahu maksud wangsitnya itu apa. *)Bekerja di Mahkamah Agung RI, tinggal di Serang, Banten.

Rabu, 18 Mei 2016

Gemblak

GEMBLAKGEM http://erasura.blogspot.com/2016/05/gemblakgem.html

GEMBLAKGEM

Tragedi Cinta Budak Homoseks Posted on April 18, 2009 by kyaine Judul: Gemblak, Tragedi Cinta Budak Homoseks • Penulis: Enang Rokajat Asura • Penerbit: Edelweiss, 2008 • Tebal: 262 hal Novel yang beberapa bagiannya ini pernah dipublikasikan dalam cerita bersambung Tabloid Nova ini, memberikan gambaran yang cukup detil mengenai kehidupan seorang warok. Gemblak adalah anak lelaki peliharaan seorang warok untuk mempertahankan kesaktiannya. Tugas utama gemblak adalah melayani kebutuhan seks seorang warok. Gemblak, jimat dan reyog, tiga hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan warok. Penggemblakan merupakan praktek homoseksual yang diterima begitu saja, bahkan diakui oleh sebuah masyarakat di daerah Jawa Timur sebagai bagian tradisi mereka. Tradisi “cabul” semacam ini sepertinya dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu tradisi yang harus dilestarikan. Contoh lain, misalnya tradisi bukak kelambu bagi seorang ronggeng, yaitu tradisi “memerawani” seorang ronggeng yang masih gadis yang dilakukan dengan cara dilelang, siapa yang berani bayar mahal dialah yang berhak mendapatkan keperawanan si ronggeng (kisah ini diangkat menjadi sebuah novel Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari). Atau tradisi melakukan “persetubuhan” dengan orang lain di wilayah Gunung Kemukus Sragen untuk mendapatkan berkah dan kekayaan, yang sebenarnya hal itu merupakan bentuk prostitusi terselubung. Tradisi gemblak inilah yang diceritakan oleh penulisnya. Bermula dari himpitan ekonomi dan pesoalan sosial, di mana kemiskinan selalu dikalahkan oleh orang-orang kaya, Sapto Linggo, sang tokoh utama harus merelakan dirinya menjadi seorang gemblak Hardo Wiseso, warok sakti mandraguna dari daerah Maguan. Sapto Linggo menjadi gemblak kesayangan Wiseso.Dia dimanjakan bahkan disekolahkan oleh Wiseso. Di satu sisi, Hardo Wiseso melanggar pantangan yang ditetapkan oleh leluhurnya, bahwa seorang warok dilarang mempunyai istri, bahkan mempunyai anak yang bernama Lastri. Sapto Linggo kerap disiksa oleh Wiseso setelah ketahuan kalau dia jatuh cinta kepada Lastri, anak perempuannya. Akhirnya, Sapto Linggo dan Lastri, minggat dan kawin tanpa restu Wiseso. Persoalan tidak berakhir di situ, ternyata dendam kesumat masih ada di dada Wiseso. Prapto, adik Sapto Linggo dipaksa oleh Wiseso untuk dijadikan gemblaknya. Lagi-lagi, orang lemah dikalahkan oleh kekuasaan seorang warok. Meskipun nantinya Wiseso tewas dalam pertempuran dengan kakak seperguruannya, Eyang Legong, tetapi Sapto dan Lastri mendapatkan karma. Anak mereka, yang diberi nama Toenggoel, kulitnya hitam, kepalanya lebih besar dari ukuran normal dan matanya juga menonjol keluar. Kakinya juga bengkok. Bahkan semakin diperhatikan ternyata tubuh anaknya itu dipenuhi dengan bulu yang lebat. Ia lebih mirip topeng dalam reyogan. Inikah karma, akibat kelakuannya sebagai gemblak di masa lalu? Apa ini peringatan karena telah menikahi Lastri tanpa izin orang tuanya? Kenapa kesombongan dan keangkuhan Wiseso, harus diperhitungkan dengan memberinya anak yang cacat? Sayang, novel bagus ini tidak diimbangi dengan mutu cetakan dan masih banyak salah cetak serta rancunya penggunaan kata “aku” dan “saya” terutama dalam percakapan antara Sapto Linggo dan simboknya. Share on Facebook This entry was posted in PustakaRona. Bookmark the permalink. http://padeblogan.com/2009/04/18/tragedi-cinta-budak-homoseks/

Selasa, 17 Mei 2016

Bermain

BERMAIN AIR http://erasura.blogspot.com/2016/05/bermain-air.html

BERMAIN AIR

Oleh : E. Rokajat Asura Main air termasuk berenang bagi anak tak kalah menariknya dengan makan ice cream. Tapi tanpa pengawasan yang tepat, kegemaran itu bisa jadi bencana. Ada baiknya anda mengetahui potensi dasar putra-putri anda sesuai dengan tingkatan usianya agar tetap bisa bermain dengan aman dan nyaman. Ibarat makan ice cream, pengetahuan itu diharapkan bisa menjaga agar anak tidak sampai tersedak atau justru menjadi keranjingan hingga lupa makan. Ini yang bisa dilakukan putra-putri anda yang berusia 5 tahun ke atas. Ia sudah bisa memadukan semua gerakan lengan dan kaki serta bernafas untuk mulai belajar ayunan-ayunan renang yang sebenarnya. Anda juga bisa mulai melatih bagaimana caranya mengapung dan meluncur, melompat dan belajar terjun masuk ke kolam renang. BELAJAR DENGAN BERMAIN Untuk mendorong agar anak belajar menyelam, bisa dimulai dengan mengisi telur-telur plastik warna-warni dengan uang logam, ceburkan ke dalam kolam dan minta si kecil untuk terjun, menyelam dan mengambilnya. Sementera sebagai persiapan agar si kecil bisa berbalik saat belajar renang nanti, dorong putra-putri anda untuk latihan jungkir balik di bawah air. SAFETY FIRST SAAT BERMAIN AIR Mencari guru les renang, tak ada salahnya. Namun demikian, peraturan tentang keselamatan di air, tetap harus anda dan putra-putri anda ketahui. Masalahnya, les renang saja tidak cukup menjaga agar anak tidak tenggelam. Abai terhadap hal-hal kecil tentang peraturan keselamatan, bisa berbuah petaka. Manakala berada di kolam renang, pastikan ada penjaga kolam renang yang bertugas, tetaplah dekat dengan putra-putri anda sehingga ketika ada hal-hal yang tidak diinginkan, anda bisa bereaksi cepat. Sementara ketika berada di pantai, jangan bermain-main dengan segala peringatan dan rambu-rambut peraturan yang ada. Kalaupun memang harus berenang, maka anda harus ikut serta dan berada di tempat yang lebih dalam dibanding tempat anak-anak anda berenang. Bagaimana kalau berenang di rumah ? Jangan sekali-kali mengijinkan si kecil renang sendiri tanpa didampingi orang dewasa untuk mengawasinya. Agar si kecil tidak curi-curi kesempatan, tak ada salahnya jika kolam renang di rumah dikeliling pagar pengaman setidaknya lebih tinggi dari tinggi badan si kecil. *** (dari berbagai sumber).

Bahasa baru...

KEPALA SUKU http://erasura.blogspot.com/2016/05/kepala-suku.html

KEPALA SUKU

Diropea : E. Rokajat Asura

SEORANG KEPALA SUKU DARI PEDALAMAN AFRIKA DIUNDANG KE JAKARTA DALAM SEMINAR “BUDAYA PRIMITIF SEDUNIA” … BEGITU TURUN DARI KAPAL SI KEPALA SUKU SANGAT TERKESAN DENGAN KEMAJUAN JAKARTA … HEBAT JAKARTA TEH KATANYA .. TENTU SAJA DALAM BAHASA PEDALAMAN AFRIKA … TAH SEBELUM SEMINAR DILAKSANAKAN SEORANG WARTAWAN MAU NGEWAWANCARA … TAPI TERUS TERANG DIA BINGUNG MAU PAKE BAHASA APA … BAHASA INGGRIS ? JANGAN-JANGAN KEPALA SUKU NGGAK NGERTI … PAKE BAHASA AFRIKA … GILIRAN DIA YANG NGGAK NGERTI … TAPI AKHIRNYA SI WARTAWAN NEKAD NANYA PAKE BAHASA INDONESIA … BEGINI KATANYA … HEI KEPALA SUKU APA ANDA BISA BAHASA INDONESIA … SI KEPALA SUKU SEURI SAMBIL NGOMONG … ZZZZZ .. KRRRRKKKK … BISA ! CENAH … WAH HEBAT … SI WARTAWAN BUNGAH … OKE KEPALA SUKU … ANDA SUKA DENGAN MEGAHNYA KOTA JAKARTA … KEPALA SUKU MENJAWAB ZZZZZ KKKRRRKKK … SUKA CENAH … SI WARTAWAN BEUKI HERAN .. KOK KEPALA SUKU PEDALAMAN AFRIKA BISA BAHASA INDONESIA DENGAN LANCAR … SEKALIPUN DIA TIDAK NGERTI KENAPA SETIAP NGOMONG SI KEPALA SUKU TEH SELALU DIAWALI ZZZZ KKKRRRKK … KAJEUN LAH CENAH … NU PENTING SAYA HARUS TAHU DARI MANA SI KEPALA SUKU BELAJAR BAHASA INDONESIA … OKE KEPALA SUKU NAMPAKNYA ANDA LANCAR SEKALI NGOMONG BAHASA INDONESIA … SI KEPALA SUKU TEH NGEJAWAB … ZZZZ KKRRRRKK IYA LANCAR CENAH … NGOMONG-NGOMONG ANDA BELAJAR BAHASA INDONESIA DARIMANA ? DENGAN LANCAR SI KEPALA SUKU NGEJAWAB LAGI … ZZZ KKKKRRK SAYA BELAJAR … ZZZZ KKKKRRRRKKK BAHASA INDONESIA MELALAUI PEWASAT DUA METERAN ZZZZ  KKKKKRRRRK  CENAH …

Minggu, 15 Mei 2016

Naskah Drama

HITAM PUTIH http://erasura.blogspot.com/2016/05/hitam-putih.html

HITAM PUTIH

Contoh
Naskah Teater

Salah satu bentuk prosa nan kurang mendapat perhatian dari para penulis pemula ialah naskah teater . Tidak mengherankan bila setiap diadakan lomba atau sayembara, para pesertanya tetap didominiasi para penulis senior atau setidak-tidaknya penulis nan telah sebelumnya memiliki pengalaman menulis naskah teater.
Peminat naskah teater dari jenjang nan paling bawah yakni siswa-siswi sekolah menengah sampai kepada seniornya di perguruan tinggi. Belum termasuk kelompok teater eksklusif nan secara rutin mementaskan teater tapi tak memiliki penulis naskah teater nan tetap. Maka jalan keluarnya ialah mengambil naskah-naskah teater nan telah dibukukan, naskah teater terjemahan atau belakangan mengunduh dari laman internet nan sering memublikasikan naskah-naskah teater.
Ada nan beranggapan kekuatan visualisasi dari pementasan sebuah naskah sangat ditentukan oleh kualitas naskah teaternya sendiri. Naskah nan baik dengan konflik kuat, akan memberi peluang lebih besar buat menghasilkan visualisasi pementasan teater nan baik. Berbeda dengan ketika menulis naskah cerita pendek atau novel, naskah teater harus senantiasa konsisten dalam mempertimbangkan bentuk visualisasinya.
Ada naskah teater nan secara verbal baik dan kuat, namun ketika dipentaskan ternyata mengalami kesulitan tersendiri. Hal ini terjadi sebab ketika menulis naskah teater, kurang memerhatikan peluang buat visualisasinya. Seorang penulis naskah teater juga harus senantiasa memperhitungkan bahwa ketika akan dipentaskan, naskahnya itu akan bersinggungan dengan unsur-unsur pentas lain seperti pemain, sutradara, kostum, dan tata artistik.
  Naskah Teater - Menulis Naskah Teater
Secara struktur sebenarnya tidak ada bedanya antara penulis prosa dalam bentuk novel, naskah, atau skenario film dan sinetron, dibanding dengan menulis naskah teater. Kecenderungan struktur tersebut yaitu sama-sama terdiri dari tema, setting , plot, dan pengembangan karakter tokoh. Hanya saja sebab naskah teater dibuat buat dipentaskan dan bukan buat semata-mata dibaca maka dalam hal ini ada rumusan lain buat sebuah naskah teater.
Aristoteles memberi rumusan bahwa sebuah struktur naskah teater nan baik terbagi ke dalam lima besar bagian nan meliputi pemaparan, konflik, klimaks, resolusi, dan kesimpulan. Namun demikian dalam pengembangannya tidaklah harus kaku seperti itu, tapi dapat dikombinasikan sinkron dengan keperluan. Ada beberapa naskah teater nan dibuka dengan adegan konflik, baru kemudian pemaparan dan seterusnya. Kombinasi penempatan dan penggunaan kelima bagian tadi menjadi kewenangan penulis naskah teater, namun tetap harus mempertimbangkan bagaimana ketika naskah teater dipentaskan.
Menulis naskah teater tentu saja dimulai dari munculnya ide. Dari mana ide itu datang? Menurut Enang Rokajat Asura dalam bukunya Panduan Praktis Menulis Skenario Dari Iklan Sampai Sinetron nan diterbitkan oleh penerbit Andi, Yogyakarta, dijelaskan bahwa ide itu seperti loncatan kilat di langit. Ide itu datangnya cepat dan dapat datang kapan saja dan di mana saja.
Supaya tak kehilangan ide nan akan menjadi inspirasi sebelum anda menyusun naskah teater, tentu saja ada menangkap loncatan ide tersebut. Caranya dengan menulis loncatan ide tersebut. Oleh sebab itu, seorang penulis harus selalu membawa catatan ke manapun pergi. Ide juga tak perlu ditunggu kedatangannya melainkan harus digali, digali, dan terus digali.
  Aktor Sang Eksekutor Naskah Teater
Aktor ialah eksekutor di lapangan pada saat pementasan sebuah naskah teater. Seorang aktor nan baik tak saja bekerja berdasarkan arahan pengarah adegan tapi memiliki energi dalam nan luar biasa sehingga dapat menghidupkan tokoh nan ada di dalam sebuah naskah teater. Asrul Sani dalam pengantar terjemahan dari buku karya Richard Boleslavski, kita harus membedakan antara bintang film dengan aktor.
Asrul Sani menyindir halus bahwa sesungguhnya buat menjadi seorang bintang film tak perlu pendidikan dan kerja keras. Seorang bintang film dapat lahir sebab nasib dan banyaknya publikasi. Namun, tak demikian dengan lahirnya seorang aktor. Lalu siapa sebenarnya aktor itu?
Dalam buku Dasar-dasar Dramaturgi karangan Japi Tambayong atau lebih populer dengan nama Remi Sylado, dengan meminjam istilah Oscar G. Brockett, Japi Tambayong menjelaskan bahwa aktor ialah salah seorang di antara para artis nan secara asasi tidak dapat bekerja terlepas dengan dirinya. Karena karya seninya itu tidak lain ialah suara, tubuh, dan jiwanya sendiri. Bayangkan, betapa beratnya tugas seorang aktor tersebut nan menurut Asrul Sani dapat lahir sebab nasib dan publikasi.
Dalam sebuah pementasan naskah teater , seorang aktor harus berhadapan dengan tenaga luar dari dirinya. Tenaga luar ini meliputi naskah, tata panggung, perwatakan, sutradara, dan pementasan itu sendiri. Sungguh berat tugas seorang aktor. Tapi bila sukses mengekspresikan sebuah karakter dari sebuah naskah teater, seorang aktor tak saja merasa bahagia sebatas dirinya tapi dapat menyenangkan semua nan terlibat dalam pementasan teater tersebut termasuk juga para penontonnya.
  Contoh Naskah Teater
Sebuah naskah teater nan terjaring dari Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja nan diselenggarakan oleh Seksi Penyajian Taman Budaya Jawa Timur 2004 ialah Hitam Putih. Menurut penulisnya, hampir setiap tahun ada saja permintaan buat mementaskan naskah tersebut baik oleh klub teater di sekolah menengah maupun para mahasiswa.
Anda dapat pelajari salah satu bab dari naskah teater “Hitam Putih” ini:
Naskah Drama Remaja Hitam Putih Karya: Enang Rokajat Asura Tokoh:
1. Amaral
2. Nenek
3. Rio
4. Dua Orang Bodyguard
5. Putri
6. Seorang Lelaki
7. Figuran  Cuplikan Naskah:
Babak Satu  Panggung ialah sebuah ruangan kosong. Ruangan fantasi. Amaral, seorang remaja Bella terseret dalam tarik-menarik antara kepentingan nan berbeda. Di sisi kiri Rio dengan selendang hitam, dan di sisi kanan nenek dengan selendang putih.Tarik-menarik antara Rio dan nenek Amaral membentuk sebuah tarian. Selendang hitam dan putih itu terus menjerat Amaral dalam gerakan-gerakan nan makin lama kian rancak. Akhirnya pada saat Amaral mencapai puncak kekesalan dan gelisah, selendang hitam dan putih itu putus.
Amaral terduduk indolen beberapa saat. Dalam temaram lampu, mobilitas Amaral bangkit membentuk sebuah silhoutte. Dingin. Detak jantung terdengar memburu. Amaral bangkit kemudian mengikuti mobilitas detak jantung itu. Makin lama terdengar makin keras dan memburu. Pada detak jantungnya sendiri, Amaral tak dapat menguasai bahkan tidak mampu mengendalikan. Detak jantung itu terus memburu dan memburu. Amaral lalu terengah-engah mencari sesuatu. Di kiri dan kanan selendang putih dan hitam juga menggapai-gapai.
Amaral: "Hitam....putih...Hitamku ...putihmu...putihku...hitammu...Di mana hitamku...di mana hitammu...Di mana putihku....di mana putihmu...Putih....hitam...Putihku...hitamku...dingin...Angin...di mana hitamku...di mana putihku..."
Rio: "Hitammu di sini...bukan itu...bukan di sana...Lihat...pandang...tatap...Hitammu di sini...Amaral!"
Amaral: "Hitamku di sana? hitamku di nadimu?"  Nenek: Itu bukan hitam, Cu !Itu abu-abu...abu bukan hitam...karena ada putih di sana...Abu-abu bukan putih...Oh...(terkekeh) abu-abu bikin bingung kamu, Cu ? Tidak...jangan bingung ! Pandanglah abu-abu itu dengan ini "...(menepuk dada dan batuk)
Rio (terkekeh): "Mana mungkin dapat membedakan hitam dan putih,mengatur napas saja tak becus !kau batuk-batuk terus, Nek! Tak perlu memikirkan hitam dan putih, pikirkanlah liang lahat!"
Nenek: "Tengik juga kau anak muda !Jangan dengar itu, Cu! Jangan kau dengar...kau akan menemukan putihmu...putihmu nan kau cari...bukan putih dia...bukan putih orang lain!!!"   Amaral: "Biarlah saya pandang sendiri, Nek!!Jangan memandang dengan mata nenek...Aku masih awas...Pasti lebih awas! Mata nenek sudah rabun...Mana dapat mewakili keinginanku!!"
Amaral berjalan ke depan panggung. Pada penonton. Menatap satu per satu. Mencari sesuatu. Amaral seperti bingung sendiri. Nenek geleng-geleng kepala tidak percaya dengan ucapan cucunya tadi.
Amaral: "Aku tidak melihat putih di sana...Hoi...adakah putihku di sana?Hoi...hanya ada hitamkah di sana?"
Nenek (batuk-batuk): "Hitam dan putih tak di mana-mana, Cu! tapi di sini ....(menepuk dada dan batuk-batuk kembali) ah...kenapa penyakit ini selalu saja manja...dasar penyakit zaman sekarang...manja...tak dapat mandiri..."
Amaral (pada Nenek): "Artinya nenek sudah tua..."
Nenek: "Bagus...bagus itu, Cu! Kalau kau sudah mengaku saya tua, kau akan pula mengaku nenekmu dapat membedakan mana hitam mana putih..."
Rio: "Dalam kacamata tuamu, mana mungkin dapat membedakan hitam dan putih lihat...ini hitammu di sini...hitammu ada pada hitamku, Amaral!"
Amaral mulai terlihat gamang. Ia berjalan ke arah Rio. Namun Nenek tiba-tiba datang tergopoh. Dengan selendang putihnya, Nenek membelit Amaral. Sesekali berhasil, tapi Amaral dapat lepas. Dibelitkannya lagi selendang itu beberapa kali. Berhasil. Tapi Amaral dapat melepasnya lagi. Adegan ini beberapa kali diulang sehingga terlihat bagaimana tarik-menarik keinginan antara Amaral dan Nenek.
Dari sudut anjung beberapa orang berpakaian hitam sehingga hanya tampak sebagai bayangan. Bayangan hitam itu kemudian mendekati Nenek dan Amaral. Pada satu saat secara serempak bayangan itu memegang Amaral, mengangkatnya tinggi dan membopongnya menjauh dari Nenek. Rio terdengar terkekeh. Kemudian lelaki jangkung ini duduk di kursi. Ia mulai konsentrasi dan bermain piano. Piano fantasi. Lamat-lamat mengalun lagu sendu. Nenek terlihat berdiri goyah, lalu terduduk tidak mampu menahan gejolak rasa dan berat tubuhnya.
Nenek: "Tuhan, jangan biarkan hitam membawa cucuku! Kuatlah putihmu di sini....Pancarkan putihmu pada cucuku! Jangan...jangan biarkan hitam itu, Tuhan! Jangan biarkan membawa cucuku..." Nenek memaksa berdiri tapi kembali terduduk. Berdiri. Duduk. Berdiri dan roboh kembali. Nenek akhirnya mendorong tubuhnya ke arah penonton. Seperti tentara sedang latihan tiarap. Nenek terus mendekati pinggir panggung. Sementara Rio terus bermain piano. Makin semangat bahkan seperti nan kerasukan sehingga nada nan dihasilkannya pun lebih berupa teror. Teror nada. Nenek tidak peduli dan tetap bicara pada penonton.
Nenek: "Adakah putihku di sana? Tunjukanlah!!! Mana putihku?  Dari arah penonton: "Tak ada putih di sini..."
http://www.binasyifa.com/829/32/26/contoh-naskah-teater.htm