Cermin oleh : E. Rokajat Asura
Dengan kekayaan yang dimilikinya, Samsul banyak dikagumi orang. Sebagai seorang pemimpin di daerahnya, ia memang menjadi panutan siapa saja. Kalau ada orang yang butuh bantuan, silakan datang kepadanya pasti akan dibantu. Kalau ada yang sakit dan tidak punya uang untuk berobat, jangan kemana-mana, temui saja Samsul, semuanya akan beres seketika. Apalagi kalau butuh bantuan untuk masjid, jalan kampung atau urusan yang menyangkut kepentingan umum, Samsul telah menyediakan dana khusus untuk semua itu.
Selama Samsul jadi pemimpin memang semua merasakan enaknya, semua merasakan bagaimana mudahnya menyelesaikan masalah. Tapi sayang, Samsul tak lama menjadi pemimpin daerah itu. Karena satu dan lain hal, ia diturunkan dari jabatannya. Sekarang Samsul memang lantas ditinggalkan oleh semua. Tak ada yang meminta bantuan ini-itu lagi. Ia hidup sendirian di rumahnya yang mewah. Tak ada lagi yang menghiraukan dia, kecuali anak dan istrinya.
Sekarang semua orang sedang terfokus pada Darma, pemimpin berikutnya. Ia memang tidak kaya dan royal seperti Samsul. Sebaliknya Darma seorang yang sederhana tapi cerdas. Dengan kecerdasannya itu semua masalah bisa diselesaikan, dari mulai biaya untuk berobat, masalah kelaparan sampai kepada urusan perbaikan masjid. Dengan kecerdasan Darma, semua bisa diatur. Maka tidak mengherankan kalau Darma selalu kedatangan banyak tamu dengan seribu satu masalah. Pulang dari rumah Darma semua bisa tertawa karena telah ditemukan cara menyelesaikan masalah itu.
***
Pada kesempatan lain Darma justru ditinggalkan banyak orang. Ketika label “pemimpin daerah” itu sudah tidak lagi ia pegang, Darma bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Nasibnya malang seperti Samsul. Ditinggalkan banyak teman dan tak pernah dikunjungi siapa-siapa. Sekarang ia hidup sepi bersama seorang istrinya.
Cerita justru sedang terfokus pada Badrul. Pemimpin baru. Ia tidak kaya dan royal, juga tidak begitu cerdas. Badrul naik menjadi pemimpin justru karena kesaktiannya. Konon ia punya sebilah keris dan beberapa ajimat dalam bentuk batu permata. Entah darimana benda keramat itu ia peroleh. Hanya yang jelas Badrul yakin benar kalau sesungguhnya dengan bantuan jimat-jimat itulah ia berhasil menjadi seorang pemimpin.
Ada anak muda tawuran langsung damai hanya karena diajak salaman oleh Badrul. Seorang pengusaha langsung mau mengeluarkan uang untuk perbaikan masjid dan jalan, gara-gara diajak salaman oleh Badrul. Seribu satu masalah yang muncul akan segera selesai, tuntas, kalau diselesaikan atau lebih tepatnya diajak salaman oleh Badrul. Luar biasa memang tangan Badrul ini, ibarat tangan emas yang akan merubah bongkahan batu hitam menjadi permata.
Tapi ketika semua ajimatnya itu hilang, seperti juga sebilah kerisnya yang raib entah kemana, lalu Badrul pun terpuruk sendiri. Ia hidup sepi dan menyendiri di sebuah pondok di ujung kampung. Tak ada teman, tak ada kerabat juga tak pernah ada seribu satu orang yang mengharap bantuannya lagi. Temannya sekarang hanyalah istri dan dua orang putranya yang masih kecil. Sedemikian cepat hilangnya jimat itu, secepat itu pula tampuk kepemimpinan hilang dari genggaman Badrul.
***
“Memilih pemimpin yang beruang, akan hilang ketika uangnya hilang. Memilih pemimpin cerdas, akan hilang ketika kecerdasan itu lenyap, dan memilih pemimpin yang punya ajimat pun sama ruginya ketika ajimat dan tetek bengek benda sakti itu raib entah kemana. Lalu siapa yang harus aku pilih,” begitulah pertanyaan yang selalu menggoda pikiran Karim, seorang sopir angkutan kota yang menghabiskan sebagian hidupnya di jalanan.
“Kau pilih saja seorang pemimpin yang menguntungkan bagimu,” usul Norma, istrinya.
“Dulu saya juga berpikiran begitu, tapi keuntungan itu selalu berubah setiap saat. Kalau sekarang saya merasa diuntungkan kalau ada yang memberi pinjaman uang untuk perbaikan angkot ini, lantas aku memilihnya sebagai pemimpin, bagaimana jadinya kalau besok ceritanya berubah lagi. Bagaimana kalau besok justru yang saya butuhkan adalah beberapa kilogram beras, apakah akan memilih tukang beras sebagai pemimpinku ?” sergah Karim.
Ditanya seperti itu Norma tidak bisa menjawab. Dari dulu memang selalu begitu, setiap harus memilih pemimpin, ia selalu bingung karena selalu berubah-ubah keinginannya termasuk juga berubah-ubahnya janji para calon pemimpin itu. Akhirnya keduanya diam dan melamun sampai akhirnya kantuk menyergapnya. Suami istri itu tertidur pulas.
Di dalam tidurnya Karim bermimpi bertemu seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya tenang, senyum selalu mengembang dari bibirnya. Pada mata lelaki tua itu ia melihat kedamaian terpancar. Inikah pemimpinku ? Begitu pertanyaan Karim.
“Dulu, nabi Ibrahim juga begitu sulit memilih siapa Tuhannya. Ketika melihat matahari di pagi hari, ia lalu mengatakan pada dirinya itulah tuhannya. Tapi ketika matahari tenggelam di ufuk barat, Ibrahim lalu kecewa. Tidak mau katanya punya tuhan yang hilang dan tenggelam,” cerita lelaki berjubah putih itu. Mendengar penjelasan seperti itu Karim jadi teringat akan keadaannya yang bingung kepada siapa ia harus menggantungkan diri.
“Begitu juga dengan keadaan saya, sepuh, bagaimana cara memilih seorang pemimpin ?”
“Pilihlah yang paling jujur. Jujur terhadap dirinya sendiri, jujur terhadap orang lain,” jelas lelaki berjubah putih itu.
“Jujur ? Bukankah semua orang selalu mengaku jujur kepada siapa saja yang diajaknya bicara ?”
“Benar, tapi kejujuran memang bukan untuk dikatakan, tapi akan terwujud dalam kelakuannya sehari-hari,” jelas lelaki berjubah putih itu lagi.
Obrolan itu terus berlangsung. Tapi ketika sedang asyik-asyiknya dialog, Karim dibangunkan karena adzan shubuh telah tiba. Angkutan kota miliknya itu harus segera dihidupkan, kemudian membawa sepuluh penumpang dari kampungnya menuju pasar, dan di sana ia akan mangkal sebentar, mengangkut beberapa pedagang yang selesai belanja, lalu mengakut anak-anak sekolah. Demikian roda kehidupan Karim terus berputar.
Diantara penumpang yang ia temui siang itu, tak ada seorang pun yang layak dijadikan pemimpin, karena rata-rata tidak jujur. Kebanyakan penumpang menyebutkan jarak terdekat padahal sebenarnya tujuannya bukan ke sana, lebih jauh dari yang disebutkan. Artinya kebanyakan para penumpang itu memang tidak jujur.
Lalu ketika ia makan di warung tegal, ia juga tidak menemukan kejujuran di tukang warung itu. Pada Karim wanita gembrot itu bicara kalau sayurnya tidak pedas, tapi ketika Karim memakannya justru terasa sangat pedas. Ketika dikomplain, pedagang itu dengan enteng bicara, pedas yang dirasakan Karim seperti itu tidak termasuk pedas, katanya.
Ketika ia kembali ke rumah dengan pencarian yang tak usai, Karim bercengkrama dengan anaknya yang masih berusia empat tahun. Ketika diberikan permen, anaknya itu menolak dengan menggelengkan kepala karena di tangannya memang ada satu permen. Lalu sebentar kemudian anaknya itu menangis dan mengatakan mau pipis. Ketika dibawa ke kamar mandi, anak itu lantas pipis. Ketika ia lapar, anak itu juga menangis dan bilang mau makan. Ketika diberi makan, ia akan diam bahkan seringnya langsung tidur. Pada anaknya itulah Karim menemukan kejujuran. Tapi apakah anaknya itu yang harus dipilih sebagai pemimpin, tempat ia menggantungkan kehidupan ini ?
Karim bingung sendiri karena tak mungkin menjadikan anak terkecilnya sebagai pemimpin. Sayang, Karim sepertinya lupa bahwa anak kecil seperti itu memang selalu jujur karena masih ada dalam genggaman kesucian Allah SWT. Jadi selayaknya pada pemilik kekuasaan tertinggi itulah kita menggantungkan diri dan menjadikan Dia sebagai pemimpin kehidupan ini.
***
Informasi
Jumat, 22 April 2016
YAHUDI DAGANG KACAMATA
Diropea ku : E. Rokajat Asura
Urang Yahudi beunghar kacida. Eta Yahudi teh sapopoena dagang kacamata. Hiji poe manehna ngobrol jeung anakna nu cikal. Basana teh, bapa teh geus kolot. Geus meujeuhna reureuh. Tah ayeuna sigana hidep geus bisa ngokolakeun ieu toko. Dikitukeun ku bapana, budak teh atoh teu atoh. Ninggali anakna ngahuleng, bapana nyarita deui bangun anu geus surti. Geus bisa ngaragap hate nu jadi anak.
“Aya hiji rusiah nu matak urang bisa maju.”
“Cing kumaha, Pa ?!”
“Lamun ngaladangan nu meuli komo langganan, kade sing darehdeh. Lamun beres mariksa jeung geus manggihan gagang kacamata nu cocok, bejakeun hargana. Saratus rebu misalna. Lamun langganan teh katinggalina kerung, gancang caritakeun. Kanggo salira mah, tiasa kirang kituh.”
“Lamun teu kerung kumaha ?”
“Hartina langganan teh cocok hargana. Nu matak samemeh mayar, gancang susul tepus. Sakitu teh harga kacana wungkul. Gagangna mah acan. Lamun masih keneh teu kerung, gancang susul deui. Eta teh nembe sabeulah kituh !”
Urang Yahudi beunghar kacida. Eta Yahudi teh sapopoena dagang kacamata. Hiji poe manehna ngobrol jeung anakna nu cikal. Basana teh, bapa teh geus kolot. Geus meujeuhna reureuh. Tah ayeuna sigana hidep geus bisa ngokolakeun ieu toko. Dikitukeun ku bapana, budak teh atoh teu atoh. Ninggali anakna ngahuleng, bapana nyarita deui bangun anu geus surti. Geus bisa ngaragap hate nu jadi anak.
“Aya hiji rusiah nu matak urang bisa maju.”
“Cing kumaha, Pa ?!”
“Lamun ngaladangan nu meuli komo langganan, kade sing darehdeh. Lamun beres mariksa jeung geus manggihan gagang kacamata nu cocok, bejakeun hargana. Saratus rebu misalna. Lamun langganan teh katinggalina kerung, gancang caritakeun. Kanggo salira mah, tiasa kirang kituh.”
“Lamun teu kerung kumaha ?”
“Hartina langganan teh cocok hargana. Nu matak samemeh mayar, gancang susul tepus. Sakitu teh harga kacana wungkul. Gagangna mah acan. Lamun masih keneh teu kerung, gancang susul deui. Eta teh nembe sabeulah kituh !”
ASMARANDANA
Cerpen : E. Rokajat Asura
Di sebuah kota baru. Persaingan adalah gesekan batu-batu api. Kematian dan penderitaan sebuah kekalahan warna dalam setiap rentang masa. Peluh dan nafas sesal, bercampur bau amis kemiskinan. Di salah satu gang sempit dan pengap, Karmina menghabiskan masa kanak-kanaknya. Tak pernah dia menolak atau berontak dilahirkan jadi anak waktu dalam desakan problematika kehidupan. Tak pernah bertanya atau menggugat, salah siapa semua ini. Dia terlalu lugu untuk bisa menyikapinya. Ibunya yang sejak usia remaja asyik menghabiskan waktu luang dengan kartu, dianggap Karmina sebagai bagian dari denyut nadinya. Pun ayahnya yang tak pernah keluar dari gudang dengan kaki dipasung pada balok kayu adalah sebuah kebersahajaan.
“Empat ditambah empat berapa, Mina ?”
“Delapan pak Guru !”
“Ibukota negara kita dimana ?”
“Jakarta, pak Guru !”
Ketika di Sekolah Dasar, Karmina anak cerdas. Tapi kecerdasan itu bukan lah kebanggaan ibunya, karena dia lebih bangga pada lembaran uang. Baru akan terlolos puja-puji dari mulutnya, ketika Karmina kecil pulang membawa uang. Entah pemberian dari siapa, entah karena jasa apa dan dari mana pun, tetap akan memberi kenikmatan karena bisa berlama-lama main kartu.
***
Di sebuah SLTP. Hingar bingar kemewahan dan teriakan anak-anak. Dua anak wanita berjalan dalam warna kontras kehidupan, Karmina dan temannya, Ajeng, keluar dari gerbang. Karmina dengan langkah menyusuri gang sempit dan Ajeng dengan keempukan sedan serta sopir pribadi. Keduanya ceria dalam dunia yang berbeda. Kelak Karmina pun sering bertanya, kenapa harus ada perbedaan. Tidak seragam putih semua merah semua. Tapi roda menggelinding dan rentang kerikil itulah yang kemudian harus diakrabinya.
“What’s your name ?”
“Mina ! Karmina !”
Karmina senang bahasa Inggis juga matematika. Tapi dia buntu pada tembok sekolah. Cerita guru dan canda teman adalah sebuah fatamorgana. Karmina dipaksa menghasilkan uang untuk menutup utang ibunya. Hari-hari indah berjalan diantara langkah-langkah kaki orang dewasa. Mengenakan seragam putih-biru itu, kini hanya tinggal titik nadir kenangan. Satu-satunya kebanggaan adalah persahabatannya dengan Ajeng. Ajeng anak bungsu keluarga Anggana, seorang perwira polisi terlampau mengagumi kepintaran Karmina. Dan Karmina cukup bangga mendengar cerita tentang sekolah.
“Iya, Pa ! Katanya Mina nggak punya biaya lagi.”
“Memangnya bapak Mina nggak mampu bayar sekolah ?”
“Kan bapak Mina nggak kerja !”
“Ibunya ?”
“Ibunya juga ! Kata Mina ibunya senang berjudi. Apa sih judi itu, Pa ?”
Suatu hari keluarga Anggana mengajukan rencana bantuannya untuk jadi bapak angkat bagi Karmina, tapi ditolak oleh ibunya. Dia lebih senang mendidik Karmina agar cepat mandiri katanya. Begitu pula ketika Anggana memberikan sejumlah uang untuk membantu meringankan biaya sekolah Karmina, tak lebih dari tiga hari habis dipakai judi.
“Karmina itu anak saya. Saya lah yang bertanggung jawab untuk mendidiknya. Maaf, lebih baik bapak tidak terlalu mencampuri urusan keluarga kami.”
“Tadinya saya cuma ingin membantu saja, Bu. Karena menurut putri kami, anak ibu itu cukup pandai.”
“Kalau itu urusannya, saya kira banyak orang lain yang membutuhkan bantuan bapak. Kan anak-anak lain juga lebih banyak yang pintar dibanding anak saya. Barangkali mereka akan menerimanya.”
***
Karmina demam. Sepanjang hari tertidur di atas dipan di salah satu sudut ruang tengah. Kepala terasa berat bagai ditusuk-tusuk jarum. Dalam rentang malam hari, adik bungsunya memaksa membangunkan dan menangis. Disinari remang lampu, adiknya mendekap dan memaksa menuntun tangan kakaknya. Karmina berusaha bangkit sekalipun masih sakit. Dia berjalan mengikuti keinginan adiknya. Keduanya kemudian berhenti di depan kamar ibunya. Penasaran oleh suara yang mencurigakan, akhirnya Karmina memberanikan diri menyingkapkan gorden kamar ibunya. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui ibunya sedang bergumul dengan seorang laki-laki, tanpa sehelai pakaian pun. Karmina bergegas mengajak adiknya menjauh. Di depan kamar tempat menyekap ayahnya, keduanya terduduk dan menangis.
“Emak jahat, Bapak ! Bermain kuda-kudaan !”
“Hus itu ’kan lagi dipijit !”
“Kok bapak nggak pernah dipijit !”
“Sudah ! Jangan banyak ngomong kamu. Nangis kok sambil ngomong. Kata emak kalau mau nangis, ya nangis, kalau mau ngomong ya kamu ngomong saja.”
“Teteh jahat !”
“Kamu salah. Kata emak orang jahat itu kalau tidak mau ngasih duit. Bapak juga jahat karena tidak ngasih duit.”
Tepat ketika seharusnya Karmina duduk di kelas tiga SMP, potretnya telah berubah menjadi Novi, dalam bunga rampai kehidupan baru. Karmina dipaksa hidup dalam dua warna. Karmina sebagai anak yang gagal jadi dokter, dan Novi yang dipaksa genit dan harus mengerti dalam ketidak mengertian. Novi menghabiskan ketidak mengertian dalam malam dingin, gelinjang ranjang atau janji manis empuknya kehidupan sedan mewah. Beda dengan Novi, Karmina masih menjalin mesra dengan Ajeng. Ajeng selalu merasa senang, dan Karmina pun tetap sangat menyenangkan.
Jalan gelap diperkenalkan pada kepolosan dan kepura-puraan hidup oleh ibunya. Seorang ibu yang rela memakan anaknya sendiri. Alasan karena terlilit utang, dijajakanlah kegadisan Karmina pada bandot tua tanpa penyesalan. Serentetan pengalaman pahit dicekokkan tanpa sungkan dan belas kasihan. Cekokan yang menumbuhkan dendam.
Suatu hari secara tidak sengaja Ajeng lewat di rumah Karmina, tanpa perencanaan sebelumnya. Tapi ketika mengintip dari kaca depan rumah Karmina, Ajeng sangat kaget melihat sahabat yang dikaguminya itu sedang duduk di kursi, melamun sambil merokok. Wajahnya bermake up tebal dengan rambut yang acak-acakan. Berkali-kali Ajeng mengusap matanya, tapi tetap tidak berubah. Karmina yang sangat dikaguminya itu telah berubah menjadi seorang sosok menakutkan. Ajeng lari berurai air mata, meninggalkan rumah itu.
“Mina jahat, Ma ! Mina merokok seperti mang Ujang sopir kita !”
“Mina tidak jahat !”
“Mina cemong-cemong seperti badut-badut di Taman Ria !”
“Itu namanya sedang latihan drama, Sayang !”
Untuk sementara Ajeng diam terpuaskan. Kecintaan pada Mina tumbuh lagi. Suatu hari orang tua Ajeng menyuruh salah seorang pembantunya, mendatangi rumah orang tua Karmina untuk melarang Mina bergaul dengan Ajeng. Kejadian itu meledakan molotov di wajah ibu Mina. Karmina yang sedang tidur, dibangunkan dengan paksa. Merasa dihina oleh keluarga Anggana, ibunya dengan bengis memukul dan memarahi Karmina hingga menjerit-jerit. Keibaan tetangga hanyalah semilir angin gunung yang mampu menggoyangkan ujung padi. Setelah selesai menumpahkan kemarahannya, ibu Karmina masuk kamar dan menjewer anak bungsunya. Karmina duduk selonjoran di lantai berurai air mata dengan lebam di wajah. Ketika tidak terdengar lagi isak adiknya dan sumpah serapah ibunya, Karmina bersijinjit menuju gudang dan menangis ketika tahu pintu itu rapat digembok. Lama dia menangis sampai akhirnya terdengar dari dalam kamar suara ayahnya.
“Bapak bisa merasakan bagaimana penderitaan kamu, Mina. Kau pasti sakit dipukuli. Tapi jangan menangis ! Hadapilah kemarahan itu dengan manis. Karena itu akan membuatmu cepat besar. Setelah kau besar nanti, kamu akan bebas mau jadi apa dan mau kemana mengajak langkah. Saat itu emakmu pasti tidak akan ikut campur lagi.”
Karmina keheranan mendengar ayahnya bisa bicara, karena sebelumnya setiap dia mengantarkan makanan tak pernah terdengar ada kata selain bicara lewat sorot mata tajam mengamati.
***
Tulang dan dagingnya masih ngilu tapi mamih memaksa Karmina untuk cepat datang. Dia tak bisa menolak. Dengan manis dihadapinya kedua lelaki suruhan itu. Sejak saat itu setiap pagi Novi tak bisa kembali ke rumahnya seperti dulu. Gembok dan centeng pertahanan terakhir menghentikan langkahnya. Burung kecil itu hanya bisa mengepakan sayap dari ruang depan ke kamar. Kalau pun dipaksa tentu sayap itu akan patah. Novi kangen pada loncat tali, kangen pada congklak biji nangka, juga pada monopoli. Samasekali tidak sadar kalau saat itu sedang main monopoli dengan mamih. Bagi Novi mamih dan lelaki dianggapnya perintang waktu main. Semakin menjadilah rasa dendam itu, bahkan setiap terdengar cicit burung di halaman belakang, dia sirami rasa dendam di batinnya. Dia ingin cepat membuka pintu dan menghirup udara kekanakannya.
Suatu hari Karmina nekad kabur. Pada gelap malam dia berhasil mencongkel jendela dan menumpahkan rasa kangen pada ayahnya. Ditatapnya wajah kuyu itu dalam-dalam. Ketika bulatan senyum samar tergambar di wajah ayahnya, Mina menyambut dengan sukacita.
“Bapak tidak sakit ?”
“Heeh, bapak tidak sakit. Dunia yang sedang sakit !”
“Dunia ?”
“Ya, dunia sedang sakit. Dan kau jangan terlalu percaya pada kesebentaran dunia. Percayalah pada kekekalan Tuhan.”
“Tuhan ? Dimana Tuhan ?”
“Tuhan ada pada kepasrahan !”
“Saya tidak mengerti, bapak !” Mina jujur dan terlalu polos menanggapi semua itu. Senyum mengembang dan Novi nampak senang.
“Tidak cuma kamu yang tidak mengerti. Tapi juga orang-orang diluar sana.”
Malam itu Karmina ngobrol banyak dengan ayahnya. Dia pun mulai tahu bagaimana cerita masa lalu ibunya. Pada usia muda ibunya terkungkung dalam kehidupan serba kesulitan, meninggalkan watak bengis dan mendewakan uang karena dianggap akan mengangkat denyut hidupnya. Kecantikan dijadikan modal pemikat lelaki berkantong tebal. Dia sudah sangat terbiasa pacaran dengan siapa pun. Karena sesungguhnya bukan untuk membagi kasih sayang, melainkan tidak lebih sekedar untuk memperlancar rejekinya.
“Tujuan bapak menikahi ibumu, justru terdorong ingin menyelamatkan dia sebelum jatuh ke pangkuan laki-laki yang akan menghancurkan masa depannya.”
Bumi bulat benar dan roda itu menggelinding teratur. Kesulitan mengantarkan Penta, ayah Karmina, dan istrinya pada arena pertengkaran. Suatu hari sakit kepala Penta menjadi-jadi bahkan sering bicara sendiri karena frustrasi menghadapi diri. Sejak saat itu pula seluruh modalnya habis dipakai berobat. Entah karena ketakutan atau suatu skenario dari rentetan kartu-kartu, akhirnya Penta dipasung didalam gudang.
“Bapak sengaja menceritakan semuanya padamu, biarpun usia masih sangat muda. Bapak harap kau bisa menjaga diri sekalipun kesusahan selalu melilit kehidupan kita.”
Penta menggantungkan harapan satu-satunya pada Karmina. Samasekali tidak tahu kebenaran apa yang terjadi dalam genggaman kehidupan anak gadisnya. Karmina sendiri hanya bisa menangis bingung mendengar kata-kata itu. Mina yakin bapaknya sudah sehat. Pengikat besi dibuka paksa dengan kekuatan sisa ketika kemudian terdengar dari ruang depan teriakan ibunya diikuti adu mulut. Mina yakin suara laki-laki itu suruhan mamih. Dan ketika terdengar suara pukulan diikuti jerita ibunya, Mina mau teriak tapi cepat ditutup mulut kecil nya oleh Penta.
“Cepat pergi ! Selamatkan dirimu !”
“Bapak bagaimana ?”
“Mereka masih percaya kalau bapak sakit !”
Karmina mengangguk ragu tapi akhirnya dia loncat dari jendela dan pada saat yang sama salah seorang pesuruh mamih melihatnya. Bumi gelap benar. Titik cahaya hanya pada kemustahilan. Karmina disekap.
***
Suatu siang lain, Karmina menunggu Ajeng di depan sekolah. Pertemuan yang menyenangkan. Keduanya berjalan menyusuri gang di pinggir jalan besar. Tapi akhirnya pertemuan itu berakhir dengan kekecewaan, karena Karmina dijemput oleh dua orang lelaki kekar dan tegap. Ajeng mengantarkan sahabatnya dalam ketidak mengertian. Dunia terbelah dua hingga dalam meronta mengharap, Ajeng benar-benar kehilangan sahabatnya.
Pada suatu razia, Novi bertemu dengan Haris, salah seorang wartawan sebuah mingguan. Bagi Haris, Novi alias Karmina ini menarik. Endusan jurnalisnya mengatakan bahwa Karmina seorang remaja yang punya cerita. Ketika diangkat dalam sebuah tulisan memang sangat mengejutkan. Tidak saja bagi kepolisian, tapi juga bagi mamih, Zakaria (seorang pemerhati masalah sosial) dan masyarakat luas. Berita itu sampai pula pada Penta yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit. Sekalipun tidak mencantumkan nama Karmina, rangkaian cerita itu terasa sangat akrab dengan kehidupannya. Novi memang polos. Cerita itu mengaliar transparan. Dimata sosiolog seperti Zakaria, Novi adalah kasus hebat. Tidak heran pada akhirnya melanglang dalam kepenasaran, tapi sayang jejak telah terhapus cukup rapih.
Novi adalah bidang sasaran. Haris, Zakaria maupun anak buah mamih terus memburu, pada gelap pada terang pada ujung-ujung rahasia kota. Penta juga istrinya yang dipenjara karena menyiksa anak bungsunya secara biadab juga sasaran pencarian itu. Pada sudut kenistaan mereka tak paham persahabatan sejati antara Novi dan Ajeng. Kecuali Zakaria yang menyusuri Ajeng. Keuletannya membuahkan hasil. Dari mulut Ajeng, dia mengetahui bahwa Karmina kini ada di luar kota, di sebuah desa bersama kakeknya, ayah Penta. Karmina adalah fenomena. Ketika terangkat persahabatan itu, pak Anggana kebakaran jenggot. Jejak tahta menyergap padahal benang merah itu mempertegas horison khayal anaknya.
“Dulunya Ajeng nggak tahu, kalau Ina itu suka main sama Oom-oom. Tapi gimana ... kasihan Ina. Ina itu pintar. Sayang ibunya nggak baik.”
“Sudahlah ! Papa ngerti. Hanya mulai saat ini, Ajeng nggak boleh bertemu dengan Ina lagi.”
“Kenapa ?”
“Nggak kenapa-kenapa. Kalau Ajeng sayang papa, jangan bergaul dengan Ina. Titik. Tidak ada pertanyaan lagi.”
Ajeng gelisah, pada tembok ada Karmina, pada bantal ada Novi dan dalam renung maya Novi dan Karmina datang silih berganti. Dalam gelisahnya hidup kok jadi nol besar. Pada ujung harap Karmina adalah kemustahilan. Ajeng diam dalam demam ketidakpuasan.
***
Bukan cuma oplaag terdongkrak oleh kasus Karmina. Tapi kesenangan khayali yang diburu Haris sekarang. Berbeda dengan Haris, bagi Karmina publisitas sebuah kungkungan. Kungkungan sebuah pedang tajam membelah perkembangan jiwanya dalam kelana ketidak teraturan. Publisitas adalah pembongkaran sejarah. Publisitas juga pencorengan muka hitam arang. Bapaknya di rumah sakit, ibunya seorang biadab dan dirinya seorang pelacur. Lengkap sudah lembaran kotor berdebu itu. Haris dan Zakaria yang ingin memanfaatkan dirinya, bagi Karmina adalah pengingkaran manusiawi. Sejak saat itu dia tak mau ditemui siapa menemui apa dalam kenapa.
Pada cermin Karmina alias Novi, Ajeng sebenarnya adalah bayangan. Tidak aneh kalau kemudian prestasinya drastis turun. Kartu mati bagi pak Anggana. Persahabatan Karmina dan Ajeng adalah abadi. Suatu hari Pak Anggana, istri dan Ajeng pergi ke daerah tempat persembunyian Karmina. Tapi sayang, rumah tempat tinggal kakek Karmina sedang dibongkar. Ajeng benar-benar kecewa. Sepanjang perjalanan pulang dia menangis menyesali pada bentangan perjalanan kemuning senja itu.
Penta telah keluar dari rumah sakit. Kesehatannya sudah pulih. Yang pertama dilakukan adalah menemui istrinya yang sedang dipenjara, karena dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Pertemuan yang memilukan. Penta yang semakin kurus demikian asing di mata istrinya. Rasa bersalah menggayut sehingga pertemuan singkat itu diisi dengan saling mematung dan hanya genggaman tangan yang mencoba untuk bicara.
Tidak cuma Penta yang kehilangan Karmina, tapi juga Haris, Zakaria dan anak buah mamih. Rasa kehilangan dalam masing-masing dimensi. Suatu hari ada titik terang. Ajeng menerima surat dari Novi. Zakaria lebih dahulu mencium jejak. Dengan dalih ingin membantu, dia berhasil mengorek seluruh rahasia termasuk bagaimana pola kerja mamih dan relasi-relasinya. Zakaria pulang dalam sukacita.
***
Suatu hari di dalam koran terbitan ibu kota, ada sebuah tulisan Zakaria yang membahas tentang latar belakang prostitusi yang melibatkan remaja yang merupakan sebagian dari topik seminar yang dilakukan dua hari sebelumnya. Tentu saja salah satu yang jadi fokus pembahasan adalah Novi. Karena dianggap tulisan seorang peneliti yang cukup urgen mendapat perhatian dari mana-mana. Zakaria sukses mendongkrak popularitas lewat kepolosan Novi. Tapi mamih benar-benar gelisah. Rahasia sumber mata uang itu terkoyak. Maka jalan satu-satunya bagaimana mendapatkan kembali Karmina. Pemburuan dimulai dalam detak memburu waktu. Jalan terakhir yang bisa mereka lakukan adalah menemui ibunya Karmina, yang kini masih mendekam di penjara. Pada suatu hari kakek Karmina diberitakan meninggal dunia di rumah Anggana. Sesuai dengan wasiat dari almarhum yang dikatakan pada Anggana, dia ingin dilayat oleh anak satu-satunya yaitu Penta. Tapi karena tidak diketahui dimana rimbanya, keinginan tersebut gagal. Satu-satunya yang masih mungkin adalah mengundang menantunya untuk datang. Dengan ijin khusus akhirnya ibu Karmina berhasil datang ke tempat berkabung, untuk memberi penghormatan yang terakhir.
Karmina sangat sedih. Ditemani Ajeng, dia menumpahkan segala kesedihannya. Dia sangat merasa kehilangan, karena selama ini kakeknya tersebut banyak membantu menyelamatkan dirinya dari ancaman kaki tangan mamih. Hubungan persahabatan yang tulus terkristal dalam dukacita.
Dalam suatu kesempatan kaki tangan mamih bisa menculik ibu Karmina yang sesungguhnya harus kembali ke penjara, ke sebuah villa tempat mamih dan Oom Sungkar biasa bertemu, terutama dalam membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat rahasia untuk kemajuan jaringan usahanya. Kejadian tersebut tentu saja sangat mengagetkan bagi para pengawal penjara, pihak polisi dan tentu saja keluarga Karmina. Isu pun kemudian berkembang, ada pihak tertentu yang memutar balikan fakta, dengan mengembangkan opini masyarakat bahwa sesungguhnya yang menculik ibu Karmina tidak lain Zakaria. Sebagai seorang peneliti yang independen, kapabilitasnya terancam.
Dalam galau suasana, Karmina justru sakit. Rupanya dia shock dengan pemberitaan yang semakin simpang siur. Bahkan dia sering menyesali kenapa harus kabur dari rumah mamih. Kenapa harus mau meladeni pertanyaan-pertanyaan Haris yang simpatik. Karmina sadar mengukutuki bahwa semua kejadian itu karena kesalahan dan kecerobohannya. Tapi Ajeng menampik. Seperti juga pemahaman bapaknya sekarang ada pihak yang takutnya kedoknya terbongkar. Air terus mengalir rembes ke sana ke mari. Redaksi menghubungi polisi untuk kemudian bersama-sama reporternya sengaja diterjunkan langsung untuk mencari tahu dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina itu, dan siapa yang sebenarnya telah melakukan penyekapan tersebut. Tapi jaringan mamih benar-benar tertata rapi dan didukung oleh komunikasi yang canggih, sehingga ketika wartawan dan polisi sedang celingukan, mereka justru telah menyusun satu skenario baru. Padahal polisi mengarahkan penggerebekan justru ke salah satu losmen milik mamih, yang sering dipakai transaksi seks. Tapi mereka tidak berhasil, selain bertemu dengan beberapa orang anak asuh mamih, yang sudah tidak masuk kelompok usia muda lagi. Jangankan bisa bertemu dengan mamih, melihat potretnya saja tidak berhasil. Mamih sebenarnya telah melakukan pembersihan, semua anak asuhnya diangkut ke salah satu kawasan yang cukup sulit untuk dijangkau tanpa masuk terlebih dahulu kedalam jaringan laba-labanya. Beberapa wartawan memburu Oom Sungkar, dan diluar dugaan Oom Sungkar mengaku telah pisah dengan mamih.
Sakit Karmina cukup parah. Ajeng dan keluarganya sangat sedih. Dan Anggana rupanya benar-benar harus bekerja ekstra. Suatu hari Anggana mengadakan pertemuan intern dengan jajaran redaksi tabloid yang selama ini banyak memuat kasus Karmina. Mereka bersepakat untuk sementara menghentikan pemberitaan, untuk keselamatan keluarga Karmina. Tapi pemburuan terus berlanjut, dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina dan siapa pelakunya. Sebagai orang penting Oom Sungkar memang cukup lihai, sehingga setiap gerak-gerik kepolisian selalu gampang ditebaknya. Begitu pula dengan rencana pemberhentian sementara berita yang menyangkut Karmina dan jaringan mamih, rupanya telah terlebih dahulu tercium mau kemana diarahkan skenario tersebut. Hal itu terbukti dengan tidak dilepaskannya ibu Karmina. Yang merasa kebingungan tentu saja pemimpin redaksi, yang benar-benar sudah dipermainkan oleh Oom Sungkar.
Penelitian Zakaria sudah hampir berakhir. Secara panjang lebar dalam laporannya itu diceritakan, bagaimana seorang anak muda usia bisa terjerumus kedalam lembah kenistaan. Zakaria menawarkan beberapa asumsinya, yang salah satu diantaranya sebagai penguat salah satu asumsinya adalah cerita tentang Karmina. Didalam laporan tersebut Zakaria menulis tentang adanya komplotan yang terorganisir secara kuat, yang mengadakan pemburuan kepada remaja-remaja cantik yang serba kekurangan secara materi. Penelitian Zakaria memang yang dijadikan acuan kepolisian. Dalam sebuah seminar, hasil penelitian Zakaria tersebut dipublikasikan. Sehari setelah diadakan seminar tersebut, dan hasilnya seminarnya dirilis banyak koran dan majalah, didapat keterangan bahwa Zakaria meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Karmina sudah sembuh. Setiap penerbitan baik koran maupun majalah, selalu diikutinya. Begitu pun dia tidak ketinggalan akan berita ibunya yang sedang disekap oleh salah satu komplotan tidak dikenal, paling tidak sekalipun tidak membaca korannya, toh dengan setia Ajeng selalu menceritakannya.
Pada suatu malam tanpa sepengetahuan keluarga Anggana, Karmina keluar rumah. Besok paginya sudah tersebar berita menghebohkan, ada seorang gadis cantik berada di salah satu puncak gedung tinggi. Gadis tersebut tidak lain adalah Karmina alias Novi, yang sedang mengajukan ancaman. Dia mengancam akan menjatuhkan diri kalau ibunya tidak segera dilepaskan dari penyekapan. Kejadian yang sangat menghebohkan itu, merupakan tamparan menyakitkan bagi pihak kepolisian. Dengan berbagai cara dia membujuk agar Karmina mau turun dan menemui petugas kepolisian.
Tidak cuma polisi yang membujuk, tapi juga Haris, Anggana bahkan Oom Sungkar yang sebelumnya pernah membeli kegadisan Karmina tersebut, turut pula membujuk dengan dalih akan membantu menemukan ibunya. Semua orang seperti berlomba ingin memberi perhatian, agar bisa membujuk Karmina. Tapi tak seorang pun yang bisa membujuknya. Pihak kepolisian mulai mengadakan pengepungan dan menyediakan matras untuk tempat jatuh Karmina, disamping itu beberapa petugas telah melakukan pendekatan dari arah belakang gedung.
Ajeng dengan mamanya nampak sangat sedih dan khawatir akan keselamatan Karmina. Tapi rupanya Karmina seperti sudah frustasi, dia tidak mengindahkan sekelilingnya kecuali ingin melihat ibunya. Semua perhatian memang tertuju kepada Karmina, sehingga tak seorang pun memperhatikan, kalau diantara orang-orang yang ada di sekitar tersebut nampak Penta memperhatikan Oom Sungkar dengan seksama. Pada satu detik masa saat Oom Sungkar membujuk Karmina melalui megaphone kepolisian, Penta melemparkan pisau dan tepat di punggung Oom Sungkar. Keadaan pun jadi hiruk pikuk. Saat itu lah sebagian orang tiba-tiba serempak menjerit karena melihat Karmina benar-benar menjatuhkan diri dari gedung tinggi tersebut.
Pagi di sebuah taman rumah sakit. Layar baru saja terbuka sinar pagi. Karmina duduk di kursi roda, didorong oleh Ajeng. Mereka berdua memperhatikan sepasang kupu-kupu yang sedang terbang mengitari bunga. Nampak dari wajahnya memancarkan kebahagiaan. Jabat erat tangan antara Karmina dengan Ajeng, seperti satu kekuatan yang luar biasa dan tak akan ada seorang pun yang bisa memisahkannya.
(Para Penari, Antologi Cerpen Pilihan,
Lomba Cerpen Tingkat Nasional 2002, Jawa Timur, halaman 37)
***
Di sebuah kota baru. Persaingan adalah gesekan batu-batu api. Kematian dan penderitaan sebuah kekalahan warna dalam setiap rentang masa. Peluh dan nafas sesal, bercampur bau amis kemiskinan. Di salah satu gang sempit dan pengap, Karmina menghabiskan masa kanak-kanaknya. Tak pernah dia menolak atau berontak dilahirkan jadi anak waktu dalam desakan problematika kehidupan. Tak pernah bertanya atau menggugat, salah siapa semua ini. Dia terlalu lugu untuk bisa menyikapinya. Ibunya yang sejak usia remaja asyik menghabiskan waktu luang dengan kartu, dianggap Karmina sebagai bagian dari denyut nadinya. Pun ayahnya yang tak pernah keluar dari gudang dengan kaki dipasung pada balok kayu adalah sebuah kebersahajaan.
“Empat ditambah empat berapa, Mina ?”
“Delapan pak Guru !”
“Ibukota negara kita dimana ?”
“Jakarta, pak Guru !”
Ketika di Sekolah Dasar, Karmina anak cerdas. Tapi kecerdasan itu bukan lah kebanggaan ibunya, karena dia lebih bangga pada lembaran uang. Baru akan terlolos puja-puji dari mulutnya, ketika Karmina kecil pulang membawa uang. Entah pemberian dari siapa, entah karena jasa apa dan dari mana pun, tetap akan memberi kenikmatan karena bisa berlama-lama main kartu.
***
Di sebuah SLTP. Hingar bingar kemewahan dan teriakan anak-anak. Dua anak wanita berjalan dalam warna kontras kehidupan, Karmina dan temannya, Ajeng, keluar dari gerbang. Karmina dengan langkah menyusuri gang sempit dan Ajeng dengan keempukan sedan serta sopir pribadi. Keduanya ceria dalam dunia yang berbeda. Kelak Karmina pun sering bertanya, kenapa harus ada perbedaan. Tidak seragam putih semua merah semua. Tapi roda menggelinding dan rentang kerikil itulah yang kemudian harus diakrabinya.
“What’s your name ?”
“Mina ! Karmina !”
Karmina senang bahasa Inggis juga matematika. Tapi dia buntu pada tembok sekolah. Cerita guru dan canda teman adalah sebuah fatamorgana. Karmina dipaksa menghasilkan uang untuk menutup utang ibunya. Hari-hari indah berjalan diantara langkah-langkah kaki orang dewasa. Mengenakan seragam putih-biru itu, kini hanya tinggal titik nadir kenangan. Satu-satunya kebanggaan adalah persahabatannya dengan Ajeng. Ajeng anak bungsu keluarga Anggana, seorang perwira polisi terlampau mengagumi kepintaran Karmina. Dan Karmina cukup bangga mendengar cerita tentang sekolah.
“Iya, Pa ! Katanya Mina nggak punya biaya lagi.”
“Memangnya bapak Mina nggak mampu bayar sekolah ?”
“Kan bapak Mina nggak kerja !”
“Ibunya ?”
“Ibunya juga ! Kata Mina ibunya senang berjudi. Apa sih judi itu, Pa ?”
Suatu hari keluarga Anggana mengajukan rencana bantuannya untuk jadi bapak angkat bagi Karmina, tapi ditolak oleh ibunya. Dia lebih senang mendidik Karmina agar cepat mandiri katanya. Begitu pula ketika Anggana memberikan sejumlah uang untuk membantu meringankan biaya sekolah Karmina, tak lebih dari tiga hari habis dipakai judi.
“Karmina itu anak saya. Saya lah yang bertanggung jawab untuk mendidiknya. Maaf, lebih baik bapak tidak terlalu mencampuri urusan keluarga kami.”
“Tadinya saya cuma ingin membantu saja, Bu. Karena menurut putri kami, anak ibu itu cukup pandai.”
“Kalau itu urusannya, saya kira banyak orang lain yang membutuhkan bantuan bapak. Kan anak-anak lain juga lebih banyak yang pintar dibanding anak saya. Barangkali mereka akan menerimanya.”
***
Karmina demam. Sepanjang hari tertidur di atas dipan di salah satu sudut ruang tengah. Kepala terasa berat bagai ditusuk-tusuk jarum. Dalam rentang malam hari, adik bungsunya memaksa membangunkan dan menangis. Disinari remang lampu, adiknya mendekap dan memaksa menuntun tangan kakaknya. Karmina berusaha bangkit sekalipun masih sakit. Dia berjalan mengikuti keinginan adiknya. Keduanya kemudian berhenti di depan kamar ibunya. Penasaran oleh suara yang mencurigakan, akhirnya Karmina memberanikan diri menyingkapkan gorden kamar ibunya. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui ibunya sedang bergumul dengan seorang laki-laki, tanpa sehelai pakaian pun. Karmina bergegas mengajak adiknya menjauh. Di depan kamar tempat menyekap ayahnya, keduanya terduduk dan menangis.
“Emak jahat, Bapak ! Bermain kuda-kudaan !”
“Hus itu ’kan lagi dipijit !”
“Kok bapak nggak pernah dipijit !”
“Sudah ! Jangan banyak ngomong kamu. Nangis kok sambil ngomong. Kata emak kalau mau nangis, ya nangis, kalau mau ngomong ya kamu ngomong saja.”
“Teteh jahat !”
“Kamu salah. Kata emak orang jahat itu kalau tidak mau ngasih duit. Bapak juga jahat karena tidak ngasih duit.”
Tepat ketika seharusnya Karmina duduk di kelas tiga SMP, potretnya telah berubah menjadi Novi, dalam bunga rampai kehidupan baru. Karmina dipaksa hidup dalam dua warna. Karmina sebagai anak yang gagal jadi dokter, dan Novi yang dipaksa genit dan harus mengerti dalam ketidak mengertian. Novi menghabiskan ketidak mengertian dalam malam dingin, gelinjang ranjang atau janji manis empuknya kehidupan sedan mewah. Beda dengan Novi, Karmina masih menjalin mesra dengan Ajeng. Ajeng selalu merasa senang, dan Karmina pun tetap sangat menyenangkan.
Jalan gelap diperkenalkan pada kepolosan dan kepura-puraan hidup oleh ibunya. Seorang ibu yang rela memakan anaknya sendiri. Alasan karena terlilit utang, dijajakanlah kegadisan Karmina pada bandot tua tanpa penyesalan. Serentetan pengalaman pahit dicekokkan tanpa sungkan dan belas kasihan. Cekokan yang menumbuhkan dendam.
Suatu hari secara tidak sengaja Ajeng lewat di rumah Karmina, tanpa perencanaan sebelumnya. Tapi ketika mengintip dari kaca depan rumah Karmina, Ajeng sangat kaget melihat sahabat yang dikaguminya itu sedang duduk di kursi, melamun sambil merokok. Wajahnya bermake up tebal dengan rambut yang acak-acakan. Berkali-kali Ajeng mengusap matanya, tapi tetap tidak berubah. Karmina yang sangat dikaguminya itu telah berubah menjadi seorang sosok menakutkan. Ajeng lari berurai air mata, meninggalkan rumah itu.
“Mina jahat, Ma ! Mina merokok seperti mang Ujang sopir kita !”
“Mina tidak jahat !”
“Mina cemong-cemong seperti badut-badut di Taman Ria !”
“Itu namanya sedang latihan drama, Sayang !”
Untuk sementara Ajeng diam terpuaskan. Kecintaan pada Mina tumbuh lagi. Suatu hari orang tua Ajeng menyuruh salah seorang pembantunya, mendatangi rumah orang tua Karmina untuk melarang Mina bergaul dengan Ajeng. Kejadian itu meledakan molotov di wajah ibu Mina. Karmina yang sedang tidur, dibangunkan dengan paksa. Merasa dihina oleh keluarga Anggana, ibunya dengan bengis memukul dan memarahi Karmina hingga menjerit-jerit. Keibaan tetangga hanyalah semilir angin gunung yang mampu menggoyangkan ujung padi. Setelah selesai menumpahkan kemarahannya, ibu Karmina masuk kamar dan menjewer anak bungsunya. Karmina duduk selonjoran di lantai berurai air mata dengan lebam di wajah. Ketika tidak terdengar lagi isak adiknya dan sumpah serapah ibunya, Karmina bersijinjit menuju gudang dan menangis ketika tahu pintu itu rapat digembok. Lama dia menangis sampai akhirnya terdengar dari dalam kamar suara ayahnya.
“Bapak bisa merasakan bagaimana penderitaan kamu, Mina. Kau pasti sakit dipukuli. Tapi jangan menangis ! Hadapilah kemarahan itu dengan manis. Karena itu akan membuatmu cepat besar. Setelah kau besar nanti, kamu akan bebas mau jadi apa dan mau kemana mengajak langkah. Saat itu emakmu pasti tidak akan ikut campur lagi.”
Karmina keheranan mendengar ayahnya bisa bicara, karena sebelumnya setiap dia mengantarkan makanan tak pernah terdengar ada kata selain bicara lewat sorot mata tajam mengamati.
***
Tulang dan dagingnya masih ngilu tapi mamih memaksa Karmina untuk cepat datang. Dia tak bisa menolak. Dengan manis dihadapinya kedua lelaki suruhan itu. Sejak saat itu setiap pagi Novi tak bisa kembali ke rumahnya seperti dulu. Gembok dan centeng pertahanan terakhir menghentikan langkahnya. Burung kecil itu hanya bisa mengepakan sayap dari ruang depan ke kamar. Kalau pun dipaksa tentu sayap itu akan patah. Novi kangen pada loncat tali, kangen pada congklak biji nangka, juga pada monopoli. Samasekali tidak sadar kalau saat itu sedang main monopoli dengan mamih. Bagi Novi mamih dan lelaki dianggapnya perintang waktu main. Semakin menjadilah rasa dendam itu, bahkan setiap terdengar cicit burung di halaman belakang, dia sirami rasa dendam di batinnya. Dia ingin cepat membuka pintu dan menghirup udara kekanakannya.
Suatu hari Karmina nekad kabur. Pada gelap malam dia berhasil mencongkel jendela dan menumpahkan rasa kangen pada ayahnya. Ditatapnya wajah kuyu itu dalam-dalam. Ketika bulatan senyum samar tergambar di wajah ayahnya, Mina menyambut dengan sukacita.
“Bapak tidak sakit ?”
“Heeh, bapak tidak sakit. Dunia yang sedang sakit !”
“Dunia ?”
“Ya, dunia sedang sakit. Dan kau jangan terlalu percaya pada kesebentaran dunia. Percayalah pada kekekalan Tuhan.”
“Tuhan ? Dimana Tuhan ?”
“Tuhan ada pada kepasrahan !”
“Saya tidak mengerti, bapak !” Mina jujur dan terlalu polos menanggapi semua itu. Senyum mengembang dan Novi nampak senang.
“Tidak cuma kamu yang tidak mengerti. Tapi juga orang-orang diluar sana.”
Malam itu Karmina ngobrol banyak dengan ayahnya. Dia pun mulai tahu bagaimana cerita masa lalu ibunya. Pada usia muda ibunya terkungkung dalam kehidupan serba kesulitan, meninggalkan watak bengis dan mendewakan uang karena dianggap akan mengangkat denyut hidupnya. Kecantikan dijadikan modal pemikat lelaki berkantong tebal. Dia sudah sangat terbiasa pacaran dengan siapa pun. Karena sesungguhnya bukan untuk membagi kasih sayang, melainkan tidak lebih sekedar untuk memperlancar rejekinya.
“Tujuan bapak menikahi ibumu, justru terdorong ingin menyelamatkan dia sebelum jatuh ke pangkuan laki-laki yang akan menghancurkan masa depannya.”
Bumi bulat benar dan roda itu menggelinding teratur. Kesulitan mengantarkan Penta, ayah Karmina, dan istrinya pada arena pertengkaran. Suatu hari sakit kepala Penta menjadi-jadi bahkan sering bicara sendiri karena frustrasi menghadapi diri. Sejak saat itu pula seluruh modalnya habis dipakai berobat. Entah karena ketakutan atau suatu skenario dari rentetan kartu-kartu, akhirnya Penta dipasung didalam gudang.
“Bapak sengaja menceritakan semuanya padamu, biarpun usia masih sangat muda. Bapak harap kau bisa menjaga diri sekalipun kesusahan selalu melilit kehidupan kita.”
Penta menggantungkan harapan satu-satunya pada Karmina. Samasekali tidak tahu kebenaran apa yang terjadi dalam genggaman kehidupan anak gadisnya. Karmina sendiri hanya bisa menangis bingung mendengar kata-kata itu. Mina yakin bapaknya sudah sehat. Pengikat besi dibuka paksa dengan kekuatan sisa ketika kemudian terdengar dari ruang depan teriakan ibunya diikuti adu mulut. Mina yakin suara laki-laki itu suruhan mamih. Dan ketika terdengar suara pukulan diikuti jerita ibunya, Mina mau teriak tapi cepat ditutup mulut kecil nya oleh Penta.
“Cepat pergi ! Selamatkan dirimu !”
“Bapak bagaimana ?”
“Mereka masih percaya kalau bapak sakit !”
Karmina mengangguk ragu tapi akhirnya dia loncat dari jendela dan pada saat yang sama salah seorang pesuruh mamih melihatnya. Bumi gelap benar. Titik cahaya hanya pada kemustahilan. Karmina disekap.
***
Suatu siang lain, Karmina menunggu Ajeng di depan sekolah. Pertemuan yang menyenangkan. Keduanya berjalan menyusuri gang di pinggir jalan besar. Tapi akhirnya pertemuan itu berakhir dengan kekecewaan, karena Karmina dijemput oleh dua orang lelaki kekar dan tegap. Ajeng mengantarkan sahabatnya dalam ketidak mengertian. Dunia terbelah dua hingga dalam meronta mengharap, Ajeng benar-benar kehilangan sahabatnya.
Pada suatu razia, Novi bertemu dengan Haris, salah seorang wartawan sebuah mingguan. Bagi Haris, Novi alias Karmina ini menarik. Endusan jurnalisnya mengatakan bahwa Karmina seorang remaja yang punya cerita. Ketika diangkat dalam sebuah tulisan memang sangat mengejutkan. Tidak saja bagi kepolisian, tapi juga bagi mamih, Zakaria (seorang pemerhati masalah sosial) dan masyarakat luas. Berita itu sampai pula pada Penta yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit. Sekalipun tidak mencantumkan nama Karmina, rangkaian cerita itu terasa sangat akrab dengan kehidupannya. Novi memang polos. Cerita itu mengaliar transparan. Dimata sosiolog seperti Zakaria, Novi adalah kasus hebat. Tidak heran pada akhirnya melanglang dalam kepenasaran, tapi sayang jejak telah terhapus cukup rapih.
Novi adalah bidang sasaran. Haris, Zakaria maupun anak buah mamih terus memburu, pada gelap pada terang pada ujung-ujung rahasia kota. Penta juga istrinya yang dipenjara karena menyiksa anak bungsunya secara biadab juga sasaran pencarian itu. Pada sudut kenistaan mereka tak paham persahabatan sejati antara Novi dan Ajeng. Kecuali Zakaria yang menyusuri Ajeng. Keuletannya membuahkan hasil. Dari mulut Ajeng, dia mengetahui bahwa Karmina kini ada di luar kota, di sebuah desa bersama kakeknya, ayah Penta. Karmina adalah fenomena. Ketika terangkat persahabatan itu, pak Anggana kebakaran jenggot. Jejak tahta menyergap padahal benang merah itu mempertegas horison khayal anaknya.
“Dulunya Ajeng nggak tahu, kalau Ina itu suka main sama Oom-oom. Tapi gimana ... kasihan Ina. Ina itu pintar. Sayang ibunya nggak baik.”
“Sudahlah ! Papa ngerti. Hanya mulai saat ini, Ajeng nggak boleh bertemu dengan Ina lagi.”
“Kenapa ?”
“Nggak kenapa-kenapa. Kalau Ajeng sayang papa, jangan bergaul dengan Ina. Titik. Tidak ada pertanyaan lagi.”
Ajeng gelisah, pada tembok ada Karmina, pada bantal ada Novi dan dalam renung maya Novi dan Karmina datang silih berganti. Dalam gelisahnya hidup kok jadi nol besar. Pada ujung harap Karmina adalah kemustahilan. Ajeng diam dalam demam ketidakpuasan.
***
Bukan cuma oplaag terdongkrak oleh kasus Karmina. Tapi kesenangan khayali yang diburu Haris sekarang. Berbeda dengan Haris, bagi Karmina publisitas sebuah kungkungan. Kungkungan sebuah pedang tajam membelah perkembangan jiwanya dalam kelana ketidak teraturan. Publisitas adalah pembongkaran sejarah. Publisitas juga pencorengan muka hitam arang. Bapaknya di rumah sakit, ibunya seorang biadab dan dirinya seorang pelacur. Lengkap sudah lembaran kotor berdebu itu. Haris dan Zakaria yang ingin memanfaatkan dirinya, bagi Karmina adalah pengingkaran manusiawi. Sejak saat itu dia tak mau ditemui siapa menemui apa dalam kenapa.
Pada cermin Karmina alias Novi, Ajeng sebenarnya adalah bayangan. Tidak aneh kalau kemudian prestasinya drastis turun. Kartu mati bagi pak Anggana. Persahabatan Karmina dan Ajeng adalah abadi. Suatu hari Pak Anggana, istri dan Ajeng pergi ke daerah tempat persembunyian Karmina. Tapi sayang, rumah tempat tinggal kakek Karmina sedang dibongkar. Ajeng benar-benar kecewa. Sepanjang perjalanan pulang dia menangis menyesali pada bentangan perjalanan kemuning senja itu.
Penta telah keluar dari rumah sakit. Kesehatannya sudah pulih. Yang pertama dilakukan adalah menemui istrinya yang sedang dipenjara, karena dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Pertemuan yang memilukan. Penta yang semakin kurus demikian asing di mata istrinya. Rasa bersalah menggayut sehingga pertemuan singkat itu diisi dengan saling mematung dan hanya genggaman tangan yang mencoba untuk bicara.
Tidak cuma Penta yang kehilangan Karmina, tapi juga Haris, Zakaria dan anak buah mamih. Rasa kehilangan dalam masing-masing dimensi. Suatu hari ada titik terang. Ajeng menerima surat dari Novi. Zakaria lebih dahulu mencium jejak. Dengan dalih ingin membantu, dia berhasil mengorek seluruh rahasia termasuk bagaimana pola kerja mamih dan relasi-relasinya. Zakaria pulang dalam sukacita.
***
Suatu hari di dalam koran terbitan ibu kota, ada sebuah tulisan Zakaria yang membahas tentang latar belakang prostitusi yang melibatkan remaja yang merupakan sebagian dari topik seminar yang dilakukan dua hari sebelumnya. Tentu saja salah satu yang jadi fokus pembahasan adalah Novi. Karena dianggap tulisan seorang peneliti yang cukup urgen mendapat perhatian dari mana-mana. Zakaria sukses mendongkrak popularitas lewat kepolosan Novi. Tapi mamih benar-benar gelisah. Rahasia sumber mata uang itu terkoyak. Maka jalan satu-satunya bagaimana mendapatkan kembali Karmina. Pemburuan dimulai dalam detak memburu waktu. Jalan terakhir yang bisa mereka lakukan adalah menemui ibunya Karmina, yang kini masih mendekam di penjara. Pada suatu hari kakek Karmina diberitakan meninggal dunia di rumah Anggana. Sesuai dengan wasiat dari almarhum yang dikatakan pada Anggana, dia ingin dilayat oleh anak satu-satunya yaitu Penta. Tapi karena tidak diketahui dimana rimbanya, keinginan tersebut gagal. Satu-satunya yang masih mungkin adalah mengundang menantunya untuk datang. Dengan ijin khusus akhirnya ibu Karmina berhasil datang ke tempat berkabung, untuk memberi penghormatan yang terakhir.
Karmina sangat sedih. Ditemani Ajeng, dia menumpahkan segala kesedihannya. Dia sangat merasa kehilangan, karena selama ini kakeknya tersebut banyak membantu menyelamatkan dirinya dari ancaman kaki tangan mamih. Hubungan persahabatan yang tulus terkristal dalam dukacita.
Dalam suatu kesempatan kaki tangan mamih bisa menculik ibu Karmina yang sesungguhnya harus kembali ke penjara, ke sebuah villa tempat mamih dan Oom Sungkar biasa bertemu, terutama dalam membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat rahasia untuk kemajuan jaringan usahanya. Kejadian tersebut tentu saja sangat mengagetkan bagi para pengawal penjara, pihak polisi dan tentu saja keluarga Karmina. Isu pun kemudian berkembang, ada pihak tertentu yang memutar balikan fakta, dengan mengembangkan opini masyarakat bahwa sesungguhnya yang menculik ibu Karmina tidak lain Zakaria. Sebagai seorang peneliti yang independen, kapabilitasnya terancam.
Dalam galau suasana, Karmina justru sakit. Rupanya dia shock dengan pemberitaan yang semakin simpang siur. Bahkan dia sering menyesali kenapa harus kabur dari rumah mamih. Kenapa harus mau meladeni pertanyaan-pertanyaan Haris yang simpatik. Karmina sadar mengukutuki bahwa semua kejadian itu karena kesalahan dan kecerobohannya. Tapi Ajeng menampik. Seperti juga pemahaman bapaknya sekarang ada pihak yang takutnya kedoknya terbongkar. Air terus mengalir rembes ke sana ke mari. Redaksi menghubungi polisi untuk kemudian bersama-sama reporternya sengaja diterjunkan langsung untuk mencari tahu dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina itu, dan siapa yang sebenarnya telah melakukan penyekapan tersebut. Tapi jaringan mamih benar-benar tertata rapi dan didukung oleh komunikasi yang canggih, sehingga ketika wartawan dan polisi sedang celingukan, mereka justru telah menyusun satu skenario baru. Padahal polisi mengarahkan penggerebekan justru ke salah satu losmen milik mamih, yang sering dipakai transaksi seks. Tapi mereka tidak berhasil, selain bertemu dengan beberapa orang anak asuh mamih, yang sudah tidak masuk kelompok usia muda lagi. Jangankan bisa bertemu dengan mamih, melihat potretnya saja tidak berhasil. Mamih sebenarnya telah melakukan pembersihan, semua anak asuhnya diangkut ke salah satu kawasan yang cukup sulit untuk dijangkau tanpa masuk terlebih dahulu kedalam jaringan laba-labanya. Beberapa wartawan memburu Oom Sungkar, dan diluar dugaan Oom Sungkar mengaku telah pisah dengan mamih.
Sakit Karmina cukup parah. Ajeng dan keluarganya sangat sedih. Dan Anggana rupanya benar-benar harus bekerja ekstra. Suatu hari Anggana mengadakan pertemuan intern dengan jajaran redaksi tabloid yang selama ini banyak memuat kasus Karmina. Mereka bersepakat untuk sementara menghentikan pemberitaan, untuk keselamatan keluarga Karmina. Tapi pemburuan terus berlanjut, dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina dan siapa pelakunya. Sebagai orang penting Oom Sungkar memang cukup lihai, sehingga setiap gerak-gerik kepolisian selalu gampang ditebaknya. Begitu pula dengan rencana pemberhentian sementara berita yang menyangkut Karmina dan jaringan mamih, rupanya telah terlebih dahulu tercium mau kemana diarahkan skenario tersebut. Hal itu terbukti dengan tidak dilepaskannya ibu Karmina. Yang merasa kebingungan tentu saja pemimpin redaksi, yang benar-benar sudah dipermainkan oleh Oom Sungkar.
Penelitian Zakaria sudah hampir berakhir. Secara panjang lebar dalam laporannya itu diceritakan, bagaimana seorang anak muda usia bisa terjerumus kedalam lembah kenistaan. Zakaria menawarkan beberapa asumsinya, yang salah satu diantaranya sebagai penguat salah satu asumsinya adalah cerita tentang Karmina. Didalam laporan tersebut Zakaria menulis tentang adanya komplotan yang terorganisir secara kuat, yang mengadakan pemburuan kepada remaja-remaja cantik yang serba kekurangan secara materi. Penelitian Zakaria memang yang dijadikan acuan kepolisian. Dalam sebuah seminar, hasil penelitian Zakaria tersebut dipublikasikan. Sehari setelah diadakan seminar tersebut, dan hasilnya seminarnya dirilis banyak koran dan majalah, didapat keterangan bahwa Zakaria meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Karmina sudah sembuh. Setiap penerbitan baik koran maupun majalah, selalu diikutinya. Begitu pun dia tidak ketinggalan akan berita ibunya yang sedang disekap oleh salah satu komplotan tidak dikenal, paling tidak sekalipun tidak membaca korannya, toh dengan setia Ajeng selalu menceritakannya.
Pada suatu malam tanpa sepengetahuan keluarga Anggana, Karmina keluar rumah. Besok paginya sudah tersebar berita menghebohkan, ada seorang gadis cantik berada di salah satu puncak gedung tinggi. Gadis tersebut tidak lain adalah Karmina alias Novi, yang sedang mengajukan ancaman. Dia mengancam akan menjatuhkan diri kalau ibunya tidak segera dilepaskan dari penyekapan. Kejadian yang sangat menghebohkan itu, merupakan tamparan menyakitkan bagi pihak kepolisian. Dengan berbagai cara dia membujuk agar Karmina mau turun dan menemui petugas kepolisian.
Tidak cuma polisi yang membujuk, tapi juga Haris, Anggana bahkan Oom Sungkar yang sebelumnya pernah membeli kegadisan Karmina tersebut, turut pula membujuk dengan dalih akan membantu menemukan ibunya. Semua orang seperti berlomba ingin memberi perhatian, agar bisa membujuk Karmina. Tapi tak seorang pun yang bisa membujuknya. Pihak kepolisian mulai mengadakan pengepungan dan menyediakan matras untuk tempat jatuh Karmina, disamping itu beberapa petugas telah melakukan pendekatan dari arah belakang gedung.
Ajeng dengan mamanya nampak sangat sedih dan khawatir akan keselamatan Karmina. Tapi rupanya Karmina seperti sudah frustasi, dia tidak mengindahkan sekelilingnya kecuali ingin melihat ibunya. Semua perhatian memang tertuju kepada Karmina, sehingga tak seorang pun memperhatikan, kalau diantara orang-orang yang ada di sekitar tersebut nampak Penta memperhatikan Oom Sungkar dengan seksama. Pada satu detik masa saat Oom Sungkar membujuk Karmina melalui megaphone kepolisian, Penta melemparkan pisau dan tepat di punggung Oom Sungkar. Keadaan pun jadi hiruk pikuk. Saat itu lah sebagian orang tiba-tiba serempak menjerit karena melihat Karmina benar-benar menjatuhkan diri dari gedung tinggi tersebut.
Pagi di sebuah taman rumah sakit. Layar baru saja terbuka sinar pagi. Karmina duduk di kursi roda, didorong oleh Ajeng. Mereka berdua memperhatikan sepasang kupu-kupu yang sedang terbang mengitari bunga. Nampak dari wajahnya memancarkan kebahagiaan. Jabat erat tangan antara Karmina dengan Ajeng, seperti satu kekuatan yang luar biasa dan tak akan ada seorang pun yang bisa memisahkannya.
(Para Penari, Antologi Cerpen Pilihan,
Lomba Cerpen Tingkat Nasional 2002, Jawa Timur, halaman 37)
***
TELEVISI DAN PERUBAHAN PERILAKU
OLEH E. ROKAJAT ASURA
Luar biasa pengaruh tabung kaca yang bernama televisi ini. Seratus tahun setelah Abbe Casseli, seorang Italia berhasil menemukan sistem pengiriman gambar dengan listrik melalui kawat (P.C.S Sutisno, 1993 : 4), tepatnya 24 Agustus 1962 siaran pertama televisi di Indonesia berlangsung secara terbatas. Dan dalam rentang setengah abad kemudian, dengan persaingan antara TVRI, RCTI, SCTV, TPI, ANTV, INDOSIAR, METRO TV, Trans TV dan Trans 7 dan TV1 benar-benar telah menghipnotis jutaan pasang mata. Dampak siarannya menjadi sorotan banyak pihak, dari yang bernada skeptis, apriori bahkan bernada cemas. Sejak telenovela yang membius ibu-ibu sekaligus meracuni pola pikirnya, tayangan anak-anak yang tidak mendidik, sampai adegan kekerasan dan pornografi yang dituding jadi biang keladi meningkatnya tindak kriminalitas secara signifikan di masyarakat. Disamping itu tabung kaca ini juga secara ajaib telah menyulap dan melahirkan jutawan-jutawan baru, melambungkan artis-artis dalam panggung selebritas. Dibanding media cetak dan elektronik radio, sebagai bagian dari media massa, media ini tampak lebih gebyar sehingga menambah rasa percaya diri yang terlibat didalamnya bahkan nyaris overconfident hingga memunculkan arogansi.
Sorotan negatif dan positif pada setiap tayangan televisi terus mengalir, kendati dengan mengurut dada, perubahan yang diinginkan tetap terabaikan. Social control yang diharapkan sebagai katup terakhir yang menjadi saringan, laik dan tidak laik siar sebuah program justru hanya menjadi lips service semata. Seperti seseorang yang tengah mabuk, euporia, atau berada dalam suasana pesta, sorotan-sorotan terhadap diri sendiri itu dianggap sebagai perpanjangan dari sebuah kekaguman. Samasekali tidak dijadikan sebagai alat bercermin, tempat mawas diri, instrospeksi untuk lebih “mendewasakan” diri. Tak bisa dipungkiri memang, seperti dikatakan Dofivat, komunikasi telah mencapai satu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi mutakhir telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”. Tapi justru dengan serentak dan serempak itupula, pengaruhnyapun sedimikian dahsyat sehingga memberi pengaruh yang signifikan pada setiap perubahan perilaku.
Dengan pengaruhnya yang demikian dahsyat, tanpa dibentengi tata nilai yang disepakati bersama, saya khawatir justru pada akhirnya seperti kata Ernest van den Haag, yang dikutip Drs. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Psikologi Komunikasi” halaman 226, semua media akan mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan walaupun tampak menggoncangkannya, media massa memperluas isolasi moral sehinga mereka terasing dari yang lain, dan realitas dari diri mereka sendiri. Orang mungkin berpaling pada media massa bila ia kesepian atau bosan. Tetapi sesekali media massa menjadi kebiasaan, media massa dapat merusak kemampuan memperoleh pengalaman yang bermakna.
Televisi yang mampu menghadirkan tayangan secara audio-visual telah mampu meninabobokan penonton. Sebagai sebuah miniatur kehidupan, acara-acara televisi akan menjerat penonton tanpa didahului penolakan. Apalagi semua sajian itu bisa dinikmati dengan gratis, sehingga masyarakat penonton tidak akan merasa rugi untuk berlama-lama ada di depan televisi. Memang benar bahwa reaksi orang terhadap media massa ditentukan beberapa faktor dominan, seperti potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan serta pengalaman. Tapi kasus itu menjadi lain ketika masyarakat kita yang serta merta berada dalam tahap filming society. Di negara maju, justru masyarakat dimulai dari reading society, kemudian berangsung-angsur menjadi filming society. Kondisi ini terbukti dengan tetap tingginya angka buta huruf, tapi tidak buta menonton televisi. Kondisi ini menjadi penting diperhatikan, karena ketika seseorang belum termasuk ke dalam reading society kemudian tiba-tiba berada dalam filming society, hal utama yang paling kentara adalah dilahapnya segala jenis tontonan, tidak berdasarkan kebutuhan dan tidak terjadinya proses memilih serta memilah. Maka tidak aneh kalau ada seorang anak yang juga penonton setia berita dan sinetron drama rumah tangga, sebaliknya seorang ibu tidak saja gandrung menonton telenovela tapi juga penonton setia Doraemon.
Buku yang anda pegang ini berisi kumpulan tulisan seputar sinetron, telenovela, sajian musik dalam televisi. Sebuah buku yang lebih cocok disebut sebagai sebuah perjalanan pengamatan saya terhadap beberapa tayangan televisi. Essay-essay dalam buku ini saya pilih dan pilah dari tulisan sekitar 1991-1998. Sembilanpuluh prosen telah diterbitkan di beberapa media cetak. Kesemuanya lahir dari kekhawatiran dan kecemasan saya sebagai bagian tak terpisahkan dari perkembangan televisi di tanah air dewasa ini. Beberapa essay memang mengandung fakta terikat oleh kurun waktu tertentu, tapi secara substansial tetap merupakan pemikiran yang masih urgen dengan kondisi acara-acara televisi sekarang ini. Bahkan sisi ini yang menarik, ada apa sebenarnya sampai kesalahan dan kelemahan itu berlama-lama bahkan menjadi bagian dari sebuah rutinitas.
Menyatukan pemikiran yang berlandaskan dari kecemasan dan kekhawatiran saya dalam sebuah buku ini, tidak bermaksud ingin melebih-lebihkan kesulitan persoalan tayangan televisi kita yang memang telah sulit dan rumit. Melebih-lebihkan kesulitan, seperti kesimpulan Drs. Jalaluddin Rakhmat yang bersumber dari pendapat Coleman, khawatir akan menimbulkan keresahan yang melumpuhkan tindakan. Pemikiran ini juga bukan bentuk kemarahan. Karena kemarahan hanya akan mendorong tindakan impulsif dan kurang dipikirkan. Ini semua adalah buah pikiran sebagai tanda cinta, yang tidak rela sebuah kecanggihan yang bernama media televisi justru menjadi madharat bagi perkembangan masyarakat kita.
Dr. Yusuf Qardhawi seperti diungkap Luthfi Assyaukanie dalam buku “Politik, Ham, Dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer” terbitan Pustaka Hidayah, pernah ditanya oleh seorang remaja berusia 18 tahun tentang ikhwal menonton televisi. Ahli fikih asal Mesir ini menjelaskan dampak positif dan negatif yang dapat ditimbulkan tayangan TV itu dengan arif, seperti yang ia tulis dalam bukunya “Fatawa Mu’ashirah”, seluruh tayangan yang dihadirkan TV dapat dinilai dengan hati nurani pemirsa. Melihat aurat seseorang dalam tayangan TV sama hukumnya dengan melihat aurat orang tersebut dalam aslinya. Pendapat tersebut menarik tidak saja karena kearifannya, tapi sebuah catatan penting yang bisa kita garis bawahi adalah diperlukan penilaian dengan hati nurani pemirsa pada setiap tayangan televisi.
Seorang pemirsa akan bisa menilai dengan hati nurani apabila dia telah dewasa dalam berpikir. Kedewasaan berpikir itu yang akan memunculkannya sebuah tata nilai. Andai saja sebuah tata nilai telah menjadi bagian integral pada mayoritas masyarakat penonton, maka sebenarnya kekhawatiran akan dampak negatip dari tayangan-tayangan televisi itu menjadi sedikit lumer. Kalaupun pengelola televisi khilaf atau kurang kencang menutup katup social control-nya, masyarakat tidak akan secara otomatis termakan, teracuni dan menjadi bulan-bulanan tayangan televisi tersebut. Bukankah seperti kata Alfin L. Bertrand nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan atau orang. Kelestarian emosi itu juga adalah implementasi dari kedewasaan berpikir.
Kritik sebagai bagian dari seni dan bagian integral dari pendewasaan berpikir, tentu saja menjadi kaya dimensi kendati objek kritik adalah pada dasarnya satu yaitu sajian-sajian di televisi. Seni sebagai karya kreatif, meminjam istilah Japi Tambayong, adalah sebuah karya yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, hasil perwujudan dan pengejewantahan pikiran dan perasaan dari kemampuan dan kebolehan seseorang terhadap segala hal yang dipandang, dirasakan dan dijiwai. Maka dalam lingkup itu pula, pemikiran-pemikiran ini berada. Mudah-mudah tidak jauh panggang dari api.
Essay dengan tajuk “Moralitas Iklan Komersial” yang diterbitkan di Mingguan Citra No. 266/VI/1-7 Mei 1995 merupakan refleksi dari kekhawatiran banyak pihak yang mengaburkan pengertian kerja kreatif yang samasekali menapikan moral. Kejadian ini tampak dengan menjamurnya model-model iklan yang seronok yang secara substansil tidak memperkuat image produk yang akan diiklankan. Dalam short training menulis iklan yang diselenggarakan Masima Training and Consulting Jakarta, dimana saya adalah salah seorang nara sumbernya, topik ini menjadi diskusi yang menarik. Publikasi essay ini memang tahun 1995 tapi ternyata kasus ini menjadi bahan perbincangan sampai hari ini. Sebuah kondisi yang menarik tentu saja. Menarik dalam arti apakah langgengnya masalah tersebut diakibatkan karena para kreator yang menggunakan kacamata kuda, tidak pernah peduli dengan masukan-masukan dari luar, atau stagnansi kreativitas para kreator iklan ?
Kajian tentang tradisi dongeng sebelum tidur yang semakin luntur, sebagai akibat dari pergesekan dengan budaya pop, bisa anda telaah dalam tajuk essay “Tradisi Dongeng Sebelum Tidur : Hilang Nyali Menghadapi Power Rangers” yang dipublikasikan di Kompas Minggu, edisi 14 Januari 1996. Barangkali masalah pergesekan yang merugikan ini terjadi sebagai buntut dari kondisi masyarakat kita yang secara tiba-tiba berada dalam filming society itu tadi, tidak seperti yang terjadi di Barat, filming society justru muncul sebagai dampak dari reading society. Sehingga di Barat tradisi mendongeng tetap berdampingan dengan tayangan-tayangan televisi. Pemikiran ini tentu menjadi bahan diskusi kapan saja terutama anda yang punya kepedulian pada nilai-nilai tradisi yang tetap ingin dipertahankan sebagai bagian dari khasanah budaya kita.
Ketika televisi swasta bersaing telenovela, TVRI Bandung justru punya tayangan lokal yang menarik. Menarik tidak saja karena hasil gagasan budayawan kahot, RAF, tapi tayangan ini sangat kental dengan suasana Pasundan bahkan terasa sebagai stereotype manusia trans-modern Sunda. Sajian ini bernama “Inohong Di Bojongrangkong”. Sinetron seri dengan format sketsa kadang-kadang juga karikatural, menurut pemikiran saya merupakan refleksi hidup (manusia Sunda). Anda boleh beda pendapat tentu saja. Hanya dalam essay bertajuk “Refleksi Hidup Dari Kita Untuk Kita” yang dipublikasikan Pikiran Rakyat Minggu, 10 Februari 1991 Halaman 10 ini, bertitik tolak dari telaah beberapa kali penayangan serial tersebut.
Essay lain yang bertajuk “Gila Sukses Dan Produksi/Pikiran Rakyat, 3 Nopemer 1996 halaman 7”, “Telenovela Melampaui Ambang Batas / Pikiran Rakyat Minggu, 30 April 1995 Halaman 5”, “Penonton Menuntut Tema Yang Riil / Pikiran Rakyat Minggu, 5 Agustus 1990 Halaman 7”, “Sikap Latah dan Underestimated Pengagas Sinetron” serta “Wajah Musik Kita / Pikiran Rakyat Minggu 19 Februari 1995” merupakan perspektif pemikiran dari sebuah kondisi dimana para kreator, penggagas acara, penanggung jawab acara dan tim produksi lainnya yang gegabah dan gampangan dalam bekerja. Konsep I do the Best hanya jadi slogan, karena dengan alasan dikejar jam tayang misalnya, seperti ingin menghalalkan kerja gampangan tersebut. Padahal sebuah karya merupakan hasil dari proses berpikir kreatif. Berpikir dikatakan kreatif, menurut MacKinnon, harus memenuhi tiga syarat yaitu melibatkan respons atau gagasan baru, dapat memecahkan persoalan secara realistis dan harus merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinil, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin. Ada yang harus dipertanggung jawabkan dan jadi target dari apa yang digagasnya tersebut. Artinya ketika kerja serampangan, mengekor pada karya mereka yang sukses, saya berasumsi semua itu bukanlah kerja kreatif. Anda yang ternyata tersindir boleh saja marah, tapi jangan lama-lama karena marah hanya akan melemahkan ketajaman berpikir.
Pendahuluan ini bukan dimaksud sebagai bimbingan untuk menelaah essay-essay yang tersaji dalam buku ini. Tapi sebagai sebuah wacana yang diharapkan dapat membuka “percakapan” sehingga kita pada akhirnya akan menggagas sebuah diskusi yang menarik dan sehat dengan satu tujuan sama-sama memikirkan pranata seperti apa yang kita anggap ideal untuk pertelevisian kita. Sehingga ketika anda menemukan essay “Rahasia Keluarga Dalam Kuis / Pikiran Rakyat edisi 30 Juli 1995 halaman 7”, “Nyanyi Dibarengi Tari, Awas Merusak Seni / Pikiran Rakyat edisi 16 Juli 1989 halaman 7” atau “Imbasan Perang Dalam Film atau sinetron / Pikiran Rakyat Minggu 3 Februari 1991 halaman 6”, hal itu merupakan ancang-ancang untuk memasuki wilayah kerja kreatif dari penggagas acara televisi. Ancang-ancang ini bisa kita anggap sebagai jembatan yang akan menyambungkan antara wilayah kreatif, wilayah pengamatan, dan wilayah penikmat.
Tanpa bermaksud memberi ruang untuk mengkristalkan “tradisi tepok dada” atau membudayakan arogansi dari pengelola dan segenap tim kreatif televisi yang memang secara alami memungkinkan untuk itu, terutama apabila dibandingkan eksistensinya dengan media cetak dan media elektronik radio, tiga essay terakhir yaitu “Kritik Sosial Pada Komedi Televisi Belum Mati / Pikiran Rakyat edisi 2 Juli 1995”, “Bintang Mahal Hollywood Mayoritas Dari TV / Pikiran Rakyat edisi 29 September 1996” dan “ Film atau sinetron Dijadikan Promosi Pariwisata / Pikiran Rakyat edisi 2 Juli 1995” adalah sebuah apresiasi, pengalaman dan pengamatan tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan kesan. Dalam konteks ini apresiasi terhadap beberapa tayangan televisi.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, benda ajaib berupa tabung kaca bernama televisi ini, dalam kaitannya dengan media komunikasi, tidak saja sebagai sebuah institusi kolektif tapi juga sebuah wahana yang sebenarnya bisa dijadikan pressure group. Dalam kaitannya menekan pembuat kebijakan sehingga selalu memperjuangkan publik, bukan sebaliknya menjadi penekan publik untuk kepentingan birokrasi, pengelola atau sebuah gerakan tertentu yang ingin merancukan pemahaman publik.
Kaitanya dengan proses kreatif dan lemahnya social control dari pengelola dan tim kerja kreatif dalam menggagas dan menyebarluaskan hasil kerjanya tersebut yang masih menjadi masalah urgen sekarang ini, kumpulan essay ini diharapkan akan membuka sebuah wacana yang akan memberi aksentuasi pada setiap pengambilan keputusan dalam perspektif antara pengelola televisi dihadapan pemirsanya. Lebih jauhnya pemikiran kritis ini diharapkan dapat menggugah sebuah tanggung jawab sosial pengelola televisi, agar tetap menjaga tatanan nilai yang berlaku di masyarakat. Kalaupun tidak bisa mengoptimalkan tatanan nilai itu, cukup bijak apabila dalam setiap tayangan yang disajikan tak ada sedikitpun keinginan untuk mengotori dan mengaburkan tatanan nilai itu.
Kalaulah sekarang ini masih banyak tayangan-tayangan yang kurang mendidik, mengadop sebuah kebobrokan tata nilai sebagai konsumsi pemirsa, kerja serampangan, mudah-mudahan bukan satu kondisi kenyataan sesungguhnya. Saya hanya khawatir, jangan-jangan seperti menurut Budi Darma yang menyitir pendapat Arthur Koesler dalam The Act of Creation dan Wolter Kaufmann dalam The Future of The Humanities, yang mengatakan bahwa masalah kemanusiaan dan budaya telah diungkapkan secara halus oleh ahli seni dan filsapat dalam karya-karyanya. Karya-karya itu merupakan perwujudan perasaan dan pemikiran orang terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan budaya yang terjadi di sekelilingnya. Jadi kalau seandainya sekarang bermunculan hasil karya seni sastra dengan tema-tema kebobrokan masyarakat, maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut sedang sakit (Ir. Drs. M Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung (1993) : Eresco).
Mudah-mudahan pemikiran-pemikiran kritis atas sajian-sajian televisi sebagai implementasi dari rasa khawatir saya ini tidak akan menimbulkan keresahan yang melumpuhkan tindakan. Tapi sebaliknya menjadi semacam shock theraphy sehingga akan bekerja lebih baik lagi. I do the Best menjadi konsep berkarya yang tidak hanya berada dalam dunia imajinasi semata. Selamat menikmati dan menelaah kumpulan essay ini, dan mudah-mudah bisa membuka perspektif pemikiran yang baru.
****
Kamis, 21 April 2016
MORALITAS IKLAN KOMERSIAL
Pengantar:
Dua puluh tahun lalu tulisan ini dipublikasikan di Tablod Citra, tetapi isinya masih relevan dengan kekinian. Artinya secara umum kreatif iklan masih jalan di tempat atau bahkan mundur. Ini asumsi saja tidak didukung data empiris. Selamat membaca.
MORALITAS IKLAN KOMERSIAL
Mingguan Citra No. 266/VI/ 1-7 Mei 1995
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
“Xonce-nya man..na ?
Sariawan ? Koq diam aja ?”
Satu dari sepuluh alasan kenapa produsen beriklan untuk melaunching produk adalah agar produknya tetap berada dalam top of mind, sehingga senantiasa berada dalam dunia kompetisi (pasar). Dari kepentingan bisnis itulah muncul kreasi orang untuk mencipta iklan komersial yang tepat guna dan punya penetrasi yang baik. It cause something to exist, or make something new and original, begitu kata orang bule. Untuk kemudian muncul iklan komersial yang nyeni, bergagasan baru, humoris bahkan yang sifatnya nyerempet-nyerempet ngeseks baik secara visual maupun auditif (secara auditif lewat permainan kata dan secara visual dengan mengeksploitir kemolekan wanita).
Seperti apapun kemasan, bentuk, wajah secara utuh dari iklan komersial yang digagas, top-targetnya memang tak lebih dari keinginan memposisikan produk (yang dipromosikan) pada top of mind khalayak tadi. Ingin selalu menjadi yang pertama pada ingatan konsumen, yang memungkinkan khalayak memilihnya. Itu memang immute laws of marketing, dalam pandangan Al Ries & Jack Trout. Artinya syah saja bahkan menjadi keharusan. Terlebih mengingat bahwa ingatan manusia itu terbatas, hanya mampu menjawab paling banyak tiga nama yang pernah masuk kedalam memori otaknya.
Betapa menjadi yang pertama itu lebih baik, yang digagas dalam Hukum I dari Al Ries & Jack Trout (Immutable Laws of Marketing : 1990) memang terbukti. Coba saja ketika kita ditanya misalnya siapa orang pertama yang terbang secara solo di atas Samudera Atlantik, spontan akan menjawab Charles Lindbergh. Tapi siapa orang kedua yang terbang solo di atas Samudera Atlantik setelah Charles Lindbergh ? Paling tidak memerlukan beberapa saat sebelum bisa menjawab. Itulah kenapa better to be the first than it is to be better. Padahal orang kedua setelah Charles yakni Bert Hinkler, termasuk seorang pilot hebat dengan segudang reputasi lain dan jam terbang yang mapan. Orang seakan tak acuh untuk mengingat yang kedua. Tak aneh kalau dalam pasar (kehidupan sehari-hari) ketika orang ingin membeli pasta gigi cukup dengan mengatakan “beli odol” karena odol itulah merk pertama yang masuk pasar dan sekaligus masuk top of mind khalayak.
Akan halnya kreasi iklan komersial, karena senantiasa dituntut (mengemban tugas) agar berada dalam top of mind khalayak, harus menjadi yang pertama (kendati secara kualitas sebaliknya), sehingga mampu menciptakan traffic ke dalam toko untuk menarik langganan baru disamping mempertahankan langganan lama. Kenyataan ini pada gilirannya banyak kreator iklan komersial melupakan moralitas mission dari iklan tersebut, seakan-akan social control yang seharusnya dinomorsatukan mengingat segmen khalayak melebar – terutama iklan komersial di televisi – malah ini kurang dipandang serius. Tak aneh kalau kemudian iklan-iklan yang nyerempet dan tak memperhatikan adat ketimuran begitu menjamur.
Kreasi iklan komersial sabun mandi merk tertentu yang ditayangkan di semua televisi swasta misalnya, dengan menampilkan hasil shoot kaki dan beberapa bagian sensual lainnya, bisa jadi kreasi baru dan kreatif dan yakin bisa masuk top of mind khalayak. Tapi bagaimana pengaruhnya pada khalayak terutama pada usia rawan ? Kasus yang sama terjadi pada iklan salah satu ubin keramik (sambil melorotkan baju luar kemudian di-shoot kakinya yang mulus bikin glek saja. Begitupun iklan pembalut wanita yang menonjolkan hal-hal yang menonjol pada wanita, atau jamu wanita lewat teknik medium-shoot seorang wanita berpakaian senam. Kasus yang sama terjadi pula pada iklan komersial auditif yang diputar di radio, iklan jamu kuat yang dikenal lewat idiom PAKDE. Dengan suara isin-isin seorang wanita menjabarkan bahwa PAKDE itu kependekan dari panjang, kuat dan gede. Siapapun akan langsung tahu, bahwa yang dimaksud adalah – maaf – alat vital kaum Adam sesuai dengan mission iklan komersial tersebut yakni jamu kuat laki-laki.
Apa jadinya jika khalayak terus dipaksa mengkonsumsi iklan komersial nyerempet dan mempertontonkan aurat tadi, padahal berdasarkan catatan SRI 1993/1994 saja 58 % dari populasi 1.585.000 pemirsa yang dijadikan sampel mendengarkan radio dan tidak kurang dari 63 % dari populasi yang sama adalah pemirsa setia televisi swasta. Kalau kemudian kita begitu mengkhawatirkan dampak negatip dari menjamurnya iklan komersial yang “tidak bertanggung jawab” tadi, mengingat khalayak pemirsa termasuk di dalamnya usia rawan (15-19 tahun), adalah menjadi masuk akal.
Dengan perhitungan kasar saja, berapa juta pada saat yang sama yang akan terkontaminasi dengan informasi tayangan iklan produk dengan kategori “nol moralitas” macam tadi dalam rentang waktu lima belas menit dari lima stasiun televisi. Berapa prosen dari jumlah tadi yang masih berusia rawan “coba-coba” (15-19 tahun). Belum termasuk informasi lewat tayangan iklan auditif dari radio-radio swasta. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing iklan komersial telah mampu mengembangkan theater in mind, menghantui pikiran khalayak pendengar.
Memang seolah kepentingan bisnis produsen lebih dijadikan titik acuan para kreator iklan komersial dibanding kepentingan konsumen (terlalu klise kalau ditambah bahwa konsumen adalah raja), yang tidak saja ingin membeli produk yang diiklankan tapi juga merasa dihargai moral dan tradisi yang dipegangnya dalam keseharian.
Andai produsen dan para kreator iklan mau berpikir jernih bahwa investasi pada bidang promosi sepenuhnya akan dibeli oleh konsumen, lalu andai sepuluh prosen saja pemirsa antipati sampai tidak mau membeli (semacam unjuk rasa), berapa kerugian yang akan ditanggung ? Padahal dari sudut manapun kita memandang sebenarnya perbuatan mulia jika berkreasi dengan tidak melupakan moral.
Soal para produsen dan kreator dalam etika berbisnis selalu dijejali konsep Al Ries & Jack Trout memang demikian seharusnya, agar tetap berada dalam dunia kompetisi. Tapi menyediakan tempat terhormat (baca: memikirkan moralitas) untuk konsumen juga tak kalah penting sebelum sikap antipati menjamur sebagai sikap diam konsumen.
Berkreasi dengan memanfaatkan hal-hal yang nyerempet ngeseks, vulgar, eksploitasi kemolekan wanita memang selalu menarik. Kendati sebenarnya cara ini adalah sebuah kreasi gampangan. Dampaknyapun hanya beberapa saat, selebihnya akan muak. Dari rasa muak, lambat laun akan berubah antipati.
Dalam berkreasi sebenarnya banyak sisi yang bisa diangkat dengan menghilangkan (paling tidak diperingan) konsentrasi pada hal-hal vulgar. Buktinya iklan vitamin C yang disitir di awal tulisan terbukti sukses dan populer, yang jelas-jelas terhindar dari “bahaya”. Atau iklan rokok dengan memanfaatkan pemandangan alam nan asri ditambah lagu yang enak didengar, mengangkat tradisi Bali atau Sunda pada iklan beberapa makanan, humor antik gaya Mandra pada iklan obat nyamuk, sama-sama populer dan sukses serta terhindar dai “bahaya” kontaminasi moral. Banyak iklan yang sukses dari kreasi seorang kreator yang bertanggung jawab. Kreativitas justru mencari sesuatu yang baru dan orisinil.
***
*) Bagaimana menggagas iklan yang menarik tanpa harus nyerempet, bisa dibaca
dalam buku “Kiat Praktis Menulis” karya saya yang sedang dalam proses penerbit
Dua puluh tahun lalu tulisan ini dipublikasikan di Tablod Citra, tetapi isinya masih relevan dengan kekinian. Artinya secara umum kreatif iklan masih jalan di tempat atau bahkan mundur. Ini asumsi saja tidak didukung data empiris. Selamat membaca.
MORALITAS IKLAN KOMERSIAL
Mingguan Citra No. 266/VI/ 1-7 Mei 1995
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
“Xonce-nya man..na ?
Sariawan ? Koq diam aja ?”
Satu dari sepuluh alasan kenapa produsen beriklan untuk melaunching produk adalah agar produknya tetap berada dalam top of mind, sehingga senantiasa berada dalam dunia kompetisi (pasar). Dari kepentingan bisnis itulah muncul kreasi orang untuk mencipta iklan komersial yang tepat guna dan punya penetrasi yang baik. It cause something to exist, or make something new and original, begitu kata orang bule. Untuk kemudian muncul iklan komersial yang nyeni, bergagasan baru, humoris bahkan yang sifatnya nyerempet-nyerempet ngeseks baik secara visual maupun auditif (secara auditif lewat permainan kata dan secara visual dengan mengeksploitir kemolekan wanita).
Seperti apapun kemasan, bentuk, wajah secara utuh dari iklan komersial yang digagas, top-targetnya memang tak lebih dari keinginan memposisikan produk (yang dipromosikan) pada top of mind khalayak tadi. Ingin selalu menjadi yang pertama pada ingatan konsumen, yang memungkinkan khalayak memilihnya. Itu memang immute laws of marketing, dalam pandangan Al Ries & Jack Trout. Artinya syah saja bahkan menjadi keharusan. Terlebih mengingat bahwa ingatan manusia itu terbatas, hanya mampu menjawab paling banyak tiga nama yang pernah masuk kedalam memori otaknya.
Betapa menjadi yang pertama itu lebih baik, yang digagas dalam Hukum I dari Al Ries & Jack Trout (Immutable Laws of Marketing : 1990) memang terbukti. Coba saja ketika kita ditanya misalnya siapa orang pertama yang terbang secara solo di atas Samudera Atlantik, spontan akan menjawab Charles Lindbergh. Tapi siapa orang kedua yang terbang solo di atas Samudera Atlantik setelah Charles Lindbergh ? Paling tidak memerlukan beberapa saat sebelum bisa menjawab. Itulah kenapa better to be the first than it is to be better. Padahal orang kedua setelah Charles yakni Bert Hinkler, termasuk seorang pilot hebat dengan segudang reputasi lain dan jam terbang yang mapan. Orang seakan tak acuh untuk mengingat yang kedua. Tak aneh kalau dalam pasar (kehidupan sehari-hari) ketika orang ingin membeli pasta gigi cukup dengan mengatakan “beli odol” karena odol itulah merk pertama yang masuk pasar dan sekaligus masuk top of mind khalayak.
Akan halnya kreasi iklan komersial, karena senantiasa dituntut (mengemban tugas) agar berada dalam top of mind khalayak, harus menjadi yang pertama (kendati secara kualitas sebaliknya), sehingga mampu menciptakan traffic ke dalam toko untuk menarik langganan baru disamping mempertahankan langganan lama. Kenyataan ini pada gilirannya banyak kreator iklan komersial melupakan moralitas mission dari iklan tersebut, seakan-akan social control yang seharusnya dinomorsatukan mengingat segmen khalayak melebar – terutama iklan komersial di televisi – malah ini kurang dipandang serius. Tak aneh kalau kemudian iklan-iklan yang nyerempet dan tak memperhatikan adat ketimuran begitu menjamur.
Kreasi iklan komersial sabun mandi merk tertentu yang ditayangkan di semua televisi swasta misalnya, dengan menampilkan hasil shoot kaki dan beberapa bagian sensual lainnya, bisa jadi kreasi baru dan kreatif dan yakin bisa masuk top of mind khalayak. Tapi bagaimana pengaruhnya pada khalayak terutama pada usia rawan ? Kasus yang sama terjadi pada iklan salah satu ubin keramik (sambil melorotkan baju luar kemudian di-shoot kakinya yang mulus bikin glek saja. Begitupun iklan pembalut wanita yang menonjolkan hal-hal yang menonjol pada wanita, atau jamu wanita lewat teknik medium-shoot seorang wanita berpakaian senam. Kasus yang sama terjadi pula pada iklan komersial auditif yang diputar di radio, iklan jamu kuat yang dikenal lewat idiom PAKDE. Dengan suara isin-isin seorang wanita menjabarkan bahwa PAKDE itu kependekan dari panjang, kuat dan gede. Siapapun akan langsung tahu, bahwa yang dimaksud adalah – maaf – alat vital kaum Adam sesuai dengan mission iklan komersial tersebut yakni jamu kuat laki-laki.
Apa jadinya jika khalayak terus dipaksa mengkonsumsi iklan komersial nyerempet dan mempertontonkan aurat tadi, padahal berdasarkan catatan SRI 1993/1994 saja 58 % dari populasi 1.585.000 pemirsa yang dijadikan sampel mendengarkan radio dan tidak kurang dari 63 % dari populasi yang sama adalah pemirsa setia televisi swasta. Kalau kemudian kita begitu mengkhawatirkan dampak negatip dari menjamurnya iklan komersial yang “tidak bertanggung jawab” tadi, mengingat khalayak pemirsa termasuk di dalamnya usia rawan (15-19 tahun), adalah menjadi masuk akal.
Dengan perhitungan kasar saja, berapa juta pada saat yang sama yang akan terkontaminasi dengan informasi tayangan iklan produk dengan kategori “nol moralitas” macam tadi dalam rentang waktu lima belas menit dari lima stasiun televisi. Berapa prosen dari jumlah tadi yang masih berusia rawan “coba-coba” (15-19 tahun). Belum termasuk informasi lewat tayangan iklan auditif dari radio-radio swasta. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing iklan komersial telah mampu mengembangkan theater in mind, menghantui pikiran khalayak pendengar.
Memang seolah kepentingan bisnis produsen lebih dijadikan titik acuan para kreator iklan komersial dibanding kepentingan konsumen (terlalu klise kalau ditambah bahwa konsumen adalah raja), yang tidak saja ingin membeli produk yang diiklankan tapi juga merasa dihargai moral dan tradisi yang dipegangnya dalam keseharian.
Andai produsen dan para kreator iklan mau berpikir jernih bahwa investasi pada bidang promosi sepenuhnya akan dibeli oleh konsumen, lalu andai sepuluh prosen saja pemirsa antipati sampai tidak mau membeli (semacam unjuk rasa), berapa kerugian yang akan ditanggung ? Padahal dari sudut manapun kita memandang sebenarnya perbuatan mulia jika berkreasi dengan tidak melupakan moral.
Soal para produsen dan kreator dalam etika berbisnis selalu dijejali konsep Al Ries & Jack Trout memang demikian seharusnya, agar tetap berada dalam dunia kompetisi. Tapi menyediakan tempat terhormat (baca: memikirkan moralitas) untuk konsumen juga tak kalah penting sebelum sikap antipati menjamur sebagai sikap diam konsumen.
Berkreasi dengan memanfaatkan hal-hal yang nyerempet ngeseks, vulgar, eksploitasi kemolekan wanita memang selalu menarik. Kendati sebenarnya cara ini adalah sebuah kreasi gampangan. Dampaknyapun hanya beberapa saat, selebihnya akan muak. Dari rasa muak, lambat laun akan berubah antipati.
Dalam berkreasi sebenarnya banyak sisi yang bisa diangkat dengan menghilangkan (paling tidak diperingan) konsentrasi pada hal-hal vulgar. Buktinya iklan vitamin C yang disitir di awal tulisan terbukti sukses dan populer, yang jelas-jelas terhindar dari “bahaya”. Atau iklan rokok dengan memanfaatkan pemandangan alam nan asri ditambah lagu yang enak didengar, mengangkat tradisi Bali atau Sunda pada iklan beberapa makanan, humor antik gaya Mandra pada iklan obat nyamuk, sama-sama populer dan sukses serta terhindar dai “bahaya” kontaminasi moral. Banyak iklan yang sukses dari kreasi seorang kreator yang bertanggung jawab. Kreativitas justru mencari sesuatu yang baru dan orisinil.
***
*) Bagaimana menggagas iklan yang menarik tanpa harus nyerempet, bisa dibaca
dalam buku “Kiat Praktis Menulis” karya saya yang sedang dalam proses penerbit
TUKANG SALAK
Diropea ku : E. Rokajat Asura
Ceuk beja di Pasar Baru Bandung. Aya tilu urang tukang dagang nu rada wangkelang. Tukang cau, tukang salak jeung tukang kadu cenah. Pokona tiluanana siga nu geus saengko, resep pisan ucing sumput jeung petugas Tibum. Mun petugas mariksa, tiluanana ngabalicet ngaleungit teuing kamana. Mun euweuh Tibum, kasampak geus dadasar deui. Tapi dina hiji poe mah sial. Tiluanana kacerek. Beunang siah, ceuk Tibum suka. Tukang dagang teh tiluanana ngahuleng. Tapi teu bisa majarkumaha, tiluanana pasrah dibawa ka kantor. Singkatna carita, tiluanana diadili. Dipariksa. Mimiti dipenta dengda, tapi tiluanana kalahka ranggah. Pun bae cenah, kapan dagangna ge nembe pisan dadasar. Kumaha lamun diberok ? Waduh, sing hawatos bapa cenah. Lamun diberok mah kumaha anak pamajikan cenah. Tiluanana ngalengis menta panangtayungan.
“Nya teu nanaon ari teu sanggup mah. Silaing bisa bebas, asal daek nyumponan sarat ti dewek !” ceuk petugas Tibum rada heuras. Malum ngarana oge Tibum. Leuleus liat mah kuriak teuing disangka bencong.
“Naon saratna teh, kulan ?” ceuk tukang cau.
“Cokot cau tah hiji, terus asupkeun kana liang bujur !”
Bari ngahuleng tapi ahirna dilakonan. Rada enteng cenah. Ngan porosot tukang cau morosotkeun calana, bles … cau teh diasupkeun. Rada nyengir tapi teu dirasa.
“Cukup ! Silaing kaluar !” ceuk petugas. Salamet. Tukang cau kaluar bari nyerengeh. Giliran tukang salak. Katinggali hemar-hemir. Salak tea cucukan. Rungseb cenah. Tapi lakadala. Daripada kudu diberok, matak wirang. Ieu mah nyeri ge ngan karasa ku sorangan. Teu antaparah belesek … goak … manehna ngagoak. Peurih jeung nyeri. Tapi bari cirambay manehna ngareret ka sobatna tukang kadu. Da eta mah nu tadina cirambay teh, dadak sakala ngan … barakatak manehna seuri bangun nimat nakeranan. Puguh bae petugas aneheun, disangkana tukang salak teh sawan.
“Kunaon silaing ? Nyeri ?”
“Puguh pisan nyeri mah.”
“Tapi kunaon make jeung seuri ?”
“Ah, bapa, nyeri-nyeri ge salak mah ngan sagede kieu. Bisa dipaksakeun. Abdi mah seuri soteh teu kabayang, kumaha nasibna tukang duren. Duren mah jaba ti cucukan teh kapan paling leutik ge sagede sirah budak.”
***
Ceuk beja di Pasar Baru Bandung. Aya tilu urang tukang dagang nu rada wangkelang. Tukang cau, tukang salak jeung tukang kadu cenah. Pokona tiluanana siga nu geus saengko, resep pisan ucing sumput jeung petugas Tibum. Mun petugas mariksa, tiluanana ngabalicet ngaleungit teuing kamana. Mun euweuh Tibum, kasampak geus dadasar deui. Tapi dina hiji poe mah sial. Tiluanana kacerek. Beunang siah, ceuk Tibum suka. Tukang dagang teh tiluanana ngahuleng. Tapi teu bisa majarkumaha, tiluanana pasrah dibawa ka kantor. Singkatna carita, tiluanana diadili. Dipariksa. Mimiti dipenta dengda, tapi tiluanana kalahka ranggah. Pun bae cenah, kapan dagangna ge nembe pisan dadasar. Kumaha lamun diberok ? Waduh, sing hawatos bapa cenah. Lamun diberok mah kumaha anak pamajikan cenah. Tiluanana ngalengis menta panangtayungan.
“Nya teu nanaon ari teu sanggup mah. Silaing bisa bebas, asal daek nyumponan sarat ti dewek !” ceuk petugas Tibum rada heuras. Malum ngarana oge Tibum. Leuleus liat mah kuriak teuing disangka bencong.
“Naon saratna teh, kulan ?” ceuk tukang cau.
“Cokot cau tah hiji, terus asupkeun kana liang bujur !”
Bari ngahuleng tapi ahirna dilakonan. Rada enteng cenah. Ngan porosot tukang cau morosotkeun calana, bles … cau teh diasupkeun. Rada nyengir tapi teu dirasa.
“Cukup ! Silaing kaluar !” ceuk petugas. Salamet. Tukang cau kaluar bari nyerengeh. Giliran tukang salak. Katinggali hemar-hemir. Salak tea cucukan. Rungseb cenah. Tapi lakadala. Daripada kudu diberok, matak wirang. Ieu mah nyeri ge ngan karasa ku sorangan. Teu antaparah belesek … goak … manehna ngagoak. Peurih jeung nyeri. Tapi bari cirambay manehna ngareret ka sobatna tukang kadu. Da eta mah nu tadina cirambay teh, dadak sakala ngan … barakatak manehna seuri bangun nimat nakeranan. Puguh bae petugas aneheun, disangkana tukang salak teh sawan.
“Kunaon silaing ? Nyeri ?”
“Puguh pisan nyeri mah.”
“Tapi kunaon make jeung seuri ?”
“Ah, bapa, nyeri-nyeri ge salak mah ngan sagede kieu. Bisa dipaksakeun. Abdi mah seuri soteh teu kabayang, kumaha nasibna tukang duren. Duren mah jaba ti cucukan teh kapan paling leutik ge sagede sirah budak.”
***
BERBAGI BERSAMA: KESEJAHTERAAN HIDUP
BERBAGI BERSAMA: KESEJAHTERAAN HIDUP: Oleh : E. Rokajat Asura Keluarga Makmur hidup rukun dan bahagia. Ia punya seorang anak manis yang diberi nama Sejahterawati. Sekalipun ...
KESEJAHTERAAN HIDUP
Oleh : E. Rokajat Asura
Keluarga Makmur hidup rukun dan bahagia. Ia punya seorang anak manis yang diberi nama Sejahterawati. Sekalipun hanya makan tahu tempe, tak pernah Makmur uring-uringan. Begitu pula istri dan anaknya, hidup bahagia sekalipun sangat sederhana. Bahkan seringkali kehidupan keluarga Makmur membuat iri tetangga. Kok hidup dengan sederhana tetapi tidak mengurangi keharmonisan rumah tangga ya ? Rumah masih ngontrak kenapa bisa rukun dan tidak tidak pernah terdengar ribut ya ?
“Kebahagiaan itu tidak terletak pada uang dan harta, tapi ada dalam hati kita,” jelas Makmur ketika suatu hari dikerubuti ibu-ibu yang sengaja datang meminta tips bagaimana agar bisa hidup bahagia, tentram, aman dan terkendali.
“Apa hati bisa tenteram sementara dapur belum ngebul ?” tanya seorang ibu yang terkenal senang ngutang hanya agar kelihatan seperti orang banyak uang.
“Bagi saya makan itu bukan tujuan hidup, Bu, tapi makan hanya untuk penyambung hidup,” jawab Makmur mengemukakan konsep hidupnya yang sederhana.
Mendengar jawaban Makmur seperti itu, ibu-ibu hanya saling pandang. Tetap bagi pikiran mereka, pola pikir Makmur seperti itu tak bisa diterima. Bagi mereka kebahagiaan justru terletak pada kekayaan. Uang. Soalnya mana mungkin bisa memenuhi keinginan tanpa punya uang. Pertemuan itu bubar tanpa menghasilkan kesimpulan apa-apa. Ibu-ibu itu kembali ke rumah tetap dengan pola pikir dan pola hidup semula.
Suatu hari Makmur kena PHK dengan alasan perusahaan sedang mengadakan effisiensi. Tentu saja Makmur kaget, padahal dialah tulang punggung keluarga. Ketika istrinya mengetahui Makmur di-PHK, ia hanya menunduk sedih. Tak terbayang bagaimana memenuhi kebutuhan dapur, kebutuhan sekolah dan tentu saja uang untuk kontrak rumah. Rumah tangga yang harmonis itu nyaris limbung.
Suatu hari Makmur pamit untuk cari kerjaan. Tapi sore harinya tidak pulang, bahkan keesokan harinya pun belum juga pulang. Tentu saja istri dan anaknya sangat mengkhawatirkannya, apalagi sebelumnya Makmur tak pernah pergi jauh-jauh. Sehari berlalu, dua hari, bahkan genap tiga hari Makmur belum juga pulang. Cerita miring mulai terdengar. Ada yang mengatakan Makmur punya istri lagi. Ada pula yang menyebutkan kalau Makmur tersesat dan jadi korban pengeroyokan. Istri dan anaknya hanya bisa pasrah sambil tetap berdo’a, semoga Makmur selamat dan cepat kembali.
Sepuluh hari sejak kepergiannya, akhirnya Makmur pulang. Badannya kuyu, pakaiannya kotor dan wajahnya sangat lelah. Istri dan anaknya menyambut dengan suka cita. Tak ada kebahagiaan bagi mereka selain berkumpul kembali. Sang istri sudah tidak sabar lagi mendengar cerita Makmur yang tidak pulang sampai sepuluh hari. Sebuah rekor yang luar biasa. Pada malam harinya Makmur mulai cerita. Ternyata ia pergi ke sebuah tempat keramat, meminta berkah. Menurut leluhur di tempat keramat itu bahwa Makmur cocok berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Makmur diberi sebentuk batu ali. Tapi ada satu hal yang tak boleh dilanggar yaitu tidak boleh tergoda wanita apalagi kalau sampai dikawin. Padahal menurut sesepuh di sana, setelah memiliki batu ali ini dorongan untuk punya istri lagi sangat besar. Mendengar itu, sang istri kebingungan. Bukan bingung karena suaminya takut kawin lagi, tapi bingung darimana harus menyediakan modal. Untuk dagang, tentu butuh modal yang tidak kecil.
Setelah menemui kesepakatan bersama, akhirnya kalung simpanan yang ditabung bertahun-tahun lamanya harus dijual. Dan dua pertiga-nya dipakai modal, sementara yang sepertiga dibelikan beras, untuk kebutuhan makan sehari-hari. Makmur menetapkan hati untuk jualan Bubur Kacang. Tempat usahanya dipilih di simpang jalan dekat sebuah pabrik dan pasar. Tempat yang cukup strategis.
Hari pertama, dagangannya laris manis. Betapa senangnya hati mereka. Hari ke hari bahkan dalam waktu sangat singkat, Makmur sudah bisa membeli gerobak. Kehidupannya pun mulai tampak berubah.
Setahun kemudian, Makmur benar-benar berubah. Dagangannya semakin maju. Ia kini telah mampu membeli sebuah rumah dan tanah, bahkan sepeda motor bekas. Ia berhasil membeli sebuah toko di dekat terminal. Tokonya itu berukuran tiga kali empat, tapi cukup strategis untuk jualan.
Dibalik keberhasilan usahanya, tampak ada perubahan pada Makmur. Dulu ketika hidup sederhana, ia selalu tersenyum pada siapa saja. Kepada anak dan istri sangat sayang dan sehari-harinya selalu bercanda. Tapi sekarang, semua itu telah berubah. Ia tampak sombong, tak pernah mau tersenyum pada tetangga, dengan anak dan istripun jarang bercanda lagi. Sehari-harinya ia hanya memikirkan dagangan dan dagangan. Setiap malam seluruh waktunya dipakai untuk memikirkan jualan dan uang hasil dagangnya.
“Kalau terus-terus begini saya tidak kuat, Kang ! Masak sih akang cuma memikirkan dagang dan uang. Mana perhatian untuk keluarga ?” protes istrinya pada suatu malam. Mendengar keluhan istrinya seperti itu, Makmur marah besar.
“Kamu tahu, semua ini karena saya memikirkan kalian supaya tidak hidup menderita lagi. Bukannya berterima kasih, malah minta macam-macam,” bentak Makmur dengan nada tinggi.
“Yang kami butuhkan perhatian, bukan hanya tercukupi uang dan makan,” protes istrinya lagi.
Makmur terus uring-uringan. Semalaman ia tak tidur. Keesokan harinya ia dagang seperti biasa. Tapi sore harinya ia tidak pulang. Sehari, dua hari, bahkan selama seminggu tidak pulang ke rumah. Setiap ditengok ke tempat dagangnya, selalu tak bisa ditemui. Di toko itu hanya ada dua pembantunya.
Genap sepuluh hari setelah kepergian Makmur, tersiar kabar ternyata Makmur kawin lagi. Katanya ia kawin dengan seorang janda kembang, yang sama-sama jualan di terminal. Betapa sakitnya hati istri Makmur. Hari itu juga ia pulang kembali ke orang tuanya, meninggalkan rumah dan segala isinya. Bersama anaknya ia hidup di rumah orang tuanya.
“Apa akang tidak ingat, punya istri lagi itu pantangan dari sepuh ?” suatu hari isteri tuanya masih sempet mengingatkan. Tapi rupanya Makmur benar-benar lupa diri. Ia tidak mau mendengar apa yang diucapkan isteri pertamanya, yang terbayang bagaimana kehangatan sang isteri muda, yang menurut pengakuan Makmur selalu bisa menyenangkan suami.
Tidak kuat dimadu akhirnya istri pertama Makmur minta cerai. Makmur malah senang. Sekarang ia hidup bahagia bersama istri mudanya. Dua bulan sejak perceraian itu, rumah beserta istrinya dijual. Anehnya tak sedikitpun diberikan kepada istri tuanya. Semua diserahkan pada istri muda. Makmur giat kembali bekerja, dan sering meninggalkan isteri mudanya di rumah.
Makmur tidak menyadari kalau sikap dan watak dari istri mudanya ini berbeda dengan istri pertamanya. Tapi dasar sudah terbius rayuan istri muda, Makmur lupa segalanya. Makmur juga sudah lupa akan larangan sesepuh di tempat keramat itu. Sekarang bukan saja tergoda tapi benar-benar telah kawin. Bahkan isteri tua yang selama ini menemani suka dan duka, justru rela diceraikan.
Suatu hari ada kejadian menggemparkan. Isteri muda Makmur kedapatan main serong dengan seorang supir. Betapa terpukulnya Makmur. Saat itu juga istri mudanya dicerai. Kini, Makmur hidup sendiri mengelola toko. Tapi entah kenapa belakangan ini Makmur kurang konsentrasi dalam dagangnya. Tidak aneh kalau kemudian semakin hari penghasilan semakin menurun. Beberapa persediaan baik uang maupun perhiasan, sedikit demi sedikit sudah mulai dijualnya.
Ternyata kesialan Makmur belum juga berakhir. Suatu hari Makmur sakit-sakitan. Berbulan-bulan ia dirawat di rumah sakit. Ada yang bilang kena guna-guna istri mudanya. Tapi menurut dokter Makmur mengidap penyakit lever. Semua uang dari hasil berdagangnya, habis terkuras untuk biaya pengobatan.
Setahun kemudian ia sembuh. Ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan kehidupannya lebih sulit dari sebelumnya. Dan sekarang hidup sendiri di rumah kontrakannya. Istri mudanya telah meninggalkannya dengan segudang hutang. Ia tak pernah nyangka, perubahan kekayaan itu akan berakhir pada titik nol. Ia hidup sengsara tanpa rumah, tanpa anak dan isteri. Kalau begini akhirnya, dulu ia tak bercita-cita ingin kaya, hanya itu yang sering ia gumamkan.
***
Keluarga Makmur hidup rukun dan bahagia. Ia punya seorang anak manis yang diberi nama Sejahterawati. Sekalipun hanya makan tahu tempe, tak pernah Makmur uring-uringan. Begitu pula istri dan anaknya, hidup bahagia sekalipun sangat sederhana. Bahkan seringkali kehidupan keluarga Makmur membuat iri tetangga. Kok hidup dengan sederhana tetapi tidak mengurangi keharmonisan rumah tangga ya ? Rumah masih ngontrak kenapa bisa rukun dan tidak tidak pernah terdengar ribut ya ?
“Kebahagiaan itu tidak terletak pada uang dan harta, tapi ada dalam hati kita,” jelas Makmur ketika suatu hari dikerubuti ibu-ibu yang sengaja datang meminta tips bagaimana agar bisa hidup bahagia, tentram, aman dan terkendali.
“Apa hati bisa tenteram sementara dapur belum ngebul ?” tanya seorang ibu yang terkenal senang ngutang hanya agar kelihatan seperti orang banyak uang.
“Bagi saya makan itu bukan tujuan hidup, Bu, tapi makan hanya untuk penyambung hidup,” jawab Makmur mengemukakan konsep hidupnya yang sederhana.
Mendengar jawaban Makmur seperti itu, ibu-ibu hanya saling pandang. Tetap bagi pikiran mereka, pola pikir Makmur seperti itu tak bisa diterima. Bagi mereka kebahagiaan justru terletak pada kekayaan. Uang. Soalnya mana mungkin bisa memenuhi keinginan tanpa punya uang. Pertemuan itu bubar tanpa menghasilkan kesimpulan apa-apa. Ibu-ibu itu kembali ke rumah tetap dengan pola pikir dan pola hidup semula.
Suatu hari Makmur kena PHK dengan alasan perusahaan sedang mengadakan effisiensi. Tentu saja Makmur kaget, padahal dialah tulang punggung keluarga. Ketika istrinya mengetahui Makmur di-PHK, ia hanya menunduk sedih. Tak terbayang bagaimana memenuhi kebutuhan dapur, kebutuhan sekolah dan tentu saja uang untuk kontrak rumah. Rumah tangga yang harmonis itu nyaris limbung.
Suatu hari Makmur pamit untuk cari kerjaan. Tapi sore harinya tidak pulang, bahkan keesokan harinya pun belum juga pulang. Tentu saja istri dan anaknya sangat mengkhawatirkannya, apalagi sebelumnya Makmur tak pernah pergi jauh-jauh. Sehari berlalu, dua hari, bahkan genap tiga hari Makmur belum juga pulang. Cerita miring mulai terdengar. Ada yang mengatakan Makmur punya istri lagi. Ada pula yang menyebutkan kalau Makmur tersesat dan jadi korban pengeroyokan. Istri dan anaknya hanya bisa pasrah sambil tetap berdo’a, semoga Makmur selamat dan cepat kembali.
Sepuluh hari sejak kepergiannya, akhirnya Makmur pulang. Badannya kuyu, pakaiannya kotor dan wajahnya sangat lelah. Istri dan anaknya menyambut dengan suka cita. Tak ada kebahagiaan bagi mereka selain berkumpul kembali. Sang istri sudah tidak sabar lagi mendengar cerita Makmur yang tidak pulang sampai sepuluh hari. Sebuah rekor yang luar biasa. Pada malam harinya Makmur mulai cerita. Ternyata ia pergi ke sebuah tempat keramat, meminta berkah. Menurut leluhur di tempat keramat itu bahwa Makmur cocok berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Makmur diberi sebentuk batu ali. Tapi ada satu hal yang tak boleh dilanggar yaitu tidak boleh tergoda wanita apalagi kalau sampai dikawin. Padahal menurut sesepuh di sana, setelah memiliki batu ali ini dorongan untuk punya istri lagi sangat besar. Mendengar itu, sang istri kebingungan. Bukan bingung karena suaminya takut kawin lagi, tapi bingung darimana harus menyediakan modal. Untuk dagang, tentu butuh modal yang tidak kecil.
Setelah menemui kesepakatan bersama, akhirnya kalung simpanan yang ditabung bertahun-tahun lamanya harus dijual. Dan dua pertiga-nya dipakai modal, sementara yang sepertiga dibelikan beras, untuk kebutuhan makan sehari-hari. Makmur menetapkan hati untuk jualan Bubur Kacang. Tempat usahanya dipilih di simpang jalan dekat sebuah pabrik dan pasar. Tempat yang cukup strategis.
Hari pertama, dagangannya laris manis. Betapa senangnya hati mereka. Hari ke hari bahkan dalam waktu sangat singkat, Makmur sudah bisa membeli gerobak. Kehidupannya pun mulai tampak berubah.
Setahun kemudian, Makmur benar-benar berubah. Dagangannya semakin maju. Ia kini telah mampu membeli sebuah rumah dan tanah, bahkan sepeda motor bekas. Ia berhasil membeli sebuah toko di dekat terminal. Tokonya itu berukuran tiga kali empat, tapi cukup strategis untuk jualan.
Dibalik keberhasilan usahanya, tampak ada perubahan pada Makmur. Dulu ketika hidup sederhana, ia selalu tersenyum pada siapa saja. Kepada anak dan istri sangat sayang dan sehari-harinya selalu bercanda. Tapi sekarang, semua itu telah berubah. Ia tampak sombong, tak pernah mau tersenyum pada tetangga, dengan anak dan istripun jarang bercanda lagi. Sehari-harinya ia hanya memikirkan dagangan dan dagangan. Setiap malam seluruh waktunya dipakai untuk memikirkan jualan dan uang hasil dagangnya.
“Kalau terus-terus begini saya tidak kuat, Kang ! Masak sih akang cuma memikirkan dagang dan uang. Mana perhatian untuk keluarga ?” protes istrinya pada suatu malam. Mendengar keluhan istrinya seperti itu, Makmur marah besar.
“Kamu tahu, semua ini karena saya memikirkan kalian supaya tidak hidup menderita lagi. Bukannya berterima kasih, malah minta macam-macam,” bentak Makmur dengan nada tinggi.
“Yang kami butuhkan perhatian, bukan hanya tercukupi uang dan makan,” protes istrinya lagi.
Makmur terus uring-uringan. Semalaman ia tak tidur. Keesokan harinya ia dagang seperti biasa. Tapi sore harinya ia tidak pulang. Sehari, dua hari, bahkan selama seminggu tidak pulang ke rumah. Setiap ditengok ke tempat dagangnya, selalu tak bisa ditemui. Di toko itu hanya ada dua pembantunya.
Genap sepuluh hari setelah kepergian Makmur, tersiar kabar ternyata Makmur kawin lagi. Katanya ia kawin dengan seorang janda kembang, yang sama-sama jualan di terminal. Betapa sakitnya hati istri Makmur. Hari itu juga ia pulang kembali ke orang tuanya, meninggalkan rumah dan segala isinya. Bersama anaknya ia hidup di rumah orang tuanya.
“Apa akang tidak ingat, punya istri lagi itu pantangan dari sepuh ?” suatu hari isteri tuanya masih sempet mengingatkan. Tapi rupanya Makmur benar-benar lupa diri. Ia tidak mau mendengar apa yang diucapkan isteri pertamanya, yang terbayang bagaimana kehangatan sang isteri muda, yang menurut pengakuan Makmur selalu bisa menyenangkan suami.
Tidak kuat dimadu akhirnya istri pertama Makmur minta cerai. Makmur malah senang. Sekarang ia hidup bahagia bersama istri mudanya. Dua bulan sejak perceraian itu, rumah beserta istrinya dijual. Anehnya tak sedikitpun diberikan kepada istri tuanya. Semua diserahkan pada istri muda. Makmur giat kembali bekerja, dan sering meninggalkan isteri mudanya di rumah.
Makmur tidak menyadari kalau sikap dan watak dari istri mudanya ini berbeda dengan istri pertamanya. Tapi dasar sudah terbius rayuan istri muda, Makmur lupa segalanya. Makmur juga sudah lupa akan larangan sesepuh di tempat keramat itu. Sekarang bukan saja tergoda tapi benar-benar telah kawin. Bahkan isteri tua yang selama ini menemani suka dan duka, justru rela diceraikan.
Suatu hari ada kejadian menggemparkan. Isteri muda Makmur kedapatan main serong dengan seorang supir. Betapa terpukulnya Makmur. Saat itu juga istri mudanya dicerai. Kini, Makmur hidup sendiri mengelola toko. Tapi entah kenapa belakangan ini Makmur kurang konsentrasi dalam dagangnya. Tidak aneh kalau kemudian semakin hari penghasilan semakin menurun. Beberapa persediaan baik uang maupun perhiasan, sedikit demi sedikit sudah mulai dijualnya.
Ternyata kesialan Makmur belum juga berakhir. Suatu hari Makmur sakit-sakitan. Berbulan-bulan ia dirawat di rumah sakit. Ada yang bilang kena guna-guna istri mudanya. Tapi menurut dokter Makmur mengidap penyakit lever. Semua uang dari hasil berdagangnya, habis terkuras untuk biaya pengobatan.
Setahun kemudian ia sembuh. Ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan kehidupannya lebih sulit dari sebelumnya. Dan sekarang hidup sendiri di rumah kontrakannya. Istri mudanya telah meninggalkannya dengan segudang hutang. Ia tak pernah nyangka, perubahan kekayaan itu akan berakhir pada titik nol. Ia hidup sengsara tanpa rumah, tanpa anak dan isteri. Kalau begini akhirnya, dulu ia tak bercita-cita ingin kaya, hanya itu yang sering ia gumamkan.
***
Rabu, 20 April 2016
TAFSIR WANGSIT SILIWANGI
Tersedia di seluruh toko buku Gramedia.
Harga Rp. 75rb
Penerbit : Imania Jakarta
Pesan langsung SMS 081380582793
Pesan bertanda tangan penulis SMS/WA 081310860817
“Selama ini, banyak dari kalangan kaum terdidik bangsa terlalu terpesona kepada literatur Barat, sehingga tak mengherankan jika cara berpikir kita acapkali mendewakan keterukuran dan keserbapastian. Dengan berpikir positivisme, bukan berarti kita telah ‘dijebak’ atau ‘digiring’ oleh kebudayaan barat, tapi karena dari lingkungan kebudayaan sendiri memang miskin literatur, sehingga kita tak bisa mengakses alam pikir bangsa sendiri sebagai legacy kebudayaan. Alam pikir Yunani terwariskan hingga kini karena Plato telah mengingatkan pentingnya menuliskan pikiran. Ia mengkritik gurunya tapi sekaligus membantu menuliskan gagasan-gagasan gurunya. Apa yang ditulis E. Rokajat Asura dalam buku Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantaramerupakan usaha untuk menyelamatkan alam pikir Sunda yang selama ini terbilang sulit dilacak sumbernya. Jika dari kebudayaan Barat kita memperoleh pengertian apa itu metafora, logika deduktif dan induktif, dari khazanah kebudayaan Sunda kita akan menemukan pengertian mengenai ‘silib’, ‘sindir’, ‘siloka’, ‘sasmita’. Sungguh beruntung masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya mempunyai penulis yang mau bersusah payah menelusuri literatur langka dan kemudian menuliskannya.”
Cecep Burdansyah, Pemimpin Redaksi Harian Tribun Jabar
Harga Rp. 75rb
Penerbit : Imania Jakarta
Pesan langsung SMS 081380582793
Pesan bertanda tangan penulis SMS/WA 081310860817
“Selama ini, banyak dari kalangan kaum terdidik bangsa terlalu terpesona kepada literatur Barat, sehingga tak mengherankan jika cara berpikir kita acapkali mendewakan keterukuran dan keserbapastian. Dengan berpikir positivisme, bukan berarti kita telah ‘dijebak’ atau ‘digiring’ oleh kebudayaan barat, tapi karena dari lingkungan kebudayaan sendiri memang miskin literatur, sehingga kita tak bisa mengakses alam pikir bangsa sendiri sebagai legacy kebudayaan. Alam pikir Yunani terwariskan hingga kini karena Plato telah mengingatkan pentingnya menuliskan pikiran. Ia mengkritik gurunya tapi sekaligus membantu menuliskan gagasan-gagasan gurunya. Apa yang ditulis E. Rokajat Asura dalam buku Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantaramerupakan usaha untuk menyelamatkan alam pikir Sunda yang selama ini terbilang sulit dilacak sumbernya. Jika dari kebudayaan Barat kita memperoleh pengertian apa itu metafora, logika deduktif dan induktif, dari khazanah kebudayaan Sunda kita akan menemukan pengertian mengenai ‘silib’, ‘sindir’, ‘siloka’, ‘sasmita’. Sungguh beruntung masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya mempunyai penulis yang mau bersusah payah menelusuri literatur langka dan kemudian menuliskannya.”
Cecep Burdansyah, Pemimpin Redaksi Harian Tribun Jabar
CINTA DIANTARA RINTIK HUJAN
cerpen : e. rokajat asura
Satu sendok terakhir. Hup. Pri tersenyum puas. Disodorkan mangkuk kosong itu. Perut yang tadi keroncongan, terisi sudah. Hujan yang turun sejak pagi membuat perut mudah lapar. Bandung utara benar-benar basah kini.
Ketika Pri bangkit dan hendak meninggalkan jongko, seorang gelandangan melemparkan kerikil tepat mengenai kaki kirinya. Pri menoleh. Dasar pengemis tak tahu diri, umpatnya. Ia tak peduli dan ngeloyor menembus rintik hujan. Tapi baru beberapa langkah, sebuah kerikil hinggap di pundak. Pluk! Ah, siapa pula ini.
“Mau apa kau ? Main lempar seenak perut!” semprotnya.
“Saya lapar, Kawan! Beritahu tukang bakso itu, daripada sisa kuah dibuang kenapa tidak diberikan saja padaku,” kata pengemis itu seraya menatap tajam. Berani juga ia menatapku, bisik hati Pri. Ketika lelaki kerempeng itu teringat kata-kata pengemis tadi, ia mengernyit. Kawan ? Permainan apa lagi ini, ada seorang pengemis memanggilku kawan. Apa aku pantas jadi kawan pengemis.
Samasekali tak pernah terpikir oleh Pri, siapa sesungguhnya pengemis itu. Atau barangkali sebuah pikiran bodoh, kalau sampai menaruh belas kasihan berlebihan kepada seorang pengemis. Pri benar-benar tak pernah berpikiran macam-macam, terlintas pun tidak kecuali sebatas kecurigaan karena disebut “kawan” itu tadi.
Hujan masih rintikrintik. Bandung utara makin dingin dan basah. Serombongan mahasiswa pulang dari kampus menyerbu tukang jajanan sebelum pulang. Senja tak mengenakkan, pikir Pri. Tangan kanannya merogoh saku celana, menghitung lembaran uang. Ketika tiba di mobil angkot yang diparkir berseberangan dengan tukang bakso itu, Pri masih terus berpikir antara kepenatan dan uang setoran. Selintas kemudian pengemis itu hilang dari benaknya. Peduli amat, pikirnya. Siapapun pengemis itu dan apapun pekerjaannya tak terlalu banyak waktu yang untuk memikirkannya.
Tapi pikiran itu benar-benar hanya sejenak, ketika menstarter mobil dari kaca spion Pri tegas melihat di pojok belakang mobilnya, pengemis tadi berselonjor kaki. Astagfirullah, benar-benar kurang ajar. Pri mengusap wajah. Kapan pengemis itu naik, pikirknya. Ketika pikiranya benar-benar buntu, pengemis itu malah terkekeh.
“Mau terus jalan atau langsung pulang, Kawan ?”
“Ah, apa urusanmu ! Cepat turun, penumpang mana yang mau bareng sama kamu, heh !” Pri jadi tak sabar. Kalau saja tidak terus istigfar, ia pasti sudah bicara lebih kasar lagi sekalipun sesungguhnya hal itu tak pernah ia lakukan sebelumnya, kepada siapapun termasuk juga kepada pengemis.
“Kau pun sekarang mengakui, ternyata dari pakaian juga kau menilai orang…,” pengemis tadi makin terkekeh hinga kelopak matanya berair.
Benar-benar Pri tercenung mendengar kata-kata pengemis itu. Kalaupun akhirnya Pri mau berpikir tentang hal itu semua semata karena kata-kata pengemis itu tadi. Bukan memikirkan sosok pengemis yang memuakkan dari bau apek yang tersebar itu. Ah, dalam rintik hujan kali ini memang harus terus bersabar agar tidak terlalu keluar umpatan yang tidak berarti lagi.
Dulu Pri pernah bersikeras memang tidak memandang orang dari kulitnya, dari pakaiannya. Bagaimana bagus pakaian seseorang tetap ketika kena debu akan dicuci. Tapi tidak demikian dengan ketika menilai orang dari dalam, menilai kepribadian. Tapi semakin Pri mencoba memahami orang lain, semakin banyak ia dibuatnya frustasi.
Dua orang gadis manis dan tentu saja wangi mendekat. Tapi begitu melihat ada pengemis sedang terkekeh di jok belakang, keduanya batal naik. Pri cuma garuk-garuk kepala. Matanya menyipit dan memikirkan siapa sesungguhnya pengemis yang kelewat nekat dan seperti sengaja memancing kemarahan itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan!”
“Ah, memangnya punya uang dari mana kau ? Kalaupun kau sanggup bayar, kenapa tidak kau urungkan saja jadi pengemis hari ini,” Pri makin bersungut.
“Bukankah kau setuju, kawan, seseorang hidup dengan dunianya sendiri-sendiri ? Hidup dengan guratan nasib sendiri-sendiri ? Masak hanya karena perbedaan baju saja kau jadi uring-uringan tak mau membawaku pulang, padahal kita satu jurusan,” kini pengemis itu yang menggerutu. Ia pun kemudian turun, Pri benar-benar lega kini. Dengan suara lantang ia pun berteriak : Riung…Riung…Riung…
Pada hujan rintik-rintik di lain waktu, Pri juga menunggu muatan dengan mobil angkutan pada jurusna yang sama pula, di Bandung Utara yang kemarin juga. Seorang Pri perlente kini telah menunggu lama di jok belakang tanpa suara, tidak pula gelisah.
“Sebentar lagi, Pak, barangkali ada dua tiga penumpang lagi, supaya tidak terlalu kosong,” Pri langsung memohon tanpa diminta. Lelaki perlente itu cuma tersenyum. Tangan kanannya memegang dasi, ia memperlihatkan betapa bangga dengan dasinya itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan !” katanya kemudian. Pri mendadak terhenyak. Ia teringat kata-kata pengemis tempo hari, tepat seperti apa yang dikatakana lelaki perlente barusan, dengan nada bicara yang nyaris sama pula.
“Mau jalan nggak, Kawan ?”
“Ya, ya, ya, jalan, Pak !” Pri benar-benar gagap. Tangan kanannya secara refleks menstarter dan mobil pun melaju ka erah bawah, berkelok di jalan yang macet menuju Riung Bandung, sesuai dengan jurusannya.
“Aneh juga orang sekarang, hanya beda baju dan penampilan, beda pula perlakuan,” terdengar suara lelaki perlente tadi dari jok belakang. Pri menoleh. Tampak kini gurat wajah lelaki perlente tadi memang mirip dengan pengemis tempo hari. Pri berpikir keras, siapa sebenarnya lelaki ini. Apakah ia malaikat yang akan memberi berkah, seperti dalam beberapa kisah yang berpenampilan buruk rupa pada suatu hari, di lain hari berwajah laksana ksatria hanya untuk menguji keimanan seseorang. Ah, apa mungkin malaikat turun ke angkot di kota yang semakin sumpek ini.
Berkelebat wajah pengemis tempo hari. Ada yang sama tapi entah pada apanya, Pri juga masih bingung. Makin jauh Pri berpikir, makin sumpek terasa di dadanya. Pikirannya memang mentok, tak bisa menembus dinding ketidak tahuannya itu.
Saat Pri membanting stir ke kiri menghindari becak, lelaki perlente itu terkekeh kembali.
“Andai seorang pengemis yang memotong jalan, tentu kau mengumpat, Kawan. Beruntunglah yang di becak tadi seorang lelaki perlente,” katanya kemudian menyindir. Pri merah muka.
“Ah, bapak, ya biasa saja. Saya hanya menghargai karena mereka itu manusia. Tidak lebih.” Pri lalu mencoba tersenyum. Tapi merah di pipi memang tak bisa disembunyikan lagi. “Bapak turun di mana?”
“Sama dengan pengemis kotor biasa turun. Kau tahu kan, Kawan ?” kata lelaki perlente itu menatap tajam ke arah Pri. Pria benar-benar tercenung kini.
“Pengemis mana ya, Pak ? Angkot ini memang belum pernah narik pengemis, kok ! Apa di jok itu tercium bau amis pengemis, Pak, barangkali,” Pri basa-basi. Untuk kesekian kalinya lelaki perlente itu hanya tersenyum. Ketika Pri menginjak rem hendak menaikkan penumpang lain, lelaki perlente tadi cepat-cepat turun dan menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Ambil saja lebihnya, buat cadangan kalau-kalau pengemis tempo hari bersikeras naik mobil ini lagi,” katanya kemudian. Pri hanya melongo benar-benar malaikat telah turun ke kota ini. Pri bersorak girang dan lelaki perlente itu hanya geleng-geleng kepala.
***
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
Kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal
(Q.S Al-Hujuraat : 13)
Satu sendok terakhir. Hup. Pri tersenyum puas. Disodorkan mangkuk kosong itu. Perut yang tadi keroncongan, terisi sudah. Hujan yang turun sejak pagi membuat perut mudah lapar. Bandung utara benar-benar basah kini.
Ketika Pri bangkit dan hendak meninggalkan jongko, seorang gelandangan melemparkan kerikil tepat mengenai kaki kirinya. Pri menoleh. Dasar pengemis tak tahu diri, umpatnya. Ia tak peduli dan ngeloyor menembus rintik hujan. Tapi baru beberapa langkah, sebuah kerikil hinggap di pundak. Pluk! Ah, siapa pula ini.
“Mau apa kau ? Main lempar seenak perut!” semprotnya.
“Saya lapar, Kawan! Beritahu tukang bakso itu, daripada sisa kuah dibuang kenapa tidak diberikan saja padaku,” kata pengemis itu seraya menatap tajam. Berani juga ia menatapku, bisik hati Pri. Ketika lelaki kerempeng itu teringat kata-kata pengemis tadi, ia mengernyit. Kawan ? Permainan apa lagi ini, ada seorang pengemis memanggilku kawan. Apa aku pantas jadi kawan pengemis.
Samasekali tak pernah terpikir oleh Pri, siapa sesungguhnya pengemis itu. Atau barangkali sebuah pikiran bodoh, kalau sampai menaruh belas kasihan berlebihan kepada seorang pengemis. Pri benar-benar tak pernah berpikiran macam-macam, terlintas pun tidak kecuali sebatas kecurigaan karena disebut “kawan” itu tadi.
Hujan masih rintikrintik. Bandung utara makin dingin dan basah. Serombongan mahasiswa pulang dari kampus menyerbu tukang jajanan sebelum pulang. Senja tak mengenakkan, pikir Pri. Tangan kanannya merogoh saku celana, menghitung lembaran uang. Ketika tiba di mobil angkot yang diparkir berseberangan dengan tukang bakso itu, Pri masih terus berpikir antara kepenatan dan uang setoran. Selintas kemudian pengemis itu hilang dari benaknya. Peduli amat, pikirnya. Siapapun pengemis itu dan apapun pekerjaannya tak terlalu banyak waktu yang untuk memikirkannya.
Tapi pikiran itu benar-benar hanya sejenak, ketika menstarter mobil dari kaca spion Pri tegas melihat di pojok belakang mobilnya, pengemis tadi berselonjor kaki. Astagfirullah, benar-benar kurang ajar. Pri mengusap wajah. Kapan pengemis itu naik, pikirknya. Ketika pikiranya benar-benar buntu, pengemis itu malah terkekeh.
“Mau terus jalan atau langsung pulang, Kawan ?”
“Ah, apa urusanmu ! Cepat turun, penumpang mana yang mau bareng sama kamu, heh !” Pri jadi tak sabar. Kalau saja tidak terus istigfar, ia pasti sudah bicara lebih kasar lagi sekalipun sesungguhnya hal itu tak pernah ia lakukan sebelumnya, kepada siapapun termasuk juga kepada pengemis.
“Kau pun sekarang mengakui, ternyata dari pakaian juga kau menilai orang…,” pengemis tadi makin terkekeh hinga kelopak matanya berair.
Benar-benar Pri tercenung mendengar kata-kata pengemis itu. Kalaupun akhirnya Pri mau berpikir tentang hal itu semua semata karena kata-kata pengemis itu tadi. Bukan memikirkan sosok pengemis yang memuakkan dari bau apek yang tersebar itu. Ah, dalam rintik hujan kali ini memang harus terus bersabar agar tidak terlalu keluar umpatan yang tidak berarti lagi.
Dulu Pri pernah bersikeras memang tidak memandang orang dari kulitnya, dari pakaiannya. Bagaimana bagus pakaian seseorang tetap ketika kena debu akan dicuci. Tapi tidak demikian dengan ketika menilai orang dari dalam, menilai kepribadian. Tapi semakin Pri mencoba memahami orang lain, semakin banyak ia dibuatnya frustasi.
Dua orang gadis manis dan tentu saja wangi mendekat. Tapi begitu melihat ada pengemis sedang terkekeh di jok belakang, keduanya batal naik. Pri cuma garuk-garuk kepala. Matanya menyipit dan memikirkan siapa sesungguhnya pengemis yang kelewat nekat dan seperti sengaja memancing kemarahan itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan!”
“Ah, memangnya punya uang dari mana kau ? Kalaupun kau sanggup bayar, kenapa tidak kau urungkan saja jadi pengemis hari ini,” Pri makin bersungut.
“Bukankah kau setuju, kawan, seseorang hidup dengan dunianya sendiri-sendiri ? Hidup dengan guratan nasib sendiri-sendiri ? Masak hanya karena perbedaan baju saja kau jadi uring-uringan tak mau membawaku pulang, padahal kita satu jurusan,” kini pengemis itu yang menggerutu. Ia pun kemudian turun, Pri benar-benar lega kini. Dengan suara lantang ia pun berteriak : Riung…Riung…Riung…
Pada hujan rintik-rintik di lain waktu, Pri juga menunggu muatan dengan mobil angkutan pada jurusna yang sama pula, di Bandung Utara yang kemarin juga. Seorang Pri perlente kini telah menunggu lama di jok belakang tanpa suara, tidak pula gelisah.
“Sebentar lagi, Pak, barangkali ada dua tiga penumpang lagi, supaya tidak terlalu kosong,” Pri langsung memohon tanpa diminta. Lelaki perlente itu cuma tersenyum. Tangan kanannya memegang dasi, ia memperlihatkan betapa bangga dengan dasinya itu.
“Jalan saja, nanti aku bayar penuh, Kawan !” katanya kemudian. Pri mendadak terhenyak. Ia teringat kata-kata pengemis tempo hari, tepat seperti apa yang dikatakana lelaki perlente barusan, dengan nada bicara yang nyaris sama pula.
“Mau jalan nggak, Kawan ?”
“Ya, ya, ya, jalan, Pak !” Pri benar-benar gagap. Tangan kanannya secara refleks menstarter dan mobil pun melaju ka erah bawah, berkelok di jalan yang macet menuju Riung Bandung, sesuai dengan jurusannya.
“Aneh juga orang sekarang, hanya beda baju dan penampilan, beda pula perlakuan,” terdengar suara lelaki perlente tadi dari jok belakang. Pri menoleh. Tampak kini gurat wajah lelaki perlente tadi memang mirip dengan pengemis tempo hari. Pri berpikir keras, siapa sebenarnya lelaki ini. Apakah ia malaikat yang akan memberi berkah, seperti dalam beberapa kisah yang berpenampilan buruk rupa pada suatu hari, di lain hari berwajah laksana ksatria hanya untuk menguji keimanan seseorang. Ah, apa mungkin malaikat turun ke angkot di kota yang semakin sumpek ini.
Berkelebat wajah pengemis tempo hari. Ada yang sama tapi entah pada apanya, Pri juga masih bingung. Makin jauh Pri berpikir, makin sumpek terasa di dadanya. Pikirannya memang mentok, tak bisa menembus dinding ketidak tahuannya itu.
Saat Pri membanting stir ke kiri menghindari becak, lelaki perlente itu terkekeh kembali.
“Andai seorang pengemis yang memotong jalan, tentu kau mengumpat, Kawan. Beruntunglah yang di becak tadi seorang lelaki perlente,” katanya kemudian menyindir. Pri merah muka.
“Ah, bapak, ya biasa saja. Saya hanya menghargai karena mereka itu manusia. Tidak lebih.” Pri lalu mencoba tersenyum. Tapi merah di pipi memang tak bisa disembunyikan lagi. “Bapak turun di mana?”
“Sama dengan pengemis kotor biasa turun. Kau tahu kan, Kawan ?” kata lelaki perlente itu menatap tajam ke arah Pri. Pria benar-benar tercenung kini.
“Pengemis mana ya, Pak ? Angkot ini memang belum pernah narik pengemis, kok ! Apa di jok itu tercium bau amis pengemis, Pak, barangkali,” Pri basa-basi. Untuk kesekian kalinya lelaki perlente itu hanya tersenyum. Ketika Pri menginjak rem hendak menaikkan penumpang lain, lelaki perlente tadi cepat-cepat turun dan menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Ambil saja lebihnya, buat cadangan kalau-kalau pengemis tempo hari bersikeras naik mobil ini lagi,” katanya kemudian. Pri hanya melongo benar-benar malaikat telah turun ke kota ini. Pri bersorak girang dan lelaki perlente itu hanya geleng-geleng kepala.
***
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
Kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal
(Q.S Al-Hujuraat : 13)
BERBAGI BERSAMA: PELANGI PEREMPUAN TUA
BERBAGI BERSAMA: PELANGI PEREMPUAN TUA: Perempuan tua itu selalu melihat pelangi datang dan pergi. Ia datang setelah hujan reda, dan pergi saat malam menyelimuti. Rutinitas itu sel...
PELANGI PEREMPUAN TUA
Perempuan tua itu selalu melihat pelangi datang dan pergi. Ia datang setelah hujan reda, dan pergi saat malam menyelimuti. Rutinitas itu selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Orkestra alam itu, dinikmati seperti secangkir kopi pahit bagi perokok berat di awal pagi. Tidak sekedar menghangatkan tenggorokan tapi juga ada sekian banyak makna tanpa harus dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan mungkin tak akan ada kata yang bisa tepat mewakili keindahan dan kenikmatan itu.
Seperti juga langit, perempuan tua itu pun memiliki pelangi. Pelangi-pelangi kecil yang dulu lahir dari rahimnya, juga datang dan pergi. Satu demi satu datang, kemudian pergi dan tak pasti kapan akan kembali. Sebuah rutinitas, sunatullah adanya. Tapi kini rutinitas itu terasa lain. Setiap memandang pelangi, maka ia menyediakan ruang untuk bersemayamnya rasa pilu. Entahlah apa karena usianya yang semakin renta sehingga lebih banyak bicara dengan perasaan atau karena memang seperti kebanyakan perempuan tua seperti dirinya, yang berubah semakin sensitif dalam menghadapi segala hal. Seperti juga yang dirasakannya kini, simfoni itu terasa semakin sepi, bahkan kadang terasa sebagai tragedi. Tragedi kehidupan yang sebenarnya ia sendiri tak pernah mau menjejakkan pikirannya di sana.
Nelengneng kung nelengneng kung
geura gede geura jangkung
geura sakola ka bandung
ngarah bisa ngabantu indung...
(Nelengneng kung nelengneng kung
cepatlah besar dan tinggi
agar bisa sekolah ke bandung
agar bisa membantu ibu...)
Dengar ! Ia kini kembali melantunkan lagu lama itu. Dulu, lagu itu seringkali dilantunkan manakala meninabobokan putra-putrinya, dari yang paling sulung sampai yang bontot sama-sama pernah mendengar lagu itu. Indah. Syahdu. Kendati sekarang lagu itu terasa lirih. Ah, ada gesekan angin pada pucuk-pucuk daun bambu, meninggalkan perih pada ulu hati.
Tiga dari anaknya telah berumah tangga dan meninggalkan rumah ini. Lihat, rumah tua yang didominasi batu alam ini juga terasa dingin. Padahal di sini, di taman antara ruang depan dan ruang belakang ini, selalu ramai dipakai putra-putrinya bermain. Pohon jambu di halaman rumah selalu licin karena sekian kali dalam sehari dipanjat putra-putrinya. Rumput gajah di taman dan halaman depan memang tak pernah tumbuh dengan baik selain dicabuti juga tergilas sepeda mini yang selalu hilir mudik. Dulu, di setiap sudut rumah tua ini penuh binar sukacita.
Mata perempuan tua itu tiba-tiba merebak. Ia seperti sedang melihat kembali putra-putrinya bermain di taman. Ia yang duduk di kursi jati di teras belakang sambil menyulam, selalu memandangnya dengan senyum.
"Hati-hati jangan sampai menginjak mawar !" katanya serak. Tapi semakin dipandang taman itu semakin kabur dan saat ia mengedipkan matanya, sejurus bayangan itu hilang dan kembali taman itu sepi.
Selain lebaran, tiga putra-putri perempuan tua ini tak pasti kapan akan berkumpul di sini. Bercengkrama seperti saat-saat mereka kecil. Lebaran tahun lalu saja putranya yang sulung malah absen dengan alasan tugas belajar ke luar negeri. Perempuan tua itu malah tak ingin sekedar membayangkan siapa lagi lebaran nanti yang akan absen.
Dulu selalu ada jadwal rutin untuk bersama-sama, paling tidak ketika makan malam sepulang mengaji. Tapi kini di rumah besar ini praktis hanya Wita dan seorang pembantu yang jadi tempat mengadu. Ia selalu merasakan setiap ruangan di rumah ini semakin terasa lengang. Padahal ketika keempat anaknya berkumpul dulu, selalu tergoda untuk memperbesar setiap ruangan yang ada. Bahkan halaman samping dan belakang yang tak terlalu luas, direncanakan pula untuk dibangun sebuah kamar. Tapi itu dulu.
Ketika Wijaksana, lelaki gagah itu meninggal, perempuan tua itu masih bisa berdiri tegak. Kehampaan hidup tanpa suami, berhasil ia sisihkan karena melihat putra-putrinya saat itu masih kecil. Ia bertekad untuk menjadi ibu sekaligus ayah bagi keempat putra-putrinya. Berhasil ! Ya, perempuan tua itu memang berhasil, tidak saja membesarkan keempat putra-putrinya, tapi juga membentuknya menjadi manusia-manusia unggul untuk masing-masing lingkungannya.
Selain sepi belakangan perempuan tua itu merasakan ada kekhawatiran yang bertalu-talu di dadanya. Kekhawatiran akan nasib Wita. Seringkali hal ini membuat nafasnya sesak. Tadi pagi ia persis menghitung usia Wita sekarang ini. Bulan depan anak bungsunya itu akan ulang tahun ke-28. Usia kelewat matang buat perempuan dalam tradisi tanah Pasundan. Artinya ia sudah pantas berumah tangga, sudah layak untuk mempersembahkan cucu. Silakan periksa dari ujung kampung Sukawening di utara, sampai ke selatan Tegalsari, berapa orang wanita seusia Wita yang belum menikah. Kekhawatiran itu berubah menjadi gelisah, saat ia ingat kunjungan adik iparnya, haji Ibrahim kemarin petang. Jang haji (begitu ia biasa memanggil) juga mengkhawatirkan Wita yang belum menikah. Coba ceuceu tanya, kata haji Ibrahim sebelum pulang, jangan-jangan Wita pernah menyakiti laki-laki. Dalam keadaan marah dan kecewa, kapan lelaki mah bisa nekat menanamkan penghalang pada anak kita itu.
Wita dihalangi ? Ah, ini juga bagian dari kekhawatiran perempuan tua itu. Tapi masak iya, jodoh dari Gusti Alloh akan terhalang hanya oleh kemarahan seorang manusia ? Bukankah urusan jodoh, pati dan rejeki, Gusti Alloh yang menentukan ?
Berhari-hari perempuan tua itu dininabobokan rasa gelisah, sehingga pada setiap sepertiga malam, ia membiarkan wajahnya dijilati dingin air wudlu. Dengan merapatkan baju hangat, ia membiarkan bulat-bulat tubuh dan pikirannya pada kekuasaan Gusti Alloh. Empat puluh hari tanpa berhenti, dan akhirnya membuahkan hasil. Wita dilamar. Kekhawatiran itu tertebus kini. Tapi saat menghitung berapa orang yang akan diundang dalam resepsi bulan depan itu, ia ingat akan pelangi. Pelangi yang selalu datang dan pergi. Perempuan tua itu menunduk dan merasakan sepi menguasai setiap denyut nadinya. Saat Wita pergi dibawa suaminya nanti, praktis hanya ia dan pembantunya yang akan mengisi seluruh ruangan rumah besar ini. Bayangkan sejak membuka mata saat shubuh tiba, sampai mata kembali terpejam, seluruh waktunya hanya akan dipakai mengitari seluruh ruangan dingin ini. Tentu sepi demi sepi yang senantiasa akan aku rangkai, gumamnya pada angin. Betapa tidak bergunanya sebagai perempuan tua, mengisi rumah besar hanya ditemani sepi. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat suaminya yang karena penyakit jantung, meninggalkan untuk selama-lamanya. Mungkin, lamunnya, kalau kakang masih ada, tak akan didera sepi demi sepi dalam menghabiskan sisa usiaku.
"Biarkan kita sampai pakotrek iteuk, Neng," kata Wijaksana saat duduk berdua di taman sambil menatap putri bungsunya bermain karet.
"Aku tak akan pernah bisa hidup sendiri, Kakang !" keluh perempuan tua itu.
"Ya, seperti juga kakang !"
"Kakang janji tidak akan...."
"Ssst...jangan biarkan bayangan hitam itu mendekat, Neng, biarlah kita menatap langit biru tanpa awan," Wijaksana memegang erat tangan istrinya.
Tiba-tiba saja perempuan tua itu merasakan tenggorokannya tersekat. Tubuhnya berguncang kuat. Beruntung pembantunya cepat tanggap memegang kedua tangan perempuan tua itu sehingga tidak membiarkan tubuh juragannya melayang jatuh dari kursi jati.
Pada saat diganggu rasa sepi, perempuan tua itu ingin memeluk erat Wita dan menghalau laki-laki yang akan membawanya pergi. Tidak ! Wita jangan pergi meninggalkan rumah besar ini. Wita bukan pelangi yang harus datang dan pergi. Ia selalu ingin menjadikan Wita sebagai sebuah boneka, yang tak berdaya pada cengkraman tangan tuanya. Pada Wita, perempuan tua itu ingin membawa kemana ia suka agar tak bertemu dengan sepi. Kalaupun sepi tetap mengganggu, maka ia ingin merasakannya bersama-sama.
"Mang Haji minta undangan kosong lima belas katanya, untuk teman-teman lamanya saat menunaikan haji dulu," Wita membuyarkan lamunan ibunya. Perempuan tua itu memandang nanar anaknya yang tiba-tiba menjelma jadi pelangi. Ya, pelangi yang akan selalu datang dan pergi.
"Kamu tidak boleh pergi, Wita !" sergahnya tiba-tiba.
"Lho, Wita nggak akan kemana-mana. Wita cuma menyampaikan pesan mang haji Ibrahim, Bu !" Wita tak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba bicara seperti itu. Perempuan tua itu tersenyum, menggoyang-goyangkan tangan Wita. Setelah merasa yakin yang berdiri di hadapannya itu Wita, senyum perempuan tua itu semakin lebar dengan binar mata menyala.
"Aku cuma khawatir saja !"
"Ya, Bu ! Wita juga merasakan kekhawatiran ibu. Ibu pasti akan merasa sepi di sini, seperti saat ditinggalkan teh Ida."
"Seorang ibu tak akan pernah terbebas dari rasa khawatir terhadap anak-anaknya sampai kapanpun. Saat kecil khawatir ia sakit, saat besar khawatir anaknya bernasib malang, dan sekarang ibu khawatir kamu meninggalkan rumah ini seperti ketiga kakak-kakakmu." Perempuan tua itu tiba-tiba menunduk menatap kilau lantai keramik warna coklat muda. Terlihat bayangan tubuhnya yang ringkih termakan sepi. Di sana ia menemukan betapa hidup terasa sangat singkat. Ia ingat benar saat Wita dilahirkan, masuk TK, sampai lulus dari sebuah perguruan tinggi. Kini anak yang saat kecil sering terkena demam itu, malah akan segera menikah.
Perempuan tua itu tak pernah bisa menghalau sepi. Bahkan ketika di halaman rumahnya yang luas, telah dibangun tenda, panggung untuk para nayaga degung, sementara di ruang tengah orang hilir mudik dengan pekerjaan masing-masing, justru sepi itu semakin mengkristal. Dulu, ketika kupingnya menangkap lagu dangdut yang diputar kencang-kencang, ia selalu protes. Kupingnya hanya bisa menikmati keroncong atau kecapi suling, tidak lebih dari itu. Tapi perhatikan sekarang ketika seorang pekerja yang membantu di dapur, memutar lagu dangdut dari tape sangat kencang, ia malah samasekali tak peduli.
Saat Wita bersanding dengan lelaki pilihannya, perempuan tua itu tak sadarkan diri. Suasanapun menjadi haru biru. Sebagian menyangka karena perempuan tua itu terlalu diliputi rasa bahagia, karena si bungsu telah menikah dan selesailah tugasnya sebagai seorang ibu. Sebagian yang lain mengira karena almarhum suaminya datang untuk menyaksikan putri tercintanya mengakhiri masa lajangnya. Samasekali tak ada yang tahu kalau sebenarnya ia tak bisa mengontrol diri menghadapi rasa sepi di tengah keramaian itu.
***
Seperti kekhawatirannya selama ini, Wita diboyong suaminya ke luar kota. Tapi tidak seperti dalam lamunannya, perempuan tua itu samasekali tak bisa menghardik menantunya. Bahkan tidak pula terlintas pikiran betapa enaknya lelaki keparat itu, memboyong anak gadisnya justru ketika ia sudah dewasa dan mandiri pula. Juga ia tak berani untuk protes dan menggugat, apakah lelaki tak tahu diri itu tidak pernah membayangkan, betapa sebagai ibunya ia bersusah payah sejak mengandung sembilan bulan, mengurusnya dengan kasih sayang hingga anak itu genap berusia 28 tahun ? Tidak ! Ia tak seberani dalam lamunannya. Justru ketika Wita sungkem minta restu, ia hanya bisa menitikan air mata. Begitu pula ketika menantunya mohon diri, perempuan tua itu mencium kepalanya lalu dengan serak ia bicara :
"Kini giliranmu untuk menjaga Wita. Kamu pasti tak pernah lupa pepatah penghulu kemarin, menjaga Wita dalam sehat dan sakit adalah sebagian dari tanggung jawab yang akan kamu pikul."
"Pasti, Bu. Insyaalloh, aku tak akan pernah melupakan itu. Maafkan aku, karena akan menjauhkan Wita dari dekapan ibu."
Dengar betapa pintar lelaki itu. Perempuan tua itu selayaknya muak dengan kesombongannya. Tapi tidak, ia bahkan merasakan tiba-tiba sulit untuk bernafas. Lagi-lagi ada yang tersekat di tenggorokannya. Entah bahagia atau justru sangsi, karena lelaki yang banyak bicara biasanya tak cakap menjaga kata-katanya.
Tangis perempuan tua itu benar-benar meledak saat Wita tak lagi terlihat dalam jarak dekapnya. Gadis manis itu kini telah menjadi milik orang lain, isaknya. Tentu hanya pada pembantunya ia bicara begitu. Dan dengan lugu, pembantu yang telah sekian lama menemaninya itu mengangguk pelan. Lalu, tangannya refleks memijiti ujung jari kaki juragannya itu. Padahal jelas, perempuan tua itu tidak sedang pegal dan tak membutuhkan pijatan.
"Berapa anakmu itu, Jah ?"
"Ah, juragan, rupanya sudah lupa. Anak saya 'kan sembilan, Gan !"
"Sembilan ?"
"Muhun, Gan !"
"Sudah nikah semua ?"
Pembantu setia itu mengernyitkan dahi dengan pertanyaan juragannya yang menurutnya konyol itu. Bukankah pada kesembilan anaknya, juragannya itu sangat hapal ? Ia punya sembilan anak, lima sudah menikah dan seluruhnya tak serumah lagi. Empat sisa anaknya, memang belum menikah tapi tak seorangpun yang serumah. Bahkan yang terkecil, sejak lulus sekolah dasar, ikut bekerja dengan tetangganya di Pasar Caringin sebagai kuli pikul.
"Kamu kok nggak ngejawab pertanyaanku, Jah ?!"
"Ya, Gan ! Lima sudah menikah !"
"Lima ? Kamu pernah merasakan sepi ?"
"Sepi ? Apa itu, Gan, saya kok tidak mengerti !"
Perempuan itu terkekeh mendengar jawaban polos pembantunya. Ia membentulkan tusuk kondenya, merapikan rambut putihnya, lalu ia bangkit. Di depan cermin ia mematung, merapikan kebaya brukat warna gading dan kain batik tulis halusnya. Ia beringsut masuk ke kamar dan langsung mencium aroma melati. Sebentar kemudian terdengar ia bersenandung, sebaris langgam Dewi Murni. Sementara pembantunya hanya mematung di tempatnya semula, tak mengerti pada setiap perubahan juragannya, yang dalam pandanganya terlalu tiba-tiba dan mengagetkan itu.
Sampai selepas maghrib, Ijah, tak melihat juragannya keluar dari kamar. Ia sungguh sangat mengkhawatirkannya. Karenanya ketika haji Ibrahim mampir sepulang dari pengajian, begitu saja Ijah bercerita tentang segala perubahan juragannya itu.
"Ia sedang kesepian, Jah !" Haji Ibrahim tak terlalu mengkhawatirkanya. Tapi Ijah tak puas dengan jawaban itu, dan memaksa haji Ibrahim untuk menengoknya.
"Kamu ini kunaon, Jah, kok seperti linglung begitu."
"Pokoknya juragan haji harus melihatnya sekarang !"
Haji Ibrahim mengetuk pintu kamar kakak iparnya itu. Tak terdengar jawaban. Pelan, haji Ibrahim mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci. Perempuan tua itu duduk di pinggir tempat tidur jati, berkebaya merah marun, bersanggul dengan tusuk konde emas maskawin dari almarhum suaminya. Iapun mengenakan kain batik halusan. Sejenak haji Ibrahim tertegun. Baru melihat kakak iparnya berdandan istimewa seperti itu.
"Assalamu alaikum !"
"Wa alaikum salam. Oh, Jang Haji ?"
"Ceuceu ini kenapa ? Dan mau kemana ?"
"Memangnya kenapa Jang Haji ?"
"Kok dandannya seperti itu ?"
"Euceu sedang nunggu pelangi yang selalu datang dan pergi. Tapi sekarang kalau ia datang, euceu harap tak akan pernah pergi lagi."
"Astagfirulloh ! Benar yang saya khawatirkan. Ceuceu ini sedang kesepian ? Kenapa harus kesepian, Ceu ? Bukankah anak kita sesungguhnya bukan anak kita ? "
"Ah, Jang Haji ini...."
"Muhun, Ceu, ‘kan kata orang pinter juga anak kita itu cenah hanya anak-anak jaman. Seperti layaknya anak panah, dan kita adalah busurnya. Tugas kita melemparkan anak panah itu pada tempat yang semestinya," Haji Ibrahim mencoba mengingatkan kakak iparnya itu tentang hakekatnya seorang anak seperti kata-kata Khahlil Gibran.
"Anak kita bukan anak kita ? Anak jaman ? Busur ? Maksud Jang Haji ini gimana ?"
"Ya, karena sebenarnya kita hanya ketitipan, Ceu. Apakah ceuceu pernah menentukan kapan ceuceu hamil, kapan ceuceu harus melahirkan, kapan ceuceu menentukan anak-anak harus kawin dan lain sebagainya ...."
"Ya, jelas, tidak atuh Jang Haji !"
"Itulah, Ceu, artinya kita tak pernah memiliki anak-anak kita sekalipun. Kita hanya ketitipan. Beruntunglah kalau kita bisa menjaga barang titipan itu hingga menjadi apa yang seharusnya, tidak menelantarkannya. Bukankah kalau sekarang harus jauh, artinya sebagian dari tugas kita menjaga anak-anak sedikit berkurang. Ya 'kan, Ceu ?" Haji Ibrahim lalu duduk di pinggir kakaknya itu. Pintu kamar dibiarkan terbuka hingga Ijah yang bersimpuh di ruang tengah bisa melihatnya ke dalam. Lalu ia membacakan ayat al-Qur'an bahwa sesungguhnya anak-anak, harta, istri adalah cobaan yang bisa menggelincirkan keimanan seseorang.
"Tapi apa salah kalau euceu merasa kehilangan Jang Haji ?" tanya perempuan tua itu lirih.
"Tidak ! Ceuceu tidak salah !"
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?"
Ditanya seperti itu Haji Ibrahim tidak langsung menjawab. Ia menghitung anak-anaknya, satu demi satu juga meninggalkan dirinya. Istrinya pernah sakit gara-gara kesepian.
"Apa karena mereka ini perempuan terlalu bicara dengan perasaan ?" gumamnya kemudian.
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?" ulang perempuan tua itu.
"Tidak, Ceu !" jawab Haji Ibrahim.
"Kalau memang tidak salah, biarkan euceu di sini sendirian, Jang Haji. Euceu ingin merasakan semua ini sendiri." Entah kenapa suaranya tiba-tiba terdengar lirih. Dalam mata tuanya terlihat satu demi satu anak-anaknya datang dan pergi. Seperti pelangi. Perempuan tua itu memejamkan mata. Pelan. Titik air bening berkilau di sudut mata tuanya. Haji Ibrahim mendengus pada angin.
(Majalah Kartini No. 2122 - 16 September 2004 halaman 94)
***
Seperti juga langit, perempuan tua itu pun memiliki pelangi. Pelangi-pelangi kecil yang dulu lahir dari rahimnya, juga datang dan pergi. Satu demi satu datang, kemudian pergi dan tak pasti kapan akan kembali. Sebuah rutinitas, sunatullah adanya. Tapi kini rutinitas itu terasa lain. Setiap memandang pelangi, maka ia menyediakan ruang untuk bersemayamnya rasa pilu. Entahlah apa karena usianya yang semakin renta sehingga lebih banyak bicara dengan perasaan atau karena memang seperti kebanyakan perempuan tua seperti dirinya, yang berubah semakin sensitif dalam menghadapi segala hal. Seperti juga yang dirasakannya kini, simfoni itu terasa semakin sepi, bahkan kadang terasa sebagai tragedi. Tragedi kehidupan yang sebenarnya ia sendiri tak pernah mau menjejakkan pikirannya di sana.
Nelengneng kung nelengneng kung
geura gede geura jangkung
geura sakola ka bandung
ngarah bisa ngabantu indung...
(Nelengneng kung nelengneng kung
cepatlah besar dan tinggi
agar bisa sekolah ke bandung
agar bisa membantu ibu...)
Dengar ! Ia kini kembali melantunkan lagu lama itu. Dulu, lagu itu seringkali dilantunkan manakala meninabobokan putra-putrinya, dari yang paling sulung sampai yang bontot sama-sama pernah mendengar lagu itu. Indah. Syahdu. Kendati sekarang lagu itu terasa lirih. Ah, ada gesekan angin pada pucuk-pucuk daun bambu, meninggalkan perih pada ulu hati.
Tiga dari anaknya telah berumah tangga dan meninggalkan rumah ini. Lihat, rumah tua yang didominasi batu alam ini juga terasa dingin. Padahal di sini, di taman antara ruang depan dan ruang belakang ini, selalu ramai dipakai putra-putrinya bermain. Pohon jambu di halaman rumah selalu licin karena sekian kali dalam sehari dipanjat putra-putrinya. Rumput gajah di taman dan halaman depan memang tak pernah tumbuh dengan baik selain dicabuti juga tergilas sepeda mini yang selalu hilir mudik. Dulu, di setiap sudut rumah tua ini penuh binar sukacita.
Mata perempuan tua itu tiba-tiba merebak. Ia seperti sedang melihat kembali putra-putrinya bermain di taman. Ia yang duduk di kursi jati di teras belakang sambil menyulam, selalu memandangnya dengan senyum.
"Hati-hati jangan sampai menginjak mawar !" katanya serak. Tapi semakin dipandang taman itu semakin kabur dan saat ia mengedipkan matanya, sejurus bayangan itu hilang dan kembali taman itu sepi.
Selain lebaran, tiga putra-putri perempuan tua ini tak pasti kapan akan berkumpul di sini. Bercengkrama seperti saat-saat mereka kecil. Lebaran tahun lalu saja putranya yang sulung malah absen dengan alasan tugas belajar ke luar negeri. Perempuan tua itu malah tak ingin sekedar membayangkan siapa lagi lebaran nanti yang akan absen.
Dulu selalu ada jadwal rutin untuk bersama-sama, paling tidak ketika makan malam sepulang mengaji. Tapi kini di rumah besar ini praktis hanya Wita dan seorang pembantu yang jadi tempat mengadu. Ia selalu merasakan setiap ruangan di rumah ini semakin terasa lengang. Padahal ketika keempat anaknya berkumpul dulu, selalu tergoda untuk memperbesar setiap ruangan yang ada. Bahkan halaman samping dan belakang yang tak terlalu luas, direncanakan pula untuk dibangun sebuah kamar. Tapi itu dulu.
Ketika Wijaksana, lelaki gagah itu meninggal, perempuan tua itu masih bisa berdiri tegak. Kehampaan hidup tanpa suami, berhasil ia sisihkan karena melihat putra-putrinya saat itu masih kecil. Ia bertekad untuk menjadi ibu sekaligus ayah bagi keempat putra-putrinya. Berhasil ! Ya, perempuan tua itu memang berhasil, tidak saja membesarkan keempat putra-putrinya, tapi juga membentuknya menjadi manusia-manusia unggul untuk masing-masing lingkungannya.
Selain sepi belakangan perempuan tua itu merasakan ada kekhawatiran yang bertalu-talu di dadanya. Kekhawatiran akan nasib Wita. Seringkali hal ini membuat nafasnya sesak. Tadi pagi ia persis menghitung usia Wita sekarang ini. Bulan depan anak bungsunya itu akan ulang tahun ke-28. Usia kelewat matang buat perempuan dalam tradisi tanah Pasundan. Artinya ia sudah pantas berumah tangga, sudah layak untuk mempersembahkan cucu. Silakan periksa dari ujung kampung Sukawening di utara, sampai ke selatan Tegalsari, berapa orang wanita seusia Wita yang belum menikah. Kekhawatiran itu berubah menjadi gelisah, saat ia ingat kunjungan adik iparnya, haji Ibrahim kemarin petang. Jang haji (begitu ia biasa memanggil) juga mengkhawatirkan Wita yang belum menikah. Coba ceuceu tanya, kata haji Ibrahim sebelum pulang, jangan-jangan Wita pernah menyakiti laki-laki. Dalam keadaan marah dan kecewa, kapan lelaki mah bisa nekat menanamkan penghalang pada anak kita itu.
Wita dihalangi ? Ah, ini juga bagian dari kekhawatiran perempuan tua itu. Tapi masak iya, jodoh dari Gusti Alloh akan terhalang hanya oleh kemarahan seorang manusia ? Bukankah urusan jodoh, pati dan rejeki, Gusti Alloh yang menentukan ?
Berhari-hari perempuan tua itu dininabobokan rasa gelisah, sehingga pada setiap sepertiga malam, ia membiarkan wajahnya dijilati dingin air wudlu. Dengan merapatkan baju hangat, ia membiarkan bulat-bulat tubuh dan pikirannya pada kekuasaan Gusti Alloh. Empat puluh hari tanpa berhenti, dan akhirnya membuahkan hasil. Wita dilamar. Kekhawatiran itu tertebus kini. Tapi saat menghitung berapa orang yang akan diundang dalam resepsi bulan depan itu, ia ingat akan pelangi. Pelangi yang selalu datang dan pergi. Perempuan tua itu menunduk dan merasakan sepi menguasai setiap denyut nadinya. Saat Wita pergi dibawa suaminya nanti, praktis hanya ia dan pembantunya yang akan mengisi seluruh ruangan rumah besar ini. Bayangkan sejak membuka mata saat shubuh tiba, sampai mata kembali terpejam, seluruh waktunya hanya akan dipakai mengitari seluruh ruangan dingin ini. Tentu sepi demi sepi yang senantiasa akan aku rangkai, gumamnya pada angin. Betapa tidak bergunanya sebagai perempuan tua, mengisi rumah besar hanya ditemani sepi. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat suaminya yang karena penyakit jantung, meninggalkan untuk selama-lamanya. Mungkin, lamunnya, kalau kakang masih ada, tak akan didera sepi demi sepi dalam menghabiskan sisa usiaku.
"Biarkan kita sampai pakotrek iteuk, Neng," kata Wijaksana saat duduk berdua di taman sambil menatap putri bungsunya bermain karet.
"Aku tak akan pernah bisa hidup sendiri, Kakang !" keluh perempuan tua itu.
"Ya, seperti juga kakang !"
"Kakang janji tidak akan...."
"Ssst...jangan biarkan bayangan hitam itu mendekat, Neng, biarlah kita menatap langit biru tanpa awan," Wijaksana memegang erat tangan istrinya.
Tiba-tiba saja perempuan tua itu merasakan tenggorokannya tersekat. Tubuhnya berguncang kuat. Beruntung pembantunya cepat tanggap memegang kedua tangan perempuan tua itu sehingga tidak membiarkan tubuh juragannya melayang jatuh dari kursi jati.
Pada saat diganggu rasa sepi, perempuan tua itu ingin memeluk erat Wita dan menghalau laki-laki yang akan membawanya pergi. Tidak ! Wita jangan pergi meninggalkan rumah besar ini. Wita bukan pelangi yang harus datang dan pergi. Ia selalu ingin menjadikan Wita sebagai sebuah boneka, yang tak berdaya pada cengkraman tangan tuanya. Pada Wita, perempuan tua itu ingin membawa kemana ia suka agar tak bertemu dengan sepi. Kalaupun sepi tetap mengganggu, maka ia ingin merasakannya bersama-sama.
"Mang Haji minta undangan kosong lima belas katanya, untuk teman-teman lamanya saat menunaikan haji dulu," Wita membuyarkan lamunan ibunya. Perempuan tua itu memandang nanar anaknya yang tiba-tiba menjelma jadi pelangi. Ya, pelangi yang akan selalu datang dan pergi.
"Kamu tidak boleh pergi, Wita !" sergahnya tiba-tiba.
"Lho, Wita nggak akan kemana-mana. Wita cuma menyampaikan pesan mang haji Ibrahim, Bu !" Wita tak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba bicara seperti itu. Perempuan tua itu tersenyum, menggoyang-goyangkan tangan Wita. Setelah merasa yakin yang berdiri di hadapannya itu Wita, senyum perempuan tua itu semakin lebar dengan binar mata menyala.
"Aku cuma khawatir saja !"
"Ya, Bu ! Wita juga merasakan kekhawatiran ibu. Ibu pasti akan merasa sepi di sini, seperti saat ditinggalkan teh Ida."
"Seorang ibu tak akan pernah terbebas dari rasa khawatir terhadap anak-anaknya sampai kapanpun. Saat kecil khawatir ia sakit, saat besar khawatir anaknya bernasib malang, dan sekarang ibu khawatir kamu meninggalkan rumah ini seperti ketiga kakak-kakakmu." Perempuan tua itu tiba-tiba menunduk menatap kilau lantai keramik warna coklat muda. Terlihat bayangan tubuhnya yang ringkih termakan sepi. Di sana ia menemukan betapa hidup terasa sangat singkat. Ia ingat benar saat Wita dilahirkan, masuk TK, sampai lulus dari sebuah perguruan tinggi. Kini anak yang saat kecil sering terkena demam itu, malah akan segera menikah.
Perempuan tua itu tak pernah bisa menghalau sepi. Bahkan ketika di halaman rumahnya yang luas, telah dibangun tenda, panggung untuk para nayaga degung, sementara di ruang tengah orang hilir mudik dengan pekerjaan masing-masing, justru sepi itu semakin mengkristal. Dulu, ketika kupingnya menangkap lagu dangdut yang diputar kencang-kencang, ia selalu protes. Kupingnya hanya bisa menikmati keroncong atau kecapi suling, tidak lebih dari itu. Tapi perhatikan sekarang ketika seorang pekerja yang membantu di dapur, memutar lagu dangdut dari tape sangat kencang, ia malah samasekali tak peduli.
Saat Wita bersanding dengan lelaki pilihannya, perempuan tua itu tak sadarkan diri. Suasanapun menjadi haru biru. Sebagian menyangka karena perempuan tua itu terlalu diliputi rasa bahagia, karena si bungsu telah menikah dan selesailah tugasnya sebagai seorang ibu. Sebagian yang lain mengira karena almarhum suaminya datang untuk menyaksikan putri tercintanya mengakhiri masa lajangnya. Samasekali tak ada yang tahu kalau sebenarnya ia tak bisa mengontrol diri menghadapi rasa sepi di tengah keramaian itu.
***
Seperti kekhawatirannya selama ini, Wita diboyong suaminya ke luar kota. Tapi tidak seperti dalam lamunannya, perempuan tua itu samasekali tak bisa menghardik menantunya. Bahkan tidak pula terlintas pikiran betapa enaknya lelaki keparat itu, memboyong anak gadisnya justru ketika ia sudah dewasa dan mandiri pula. Juga ia tak berani untuk protes dan menggugat, apakah lelaki tak tahu diri itu tidak pernah membayangkan, betapa sebagai ibunya ia bersusah payah sejak mengandung sembilan bulan, mengurusnya dengan kasih sayang hingga anak itu genap berusia 28 tahun ? Tidak ! Ia tak seberani dalam lamunannya. Justru ketika Wita sungkem minta restu, ia hanya bisa menitikan air mata. Begitu pula ketika menantunya mohon diri, perempuan tua itu mencium kepalanya lalu dengan serak ia bicara :
"Kini giliranmu untuk menjaga Wita. Kamu pasti tak pernah lupa pepatah penghulu kemarin, menjaga Wita dalam sehat dan sakit adalah sebagian dari tanggung jawab yang akan kamu pikul."
"Pasti, Bu. Insyaalloh, aku tak akan pernah melupakan itu. Maafkan aku, karena akan menjauhkan Wita dari dekapan ibu."
Dengar betapa pintar lelaki itu. Perempuan tua itu selayaknya muak dengan kesombongannya. Tapi tidak, ia bahkan merasakan tiba-tiba sulit untuk bernafas. Lagi-lagi ada yang tersekat di tenggorokannya. Entah bahagia atau justru sangsi, karena lelaki yang banyak bicara biasanya tak cakap menjaga kata-katanya.
Tangis perempuan tua itu benar-benar meledak saat Wita tak lagi terlihat dalam jarak dekapnya. Gadis manis itu kini telah menjadi milik orang lain, isaknya. Tentu hanya pada pembantunya ia bicara begitu. Dan dengan lugu, pembantu yang telah sekian lama menemaninya itu mengangguk pelan. Lalu, tangannya refleks memijiti ujung jari kaki juragannya itu. Padahal jelas, perempuan tua itu tidak sedang pegal dan tak membutuhkan pijatan.
"Berapa anakmu itu, Jah ?"
"Ah, juragan, rupanya sudah lupa. Anak saya 'kan sembilan, Gan !"
"Sembilan ?"
"Muhun, Gan !"
"Sudah nikah semua ?"
Pembantu setia itu mengernyitkan dahi dengan pertanyaan juragannya yang menurutnya konyol itu. Bukankah pada kesembilan anaknya, juragannya itu sangat hapal ? Ia punya sembilan anak, lima sudah menikah dan seluruhnya tak serumah lagi. Empat sisa anaknya, memang belum menikah tapi tak seorangpun yang serumah. Bahkan yang terkecil, sejak lulus sekolah dasar, ikut bekerja dengan tetangganya di Pasar Caringin sebagai kuli pikul.
"Kamu kok nggak ngejawab pertanyaanku, Jah ?!"
"Ya, Gan ! Lima sudah menikah !"
"Lima ? Kamu pernah merasakan sepi ?"
"Sepi ? Apa itu, Gan, saya kok tidak mengerti !"
Perempuan itu terkekeh mendengar jawaban polos pembantunya. Ia membentulkan tusuk kondenya, merapikan rambut putihnya, lalu ia bangkit. Di depan cermin ia mematung, merapikan kebaya brukat warna gading dan kain batik tulis halusnya. Ia beringsut masuk ke kamar dan langsung mencium aroma melati. Sebentar kemudian terdengar ia bersenandung, sebaris langgam Dewi Murni. Sementara pembantunya hanya mematung di tempatnya semula, tak mengerti pada setiap perubahan juragannya, yang dalam pandanganya terlalu tiba-tiba dan mengagetkan itu.
Sampai selepas maghrib, Ijah, tak melihat juragannya keluar dari kamar. Ia sungguh sangat mengkhawatirkannya. Karenanya ketika haji Ibrahim mampir sepulang dari pengajian, begitu saja Ijah bercerita tentang segala perubahan juragannya itu.
"Ia sedang kesepian, Jah !" Haji Ibrahim tak terlalu mengkhawatirkanya. Tapi Ijah tak puas dengan jawaban itu, dan memaksa haji Ibrahim untuk menengoknya.
"Kamu ini kunaon, Jah, kok seperti linglung begitu."
"Pokoknya juragan haji harus melihatnya sekarang !"
Haji Ibrahim mengetuk pintu kamar kakak iparnya itu. Tak terdengar jawaban. Pelan, haji Ibrahim mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci. Perempuan tua itu duduk di pinggir tempat tidur jati, berkebaya merah marun, bersanggul dengan tusuk konde emas maskawin dari almarhum suaminya. Iapun mengenakan kain batik halusan. Sejenak haji Ibrahim tertegun. Baru melihat kakak iparnya berdandan istimewa seperti itu.
"Assalamu alaikum !"
"Wa alaikum salam. Oh, Jang Haji ?"
"Ceuceu ini kenapa ? Dan mau kemana ?"
"Memangnya kenapa Jang Haji ?"
"Kok dandannya seperti itu ?"
"Euceu sedang nunggu pelangi yang selalu datang dan pergi. Tapi sekarang kalau ia datang, euceu harap tak akan pernah pergi lagi."
"Astagfirulloh ! Benar yang saya khawatirkan. Ceuceu ini sedang kesepian ? Kenapa harus kesepian, Ceu ? Bukankah anak kita sesungguhnya bukan anak kita ? "
"Ah, Jang Haji ini...."
"Muhun, Ceu, ‘kan kata orang pinter juga anak kita itu cenah hanya anak-anak jaman. Seperti layaknya anak panah, dan kita adalah busurnya. Tugas kita melemparkan anak panah itu pada tempat yang semestinya," Haji Ibrahim mencoba mengingatkan kakak iparnya itu tentang hakekatnya seorang anak seperti kata-kata Khahlil Gibran.
"Anak kita bukan anak kita ? Anak jaman ? Busur ? Maksud Jang Haji ini gimana ?"
"Ya, karena sebenarnya kita hanya ketitipan, Ceu. Apakah ceuceu pernah menentukan kapan ceuceu hamil, kapan ceuceu harus melahirkan, kapan ceuceu menentukan anak-anak harus kawin dan lain sebagainya ...."
"Ya, jelas, tidak atuh Jang Haji !"
"Itulah, Ceu, artinya kita tak pernah memiliki anak-anak kita sekalipun. Kita hanya ketitipan. Beruntunglah kalau kita bisa menjaga barang titipan itu hingga menjadi apa yang seharusnya, tidak menelantarkannya. Bukankah kalau sekarang harus jauh, artinya sebagian dari tugas kita menjaga anak-anak sedikit berkurang. Ya 'kan, Ceu ?" Haji Ibrahim lalu duduk di pinggir kakaknya itu. Pintu kamar dibiarkan terbuka hingga Ijah yang bersimpuh di ruang tengah bisa melihatnya ke dalam. Lalu ia membacakan ayat al-Qur'an bahwa sesungguhnya anak-anak, harta, istri adalah cobaan yang bisa menggelincirkan keimanan seseorang.
"Tapi apa salah kalau euceu merasa kehilangan Jang Haji ?" tanya perempuan tua itu lirih.
"Tidak ! Ceuceu tidak salah !"
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?"
Ditanya seperti itu Haji Ibrahim tidak langsung menjawab. Ia menghitung anak-anaknya, satu demi satu juga meninggalkan dirinya. Istrinya pernah sakit gara-gara kesepian.
"Apa karena mereka ini perempuan terlalu bicara dengan perasaan ?" gumamnya kemudian.
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?" ulang perempuan tua itu.
"Tidak, Ceu !" jawab Haji Ibrahim.
"Kalau memang tidak salah, biarkan euceu di sini sendirian, Jang Haji. Euceu ingin merasakan semua ini sendiri." Entah kenapa suaranya tiba-tiba terdengar lirih. Dalam mata tuanya terlihat satu demi satu anak-anaknya datang dan pergi. Seperti pelangi. Perempuan tua itu memejamkan mata. Pelan. Titik air bening berkilau di sudut mata tuanya. Haji Ibrahim mendengus pada angin.
(Majalah Kartini No. 2122 - 16 September 2004 halaman 94)
***
Langganan:
Postingan (Atom)