Informasi
Rabu, 11 Mei 2016
SURAT UNTUK EMAK
Oleh : E. Rokajat Asura
Kepada, yang terkasih
Emak
Dimana saja berada
Assalamu alaikum warohmatulohi wabarokatuuh
Apa kabar, Mak ? Ema sedang apa sekarang ini ? Sekarang aku tak mendengar lagi emak bernyanyi. Neng nelengneng kung geura gede geura jangkung, geura sakola ka bandung (neng nelengneng kung cepat besar dan jangkung, cepat sekolah ke bandung). Nyanyian itu telah hilang, Mak. Pada jembatan itu aku hanya melihat kardus-kardus, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri. Emak bisa tanyakan pada bulan tadi malam, aku benar-benar menggigil memanggil-manggil emak, tapi tetap aku tak mendengar emak bersenandung. Aku hanya mendengar peluit. Trit. Trit. Trit. Kudengar memanggil-manggil. “Mana duit. Mana duit”. Aku bangun. Aku memang tak punya duit. Astagfirulloh, tentu sepatu besi itu akan menginjak-injak lagi, seperti pada bapak seminggu lalu, seperti yang diceritakan emak tempo hari.
Sekalipun tak ada emak, setiap pagi aku selalu bersenandung, dan terus bersenandung setiap mengingatmu. Ingat pada belaianmu, ingat pada suara emak. Setiap malam atau pagi-pagi sekali, selalu bersenandung memanggil-manggil emak dengan senandung itu. Neng nelengneng kung gera gede geura jangkung, geura sakola ka bandung.
Emak, sedang apa emak sekarang ? Mudah-mudahan Allah selalu bersama emak seperti yang selalu emak ceritakan padaku dari dulu.
Aku sedang ingat emak sekarang, tapi kenapa emak masih juga tak ada, tangan-tanganmu tak ada. Aku ingat, sejak bertemu bapak-bapak itu, emak jadi tak pulang lagi. Aku sering melihat yang memanggul kardus itu, tapi bukan emak. Aku melihat yang mengais-ngais sampah, juga bukan emak. Ya, Allah, dimana emak sesungguhnya sekarang ? Apakah emak dimakan sandekala, Ya, Allah ? Atau emak disembunyikan malaikat-Mu supaya emak tidak diinjak bapak-bapak itu lagi.
Mak, aku sekarang sudah besar, Mak. Aku sudah bisa berlari. Aku sudah bisa membaca diajari emak baru. Aku menyebutnya emak baru, karena memang seperti emak tapi hanya sebagiannya saja. Aku tidak tidur di bawah jembatan lagi. Di sini banyak teman, ada Budi, Rekso, Husin, Deden, Asep. Tapi katanya mereka juga tak pernah bertemu dengan emaknya. Tak pernah main-main dengan bapaknya. Aku hanya melihat seorang emak di sini. Semua memanggilnya emak. Semua memanggilnya sama. Tapi bukan emak asli karena hanya bertemu sekarang saja. Dan beda dengan emak, tak pernah bersenandung tak pernah mendongeng. Emak baru ini juga tak pernah mengelus dan hanya bertemu saat makan saja. Tapi dia itu baik, Mak, suka memperhatikan makan, memperhatikan kami kalau belum mandi, dan sangat marah kalau ada diantara kami yang tak semangat belajar membaca.
Tadi malam aku memohon pada Allah, Mak. Seperti kata emak, kalau ada apa-apa lebih baik minta langsung sama Allah. Aku cuma minta agar kita bisa bersama lagi. Kan nggak enak kalau setiap malam harus berebut emak disini. Lalu, emak sendiri sebenarnya berkumpul di mana ? Apa emak pernah bertemu dengan emaknya Budi ? Apa pernah bersama emaknya Deden ? Apa emak sehat ? Emak tidak kedinginan lagi ya ‘kan, Mak ?
“Ya, Allah, di sana tentu banyak emak, kenapa tidak di sini saja ? Di sini cuma ada satu emak untuk semua. Kasihan kalau harus membagi kasih sayang pada kami. Aku ingin satu emak untuk sendiri. Biar bisa bersama-sama, bersenandung, mendongeng dan mengelus-elus sebelum tidur.”
Sore tadi aku diajak emak baru itu ke pasar baru. Aku melihat banyak orang naik mobil. Mereka berjalan-jalan bersama anaknya. Mak, apa aku boleh bertanya langsung sama Allah, apakah hanya orang yang punya mobil saja yang boleh jalan-jalan sama emaknya ? Kalau boleh bertanya sama Allah, aku juga mau langsung nanya kapan dong, Mak, kita bisa beli mobil supaya bisa berkumpul dan berjalan-jalan lagi. Dulu, kita bebas jalan bersama kemana saja kita suka. Tapi sekarang kenapa hanya yang punya mobil saja. Aku tidak melihat lagi yang mencari kardus di sini, berjalan bersama-sama. Ini sebenarnya tempat apa sih, Mak ?!
Malam tadi aku minggat saja, karena aku kangen sekali pada emak. Bersama angin aku mendengar senandung emak. Pada pucuk jambu dan akasia, seperti melihat ada emak di sana, memanggil-manggil. Senandung itu kedengaran semakin jelas, Mak, tapi ketika aku naik ke atasnya tak terdengar lagi. Senandung itu mungkin sudah pindah.
“Kemarilah ! Kemarilah kau, Jang ! Katanya kangen sama emak ya ?” Nah begitu kata emak tadi malam. Aku berjalan mencari, lalu aku melihat bulan turun. Kutanya sama bulan, katanya emak ada di taman alun-alun. Tapi ketika sampai di taman alun-alun, suara emak hilang. Apa karena disini banyak pedagang kaset yang memutar tapenya keras-keras ? Aku juga ingin meninju kondektur bis yang teriak-teriak sangat kencang, sehingga tak bisa mendengar suara emak lagi. Sayang ya, Mak, tinjuku kecil, tentu kalau aku memukulnya tak akan berasa apa-apa. Aku jadi ingat bapak sekarang, Mak, aku juga pernah memukul bapak, tapi tidak terasa apa-apa katanya, bapak malahan ketawa waktu itu.
Aku terus berjalan meninggalkan alun-alun. Ketika aku capek, aku sampai di depan sebuah gedung. Banyak orang di sana, berkumpul, memanggul kardus, mengais-ngais sampah. Sebentar kemudian aku kembali mendengar peluit. Trit. Trit. Mereka berlari semua, ke segala penjuru. Aku juga ikut berlari, masuk kedalam gedung lain, tapi tiba-tiba lampunya padam dan aku menggigil karena takut gelap. Esoknya ketika terang, aku melihat Emak, tapi tetap berdiri dan tidak senyum.
“Mak, ini aku !”
Emak diam saja. Aku jadi ingat sekarang. Tentu bapak-bapak yang malam mengusir dan menendang emak-emak itu yang telah menyihirnya sehingga emak tidak bisa bergerak. Apakah anak-anak juga bisa disihir dan tidak bergerak, Mak ?
“Mak, ini aku, Ujang. Mencari emak !” teriaku saat itu. Dan ketika mataku terbuka aku melihat bapak berbaju putih, emak juga ada di sana. Tapi tak bisa bergerak-gerak. Tanganku sakit. Benar-benar jahat bapak-bapak itu, kini telah menyihirku juga sehingga tak bisa bergerak.
***
Anastasia yang lebih senang memanggil dan dipanggil Ana itu masih termenung membaca tulisan seorang anak bernama Ujang Kurnia tersebut. Pikirannya penuh dengan serangkaian pertanyaan. Belasan tahun lalu, benarkah Ujang Kurnia penulis surat itu adalah juga Ujang Kurnia yang kini sangat dia kenal ?! Kendati sisi-sisi kertasnya sudah terkoyak dan tintanya sudah tidak baik lagi, tapi tulisannya masih terbaca dengan jelas. Untuk sementara Ana percaya bahwa surat itu bukan hasil rekayasa, tapi benar-benar ditulis belasan tahun lalu, saat penulisnya masih belia yang selalu memandang dunia hanya dari satu sudut yaitu sudut angan-angannya sendiri. Tapi yang tetap menjadikan misteri baginya adalah dua nama Ujang Kurnia yang kini ada dalam benaknya, Ujang Kurnia kecil penulis surat itu dan Ujang Kurnia seorang pemuda calon suaminya.
Tentu saja Ana merasa dituntut untuk berpikir, karena apa yang akan ditentukannya adalah sangat menentukan. Menentukan dengan siapa dia harus berumah tangga, tidak sesederhana ketika dia memilih taksi, tak menjadi perlu benar mengetahui dan memikirkan dengan siapa supir yang akan membawanya pergi. Kalaupun dalam taksi itu mendapatkan supir yang ugal-ugalan atau sengaja mempermainkan argo, kerugiannyapun sudah dapat ditebak. Tapi ketika tidak mengetahui benar siapa calon suaminya, sama artinya akan menghabiskan sekian tahun, sekian bulan, sekian juta menit dalam kebersamaan yang sia-sia. Sejenak Ana diam, menunduk dan merasakan angin berdesir dalam sanubarinya. Entah kenapa apabila ia sedang galau, ingin rasanya memeluk bulan karena di sana ia pasti akan merasakan dekapan Allah sungguh terasa.
Ana sangat percaya dengan bibit, bobot, dan bebet seseorang. Ketiga syarat seperti itu menjadi mutlak benar untuk kriteria seorang suami. Ana tak pernah beranggapan kalau kriteria itu sebuah pikiran kolot, sebaliknya sebuah keharusan sebagai perwujudan dari kehati-hatiannya. Tentang bobot dan bebet Ujang Kurnia sekarang, Ana tak meragukan lagi. Sebagai seorang dosen, Ujang tidak saja ulet tapi juga bertanggung jawab. Tapi siapa Ujang, darimana asalnya, anak siapa, bagi Ana semuanya itu tetap masih gelap.
Sayang, gerutunya mengutuki diri sendiri, aku tak menahannya barang sebentar tadi untuk mendiskusikan surat itu. Tadi sehabis makan malam di sebuah restoran, kemudian diantarkannya pulang dan di perjalanan dia menerima surat kuno tersebut dari kekasihnya, Ana hanya menganggap hal itu sebagai sebuah lelucon. Samasekali tak pernah terpikirkan sebelumnya, apakah ini sebuah cara Ujang Kurnia menguji dirinya atau sebuah niat tulus ikhlas dari kekasihnya itu, agar Ana semakin tahu siapa calon suaminya ? Apapun alasannya, bagi Ana tetap sebuah misteri dan cukup pelik untuk mengungkapnya.
Pagi-pagi benar sebelum berangkat kantor, Ana menelpon Ujang Kurnia. Dengan nada bicara sewajar mungkin seolah tak ada persoalan besar yang sedang dihadapinya. Selain menanyakan agenda hari ini, mau makan siang di mana, dan tak lupa menyuruhnya mampir nanti malam jika tak pulang bersama-sama. Ujang menanggapinya dengan biasa-biasa saja, sekalipun sebenarnya dia sendiri sangat menunggu-nunggu komentar dan reaksi Ana akan surat kuno yang dia serahkan padanya kemarin sore itu. Ujang sengaja memberikan surat kuno tersebut sebagai refleksi tanggung jawab pribadinya, agar Ana bisa berpikir dan bersikap. Dia memang tidak sedang main-main, tapi justru sedang membuka pintu dan siap untuk memasuki gerbang yang baru saja dibukanya tersebut. Pada awal langkah dan beberapa meter dari gerbang, semua merasa suasana yang nyaman, sinar terang benderang dan semerbak wangi bunga. Tapi siapa sangka lebih dalam dari pintu gerbang itu, justru aneka macam cobaan dan godaan telah menghadangnya. Salah satu dari cobaan itu adalah masa lalu dia sendiri yang tak akan memenuhi kriteria yang telah ditentukan Ana dalam mencari calon pasangannya. Ujang memang tidak sedang main-main, sekalipun sebuah surat kuno itu terkesan sebuah permainan anak-anak.
“Nggak ! Kamu jangan kira saya sedang main-main. Surat itu adalah sebuah kebenaran masa lalu.” Ujang Kurnia begitu mantap ketika Ana mulai mempersoalkan surat itu, di halaman belakang rumah asrinya di kawasan hijau.
“Kebenaran masa lalu ? Bagi siapa ?!” Ana masih tetap tak percaya.
“Tentu saja bagi saya, Ana ! Kamu kira bagi siapa, bagi para pemulung itu ?”
“Sampai sore tadi, saya masih memimpikan kebenaran itu adalah milik mereka bukan milikmu.” Ana nampak dingin dan tak begitu bergairah.
“Sudah kuduga !” Ujang mencoba untuk tersenyum melumerkan kekakuan yang begitu saja terhampar di hadapannya.
“Masa lalu bagi saya adalah sebuah tonggak, Kang !” Ana berdiri mencium anggrek, kemudian duduk kembali di kursinya dan tak berani menatap wajah Ujang yang dingin. “Tonggak itu yang akan menentukan bangunan seperti apa yang bisa berdiri pada masa depannya.”
“Artinya kamu tak percaya pada bangunan sekarang yang sedang kita nikmati.”
“Bisa ya juga bisa tidak.” Ana tersenyum dan mengerling ke arah kekasihnya. Ujang Kurnia tetap diam dan dingin.
“Pastinya gimana ?”
“Saya bisa tetap percaya, jika masa lalu yang terefleksikan pada surat kuno itu adalah sebuah permainan dan isapan jempol semata. Tapi saya bisa tidak percaya pada bangunan masa sekarang yang telah akang bangun, kalau ternyata surat kuno itu adalah sebuah titik masa lalu.”
Masyaallah, Ujang Kurnia berdiri dan mengusap wajah. Tak pernah terbayangkan kalau kekasihnya itu sedemikian kukuh memegang prinsip. Dia lalu meremas jemari Ana dan bicara datar. “Selamat tinggal !”
Ana tersentak kaget dan pada saat kesadarannya kembali, justru Ujang Kurnia tak terlihat ada di sampingnya lagi. Ana menunduk lesu, dan mulai mengutuki dirinya sendiri tentang bobot, bebet dan bibit yang selama ini dipegangnya erat-erat. Sampai malam berakhir dan terang mengusirnya, Ana masih tetap duduk di tempatnya dan membiarkan dingin merusak sendi-sendi tulangnya.
Seminggu mereka tak bertemu. Seminggu pula tak pernah saling tahu apa yang terjadi dengan diri masing-masing. Ujang Kurnia yang punya tonggak masa lalu pahit itu, tak pernah berkecil hati dan terus bekerja dengan sungguh-sungguh karena dia yakin pada saatnya nanti, akan ada seorang bidadari turun dari syurga membawa wangi dan kasih sayang untuknya. Maha besar Allah yang akan membimbing umatnya dengan memberikan satu ketetapan hati.
Sementara itu Ujang sendiri tak mencoba melupakan Anastasia, juga tak ingin membencinya, karena Ujang yakin, Ana pernah singgah di hatinya dan sekarang sedang terbang mengembara. Berbeda dengan Ana, dia tetap kukuh dengan pendiriannya sekalipun untuk itu dia rela diopname di sebuah rumah sakit.
“Kau bukan sakit, tapi kasmaran.” seorang sahabatnya menghibur. Ana tersenyum tapi entah kenapa senyum itu terasa pahit kini.
“Aku tetap dengan pendirianku, dan tak mau berubah hanya karena aku sakit.” ucap Ana terdengar lirih ketika mamanya bicara tentang kehadiran dan kehilangan Ujang dari hari-hari putrinya.
“Tapi dia tanggung jawab dan sukses !”
“Ma ! Jangan sekali-kali mengacaukan memori otak Ana. Dulu mama yang bersikukuh dengan urusan bobot, bibit, dan bebet. Sekarang mama mencoba merubahnya. Ana bisa bingung.”
“Maksud mama tak sekaku itu, sayang, tapi semuanya bisa saling menambahi.”
“Apa mama rela punya mantu seorang bekas gembel ? Seorang anak pemulung ?” Ana memejamkan mata dan butir-butir bening dari sudut matanya itu kini ikut menyaksikan perbincangan mereka. Matanya terasa perih saat ia mencoba membukanya, karena di sana pada setiap sudut yang terjangkau pandangannya hanya ada bayangan Ujang Kunria. Mama nampak tersentak dan bibirnya bergetar. Ternyata Ana demikian kukuh dan kaku memegang prinsip itu. Mama pernah membenci masa lalu suaminya yang kotor, karena pada ujung usianya juga berbuat kotor. Tapi apakah Ujang yang masa lalu demikian suram itu, juga akan mengakhiri usianya dengan hari-hari yang suram pula ? Inilah yang tak pernah Ana pikirkan. Dia lebih rela kehilangan hari-harinya dalam rumah sakit, daripada mencoba memberi toleransi tentang masa lalu kekasihnya itu.
Ujang selalu membaca surat kuno itu karena disanalah dia menemukan dunia masa lalunya, yang manis untuk dikenang. Pada surat itu pula, Ujang hanya menemukan bayangan emak dan bapaknya, yang tak pernah ketemu sampai hari-hari dimana dia meraih sebuah kesuksesan dalam hidupnya.
Seperti sebuah lakon, peran Ujang Kurnia dan Anastasia menjadi peran masing-masing dalam benak penontonnya. Pada akhir cerita Ujang Kurnia kembali hanyut dalam merangkai sebuah surat baru.
“Sekarang aku tak mendengar lagi Ana bernyanyi. Nyanyian itu telah hilang, Mak ! Pada lalulalang dan taman kota itu aku hanya menyaksikan tembok-tembok, dingin, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri, menggigil memanggil-manggil Ana, Mak. Tapi tetap tak mendengar Ana bersenandung. Aku hanya mendengar suara jam dinding dan bunyi handphone. Aku harap itu Ana, tapi ternyata sia-sia. Ana tak pernah terdengar lagi. Aku bangun. Apa bapak-bapak itu pula yang membuat Ana kaku dan tak pernah mau bernyanyi lagi ? Siapa sebenarnya bapak-bapak itu, Mak ?!”
***
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur
Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya
dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu
(Q.S. Al-Haddid : 20)
***
Kepada, yang terkasih
Emak
Dimana saja berada
Assalamu alaikum warohmatulohi wabarokatuuh
Apa kabar, Mak ? Ema sedang apa sekarang ini ? Sekarang aku tak mendengar lagi emak bernyanyi. Neng nelengneng kung geura gede geura jangkung, geura sakola ka bandung (neng nelengneng kung cepat besar dan jangkung, cepat sekolah ke bandung). Nyanyian itu telah hilang, Mak. Pada jembatan itu aku hanya melihat kardus-kardus, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri. Emak bisa tanyakan pada bulan tadi malam, aku benar-benar menggigil memanggil-manggil emak, tapi tetap aku tak mendengar emak bersenandung. Aku hanya mendengar peluit. Trit. Trit. Trit. Kudengar memanggil-manggil. “Mana duit. Mana duit”. Aku bangun. Aku memang tak punya duit. Astagfirulloh, tentu sepatu besi itu akan menginjak-injak lagi, seperti pada bapak seminggu lalu, seperti yang diceritakan emak tempo hari.
Sekalipun tak ada emak, setiap pagi aku selalu bersenandung, dan terus bersenandung setiap mengingatmu. Ingat pada belaianmu, ingat pada suara emak. Setiap malam atau pagi-pagi sekali, selalu bersenandung memanggil-manggil emak dengan senandung itu. Neng nelengneng kung gera gede geura jangkung, geura sakola ka bandung.
Emak, sedang apa emak sekarang ? Mudah-mudahan Allah selalu bersama emak seperti yang selalu emak ceritakan padaku dari dulu.
Aku sedang ingat emak sekarang, tapi kenapa emak masih juga tak ada, tangan-tanganmu tak ada. Aku ingat, sejak bertemu bapak-bapak itu, emak jadi tak pulang lagi. Aku sering melihat yang memanggul kardus itu, tapi bukan emak. Aku melihat yang mengais-ngais sampah, juga bukan emak. Ya, Allah, dimana emak sesungguhnya sekarang ? Apakah emak dimakan sandekala, Ya, Allah ? Atau emak disembunyikan malaikat-Mu supaya emak tidak diinjak bapak-bapak itu lagi.
Mak, aku sekarang sudah besar, Mak. Aku sudah bisa berlari. Aku sudah bisa membaca diajari emak baru. Aku menyebutnya emak baru, karena memang seperti emak tapi hanya sebagiannya saja. Aku tidak tidur di bawah jembatan lagi. Di sini banyak teman, ada Budi, Rekso, Husin, Deden, Asep. Tapi katanya mereka juga tak pernah bertemu dengan emaknya. Tak pernah main-main dengan bapaknya. Aku hanya melihat seorang emak di sini. Semua memanggilnya emak. Semua memanggilnya sama. Tapi bukan emak asli karena hanya bertemu sekarang saja. Dan beda dengan emak, tak pernah bersenandung tak pernah mendongeng. Emak baru ini juga tak pernah mengelus dan hanya bertemu saat makan saja. Tapi dia itu baik, Mak, suka memperhatikan makan, memperhatikan kami kalau belum mandi, dan sangat marah kalau ada diantara kami yang tak semangat belajar membaca.
Tadi malam aku memohon pada Allah, Mak. Seperti kata emak, kalau ada apa-apa lebih baik minta langsung sama Allah. Aku cuma minta agar kita bisa bersama lagi. Kan nggak enak kalau setiap malam harus berebut emak disini. Lalu, emak sendiri sebenarnya berkumpul di mana ? Apa emak pernah bertemu dengan emaknya Budi ? Apa pernah bersama emaknya Deden ? Apa emak sehat ? Emak tidak kedinginan lagi ya ‘kan, Mak ?
“Ya, Allah, di sana tentu banyak emak, kenapa tidak di sini saja ? Di sini cuma ada satu emak untuk semua. Kasihan kalau harus membagi kasih sayang pada kami. Aku ingin satu emak untuk sendiri. Biar bisa bersama-sama, bersenandung, mendongeng dan mengelus-elus sebelum tidur.”
Sore tadi aku diajak emak baru itu ke pasar baru. Aku melihat banyak orang naik mobil. Mereka berjalan-jalan bersama anaknya. Mak, apa aku boleh bertanya langsung sama Allah, apakah hanya orang yang punya mobil saja yang boleh jalan-jalan sama emaknya ? Kalau boleh bertanya sama Allah, aku juga mau langsung nanya kapan dong, Mak, kita bisa beli mobil supaya bisa berkumpul dan berjalan-jalan lagi. Dulu, kita bebas jalan bersama kemana saja kita suka. Tapi sekarang kenapa hanya yang punya mobil saja. Aku tidak melihat lagi yang mencari kardus di sini, berjalan bersama-sama. Ini sebenarnya tempat apa sih, Mak ?!
Malam tadi aku minggat saja, karena aku kangen sekali pada emak. Bersama angin aku mendengar senandung emak. Pada pucuk jambu dan akasia, seperti melihat ada emak di sana, memanggil-manggil. Senandung itu kedengaran semakin jelas, Mak, tapi ketika aku naik ke atasnya tak terdengar lagi. Senandung itu mungkin sudah pindah.
“Kemarilah ! Kemarilah kau, Jang ! Katanya kangen sama emak ya ?” Nah begitu kata emak tadi malam. Aku berjalan mencari, lalu aku melihat bulan turun. Kutanya sama bulan, katanya emak ada di taman alun-alun. Tapi ketika sampai di taman alun-alun, suara emak hilang. Apa karena disini banyak pedagang kaset yang memutar tapenya keras-keras ? Aku juga ingin meninju kondektur bis yang teriak-teriak sangat kencang, sehingga tak bisa mendengar suara emak lagi. Sayang ya, Mak, tinjuku kecil, tentu kalau aku memukulnya tak akan berasa apa-apa. Aku jadi ingat bapak sekarang, Mak, aku juga pernah memukul bapak, tapi tidak terasa apa-apa katanya, bapak malahan ketawa waktu itu.
Aku terus berjalan meninggalkan alun-alun. Ketika aku capek, aku sampai di depan sebuah gedung. Banyak orang di sana, berkumpul, memanggul kardus, mengais-ngais sampah. Sebentar kemudian aku kembali mendengar peluit. Trit. Trit. Mereka berlari semua, ke segala penjuru. Aku juga ikut berlari, masuk kedalam gedung lain, tapi tiba-tiba lampunya padam dan aku menggigil karena takut gelap. Esoknya ketika terang, aku melihat Emak, tapi tetap berdiri dan tidak senyum.
“Mak, ini aku !”
Emak diam saja. Aku jadi ingat sekarang. Tentu bapak-bapak yang malam mengusir dan menendang emak-emak itu yang telah menyihirnya sehingga emak tidak bisa bergerak. Apakah anak-anak juga bisa disihir dan tidak bergerak, Mak ?
“Mak, ini aku, Ujang. Mencari emak !” teriaku saat itu. Dan ketika mataku terbuka aku melihat bapak berbaju putih, emak juga ada di sana. Tapi tak bisa bergerak-gerak. Tanganku sakit. Benar-benar jahat bapak-bapak itu, kini telah menyihirku juga sehingga tak bisa bergerak.
***
Anastasia yang lebih senang memanggil dan dipanggil Ana itu masih termenung membaca tulisan seorang anak bernama Ujang Kurnia tersebut. Pikirannya penuh dengan serangkaian pertanyaan. Belasan tahun lalu, benarkah Ujang Kurnia penulis surat itu adalah juga Ujang Kurnia yang kini sangat dia kenal ?! Kendati sisi-sisi kertasnya sudah terkoyak dan tintanya sudah tidak baik lagi, tapi tulisannya masih terbaca dengan jelas. Untuk sementara Ana percaya bahwa surat itu bukan hasil rekayasa, tapi benar-benar ditulis belasan tahun lalu, saat penulisnya masih belia yang selalu memandang dunia hanya dari satu sudut yaitu sudut angan-angannya sendiri. Tapi yang tetap menjadikan misteri baginya adalah dua nama Ujang Kurnia yang kini ada dalam benaknya, Ujang Kurnia kecil penulis surat itu dan Ujang Kurnia seorang pemuda calon suaminya.
Tentu saja Ana merasa dituntut untuk berpikir, karena apa yang akan ditentukannya adalah sangat menentukan. Menentukan dengan siapa dia harus berumah tangga, tidak sesederhana ketika dia memilih taksi, tak menjadi perlu benar mengetahui dan memikirkan dengan siapa supir yang akan membawanya pergi. Kalaupun dalam taksi itu mendapatkan supir yang ugal-ugalan atau sengaja mempermainkan argo, kerugiannyapun sudah dapat ditebak. Tapi ketika tidak mengetahui benar siapa calon suaminya, sama artinya akan menghabiskan sekian tahun, sekian bulan, sekian juta menit dalam kebersamaan yang sia-sia. Sejenak Ana diam, menunduk dan merasakan angin berdesir dalam sanubarinya. Entah kenapa apabila ia sedang galau, ingin rasanya memeluk bulan karena di sana ia pasti akan merasakan dekapan Allah sungguh terasa.
Ana sangat percaya dengan bibit, bobot, dan bebet seseorang. Ketiga syarat seperti itu menjadi mutlak benar untuk kriteria seorang suami. Ana tak pernah beranggapan kalau kriteria itu sebuah pikiran kolot, sebaliknya sebuah keharusan sebagai perwujudan dari kehati-hatiannya. Tentang bobot dan bebet Ujang Kurnia sekarang, Ana tak meragukan lagi. Sebagai seorang dosen, Ujang tidak saja ulet tapi juga bertanggung jawab. Tapi siapa Ujang, darimana asalnya, anak siapa, bagi Ana semuanya itu tetap masih gelap.
Sayang, gerutunya mengutuki diri sendiri, aku tak menahannya barang sebentar tadi untuk mendiskusikan surat itu. Tadi sehabis makan malam di sebuah restoran, kemudian diantarkannya pulang dan di perjalanan dia menerima surat kuno tersebut dari kekasihnya, Ana hanya menganggap hal itu sebagai sebuah lelucon. Samasekali tak pernah terpikirkan sebelumnya, apakah ini sebuah cara Ujang Kurnia menguji dirinya atau sebuah niat tulus ikhlas dari kekasihnya itu, agar Ana semakin tahu siapa calon suaminya ? Apapun alasannya, bagi Ana tetap sebuah misteri dan cukup pelik untuk mengungkapnya.
Pagi-pagi benar sebelum berangkat kantor, Ana menelpon Ujang Kurnia. Dengan nada bicara sewajar mungkin seolah tak ada persoalan besar yang sedang dihadapinya. Selain menanyakan agenda hari ini, mau makan siang di mana, dan tak lupa menyuruhnya mampir nanti malam jika tak pulang bersama-sama. Ujang menanggapinya dengan biasa-biasa saja, sekalipun sebenarnya dia sendiri sangat menunggu-nunggu komentar dan reaksi Ana akan surat kuno yang dia serahkan padanya kemarin sore itu. Ujang sengaja memberikan surat kuno tersebut sebagai refleksi tanggung jawab pribadinya, agar Ana bisa berpikir dan bersikap. Dia memang tidak sedang main-main, tapi justru sedang membuka pintu dan siap untuk memasuki gerbang yang baru saja dibukanya tersebut. Pada awal langkah dan beberapa meter dari gerbang, semua merasa suasana yang nyaman, sinar terang benderang dan semerbak wangi bunga. Tapi siapa sangka lebih dalam dari pintu gerbang itu, justru aneka macam cobaan dan godaan telah menghadangnya. Salah satu dari cobaan itu adalah masa lalu dia sendiri yang tak akan memenuhi kriteria yang telah ditentukan Ana dalam mencari calon pasangannya. Ujang memang tidak sedang main-main, sekalipun sebuah surat kuno itu terkesan sebuah permainan anak-anak.
“Nggak ! Kamu jangan kira saya sedang main-main. Surat itu adalah sebuah kebenaran masa lalu.” Ujang Kurnia begitu mantap ketika Ana mulai mempersoalkan surat itu, di halaman belakang rumah asrinya di kawasan hijau.
“Kebenaran masa lalu ? Bagi siapa ?!” Ana masih tetap tak percaya.
“Tentu saja bagi saya, Ana ! Kamu kira bagi siapa, bagi para pemulung itu ?”
“Sampai sore tadi, saya masih memimpikan kebenaran itu adalah milik mereka bukan milikmu.” Ana nampak dingin dan tak begitu bergairah.
“Sudah kuduga !” Ujang mencoba untuk tersenyum melumerkan kekakuan yang begitu saja terhampar di hadapannya.
“Masa lalu bagi saya adalah sebuah tonggak, Kang !” Ana berdiri mencium anggrek, kemudian duduk kembali di kursinya dan tak berani menatap wajah Ujang yang dingin. “Tonggak itu yang akan menentukan bangunan seperti apa yang bisa berdiri pada masa depannya.”
“Artinya kamu tak percaya pada bangunan sekarang yang sedang kita nikmati.”
“Bisa ya juga bisa tidak.” Ana tersenyum dan mengerling ke arah kekasihnya. Ujang Kurnia tetap diam dan dingin.
“Pastinya gimana ?”
“Saya bisa tetap percaya, jika masa lalu yang terefleksikan pada surat kuno itu adalah sebuah permainan dan isapan jempol semata. Tapi saya bisa tidak percaya pada bangunan masa sekarang yang telah akang bangun, kalau ternyata surat kuno itu adalah sebuah titik masa lalu.”
Masyaallah, Ujang Kurnia berdiri dan mengusap wajah. Tak pernah terbayangkan kalau kekasihnya itu sedemikian kukuh memegang prinsip. Dia lalu meremas jemari Ana dan bicara datar. “Selamat tinggal !”
Ana tersentak kaget dan pada saat kesadarannya kembali, justru Ujang Kurnia tak terlihat ada di sampingnya lagi. Ana menunduk lesu, dan mulai mengutuki dirinya sendiri tentang bobot, bebet dan bibit yang selama ini dipegangnya erat-erat. Sampai malam berakhir dan terang mengusirnya, Ana masih tetap duduk di tempatnya dan membiarkan dingin merusak sendi-sendi tulangnya.
Seminggu mereka tak bertemu. Seminggu pula tak pernah saling tahu apa yang terjadi dengan diri masing-masing. Ujang Kurnia yang punya tonggak masa lalu pahit itu, tak pernah berkecil hati dan terus bekerja dengan sungguh-sungguh karena dia yakin pada saatnya nanti, akan ada seorang bidadari turun dari syurga membawa wangi dan kasih sayang untuknya. Maha besar Allah yang akan membimbing umatnya dengan memberikan satu ketetapan hati.
Sementara itu Ujang sendiri tak mencoba melupakan Anastasia, juga tak ingin membencinya, karena Ujang yakin, Ana pernah singgah di hatinya dan sekarang sedang terbang mengembara. Berbeda dengan Ana, dia tetap kukuh dengan pendiriannya sekalipun untuk itu dia rela diopname di sebuah rumah sakit.
“Kau bukan sakit, tapi kasmaran.” seorang sahabatnya menghibur. Ana tersenyum tapi entah kenapa senyum itu terasa pahit kini.
“Aku tetap dengan pendirianku, dan tak mau berubah hanya karena aku sakit.” ucap Ana terdengar lirih ketika mamanya bicara tentang kehadiran dan kehilangan Ujang dari hari-hari putrinya.
“Tapi dia tanggung jawab dan sukses !”
“Ma ! Jangan sekali-kali mengacaukan memori otak Ana. Dulu mama yang bersikukuh dengan urusan bobot, bibit, dan bebet. Sekarang mama mencoba merubahnya. Ana bisa bingung.”
“Maksud mama tak sekaku itu, sayang, tapi semuanya bisa saling menambahi.”
“Apa mama rela punya mantu seorang bekas gembel ? Seorang anak pemulung ?” Ana memejamkan mata dan butir-butir bening dari sudut matanya itu kini ikut menyaksikan perbincangan mereka. Matanya terasa perih saat ia mencoba membukanya, karena di sana pada setiap sudut yang terjangkau pandangannya hanya ada bayangan Ujang Kunria. Mama nampak tersentak dan bibirnya bergetar. Ternyata Ana demikian kukuh dan kaku memegang prinsip itu. Mama pernah membenci masa lalu suaminya yang kotor, karena pada ujung usianya juga berbuat kotor. Tapi apakah Ujang yang masa lalu demikian suram itu, juga akan mengakhiri usianya dengan hari-hari yang suram pula ? Inilah yang tak pernah Ana pikirkan. Dia lebih rela kehilangan hari-harinya dalam rumah sakit, daripada mencoba memberi toleransi tentang masa lalu kekasihnya itu.
Ujang selalu membaca surat kuno itu karena disanalah dia menemukan dunia masa lalunya, yang manis untuk dikenang. Pada surat itu pula, Ujang hanya menemukan bayangan emak dan bapaknya, yang tak pernah ketemu sampai hari-hari dimana dia meraih sebuah kesuksesan dalam hidupnya.
Seperti sebuah lakon, peran Ujang Kurnia dan Anastasia menjadi peran masing-masing dalam benak penontonnya. Pada akhir cerita Ujang Kurnia kembali hanyut dalam merangkai sebuah surat baru.
“Sekarang aku tak mendengar lagi Ana bernyanyi. Nyanyian itu telah hilang, Mak ! Pada lalulalang dan taman kota itu aku hanya menyaksikan tembok-tembok, dingin, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri, menggigil memanggil-manggil Ana, Mak. Tapi tetap tak mendengar Ana bersenandung. Aku hanya mendengar suara jam dinding dan bunyi handphone. Aku harap itu Ana, tapi ternyata sia-sia. Ana tak pernah terdengar lagi. Aku bangun. Apa bapak-bapak itu pula yang membuat Ana kaku dan tak pernah mau bernyanyi lagi ? Siapa sebenarnya bapak-bapak itu, Mak ?!”
***
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur
Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya
dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu
(Q.S. Al-Haddid : 20)
***
Bayi itu...
BAYI BUKAN TIDAK TAHU APA-APA http://erasura.blogspot.com/2016/05/bayi-bukan-tidak-tahu-apa-apa.html
BAYI BUKAN TIDAK TAHU APA-APA
O
leh : E. Rokajat Asura
Kalau anda percaya bahwa bayi dianggap sebagai makhluk kecil yang tak tahu apa-apa, anda tidak sendirian. Selama bertahun-tahun banyak ahli yang merasa yakin bahwa pikiran bayi masih kalah canggih dengan pikiran siput. Ia samasekali bukan apa-apa. Teori tabula rasa mendukung hal itu. Tapi segera tanggalkan pikiran itu kalau anda percaya dengan hasil riset Benyamin S. Bloom, guru besar pendidikan Universitas Chicago. Bloom menemukan fakta yang mencengangkan bahwa ternyata 50% potensi hidup manusia terbentuk sejak dari kandungan sampai usia 4 tahun. Itu yang pertama. Lalu, pada usia 4-8 tahun akan terbentuk 30% potensi berikutnya.
Kalau dikalkulasikan kemudian, maka didapat fakta bahwa potensi dasar manusia sebesar 80% justru dibentuk pada usia dini yang sebagian besar sebelum masuk sekolah. Disadari atau tidak, segala gerak-gerik yang dilihat, informasi yang didengar dari lingkungan sekelilingnya akan tersimpan rapih dalam memori jangka panjangnya, yang akan menjadi sikap dan cara berpikirnya kelak.
Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi manakala anda menonton tayangan televisi yang tidak bermutu, bentakan dan cacian pelakon sinetron, kata-kata kotor dalam volume televisi yang besar, sementara anda sedang menggendong si kecil.
Pandangan keliru yang menyatakan bahwa bayi itu bukan apa-apa dibantah Andrew Meltzoff, pakar psikologi perkembangan dari Universitas Washington. Berdasarkan hasil risetnya, Andrew justru menemukan fakta bahwa ternyata bayi sejak hari pertama sudah mampu menirukan gerakan manusia. Melalui panca indera sebagai pintu masuk, mereka belajar dari apa yang kita lakukan dan ucapkan. Ia pun belajar pada reaksi orang-orang di sekitarnya ketika bicara, ketika menghadapi tekanan, saat marah dan bercanda.
KEKUATAN PIKIRAN DAN KATA
Pikiran dan kata-kata diyakini memiliki kekuatan yang dahsyat. Pengaruh dari pikiran kata-kata ini pada anak akan menjelma menjadi sikap, kepribadian dan watak anak-anak sebagai individu. Dalam buku Mind Power for Children karangan John K dan Nancy Fischer telah diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Think, Yogyakarta membahas tentang hal ini.
Ketika anak-anak membuat keributan sementara anda membutuhkan suasana yang tenang, lalu muncul rasa kesal dan mengekspresikan kekesalan itu dengan wajah yang tiba-tiba kusut, cara bicara cenderung menekan dan pendek-pendek, bahkan bisa meledak kalau tak sempat dikontrol, apa yang akan dipikirkan anak-anak ? Anak-anak akan memikirkan kejadian itu, memikirkan cara anda menghadapi masalah, lalu memberi reaksi terhadap semua kejadian yang berlangsung saat itu. Bisa jadi dalam sesaat anak-anak hanya mengekspresikannya dalam bentuk ketidaknyamanan berada di dekat anda. Tapi sadarkah anda bahwa saat itu sebenarnya sedang memberi pelajaran berharga bagaimana caranya menghadapi masalah yang mengesalkan ?
Sama halnya dengan pikiran, kata-kata pun memiliki kekuatan yang sama kuatnya. Setiap kata yang diucapkan orang tua akan memberi kesan yang kemudian diolah sedemikian rupa oleh otak anak-anak. Satu hal yang khas dan semestinya menjadi perhatian adalah bahwa anak-anak ternyata lebih terfokus pada kata terakhir dibanding rangkaian kalimat di awal. Anak-anak tak akan terpengaruh dengan berapa panjang dan pentingnya kata-kata di awal kalimat itu.
Maya A. Pujiati dalam salah satu tulisannya di www.pustakanilna.com tentang kekuatan kata-kata ini memberi illustrasi yang menarik, bagaimana seorang anak benar-benar hanya terfokus pada kata terakhir yang diucapkan orang tuanya. Maya menulis begini :
”Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya; ’Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!. Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Itulah efek kata terakhir yang menjadi fokus perhatian anak. Anak mendengar kalimat negatif Jangan rewel dari ibunya, namun yang menjadi fokus anak pada kata rewel dan itulah yang dipikirkan kemudian diekspresikan dengan sikap merengek dan menangis keras tanpa alasan jelas. Kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak diinginkan.
***
(sumber rujukan tulisan ini salah satunya adalah dari tulisan-tulisan di www.pustakanilna.com)
leh : E. Rokajat Asura
Kalau anda percaya bahwa bayi dianggap sebagai makhluk kecil yang tak tahu apa-apa, anda tidak sendirian. Selama bertahun-tahun banyak ahli yang merasa yakin bahwa pikiran bayi masih kalah canggih dengan pikiran siput. Ia samasekali bukan apa-apa. Teori tabula rasa mendukung hal itu. Tapi segera tanggalkan pikiran itu kalau anda percaya dengan hasil riset Benyamin S. Bloom, guru besar pendidikan Universitas Chicago. Bloom menemukan fakta yang mencengangkan bahwa ternyata 50% potensi hidup manusia terbentuk sejak dari kandungan sampai usia 4 tahun. Itu yang pertama. Lalu, pada usia 4-8 tahun akan terbentuk 30% potensi berikutnya.
Kalau dikalkulasikan kemudian, maka didapat fakta bahwa potensi dasar manusia sebesar 80% justru dibentuk pada usia dini yang sebagian besar sebelum masuk sekolah. Disadari atau tidak, segala gerak-gerik yang dilihat, informasi yang didengar dari lingkungan sekelilingnya akan tersimpan rapih dalam memori jangka panjangnya, yang akan menjadi sikap dan cara berpikirnya kelak.
Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi manakala anda menonton tayangan televisi yang tidak bermutu, bentakan dan cacian pelakon sinetron, kata-kata kotor dalam volume televisi yang besar, sementara anda sedang menggendong si kecil.
Pandangan keliru yang menyatakan bahwa bayi itu bukan apa-apa dibantah Andrew Meltzoff, pakar psikologi perkembangan dari Universitas Washington. Berdasarkan hasil risetnya, Andrew justru menemukan fakta bahwa ternyata bayi sejak hari pertama sudah mampu menirukan gerakan manusia. Melalui panca indera sebagai pintu masuk, mereka belajar dari apa yang kita lakukan dan ucapkan. Ia pun belajar pada reaksi orang-orang di sekitarnya ketika bicara, ketika menghadapi tekanan, saat marah dan bercanda.
KEKUATAN PIKIRAN DAN KATA
Pikiran dan kata-kata diyakini memiliki kekuatan yang dahsyat. Pengaruh dari pikiran kata-kata ini pada anak akan menjelma menjadi sikap, kepribadian dan watak anak-anak sebagai individu. Dalam buku Mind Power for Children karangan John K dan Nancy Fischer telah diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Think, Yogyakarta membahas tentang hal ini.
Ketika anak-anak membuat keributan sementara anda membutuhkan suasana yang tenang, lalu muncul rasa kesal dan mengekspresikan kekesalan itu dengan wajah yang tiba-tiba kusut, cara bicara cenderung menekan dan pendek-pendek, bahkan bisa meledak kalau tak sempat dikontrol, apa yang akan dipikirkan anak-anak ? Anak-anak akan memikirkan kejadian itu, memikirkan cara anda menghadapi masalah, lalu memberi reaksi terhadap semua kejadian yang berlangsung saat itu. Bisa jadi dalam sesaat anak-anak hanya mengekspresikannya dalam bentuk ketidaknyamanan berada di dekat anda. Tapi sadarkah anda bahwa saat itu sebenarnya sedang memberi pelajaran berharga bagaimana caranya menghadapi masalah yang mengesalkan ?
Sama halnya dengan pikiran, kata-kata pun memiliki kekuatan yang sama kuatnya. Setiap kata yang diucapkan orang tua akan memberi kesan yang kemudian diolah sedemikian rupa oleh otak anak-anak. Satu hal yang khas dan semestinya menjadi perhatian adalah bahwa anak-anak ternyata lebih terfokus pada kata terakhir dibanding rangkaian kalimat di awal. Anak-anak tak akan terpengaruh dengan berapa panjang dan pentingnya kata-kata di awal kalimat itu.
Maya A. Pujiati dalam salah satu tulisannya di www.pustakanilna.com tentang kekuatan kata-kata ini memberi illustrasi yang menarik, bagaimana seorang anak benar-benar hanya terfokus pada kata terakhir yang diucapkan orang tuanya. Maya menulis begini :
”Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya; ’Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!. Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Itulah efek kata terakhir yang menjadi fokus perhatian anak. Anak mendengar kalimat negatif Jangan rewel dari ibunya, namun yang menjadi fokus anak pada kata rewel dan itulah yang dipikirkan kemudian diekspresikan dengan sikap merengek dan menangis keras tanpa alasan jelas. Kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak diinginkan.
***
(sumber rujukan tulisan ini salah satunya adalah dari tulisan-tulisan di www.pustakanilna.com)
Selasa, 10 Mei 2016
SENYUM ITU INDAH
Oleh : E. Rokajat Asura
Setiap pagi menjelang, Putri, anak kelas dua SMU di bilangan Pondok Gede berangkat, bu Nani selalu saja waswas. Begitupun ketika suaminya berangkat kerja, bu Nani sama waswasnya. Bu Nani waswas setiap anaknya berangkat sekolah, bukan karena takut anaknya tidak bisa mengikuti setiap pelajaran. Ia justru takut karena berita di koran dan televisi yang selalu menceritakan tawuran antar etnis, penodongan dan pengedaran narkoba yang semakin meningkat. Sementara Putri memang akan melewati jalur-jalur rawan kecelakaan.
Lain lagi kekhawatiran bu Nani setiap suaminya pergi kerja. Ia khawatir bukan karena takut suaminya kepincut gadis lain, atau takut nyari selingkuhan. Bukan. Soal itu sih, bu Nani percaya betul, suaminya memang dijamin seratus proses bukan tipe lelaki mata keranjang atau yang gatalan setiap melihat jidat licin. Bu Nani khawatir karena tingkat kejahatan di angkutan umum, perampasan dan penodongan di taksi belakangan ini semakin meningkat.
Maka setiap pagi itu selalu saja bu Nani terpekur, berdo’a apa saja yang ia bisa lantunkan, untuk keselamatan anak dan suaminya. Ia memang selalu tidak tenteram sebelum mengetahui dengan pasti bahwa anak dan suaminya itu sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Barulah ia akan bisa memasak dan mengurus tetek-bengek sebagai ibu rumah tangga. Menjelang tengah hari saat masakan siap, cucian kering, ia kembali khawatir dan menunggu dengan waswas sampai Putri betul-betul datang dengan selamat. Begitulah selalu yang ia hadapi hari-hari belakangan ini.
Kekhawatiran seperti itu memang tidak baik, bu Nani tahu betul masalah itu. Seorang psikolog kondang memang pernah bicara, kekhawatiran seperti itu adalah stress yang tidak dikelola dengan baik sehingga ia akan menyedot energi positip dari tubuhnya. Tapi harus bagaimana lagi, toh sekalipun dicoba untuk tenang, tetap saja kekhawatiran seperti tadi akan muncul dan terus muncul setiap hari.
Satu hal yang sedikit bisa meringankan beban itu adalah ketika Putri datang dengan senyum dan cium tangan, sementara nanti sore suaminya datang dengan senyum. Ah, memang indah senyum itu. Bu Nani memang sempat mengkhayal, kalau saja semua orang mudah senyum, mungkin akan aman negeri ini. Bu Nani seperti diucapkan pada suaminya, coba kalau setiap kernet dan sopir bis kota itu senyum pada setiap penumpang, tak akan muncul ketegangan sekalipun penumpang bayar kurang.
Tadi malam bu Nani mendengar cerita dari suaminya bahwa seorang teman kantornya, sebut saja Pahrul, datang ke kantor dengan luka pukul di wajahnya. Usut punya usut ternyata karena urusan sepele. Pahrul saat itu naik metro mini dari rumah menuju kantor. Seperti biasa pada jam-jam sibuk, tak akan ada metro mini yang kosong kecuali metro mini yang mogok. Maka ia naik dan ikut desak-desakan. Entah karena apa, ada seorang bapak yang keinjek. Bapak itu ngotot, dan Pahrul rupanya meladeninya. Adu mulut terjadi, dan berakhir dengan sebuah pukulan telak di wajah Pahrul. Buk ! Pahrul pun pening dan nyaris terjadi perkelahian massal kalau tidak ada seorang tentara yang sama-sama numpang.
“Coba kalau saat itu kamu tersenyum dan minta maaf, tak akan terjadi adut otot sampai muka bengep,” begitulah saran suami bu Nani pada sahabatnya.
Entah karena bicaranya yang lemah-lembut sehingga menyentuh perasaan Pahrul atau memang karena ia takut kena bogem mentah lagi, keesokan harinya setiap naik kendaraan umum, ia telah siap untuk senyum. Konon ketika ada seorang ibu menginjak kakinya, Pahrul buru-buru senyum. Hasilnya memang luar biasa, ibu itu balik membalas senyumnya dan mereka ngobrol ngalor-ngidul. Lain waktu, Pahrul nyaris ketubruk seorang bapak yang lari entah karena apa. Pahrul pun cepat-cepat menolong, memegang pundaknya si bapak yang terengah-engah sambil tentu saja tersenyum, suasana pun lumer dan menyenangkan. Sejak saat itulah, di dada Pahrul selalu tertanam : Aku Harus Siap Tersenyum !
Keesokan harinya, bu Nani telah menyiapkan sepatu, tas kantor dan sarapan untuk anak dan suaminya. Ketika ia mengantarkan di pintu, bu Nani tak lupa bicara :
“Kamu tidak lupa gosok gigi kan, Put, soalnya jangan sampai lupa hari ini untuk tersenyum kepada siapapun,” begitulah peringatan bu Nani.
“Oke !” Putri mengacungkan jempol diikuti senyum bu Nani dan suaminya.
Siang hari Putri pulang. Tapi ia datang tidak tersenyum, sebaliknya wajahnya hanya merenggut asem. Sambil makan siang, bu Nani mencoba mengorek ada apa sebenarnya sampai Putri datang tanpa senyum. Putri pun cerita. Katanya di mikrolet ada tiga pemuda yang siap-siap akan menodong ibu-ibu. Terdorong oleh rasa setia kawan dan kasihan pada si ibu, Putri pun langsung tersenyum pada ibu itu sambil berkata, hati-hati Bu, perhiasan ibu takut kena jambret. Rupanya mendengar omongan Putri seperti itu, ibu tadi siap-siap mengemasi barangnya, dan buntutnya ketiga pemuda itu yang balik marah pada Putri karena kesal aksinya digagalkan seorang cewek ingusan.
Ketika Putri turun agak jauh dari sekolahnya rupanya ketiga pemuda tadi mengikutinya, lalu di tempat sepi mereka menghadang Putri. Salah seorang diantara pemuda tadi menodongkan pisau. Jelas saja Putri gemeteran, tapi ia tidak lupa untuk tetap tersenyum. Mungkin karena merasa dilecehkan tiba-tiba Putri didorong dan hampir jatuh. Beruntung ada beberapa orang guru lewat sehingga ketiga pemuda tadi langsung ngibrit. Itulah kenapa ia mangkel banget, gara-gara senyum malah jadi celaka katanya.
Mendengar cerita putrinya, bu Nani pun tersenyum. Pasti bukan karena gara-gara senyum semua itu terjadi, malah bu Nani justru berpikir sebaliknya. Coba kalau waktu itu Putri tidak tersenyum, mungkin si ibu di mikrolet akan kena jambret. Kalau Putri tidak senyum, mungkin pisau salah seorang pemuda itu benar-benar akan mencelakainya. Jadi, begitu kesimpulan bu Nani, besok semakin lebar lah kamu tersenyum, Put !
Ada kejadian lain sore itu di ujung gang tak jauh dari rumah Putri. Dua pemuda pengacara alias pengangguran banyak acara, adu mulut bahkan nyaring adu jotos. Konon katanya gara-gara kedua pengangguran tadi rebutan uang parkiran. Putri lewat ke tempat itu dan hampir lari saat kedua pemuda itu benar-benar mau berantem. Tapi karena ia ingat pesan mamanya, sambil lewat ke tempat itu sempat juga nyeletuk : Tersenyumlah kawan, karena senyum itu indah !
Rupanya salah seorang pemuda yang mau berantem itu mendengarnya. Sebenarnya kalau pun terjadi berantem, yang lebih kecil itu sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menang. Secara fisik ia kalah, bahkan kalau dilihat pengalaman juga masih jauh dibanding musuhnya itu. Makanya ia putar akal, dan sebelum benar-benar berantem ia menemukan jalan. Dengan senyum ia bicara :
“Sebelum kita berantem, bagusnya lap dulu itu ingusnya,” katanya. Entah karena merasa malu atau bagaimana, musuhnya itu langsung tersentak kaget dan melap ingusnya. Padahal sesungguhnya tak ada ingus, bekasnya pun tidak terlihat. Saat musuhnya melap ingus, pemuda yang lebih kecil itu langsung bereaksi memiting musuhnya. Dengan mudah musuhnya bisa dikalahkan dalam satu gerakan. Ketika pemuda tadi bertemu kembali dengan Putri, tak lupa mengucapkan terima kasih. Senyum itu memang indah, Put, katanya.
Malam hari giliran suami bu Nani yang merenggut. Rupanya ketika akan pulang, dompetnya kena sambar copet. Terang aja uang tunai, kartu, dan KTP amblas digondol pencopet. Ia memang lupa akan senyum dan sebaliknya hanya bisa marah-marah. Beruntung ia satu bis dengan seorang temannya, sehingga suami bu Nani tidak sampai benar-benar kehilangan muka karena tidak bisa bayar bis.
Saat makan malam semua kejadian itu diceritakan pada anak dan istrinya. Entah kenapa, tiba-tiba bu Nani dan Putri saling menatap lalu keduanya tersenyum. Menyaksikan anak dan istrinya tersenyum, suami bu Nani jelas tersinggung.
“Bagaimana kalian ini, mendengar aku kena musibah kok malah tersenyum sih ?” gerutu suami bu Nani. Lagi-lagi ibu dan anak itu tersenyum, lebih manis dari senyumnya yang pertama tadi.
“Hei, kalian sengaja mau melecehkan aku, ya ?” suami bu Nani benar-benar kesal. Melihat suaminya kesal, bu Nani angkat bicara.
“Buat apa marah-marah, Pak. Musibah itu ‘kan terjadi bukan karena kita menghendaki, tapi musibah itu untuk menguji sejauhmana kesabaran kita !” jawab bu Nani tenang.
“Aku tahu itu, tapi kenapa harus tersenyum ?” protes suaminya
“Kalaupun kita marah-marah, mengumpat, kesal, protes, toh dompet itu tidak akan kembali, Pak. Maka daripada marah-marah, kenapa tidak tersenyum saja. Paling tidak dengan senyum, otot kita lebih kendur,” jelas Putri sambil tetap tersenyum. Mendengar itu, ayahnya pun tersenyum. Memang benar, buat apa marah-marah hanya akan bikin kita capek. Sudah capek, dompet tetap hilang, memang rugi dua kali. Maka tersenyumlah ia.
***
TIGA PERMINTAAN
Diropea : E. Rokajat Asura
TIGA ORANG PENDAKI GUNUNG TERSESAT DI HUTAN BELANTARA … BERHARI-HARI MEREKA TAK BISA KELUAR … JABA MAKANAN SUDAH HABIS .. WAH POKONA SUSAH BEAK KAREP … KEUR NGALEMPREH DARIUK DEUKEUT BATU … TIBA-TIBA SALAH SEORANG PENDAKI TEH MANGGIHAN BOTOL … WAH SIAPA TAHU KATANYA INI TEH BOTOL MINUMAN … BISA NGURANGI HAUS … MAKANYA LANGSUNG TANPA PIKIR PANJANG ITU BOTOL TEH DIBUKA … BEGITU DIBUKA … UJUG-UJUG DATANG JIN JANGKUNG BADAG JABA HIDEUNG … JIN AFRIKA SIGANA MAH … TAH SI JIN TEH NGARASA DITOLONG SAMA KETIGA PENDAKI GUNUNG TEA KARENA DIBUKAKEUN BOTOL … SINGKATNA SEBAGAI TANDA TERIMA KASIH SIJIN BAKAL MENGABULKAN TIGA PERMINTAAN … SOK CENAH MAU MINTA APA SAJA PASTI BAKAL DILAKSANAKAN … HEI MANUSA KAMU MINTA APA ? KATA SI JIN PADA PENDAKI PERTAMA … AH SAYAH TEH SUDAH LAMA TIDAK MAKAN ENAK … SAYA LAPAR … SAYAH MAH MINTA DIKIRIM KE RESTORAN SANGAT MEWAH … GAMPANG KATA SI JIN TEH … JRENG … HARITA KENEH ADA DI SEBUAH RESTORAN LENGKEP DENGAN MAKANAN YANG ENAK-ENAK … DIA MAKAN DENGAN LAHAP … NAH SEKARANG KAMU MINTA APA … KATA SIJIN PADA PENDAKI KEDUA … SAYA UDAH CAPEK TERSESAT … TIDUR TIDAK ENAK … POKOKNYA SAYA TIDAK MAU MINTA MACAM-MACAM … SAYA MAH MAU DIAM AJA DI HOTEL … NGARAH BISA TIDUR DENGAN NYAMAN DI ATAS KASUR YANG EMPUK … SIJIN TEH KETAWA LAGI … DAN JRENG … MAKA SI PENDAKI KEDUA PUN TIBA-TIBA ADA DI KAMAR HOTEL BINTANG LIMA … DIA PUN BISA TIDUR DENGAN NYENYAK … TAH GILIRAN PENDAKI KETIGA … DIA MAH TERKENAL RADA JAIL … MAKANYA KETIKA SIJIN NANYA … HEI MANUSA KAMU MINTA APA … SI PENDAKI KETIGA TEH TENANG AJA … SAYA MAH TIDAK MAU MAKAN … TIDAK MAU TIDUR DI TEMPAT TIDUR YANG EMPUK … TERUS KAMU MINTA APA … SAYA MAH MINTA KEDUA TEMAN SAYA DIBALIKEUN DEUI KESINI … BIAR SAYA TIDAK SEPI DISINI CENAH … OH GAMPANG … DAN HARITA KENEH JRENG … KEDUA TEMENYA BALIK LAGI KE TEMPAT SEMULA …
Sumpah...
BERMAIN-MAIN DENGAN SUMPAH http://erasura.blogspot.com/2016/05/bermain-main-dengan-sumpah.html
BERMAIN-MAIN DENGAN SUMPAH
Oleh : E. Rokajat Asura
Dalam sebuah pelantikan pejabat selalu dilakukan sumpah jabatan. Maksudnya sebagai bukti bahwa ia akan memegang amanat jabatan itu untuk digunakan sesuai dengan proporsinya. Sumpah jabatan mengandung sebuah semangat spiritual yang tinggi. Sumpah jabatan menjadi salah bukti kesungguhan pejabat tadi agar tidak menyalahgunakan jabatan. Kalau kemudian pejabat tadi terbukti menyalahgunakan jabatan, terbukti mengingkari jabatannya itu, tentu bukan sumpah jabatan yang salah tapi individu pejabatan itulah yang salah.
Ketika dua orang bertengkar atau cekcok, tak ada yang mau disalahkan. Jalan tengah biasanya ditempuh dengan menyuruh keduanya untuk bersumpah. Sumpah seperti ini menjadi sebuah cara pembuktikan sosial kepada satu sama lain tentang perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya itu tidak benar. Kalau kemudian di akhir hari ketahuan bahwa para pelaku sumpah tadi salah, tentu bukan sumpahnya yang salah melainkan masing-masing individu itulah yang ingkar. Individu tadi dengan sengaja telah melakukan pembohongan publik. Bohong atas sumpahnya sendiri.
Ketika seseorang dituduh mencuri, ia tidak akan dipercaya begitu saja dengan hanya mengaku tidak mencuri. Orang yang menuduh mencuri biasanya secara psikologis akan berubah manakala pencuri itu berani bersumpah. Namun demikian ketika ketahuan ternyata sumpahnya bohong, tentu saja bukan sumpahnya yang salah tapi pencuri itu yang salah. Dia telah berani bermain-main dengan sumpah.
Ketika sumpah dijadikan pembelaan dan hanya untuk bermain-main, maka nilai sumpah terasa menjadi hambar dan tidak bernilai. Kenyataan seperti itulah yang dirasakan Her belakangan ini. Padahal saat ini ia justru sedang dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. Bayangkan saja, istrinya diduga berselingkuh. Beberapa bukti dari omongan tetangga telah dikantongi. Hanya saja Her sendiri belum menangkap basah kelakuan istrinya itu. Tapi ketika dikonfirmasi, istrinya tetap bersikeras mengaku tidak selingkuh. Bahkan ketika diajak bicara baik-baik dengan mengumpulkan kedua keluarga, istrinya tetap bersikeras kalau ia tidak berbuat. Ia samasekali tidak selingkuh. Ketika pamannya menyuruh keluar dari pekerjaanya, istri Her dengan enteng mau menerima.
“Kalau memang sumber tuduhan selingkuh itu karena saya bekerja, sehingga punya keleluasaan untuk berselingkuh, saat ini juga saya bersedia keluar kerja. Tapi tentu saja jangan konyol. Saya mau keluar kerja kalau memang mas Her telah bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” jelas istri Her.
“Bagaimana Her, kau sanggup ? Inilah salah satu cara untuk membuktikan benar tidaknya omongan tetangga dan tuduhan kamu bahwa istrimu tidak selingkuh,” urai sang paman. Her berpikir. Selama ini ia memang telah bekerja keras, kendati kebutuhan rumah tangganya masih saja belum tercukupi. Dari sanalah pertimbangan sang istri kenapa ia mau bekerja.
Pertemuan itu tidak membuahkan hasil apa-apa. Isu bahwa istri Her berselingkuh semakin santer. Istri Her sendiri tetap bersikeras tidak mau mengaku. Pada suatu hari Her mengajak istrinya menemui seorang ustadz. Di hadapan sang ustadz Her bicara panjang lebar:
“Begitulah, pak Ustadz, saya memohon petunjuk bagaimana mengatasi masalah ini ?” keluh Her. Pak Ustadz hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu ia cerita tentang bagaimana kebohongan itu bisa berakhir dengan sebuah kecelakaan. Apalagi kalau berbohong dengan cara bersumpah, tentu akan lebih rugi lagi akibatnya. Kebohongan yang terus-menerus akan membuat ia tidak dipercaya lagi, demikian pula dengan orang yang senang bermain-main dengan sumpah, tidak akan dipercaya lagi sumpahnya. Kendati pada suatu hari ia benar-benar bersumpah dengan segala kesungguhan, sumpah itu tetap saja menjadi tidak bernilai dan ia akan tetap dianggap bohong. Lalu ustadz itu mensitir sebuah kisah.
Pada suatu masa, katanya, ada seorang gembala kambing. Ia biasa menggembalakan kambing itu jauh keluar kampung. Di sebuah padang rumput yang maha luas, di sanalah ia melepas kambing-kambingnya yang ratusan itu. Setiap hari begitulah pekerjaannya, pagi hari membawa kambing-kambing itu, melepaskan di padang rumput, sore hari dikumpulkan dan dibawa pulang. Suatu hari ia terjebak dengan perbuatan iseng hanya karena dilanda kesepian, diam sendiri di padang rumput yang maha luas itu. Terpikir olehnya bagaimana kalau berteriak minta tolong, seolah-olah ia didatangi oleh srigala. Ia pun melakukannya. Ia berteriak lantang.
“Tolong…tolong ! Ada srigala. Tolong aku, kambing-kambingku dimakannya. Tolong...”
Rupanya beberapa orang dari kampung terdekat bisa mendengar suara gembala yang minta tolong tersebut. Berbondong-bondonglah penduduk desa itu menuju padang rumput untuk menolong si gembala. Betapa anehnya ketika mereka tiba ke padang rumput melihat si gembala sedang tiduran, kambing-kambingnya berkeliaran dengan damai, dan tak tanda-tanda bekas kedatangan srigala.
“Hai, gembala, benarkah kau akan diterkam srigala ?” tanya salah seorang penduduk desa yang hendak menolongnya.
“Oh, tidak, tidak ada srigala di sini.”
“Lalu siapa yang teriak minta tolong tadi ?”
“Oh, itu memang aku. Aku sengaja teriak minta tolong untuk menguji apakah penduduk desa di sini masih peduli pada seorang gembala atau tidak. Aku khawatir diam di sini sendirian. Kalau memang benar-benar ada srigala dan tidak ada yang peduli menolongku, bagaimana nasibku nanti ?”
Mendengar alasan gembala yang memang masuk akal itu, penduduk desa hanya saling pandang kemudian satu persatu pulang meninggalkan sang gembala. Sementara itu si gembala sendiri hanya tersenyum puas karena telah berhasil mengelabui mereka.
Selang beberapa hari, si gembala melakukan hal yang sama. Ia teriak nyaring meminta tolong kepada penduduk desa. Beberapa orang yang mendengarnya sempat ragu-ragu, jangan-jangan si gembala itu berbohong lagi dan hanya akan mengelabui mereka. Dari sepuluh orang yang mendengar, lima orang diantaranya memutuskan untuk tidak menolong dan mengabaikan teriakan si gembala itu karena khawatir terkelabui untuk kedua kalinya. Sementara lima orang yang lain dengan ragu-ragu akhirnya datang untuk menolong. Apalagi ketika teriakan itu makin lama terdengar makin sayup-sayup. Mereka menyangka tentu srigala itu telah demikian buas memangsa kambing-kambing si gembala. Kelima orang itu kendati tetap ragu-ragu akhirnya datang juga ke padang rumput tempat si gembala menggembalakan kambing-kambingnya.
Namun betapa kecewanya ketika di padang rumput ia melihat si gembala sedang menyantap bekalnya. Dengan emosi salah seorang dari kelima penduduk desa itu mendekati si gembala. Dengan menjambak leher, penduduk desa itu menghardik.
“Sialan kamu ! Sudah dua kali mengelabui kami. Apa maksud kamu sebenarnya bangsat !”
“Aku...aku tadi seperti melihat srigala. Sumpah, aku seperti melihat srigala itu datang dari sudut sana. Aku khawatir sekali. Sebelum srigala itu datang, aku cepat-cepat teriak minta tolong,” jelas si gembala dengan gemetaran.
“Aku tidak percaya. Kau hanya sedang bermain-main,” teriak yang lain. Lalu mereka meninggalkan si gembala dengan perasaan jengkel.
Pada suatu hari ketika belasan penduduk desa sedang berkumpul, lagi-lagi mereka mendengar teriak si gembala. Teriakan itu terdengar timbul tenggelam bahkan terasa menyayat hati. Sesekali teriakan itu seperti sedang menahan sakit. Namun tak ada seorang pun dari penduduk desa itu yang bersedia menolongnya. Mereka menyangka pasti si gembala itu sedang bermain-main dan mereka tak mau kena tipu untuk ketiga kalinya. Padahal sesungguhnya saat itu si gembala sedang berjuang dengan maut karena sedang diterkam srigala. Beberapa saat kemudian seorang pencari rumput menemukan si gembala meninggal dengan mengerikan.
Mendengar kisah itu istri Her langsung menangis. Ia menyesal sekali telah berbohong dan bermain-main dengan sumpah. Mendengar pengakuan istrinya seperti itu Her tidak bisa berbuat apa-apa. Mau marah, malu dengan pak Ustadz. Dibiarkan begitu saja jelas hatinya terasa tercabik-cabik. Akhirnya ia pamit pada ustadz dan samasekali tidak mempedulikan istrinya.
***
Dalam sebuah pelantikan pejabat selalu dilakukan sumpah jabatan. Maksudnya sebagai bukti bahwa ia akan memegang amanat jabatan itu untuk digunakan sesuai dengan proporsinya. Sumpah jabatan mengandung sebuah semangat spiritual yang tinggi. Sumpah jabatan menjadi salah bukti kesungguhan pejabat tadi agar tidak menyalahgunakan jabatan. Kalau kemudian pejabat tadi terbukti menyalahgunakan jabatan, terbukti mengingkari jabatannya itu, tentu bukan sumpah jabatan yang salah tapi individu pejabatan itulah yang salah.
Ketika dua orang bertengkar atau cekcok, tak ada yang mau disalahkan. Jalan tengah biasanya ditempuh dengan menyuruh keduanya untuk bersumpah. Sumpah seperti ini menjadi sebuah cara pembuktikan sosial kepada satu sama lain tentang perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya itu tidak benar. Kalau kemudian di akhir hari ketahuan bahwa para pelaku sumpah tadi salah, tentu bukan sumpahnya yang salah melainkan masing-masing individu itulah yang ingkar. Individu tadi dengan sengaja telah melakukan pembohongan publik. Bohong atas sumpahnya sendiri.
Ketika seseorang dituduh mencuri, ia tidak akan dipercaya begitu saja dengan hanya mengaku tidak mencuri. Orang yang menuduh mencuri biasanya secara psikologis akan berubah manakala pencuri itu berani bersumpah. Namun demikian ketika ketahuan ternyata sumpahnya bohong, tentu saja bukan sumpahnya yang salah tapi pencuri itu yang salah. Dia telah berani bermain-main dengan sumpah.
Ketika sumpah dijadikan pembelaan dan hanya untuk bermain-main, maka nilai sumpah terasa menjadi hambar dan tidak bernilai. Kenyataan seperti itulah yang dirasakan Her belakangan ini. Padahal saat ini ia justru sedang dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. Bayangkan saja, istrinya diduga berselingkuh. Beberapa bukti dari omongan tetangga telah dikantongi. Hanya saja Her sendiri belum menangkap basah kelakuan istrinya itu. Tapi ketika dikonfirmasi, istrinya tetap bersikeras mengaku tidak selingkuh. Bahkan ketika diajak bicara baik-baik dengan mengumpulkan kedua keluarga, istrinya tetap bersikeras kalau ia tidak berbuat. Ia samasekali tidak selingkuh. Ketika pamannya menyuruh keluar dari pekerjaanya, istri Her dengan enteng mau menerima.
“Kalau memang sumber tuduhan selingkuh itu karena saya bekerja, sehingga punya keleluasaan untuk berselingkuh, saat ini juga saya bersedia keluar kerja. Tapi tentu saja jangan konyol. Saya mau keluar kerja kalau memang mas Her telah bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” jelas istri Her.
“Bagaimana Her, kau sanggup ? Inilah salah satu cara untuk membuktikan benar tidaknya omongan tetangga dan tuduhan kamu bahwa istrimu tidak selingkuh,” urai sang paman. Her berpikir. Selama ini ia memang telah bekerja keras, kendati kebutuhan rumah tangganya masih saja belum tercukupi. Dari sanalah pertimbangan sang istri kenapa ia mau bekerja.
Pertemuan itu tidak membuahkan hasil apa-apa. Isu bahwa istri Her berselingkuh semakin santer. Istri Her sendiri tetap bersikeras tidak mau mengaku. Pada suatu hari Her mengajak istrinya menemui seorang ustadz. Di hadapan sang ustadz Her bicara panjang lebar:
“Begitulah, pak Ustadz, saya memohon petunjuk bagaimana mengatasi masalah ini ?” keluh Her. Pak Ustadz hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu ia cerita tentang bagaimana kebohongan itu bisa berakhir dengan sebuah kecelakaan. Apalagi kalau berbohong dengan cara bersumpah, tentu akan lebih rugi lagi akibatnya. Kebohongan yang terus-menerus akan membuat ia tidak dipercaya lagi, demikian pula dengan orang yang senang bermain-main dengan sumpah, tidak akan dipercaya lagi sumpahnya. Kendati pada suatu hari ia benar-benar bersumpah dengan segala kesungguhan, sumpah itu tetap saja menjadi tidak bernilai dan ia akan tetap dianggap bohong. Lalu ustadz itu mensitir sebuah kisah.
Pada suatu masa, katanya, ada seorang gembala kambing. Ia biasa menggembalakan kambing itu jauh keluar kampung. Di sebuah padang rumput yang maha luas, di sanalah ia melepas kambing-kambingnya yang ratusan itu. Setiap hari begitulah pekerjaannya, pagi hari membawa kambing-kambing itu, melepaskan di padang rumput, sore hari dikumpulkan dan dibawa pulang. Suatu hari ia terjebak dengan perbuatan iseng hanya karena dilanda kesepian, diam sendiri di padang rumput yang maha luas itu. Terpikir olehnya bagaimana kalau berteriak minta tolong, seolah-olah ia didatangi oleh srigala. Ia pun melakukannya. Ia berteriak lantang.
“Tolong…tolong ! Ada srigala. Tolong aku, kambing-kambingku dimakannya. Tolong...”
Rupanya beberapa orang dari kampung terdekat bisa mendengar suara gembala yang minta tolong tersebut. Berbondong-bondonglah penduduk desa itu menuju padang rumput untuk menolong si gembala. Betapa anehnya ketika mereka tiba ke padang rumput melihat si gembala sedang tiduran, kambing-kambingnya berkeliaran dengan damai, dan tak tanda-tanda bekas kedatangan srigala.
“Hai, gembala, benarkah kau akan diterkam srigala ?” tanya salah seorang penduduk desa yang hendak menolongnya.
“Oh, tidak, tidak ada srigala di sini.”
“Lalu siapa yang teriak minta tolong tadi ?”
“Oh, itu memang aku. Aku sengaja teriak minta tolong untuk menguji apakah penduduk desa di sini masih peduli pada seorang gembala atau tidak. Aku khawatir diam di sini sendirian. Kalau memang benar-benar ada srigala dan tidak ada yang peduli menolongku, bagaimana nasibku nanti ?”
Mendengar alasan gembala yang memang masuk akal itu, penduduk desa hanya saling pandang kemudian satu persatu pulang meninggalkan sang gembala. Sementara itu si gembala sendiri hanya tersenyum puas karena telah berhasil mengelabui mereka.
Selang beberapa hari, si gembala melakukan hal yang sama. Ia teriak nyaring meminta tolong kepada penduduk desa. Beberapa orang yang mendengarnya sempat ragu-ragu, jangan-jangan si gembala itu berbohong lagi dan hanya akan mengelabui mereka. Dari sepuluh orang yang mendengar, lima orang diantaranya memutuskan untuk tidak menolong dan mengabaikan teriakan si gembala itu karena khawatir terkelabui untuk kedua kalinya. Sementara lima orang yang lain dengan ragu-ragu akhirnya datang untuk menolong. Apalagi ketika teriakan itu makin lama terdengar makin sayup-sayup. Mereka menyangka tentu srigala itu telah demikian buas memangsa kambing-kambing si gembala. Kelima orang itu kendati tetap ragu-ragu akhirnya datang juga ke padang rumput tempat si gembala menggembalakan kambing-kambingnya.
Namun betapa kecewanya ketika di padang rumput ia melihat si gembala sedang menyantap bekalnya. Dengan emosi salah seorang dari kelima penduduk desa itu mendekati si gembala. Dengan menjambak leher, penduduk desa itu menghardik.
“Sialan kamu ! Sudah dua kali mengelabui kami. Apa maksud kamu sebenarnya bangsat !”
“Aku...aku tadi seperti melihat srigala. Sumpah, aku seperti melihat srigala itu datang dari sudut sana. Aku khawatir sekali. Sebelum srigala itu datang, aku cepat-cepat teriak minta tolong,” jelas si gembala dengan gemetaran.
“Aku tidak percaya. Kau hanya sedang bermain-main,” teriak yang lain. Lalu mereka meninggalkan si gembala dengan perasaan jengkel.
Pada suatu hari ketika belasan penduduk desa sedang berkumpul, lagi-lagi mereka mendengar teriak si gembala. Teriakan itu terdengar timbul tenggelam bahkan terasa menyayat hati. Sesekali teriakan itu seperti sedang menahan sakit. Namun tak ada seorang pun dari penduduk desa itu yang bersedia menolongnya. Mereka menyangka pasti si gembala itu sedang bermain-main dan mereka tak mau kena tipu untuk ketiga kalinya. Padahal sesungguhnya saat itu si gembala sedang berjuang dengan maut karena sedang diterkam srigala. Beberapa saat kemudian seorang pencari rumput menemukan si gembala meninggal dengan mengerikan.
Mendengar kisah itu istri Her langsung menangis. Ia menyesal sekali telah berbohong dan bermain-main dengan sumpah. Mendengar pengakuan istrinya seperti itu Her tidak bisa berbuat apa-apa. Mau marah, malu dengan pak Ustadz. Dibiarkan begitu saja jelas hatinya terasa tercabik-cabik. Akhirnya ia pamit pada ustadz dan samasekali tidak mempedulikan istrinya.
***
NOVEL AIR MATA SURGA
Sinopsis Buku:
Tim dokter dibuat tercengang dengan kesabaran yang diperlihatkan Baraah Saamehh, sementara paman dan bibinya tak kuasa menahan derai air mata. Setelah diamputasi kakinya untuk menghambat penyebaran sel kanker osteosarcoma, penyakit ganas itu sudah menyerang otak. Apa kata gadis kecil penghafal Al-Qur’an ini sebelum masuk ruang operasi? "Alhamdulillah, aku akan segera bertemu dengan Baba dan Mama di surga." Semua teman dan keluarga terkejut. Gadis kecil ini sedang menghadapi musibah yang bertubi-tubi, tetapi dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah untuknya. Kematian Baba ayahnya tertabrak di depan matanya sendiri saat akan menjenguk Mama yang terkulai lemah terserang kanker di sebuah rumah sakit, tak membuatnya patah arang. Ia bahkan bisa lolos mewakili provinsi untuk musabaqah hifzil Qur'an di tengah tragedi kematian baba dan mamanya terjadi. Untuk kesabaran dan keteguhan hatinya itu Baraah dianggap sebagai malaikat kecil yang baru turun dari surga.
Endorsement "Kisah tentang Baraah, gadis kecil yatim piatu yang berjuang melawan kanker ini, seakan-akan menampar saya: semangat hidupnya, kecintaannya pada hafalan Kitab Suci, kebaikan hatinya untuk berbagi, ketabahannya yang menembus batas. Baraah tak perlu menjadi sedikit dewasa/ matang/ tua untuk 'menasihati' saya. Bahkan dengan kekhasan kanak-kanaknya itu, Baraah berhasil membuat saya terhenyak berkali-kali. Lebih dari itu, ending-nya membuat saya bertanya-tanya, ini kisah nyata atau fiksi ya? Penulis sukses mempermainkan emosi pembaca." - Waheeda El Humayra:, Penulis Novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba, Guru di Indonesia Mengajar
Tim dokter dibuat tercengang dengan kesabaran yang diperlihatkan Baraah Saamehh, sementara paman dan bibinya tak kuasa menahan derai air mata. Setelah diamputasi kakinya untuk menghambat penyebaran sel kanker osteosarcoma, penyakit ganas itu sudah menyerang otak. Apa kata gadis kecil penghafal Al-Qur’an ini sebelum masuk ruang operasi? "Alhamdulillah, aku akan segera bertemu dengan Baba dan Mama di surga." Semua teman dan keluarga terkejut. Gadis kecil ini sedang menghadapi musibah yang bertubi-tubi, tetapi dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah untuknya. Kematian Baba ayahnya tertabrak di depan matanya sendiri saat akan menjenguk Mama yang terkulai lemah terserang kanker di sebuah rumah sakit, tak membuatnya patah arang. Ia bahkan bisa lolos mewakili provinsi untuk musabaqah hifzil Qur'an di tengah tragedi kematian baba dan mamanya terjadi. Untuk kesabaran dan keteguhan hatinya itu Baraah dianggap sebagai malaikat kecil yang baru turun dari surga.
Endorsement "Kisah tentang Baraah, gadis kecil yatim piatu yang berjuang melawan kanker ini, seakan-akan menampar saya: semangat hidupnya, kecintaannya pada hafalan Kitab Suci, kebaikan hatinya untuk berbagi, ketabahannya yang menembus batas. Baraah tak perlu menjadi sedikit dewasa/ matang/ tua untuk 'menasihati' saya. Bahkan dengan kekhasan kanak-kanaknya itu, Baraah berhasil membuat saya terhenyak berkali-kali. Lebih dari itu, ending-nya membuat saya bertanya-tanya, ini kisah nyata atau fiksi ya? Penulis sukses mempermainkan emosi pembaca." - Waheeda El Humayra:, Penulis Novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba, Guru di Indonesia Mengajar
Senin, 09 Mei 2016
BUNGA KERING
Oleh : E. Rokajat Asura
(Judul asli “Bunga-bunga Kering” dipublikasikan di Jawa Pos Minggu, Desember 1990)
Stasiun bawah tanah al-Jabal sejak pagi buta telah penuh sesak, semua mata memandang dunianya sendiri-sendiri. Saling tak menyapa, kecuali mengangguk jika minta tempat duduk dengan bibir tetap terkatup. Tanpa rasa akrab sekalipun, padahal sejarah pernah mencatat bahwa mereka semua keturunan Syam yang bertahta sekian lama, sedangkan hanya sedikit saja orang asing. Namun karena percikan api dendam yang membuat mereka dingin, angkuh serta hidup sendiri-sendiri.
Masa lalu adalah masa lalu, cukup untuk disimpan di museum dengan sekali-kali boleh orang asing membuka bahwa semua penduduk berasal dari satu batang yang sama, satu keturunan dan hanya perang saudara itu yang membuat mereka berpisah. Kini, perang itu telah hanya namun tidak berarti selesai. Dendam masa silam masih tetap membekas bahkan sengaja tetap sengaja dipelihara dalam dada-dada mereka. Jika seorang anak terpaksa yatim, maka dendam anak itu akan membekas dan terus membekas kepada siapa saja lalu secara tak disengaja dendam itu akan turun pula ke anak-anaknya kelak.
Seorang lelaki tua tergopoh menuju bangku kosong. Ada yang menarik dari tubuhnya yang telah sedikit bungkuk itu. Sorot matanya, ya, sorot matanya tajam menampakkan bahwa dia seorang pemberani di masa mudanya. Rambutnya yang memutih seperti tak terurus, turut menghiasi gurat-gurat tua di wajahnya yang setiap keriput telah mencatat sejarah. Alis matanya tebal terlukis rapi di dahinya yang lebar. Dia menyerangai begitu dekat ke kursi, lalu mengangguk pelan menyapa seorang wanita setengah tua yang duduk tercenung di sebelah kursi yang kosong.
“Selamat pagi, Nona, kursi…” serak suara lelaki tua itu dan ternggorokannya seperti tersekat tak bisa meneruskan kata-kata sesaat setelah melihat si wanita itu membuang muka. Tas hitam itu didekapnya, menjaga degup dadanya yang sempat terusik.
“Sama…dimana-mana sama …” gumam lelaki tua itu seraya menjatuhkan pantatnya di kursi, sebelah tangannya membuka kancing baju bagian atas dan mengibas-ibas menahan gerah.
“Anda mau ke kota ?” tanya si lelaki membuka percakapan, lain dari kebiasaan penduduk kebanyakan. Dia orang asing yang tak tahu tradisi baru di kampung itu ? Oh, bukan, dia telah tua saja rupanya.
“Maaf, saya tak ingin bicara…” ketus si wanita.
Lelaki tua itu terkekeh.
“Bandot tua memang tak sepantasnya mengajak bicara seorang gadis cantik seperti anda, Nona ! Tapi jangan salah, bertanya belum tentu ingin mengajak ngobrol atau mengobrol pun tak selamanya mesti diawali dengan bertanya ya ‘kan ?”
Wanita itu diam, lelaki tua melirik dan tersenyum pahit. Matanya tiba-tiba merebak memandang titik di atas langit-langit stasiun itu, menerawang, menangkap bayangan yang sekelebat muncul lalu menghilang kembali. Wanita menoleh melalui sudut matanya, ketika si lelaki terbatuk menahan asap rokok yang menyengat.
“Kasihan!” cibir si wanita, lelaki tua itu tetap tak acuh, tasnya semakin didekap erat seolah pada tas itulah ia akan dan selalu menemukan kedamaian.
“Pagi ini cerah sekali, sepertinya saya menjadi muda kembali. Hanya sayang manusia sekarang sudah tak tahu bagaimana menyapa karunia Tuhan ini. Asap rokok, polusi kendaraan dan ah …” Lelaki tua itu kembali terbatuk, sementara si wanita menutup mulutnya menahan tawa.
“Anda jangan tertawa!” ketus lelaki tua itu kasar.
“Mau tertawa atau tidak, itu bukan urusan. Kita di sini, sama-sama sebagai penumpang, sederajat, dan saya ingatkan jangan sekali-kali anda melarang apa yang orang lain lakukan. Kita bukan manusia yang hidup di jaman Syam lagi. Kini kita telah lahir dengan dunia baru…”
“Tapi saya tersinggung !” umpat lelaki tua itu. “Saya batuk bukan krena sering minum alkohol atau banyak meroko, saya batu lantaran korban masa lalu, Nona ! Mestinya anda tahu, bila tak ada pertempuran dahulu, mungkin anda tak akan pernah bebas seperti sekarang ini. Pertempuran suatu jalan untuk menghentikan saling curiga diantaa keturunan Syam, dan hasilnya memang terasa sekarang ini. Di sini tak ada lagi saling bunuh, karena curiga atau dendam. Pertempuran memang telah selesai kemarin…”
Karuan saja si wanita merenung semakin dalam begitu lelaki tua di sebelahnya terdiam karena terganggu batuknya yang terus menggoda.
“Dan sayalah korban pertempuran itu, Pak Tua !” seragah si wanita dingin. “Begitu menyakitkan ! Anak saya hilang, suami tak diketahui rimbanya. Saya benci pertempuran, karena itu bukan cara untuk menghentikan benci dan dendam. Pertempuran justru akan membuat dendam baru, saling curiga baru, bahkan mungkin lebih hebat. Mungkin orang sejaman anda, Pak Tua, telah hilang dendam dan saling curiganya, karena terhalang kematian atau karena malu dilucuti. Tapi istri-istrinya, anak-anaknya, cucu-cucunya, cicit-cicitnya yang merasa kehilangan akan hilang pula dendamnya ? Oh, tidak ! Tidak, Pak Tua. Justru semuanya akan membangun dendam baru sejak mereka dalam rahim…” terbata-bata si wanita itu bicara tertahan kerongkonganya yang mendadak kering. Pundaknya tiba-tiba terguncang, menangis sesenggukan, ada dendam baru terpancar dari sorot matanya yang memerah. Lelaki tua itu termangu.
Penumpang makin sesak karena kereta terlambat datang, udara makin tak nyaman. Dari seberang seorang wanita belia sibuk membawa barang-barang yang dipak dalam dus, napasnya tersengal dibebani bawaan yang melebihi kapasitas tenaganya itu. Dus paling besar disimpan tepat di depan lelaki tua itu, hanya sekilas orang melihat kedatangan gadis belia itu, tak ada niatan untuk menyapa apalagi menolong mengurangi bebannya. Wanita belia itu menjatuhkan pantatnya ke atas dus yang tergeletak di lantai, kancing bajunya dibuka dan masyallah, ia tak peduli dengan rahasia dibalik bajunya itu tidak juga terlihat rikuh.
“Ya, Allah, udara kok makin panas saja…” keluhnya sambil tak henti mengibas-ibaskan tangannya. “Dulu panas dengan asap mesiu, sekarang panas dengan asap industri, tak ada bedanya, sama-sama memusingkan. Seperti semua lelaki, sama memusingkan. Anda tahu, tante, tadi pagi di terminal ditemukan seorang bayi mati dekat onggokan sampah. Jelas lelaki yang salah, kalau saja mereka bertanggung jawab tak akan ada kejadian bayi dibuang. Laki-laki memang ingin enaknya saja, belum kasus perkosaan, pembunuhan, penculikan … dan pelakunya, semua lelaki !”
“Stop, cukup, Nona, tak perlu dilanjutkan !” sergah lelaki tua itu tersadar dari lamunannya begitu wanita belia yang baru datang itu ngoceh membuang kekesalannya. “anda tidak sopan, ini tempat umum, Nona. Dan bicara seperti itu memang mengganggu ketertiban, bisa mengundang kecemburuan dan ini akan mengancam keselamatan anda sendiri, Nona !”
“Sopan ?!” gadis belia itu mencibir. “saya tak peduli, sopan atau tidak itu kan urusan saya, pak Tua. Saya tahu kini bukan jaman anda tua, karenanya kini kesopanan hanya barang antik yang layak disimpan di museum. Sopan atau tidak sekarang bukan ukuran, yang menjadi ukuran sekarang seberapa jauh kita bisa hidup mandiri. Titik.”
“Benar, Nona !” sambuh wanita setengah tua menimpali.
“Maaf, tante, saya bukan nona tapi nyonya. Sekali lagi, nyonya…”katanya seraya tersenyum lengkap dengan kerdipan mata yang hanya dimengerti ia dan kebanyakan wanita sejenisnya.
“Ya, benar, nona…eh nyonya …. ?”
“Noorma Al-Alim binti Kursudi Abdul bin Durman Hik…”
“Benar, anda benar Nyonya Noorma. Kita tak usah repot-repot memikirkan kesopanan apalagi bagi saya … “
“Nama tante ?”
“Nadia !”
“Hanya itu ?”
“Nama kepanjangan barangkali nona … “ timpal lelaki tua yang entah kenapa selalu saja merasa dirinya bagian dari percakapan saat itu.
“Tidak ada !”
“Kenapa ?”
“Karena kita sebagai wanita bisa dan harus bisa mandiri, Nyonya. Apalagi bagi saya yang ditinggal mati suami, kita harus bisa membuktikan diri untuk mandiri dan saya tak ingin memakai nama suami. Memakai nama suami berarti membonceng, jelas hal ini tidak mandiri…” Nadia menerangkan. Noorma tercenung, mencoba mencerna kata-kata teman bicaranya itu. Lelaki tua entah kenapa tiba-tiba saja merasa perlu untuk terkekeh.
“Anda wanita-wanita lucu yang pernah saya temui dan lebih cocok hidup di planet lain, bukan di sini. Dan saya tahu, itu semua anda lakukan karena anda telah dan tak berhasil menjadi wanita yang sesungguhnya…” jelas si lelaki masih terkekeh. Noorma dan Nadia melotot, tersinggung dengan kata-kata si lelaki itu.
“Anda telah menghina kami, Pak Tua !” sergah Noorma.
“Menghina ?” tanya si lelaki terbelalak. “Bukankah menghina itu hanya ada dalam kamus orang-orang yang menjunjung tinggi kesopanan, Nona ? Sementara anda sendiri ?” tanya si lelaki itu tak lepas dari senyum sinisnya.
“Maksuda anda ?”
“Nama saya Makmur bin Suheb bin Ajidwipamarguna bin…”
“Cukup pak Makmur, nama anda terlalu panjang, kayak…euhm..maksud saya begini …”
“Maksudnya bagaimana Nona … “
“Nyonya !”bentak Noorma. “anda masih bisa mendengar bukan ?”
“Bagi saya nyonya atau nona tak penting karena hanya ada satu pilihan, seorang wanita dikatakan nona bilamana ia seorang istri pertama yang syah dan keman-mana didampingi suaminya. Bagi istri yang kedua dan seterusnya, tetap akan saya katakan nona, n-o-n-a, karena ia memiliki suami yang telah punya istri. Begitupun ia yang janda atau bepergian tanpa didampingi suami, saya akan menyebutnya nona, saya tidak tahu apakah anda ini istri pertama, kedua, ketiga atau apakah anda ini janda. Yang saya tahu, anda datang ke sini sendirian, karenanya saya akan memanggil anda dengan sebutan nona. Paham ?”
Noorma dan Nadia tercenung. Mereka bertiga tetap diam tak menyongsong ketika kereta api dari arah timur yang akan menuju kota datang. Mereka bertiga hanya menatap penumpang-penum[ang saling berebut masuk, tak ada ketertibatan lagi, semua serba terburu-buru. Penduduk Al-Jabal memang mendadak naik drastis jumlah penduduknya begitu perang saudara itu selesai, dan kini mereka sibuk menikmati udara kemerdekaan.
“Anda berdua tidak turut naik ?” tanya Makmur menggoda lamunan dua wanita berbeda usia itu yang entah kenapa secara tidak sengaja menjadi teman ngobrolnya hari itu.
“Anda sendiri ?”
“Saya ? Tidak !” Makmur menggeleng. “Saya menunggu kereta yang cocok untuk saya tumpangi, kereta yang didalamnya ada seribu kupu-kupu indah…” Noorma dan Nadia saling pandang, kemudian terkekeh mendengar kata-kata Makmur.
Kereta melaju dengan kecepatan tinggi menembus udara kota yang panas, bising, makin tak karuan. Dus besar yang tadi dibawa Noorma sama tak karuan, bahkan dus itu serta-merta berguling-guling padahal tak ada agin, pula tak ada yang menyinggungnya. Makmur terkesiap melihat dus yang terguling-guling sendiri itu, lalu beranjak dari tempat duduknya menghampiri dus ajaib itu. Sesaat dia melirik ke arah Noorma yang terbelalak tak bisa menyembunyikan perasaannya.
“Ajaib, tak ada angin bisa berguling. Kita buka !” gumam Makmur membuat Noorma terlihat semakin salah tingkah.
“Jangan ! Jangan dibuka, itu milik saya dan anda tak punya hak untuk membukanya…” Noorma gugup sekali, dia bergegas menghalangi Makmur yang telah bersiap-siap membuka dus ajaib itu.
“Memang, saya tak punya hak untuk membuka, Nona. Tapi ingat, saya punya kewajiban untuk membuka keajaiban ini, di sini hak tidak berlaku, Nona. Maaf !”
Noorma tertegun melihat Makmur yang tak menghiraukan larangannya, dia terus membuka dus itu, tali-temalinya dibuka satu persatu dan…Makmur terduduk menyaksikan keanehan yang menurutnya luar biasa. Nadia menjerit mengundang orang-orang yang ada di stasiun menghampirinya. Semua mata terbelalak melihat sesosok bayi mungil dari dalam dus yang tidak bernyawa lagi.
Dus beserta mayat bayi itu diamankan. Noorma pingsan. Makmur hanya terduduk menyulam air mata, dia tidak bereaksi ketika dua orang berseragam putih-putih dengan emblim bertuliskan Rumah Sakit Jiwa menghampiri lalu secara paksa membawanya pergi meninggalkan stasiun itu. Kedua orang berseragam putih-putih itu terdengar bergumam:
“Kenapa bapak kabur, padahal belum sehat betul…”
Makmur terus menangis, sementara Noorma dibopong dibawa ke posko, Nadia makin tercenung kemudian menjerit berkali-kali. Sesaat kemudian ia bangkit dan berjalan gontai menelusuri rel kereta api. Di sudut stasiun terlihat ia tercenung, menatap langit tak berawan, lalu tersenyum bahkan tak henti terus tersenyum, sesekali ia menari indah sekali tak henti bersama angin. Nadia berjalan dan terus berjalan menembus kegelapan, entah sampai kapan.
***
Jauhkanlah dirimu dari pebuatan aniaya,
sesungguhnya perbuatan aniaya itu akan mengakibatkan kegelapan
di hari kiamat, dan hindarkanlah dirimu dari sifat kikir yang keterlaluan
karena kebinasaan generasi sebelummu itu disebabkan
mereka memiliki sifat kikir yang keterlaluan
sehingga membawa mereka ke arah pertumpahan darah
serta menghalalkan semua yang diharamkan
(H.R Bukhari dan Muslim)
SAWER, SAWERAN DI PANYAWERAN
Oleh : E. Rokajat Asura
Kenapa beras dibuang-buang, sekarang kan lagi mahal
Itulah short massage service (sms) dari seorang kawan. SMS itu meluncur ketika sama-sama menghadiri upacara adat sawer pernikahan. Sungguh, kalau bukan gara-gara sms tersebut, saya tak akan teringat betapa upacara adat sawer itu sarat makna. Bukankah pada saat saweran, tak hanya beras yang ditabur tapi ada uang logam, kunyit dan beberapa barang lain. Tak sembarang yang ditabur, selain yang memiliki simbol dan mengandung pesan moral. Tapi upacara adat ini menjadi kehilangan greget – selain sebuah rangkaian upacara – salah satu sebab tak dipahaminya nilai-nilai moral yang terbungkus secara simbolis itu. Sehingga upacara adat sawer kalah populer bersanding dengan organ tunggal.
Sawer secara harpiah seperti diungkapkan RH. Uton Muchtar dan Ki Umbara dalam buku MODANA terbitan PT. Mangle Panglipur, 1994 halaman 127-138 adalah menaburkan isi bokor yang terdiri dari beras, kunyit, uang logam dan seperangkat alat makan sirih. Tradisi Sawer dilaksanakan dibawah panyaweran yaitu halaman depan rumah tepat dibawah jatuhnya air dari genteng. Tradisi sawer dilaksanakan setelah akad nikah berlangsung. Secara maknawi, tradisi sawer ini samasekali tidak mengangkat hal-hal berbau mistik. Hanya saja karena bahasa dan seluruh peralatan dalam tradisi ini mengandung simbol-simbol, seringkali dipahami sebagai sesuatu yang membesar-besarkan unsur mistik. Padahal tradisi sawer sebenarnya tidak jauh beda dengan khotbah nikah yang isinya berupa pesan-pesan moral yang dinyanyikan dalam bentuk dangdanggula, asmarandana, kinanti maupun anggana sekar. Petikan kidung sawer di bawah ini dalam lagu asmarandana, salah satu contoh bagaimana pesan moral itu disampaikan :
laki rabi masing tigin
runtut raut jeung panutan
titip cepil sareng panon
sepuh raos dadanguan
tur raos titingalan
putra mantu runtut rukun
Eulis Ujang saaleutan
(rumah tangga harus lurus
harmonis dengan pasangan
jaga telinga dan mata
orang tua tentram pendengaran
serta nyaman pandangan
anak dan mantu selalu rukun
Eulis Ujang selalu bersama-sama)
Dalam tradisi sawer pesan moral untuk kedua mempelai itu tidak saja dalam bentuk kata-kata, tapi juga dalam seluruh perangkat yang dipergunakan dalam upacara adat tersebut. Bunga rampai yang ditabur-taburkan tidak saja dimaksudkan untuk menyemarakkan suasana, tetapi memiliki maksud tersendiri. Dalam hal ini orang tua dulu yang menciptakan tradisi ini, ingin mengatakan kepada kedua mempelai hidup rumah tangga selayaknya bunga rampai, tidak saja terlihat cantik dan serasi, tetapi juga menebarkan wangi. Kehidupan rumah tangga yang menarik dilihat orang lain, serasi dan selalu menebarkan wangi karena tak pernah cekcok secara berlebihan, sebuah tujuan yang mulia. Ketika leluhur kita menabur-naburkan bunga rampai di depan rumah pada saat upacara sawer tidak dimaksudkan untuk menyenangkan ruh leluhur, melainkan secara simbolis sedang menanamkan ajaran bahwa membina rumah tangga harus terus dilakukan agar bisa seperti bunga rampai.
Kunyit yang berwarna kuning tidak ada kaitannya dengan roh-roh halus. Kunyit yang berwarna kuning emas, melambangkan kekayaan dan kesejahteraan. Para leluhur memberi perhatian kepada masalah kesejahteraan ini. Benar, dalam rumah tangga, kekayaan bukan tujuan utama, tapi memegang peranan dalam keharmonisan kehidupan. Orang tua dulu telah berpikir jauh ke depan, betapa masalah finansial ini menjadi salah satu pemantik retaknya rumah tangga. Konsep ini sejalan dalam ajaran Islam, bukankah Nabi Muhammad SAW, jauh hari mengingatkan bahwa kefakiran akan mendekatkan kepada kekafiran.
Beras putih yang ditabur-taburkan bersamaan dengan kunyit dan uang logam, dalam tradisi saweran, termasuk salah satu konsep hidup. Hal ini terkait dengan lingkungan masyarakat yang agraris. Beras dan uang logam yang ditabur-taburkan ke arah penonton secara bersama-sama mengandung arti hidup senang dan banyak rejeki. Harapan semua orang yang dicoba diingatkan pada pengantin yang akan membangun rumah tangga, bahwa mencari rejeki agar banyak dan hidup senang itu harus terus diupayakan, tapi jangan sampai lupa untuk memberi tetangga dan siapa saja yang membutuhkan. Kaya boleh tapi jangan jadi materialistis dan kikir ketika kekayaan itu berhasil diraihnya. Dalam sebuah hadits, sebaik-baiknya seorang muslim adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Seperangkat makan sirih melambangkan kerukunan hidup rumah tangga. Kerukunan itu akan tercapai manakala ada keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Keseimbangan ini tercermin dari komposisi makan sirih yang terdiri dari apu, gambir, jambe, kapol, saga dan tembakau. Menurut para sepuh yang sering makan sirih, apabila komposisi tadi tidak seimbang, disamping tidak nikmat dimakan juga akan menyebabkan pusing. Hal ini menyiratkan bahwa ketidak seimbangan dalam hidup rumah tangga antara perempuan dan lelaki, akan menyebabkan pusing dan tekanan psikologis lainnya.
Benar bahwa kebijaksanaan yang diwariskan orang tua dulu kepada generasi berikutnya adalah kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup. Kepasrahan dan kesungguhan para leluhur menghadapi hidup tercermin dalam berbagai bentuk tradisi, baik yang sifatnya kolosal maupun individual. Demikian pula kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup itu tercermin dalam konsep hidup sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai kembali berangkat tidur malam harinya. Dari kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup itulah, kemudian mewujud dalam perilaku sehari-hari baik ketika berhubungan dengan sesama maupun dengan alam sekitar. Lalu muncul pemahaman bahwa semua benda yang ada di lingkungan itu memiliki kekuatan dan simbol-simbol yang harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat nilai-nilai moral itu diwariskan kepada generasi berikut, tak jarang disikapi secara ekstrim baik yang menerima maupun yang menolak. Kelompok yang menolak, melakukan penolakan secara ekstrim sehingga tidak memberi ruang sedikit pun untuk melakukan telaah. Pada saat menolak, maka tak ada kesempatan untuk menelaah ada apa di balik simbol-simbol itu, sehingga pada akhirnya niat baik orang tua dulu menjadi kabur karena makna yang hakiki tidak sempat tergali. Dan kelompok yang menerima, menerimanya dengan ekstrim pula sehingga tak memberi ruang pula untuk mengkritisi. Kelompok ini menerima dan melaksanakan tradisi semata-mata karena menganggap harus dilaksanakan dan menganggap sebagai kesalahan apabila tidak dilaksanakan. Sikap seperti ini akan menimbulkan tradisi menjadi kering arti, budaya menjadi miskin makna.
Tradisi sawer sepertinya telah berada dalam dua sikap ekstrim seperti itu. Ketika seorang juru sawer membuka saweran dengan menyampaikan sebentuk sajak misalnya, bagi mereka yang menerima tradisi sawer dengan ekstrim menganggap hal itu sebagai bagian dari kekuatan dan dan penghormatan kepada nenek moyang sehingga pantang untuk ditinggalkan. Sementara mereka yang menolak secara ekstrim menganggap pembuka berbentuk sajak itu hanya sebaris kata-kata yang samasekali tidak berarti apa-apa. Coba perhatikan salah satu sajak pembuka sawer di bawah ini :
Bul kukus mendung ka manggung
Ka manggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci neda suci
Pun sapun ka sang Rumuhun
Ka luhur ka Sunan Ambu
Ka Batara Naga Raja
Kula amit ngidung heula
Nyilokakeun nyukcruk laku
Laku nu mundut rahayu
Ngalap lambah nu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Beas diawur-awur tumbal pangurip sajati
Ti pohaci Sang Hyang Sri
Di dangdayang Tresnawati
Menabur-naburkan beras dan uang logam kepada penonton dalam tradisi sawer, hendaknya jangan diartikan sebagai memberi contoh kepada pengantin dan masyarakat (penonton) untuk menghambur-hamburkan uang, beras dan lain sebagainya dengan sia-sia. Sesungguhnya dalam tradisi itu terkandung nilai moral bahwa rejeki itu harus dicari, ketika didapat jangan jadi kikir, hanya memperkaya diri sendiri dan selalu menutup mata dengan kesengsaraan orang lain. Demikian pula dalam syair-syair yang dilagukan juru sawer secara ringkas mengandung tujuan selalu meminta maaf dan harapan kepada Allah SWT sebelum memulai sesuatu, memberi nasihat kepada mempelai wanita bagaimana cara berbakti kepada suami, sebagai pasangan suami istri harus selalu mencari cara agar hidup tentram dan harmonis, mendoakan kedua mempelai agar hidup tentram lahir dan bathin. Wallohu alam.
***
Minggu, 08 Mei 2016
BERBAGI BERSAMA: RADEN PAMANAH RASA
BERBAGI BERSAMA: RADEN PAMANAH RASA: Sejarah atau novel, saya tak peduli! Yang penting buku ini sudah membawa dan memberikan wawasan baru mengenai KASUNDAAN pada zaman Pajajaran...
BERBAGI BERSAMA: TAFSIR WANGSIT
BERBAGI BERSAMA: TAFSIR WANGSIT: “Buku yang cukup layak dibaca untuk menelisik periode terakhir Kerajaan Sunda, terutama dari perspektif kesastraan. Harus dipahami bahwa kar...
TAFSIR WANGSIT
“Buku yang cukup layak dibaca untuk menelisik periode terakhir Kerajaan Sunda, terutama dari perspektif kesastraan. Harus dipahami bahwa karya sastra memang bukan historiografi, namun ada nilai-nilai historis di sana. Buku ini disusun sebagai upaya untuk mencoba menyajikannya kepada khalayak pembaca.”
Prof. Dr. Agus Aris Munandar, M. Hum., Arkeolog Universitas Indonesia
Prof. Dr. Agus Aris Munandar, M. Hum., Arkeolog Universitas Indonesia
RADEN PAMANAH RASA
Sejarah atau novel, saya tak peduli! Yang penting buku ini sudah membawa dan memberikan wawasan baru mengenai KASUNDAAN pada zaman Pajajaran. Saya mengimbau dan merekomendasikan kepada semua Wangsa Sunda yang peduli akan budayanya dan Kasundaan untuk membacanya. Nuhun, Ki Enang!”
Ki H. Dr. Iwan Natapradja, Ketua Umum Yayasan Kedubayaan Sawala Kandaga Kalang Sunda Padukuhan Pakujajar, Ciwidey
Ki H. Dr. Iwan Natapradja, Ketua Umum Yayasan Kedubayaan Sawala Kandaga Kalang Sunda Padukuhan Pakujajar, Ciwidey
Langganan:
Postingan (Atom)