Oleh : E. Rokajat Asura
Cerita tentang mak Leha, itulah satapan pertama saat aku menginjakkan kaki di kampung. Ini memang cerita unik katanya. Cerita tentang mak Leha ini bisa diperoleh mulai dari ja
mban hingga ke langgar. Agak ngeri uga sebenarnya jika langgar dijadikan tempat membicarakan yang tidak baik. Biarlah tempat yang satu ini bebas dari kotornya pikiran manusia, biar tetap agung, biar langgar itu tetap hidup dan khidmat dengan asma Allah saja, jangan terus dikotori, begitu keinginanku.
Ternyata keinginan tinggal keinginan. Buktinya, begitu selesai shalat Maghrib tiba-tiba aku disenggol wak Adun, aku balik menghadap ke arahnya. Wak Adun adalah ayah Bisri teman sepermainan dulu sewaktu masih di sekolah dasar.
“Kau sudah mendengar cerita mak Leha ?” tanyanya sambil bisik-bisik tentu saja. Sesekali pandangannya diarahkan pe ustadz Amin yang khusuk wirid. Aku menggeleng. Maksudku bukan belum mendengar tapi jangan dulu cerita begituan, ini kan di langgar. Nanti saja kalau sudah selesai wirid. Lagipula kenapa hanya tanya begitu, apakah tidak lebih baik bertanya kapan aku datang, kenapa sedikit kurus, bagaimana di kota, aku kerja apa di sana dan pertanyaan lainnya yang lebih terdengar sejuk. Hal itu pasti akan terdengar jauh lebih baik sebagai tanda menyambut kedatanganku, sehingga aku bisa bicara panjang lebar. Paling tidak kalau aku bisa bicara panjang lebar tentang keadaan kota, adik-adik sekampung yang baru lulus sekolah menengah tidak selalu tergila-gila untuk hidup di kota. Aku sendiri sudah merasakan pahitnya, sehingga menurutku lebih mereka mengurus sawah dan ladang, daripada urban ke kota yang hanya akan memperpanjang antrian penganggur.
“Memangnya belum ada yang cerita ?” lanjut wak Adun menunjukan keheranannya. Matanya terlihat menatap tajam ke araku, kening yang penuh keriput itu bahkan semakin jelas garis-garis dalamnya tertempa sinar lampu. Aku mengangguk pelan sekedar memuaskan keheranannya.
“Keterlaluan, padahal ini cerita menarik. Kau kan katanya kerjadi koran, cerita begini bisa masuk koran. Kayak itu lho, Din, di koran yang sering ditempel di kelurahan, banyak cerita yang mirip dengan cerita mak Leha ini. Kampung kita bisa terkenal, apalagi…”
“Apalagi kenapa, Wak ?” aku pura-pura tak mengerti. Wak Adun hanya nyengir memperlihatkan giginya yang hitam dan sebagian ompong itu. “Wak mau masuk koran ya ?” pancingku. Wak Adun serta-merta gelagapan. Aku hanya mesem dibuatnya. Selalu saja begitu kelakuan wak Adun itu, dari dulu memang malu-malu kucing. Supaya tidak terlalu salah menapsirkan tentang diriku, maka aku ceritakan bahwa sebenarnya aku ini bukan wartawan melainkan seorang agen koran.
“Jadi tugasku itu menjual koran, bukan mencari berita. Tapi wak tidak perlu khawatir, kalau ingin nampang di koran sih gampang, saya punya teman yang jadi wartawan…” hiburku. Wak Adun manggut-manggut, namun dari sorot matanya yang tiba-tiba berubah itu aku semakin mengerti apa sesungguhnya keinginan beliau.
“Maksud uwak tidak begitu, Din, cuma saran saja kalau cerita seperti mak Leha itu menarik…” Wak Adun menunduk sebentar, lalu pura-pura berpikir. Aku semakin paham dan sadar bahwa orang dusun memang selalu begitu, pura-pura dan selalu merendah.
“Memangnya ceriat mak Leha itu gimana, Wak ?” aku mengalihkan pembicaraan agar wak Adun tidak terus-menerus merasakan terpojok. Baru juga mau bicara, tiba-tiba ustadz Amin mendeham dan karuan saja wak Adun gelagapan serta pura-pura kembali khusyuk wirid. Aku tak bisa menahan tawa. Ternyata begitu besar kharisma seorang ustadz di kampungku, bahkan cerita adikku beberapa waktu berselang yang sowan ke kota semakin mengukuhkan bagaimana kharisma seorang ustadz seperti ustadz Amin yang mampu menaklukkan berandal yang paling ditakuti di kampung, Akung cs. Dengan diberi wejangan mereka takluk dan berbalik menjadi orang shaleh, insaf untuk kembali ke jalan yang lurus.
Pendekatan model ustadz Amin yang tidak terlalu banyak cakap itulah memang yang diperlukan untuk menggerakkan orang dusun. Orang-orang dusun lebih membutuhkan figur yang shaleh dan banyak amalnya, bukan pemimpin yang hanya bisa bicara sementara amalannya kosong melompong.
Selepas isya, aku pulang bersama wak Adun yang memang satu arah. Sambil berjalan di keremangan malam itu, wak Adun cerita lagi menyambung yang tadi terpotong karena kaget mendengar dehem ustadz Amin.
“Enak bener kelihatannya, Din, kerja di kota, duitnya gede. Bapakmu sekarang terlihat lebih gemuk, emakmu juga tambah montok. Itu kan berkatmu, satu-satunya anak yang rada melek. Di kota kau suka ketemu si Tiyem nggak ?”
“Tiyem yang mana, Wak ?” aku lupa-lupa nama yang disebut wak Adun terakhir itu.
“Masak kau lupa, itu lho keponakannya mak Leha, anaknya si Munaf teman kamu main petak umpet dulu. Katanya anak itu kerja di hotel, sabab bulan mudik, bawa duit gede buat emaknya, pakaian buat keluarga yang lain, termasuk buat mak Leha yang selalu ketiban rejeki keponakannya itu…”
“Saya belum pernah ketemu, Wak ! Kota itu kan luas, penduduknya kerja sendiri-sendiri nggak kayak di kampung kita, Wak. Jadi jangan heran kalau di kota itu sama rumah yang dempet saja seringkali tidak saling kenal…”
“Masak begitu, katanya di kota itu tempatnya orang-orang pinter. Orang pinter kok begitu ya …” Wak Adun seperti tidak percaya pada apa yang baru saja aku katakan itu. “Eh, ngomong-ngomong apa bener kerja di hotel itu gampang, Din ? Padahal si Tiyem itu kan cuma tamata SMP. Apa bisa ?” Wak Adun ragu. Aku diam sesaat.
“Kalau memang gampang, tadinya wak akan titip si Idah, biar ikut kerja di kota, kerja di hotel biara ngisep udara kota, ngikutin si Tiyem itu. Malah Idah pasti akan lebih gampang karena ia kan tamat sekolah guru agama. Lebih tinggi…”
“Nasibnya saja yang sedang mujur barangkali, Wak, dengan tamat SMP saja bisa kerja di hotel.” Aku acuh tak acuh. Pandangan orang tentang kota entah kenapa selalu saja enak dan menjanjikan. Aku benar-benar prihatin.
“Tapi wak kasihan juga kalau nyuruh si Idah ikut sama si Tiyem,” wak Adun serta-merta seperti mau meralat omongannya. Ketika aku menanyakan alasannya, tiba-tiba suara wak Adun agak pelan dan mengedarkan pandangan sebelum ia bicara. Padahal dalam remang malam itu tak akan ada yang bisa dilihat olehnya dengan lebih jelas. Kalaupun ada orang lewat atau berpapasan, bisa dipastikan wak Adun tak akan begitu mengenalinya.
“Itulah, Din, wak sendiri suka heran. Kalau pulang kelihatannya si Tiyem tambah kurus, cantik sih iya, tapi kelihatannya pucat mungkin terlalu capek kali ya. Kalau mikir ke sana, wak sendiri suka mikir mendingan Idah kerja seperi sekarang saja ngajar agama di sekolah inpres itu, ini kan bekal untuk akhirat ya ‘kan, Din ? Kasihan kalau si Idah harus jadi kurus seperti si Tiyem itu, wak terus terang nggak tega…”
“Cerita mak Leha sendiri gimana, Wak ?”
“Oh, ya, wak jadi ingat, padahal tadi di langgar kan wak mau cerita tentang mak Leha, he he he … maklum aja, Din, sudah kolot kali ya, gampang lupa susah inget. Tapi sebenarnya gara-gara ustadz Amin juga yang bikin wak lupa mau cerita itu,” Wak Adun terkekeh. Aku sendiri hanya mesem. Biarlah tidak terlalu ditanggapi agar aku tidak termasuk pada orang-orang yang senantiasa meniup-niup bara itu.
“Akhir-akhir ini mak Leha kan jualan gado-gado dapat modal dari si Tiyem itu katanya. Nah, karena mak Leha menggunakan penglarisan, jualannya laris bener, Din, sampai-sampai dalam waktu singkat terkenal hingga ke kecamatan. Ceritanya suatu hari mak Leha kedatangan tamu dari jauh, mereka ingin merasakan enaknya gado-gado mak Leha katanya. Tahunya sehabis makan gado-gado itu yang seorang kedapatan muntah-muntah, katanya gado-gado mak Leha ada racunnya. Lalu mak Leha digiring ke kantor polisi, ia dibawa ke kecamatan hingga sekarang belum tahu gimana nasibnya…”
“Nggak ada yang mencoba menolong, Wak ?”
“Ki Ulis juga cuma angkat tangan, katanya nggak bisa. Begitu pula Ki Kuwu cuma ngasih keterangan saja kalau mak Leha sudah dipindah ke kabupaten. Kasihan si Munaf sama istrinya, mereka kan tinggal serumah sama mak Leha, sekarang ia nggak ada, ya repot lah. Belum lagi si Tiyem sudah beberapa bulan ini nggak ada mudik. Untung saja si Munaf masih mau turun ke sawah lagi, nggak seperti sedang ada mak Leha, ia kan kerjanya cuma madat di rumah Ki Suta yang jago madat itu. Kita juga cuma bisa bilang kasihan, soalnya nggak bisa nolong selain lewat doa. Tiap malam Jum’at di langgar diadakan doa bersama dipimpin sama ustadz Amin, supaya mak Leha dapat perlindungan Allah dan diberi berkat soalnya ia kan orang shaleh…”
Aku hanya diam. Ada rasa haru terselip di rongga dada.
“Padahal kalau saja….” wak Adun tak kuasa meneruskan kata-katanya, tenggorokannya kering menahan haru rupanya.
“Kalau saja kenapa, Wak ?”
“Ya, kalau saja dia tetap jadi dukun beranak, mungkin musibah ini tak akan menimpanya….”
Aku jadi tersentak mendengar hal itu, bahkan semakin pusing tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada diri mak Leha. Wak Adun diam mematung, tak memberi kepastian juga tidak bereaksi ketika melihat aku menahan rasa penasaran itu. Aku sungguh jadi tambah penasaran. Tiap orang yang ditanya selalu diam.
“Wak mau kan cerita kalau ada wartawan dari kota ke mari ? Memberi keterangan seperlunya, jadi saksi, begitu …”
Serta-merta wak Adun memegang lengan, ia benar-benar gelagapan. Ia wanti-wanti tidak mau jadi saksi katanya, jangan dibawa-bawa. Bila saja malam itu ada bulan menerangi kami, aku bisa memastikan bagaimana wajah wak Adun saat itu. Dari nada suaranya begitu jelas mengandung kekhawatiran yang teramat sang at, aku benar-benar semakin tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi.
“Ja..jadi saksi kan berat, Din, dibawa sampai ke akhirat. Wak takut, wak ingin selamat, wak cerita semua hanya kepadamu. Astagfirullah al-adzim, jangan, jangan sampai wak dipaksa jadi saksi, Din.” Pintanya memelas.
Cerita tengang mak Leha semakin semrawut, layaknya benang kusut. Tadi siang sewaktu di pancuran, kang Sando cerita bahwa mak Leha itu katanya di kampung tetangga telah gagal menolong yang melahirkan, akibatnya ibu itu meninggal, karenanya mak Leha sekarang ini sedang diusut apakah ada unsur kesengajaan atau tidak.
Hanya cerita mang Ihin, adiknya kang Munaf dari lain ibu, yang ceritanya mirip dengan cerita bapak. Mak Leha itu katanya pengedar ganja, barang haram itu katanya titipan si Tiyem yang tiap bulan datang. Kemudian yang membeli orang-orang dari jauh, sehingga agar mak Leha mudah dikenali dan tidak mencurigakan orang lain dikenallah ia sebagai penjual gado-gado.
Suatu hari mak Leha kedatangan dua orang pemuda yang benar-benar ingin makan gado-gado mak Leha, bukan gado-gado yang haram itu. Sehabis makan terjadilah yaitu seorang pemuda muntah-muntah. Konon katanya ini hanya pura-pura saja karena sewaktu orang yang ada di warung sibuk menolong yang muntah-muntah, temannya yang satu lagi masuk ke dalam warung mak Leha menggeledah. Didapatilah beberapa amplop gado-gado haram itu, lalu kedua pemuda itu yang katanya dua orang polisi sedang menyamar mendapatkan bukti otentik tentang dugaan mak Leha pengedar ganja.
Masyallah, aku benar-benar semakin pusing. Ketika wak Adun permisi karena telah sam[ai halaman rumahnya, aku hanya manggut-manggut tak karuan. Pikiranku hanya diisi oleh cerita mak Leha yang semakin hitam pekat itu. Penuh misteri. Cerita mana yang benar, tak banyak yang tahu selain mak Leha sendiri tentunya. Bagiku yang hanya pendengar justru sangat memusingkan. Tak didengar memang terdengar, tak dipikir jelas hal ini menuntut untuk dipikirkan.
Semakin hari masyarakat di kampungku itu tetap ramai dengan cerita tentang mak Leha lengkap dengan persepsinya masing-masing, sebelum cerita yang sesungguhnya benar-benar terbongkar. Cerita dari mulut ke mulut itu memang menyebar lebih cepat dibanding angin. Cerita melalui mulut ke mulit itu terus berkembang, apalagi kalau diberi bumbu sehingga terasa semakin sedap. Sambil berjalan di keremangan malam aku mencoba menghitung bintang. Sulit memang, sesulit mengungkap cerita mak Leha itu barangkali. Hanya aku tak mau bicara kepada siapapun, tidak pula untuk menambah dan mengurangi sebelum cerita yang benar terungkap dengan terang.
**
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berbuat baik kepada tetangga
Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hormatilah tamunya
Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berbicara yang baik-baik saja atau diam
(H.R Bukhari dan Muslim)
***