Pikiran Rakyat Minggu, 3 Nopember 1996 Halaman 7
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
Sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang dan produk terdahulu memang bukan rahasia lagi. Dengan tidak terlalu mengada-ada, pada era post-modernisme dimana kreativitas seseorang semakin baur dan transparan, sikap tiru-meniru atas kesuksesan orang sepertinya telah dilegitimasi. Bahkan jika untuk urusan film atau sinetron kita selama ini berpihak pada Barat, dengan asumsi bahwa produk Barat dari segi kuateknik beberapa langkah lebih maju, di sana tiru-meniru telah pula menjadi “ruh” beberapa produk mereka.
Kita sikapi saja misalnya kesuksesan Mission Impossible yang sekarang dibintangi Tom Cruise. Sebelum diracik dalam format layar lebar, Mission Impossible adalah sebuah serial televisi. Pertamakali ditayangkan CBS sekitar tahun 1966, 24 tahun kemudian ABC pun ikut menayangkan (produksi ulang) dengan beberapa perbaikan dari segi casting.
Produksi ulang (bahkan dengan sengaja meniru) karena produk terdahulunya populer dan laris dalam dunia film atau sinetron, jika masih memberi peluang untuk munculnya interpretasi baru terhadap produk terdahulu itu tentu saja kita bisa segera mengamini. Tanpa bermaksud mengimami Barat, pertimbangan inilah yang tampak jadi ruh pada beberapa judul film atau sinetron yang diproduksi ulang.
Namun jika meniru produk lain atau memproduksi ulang sebuah film atau sinetron, semata karena “gatalan” akan kesuksesan orang lain, sikap seperti ini yang mau tidak mau harus segera ancang-ancang untuk mengambil jarak sebelum mengamininya. Karena biasanya jika melulu mengacu pada sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulu, dengan sendirinya akan mengabaikan apa yang namanya kuateknik dan tak ada keinginan untuk memberi interpretasi baru terhadap produk tersebut.
Coba saja sekarang kita berpindah pandang pada bumi nusantara dalam kondisi booming sinetron sekarang ini, tiru-meniru akan kesuksesan produk lain atau produksi ulang sebuah karya cipta (film atau sinetron), lebih berat unsur “gatal” akan kesuksesan orang lain daripada ingin memberi interpretasi baru. Ketika Si Manis Jembatan Ancol (untuk pertamakali ditayangkan RCTI) ternyata sukses, kita sekrang dijejali produk baru yang nyata-nyata meniru, yakni Mariam Si Manis Jembatan Ancol (Indosiar) dan Kembalinya Si Manis (RCTI). Hanya sayang rating Mariam Si Manis Jembatan Ancol ini hanya (22) jauh dibawah Si Doel Anak Sekolahan (42), bahkan tak berkutik menghadapi produk baru seperti Shangrilla (29).
Kanan Kiri Oke dalam format layat lebar dengan bintang Warkop DKI yang lumayan sukses kala itu, kini diangkat jadi serial di RCTI lewat judul yang sama, dengan pilihan pemain jatuh pada Doyok dan Kadir. Cara yang sama dilakukan untuk judul film atau sinetron layar lebar Semua Bisa Diatur. Namun apakah kedua seri sinetron yang mendompleng kesuksesan produk terdahulunya dalam format layar lebar serta merta sukses ? Kenyataan justru banyak yang sebaliknya. Sementara ini hasilnya baru “alakadarnya” bahkan tak jarang justru makin terpuruk. Jangankan mampu mengulang sukses, yang “alakadarnya” saja keburu kehabisan nafas dan mati.
Novel terlaris Lupus dari Hilman yang jadi booming sebagai novel remaja terpopuler, dari segi popularitas tentu saja menguntungkan. Kini Lupus diangkat pula ke dalam sinetron seri dan ditayangkan Indosiar. Asumsinya tentu sinetronisasi novel tersebut diharapkan akan pula mengulang sukses seperti novelnya. Bahkan agar sinetronnya tidak kehilangan rasa dan idiom-idiomnya, penulis skenarionya adalah juga pengarang novel tersebut. Tapi bagaimana hasilnya, sinetron seri Lupus ini nyaris terpuruk kalau dikatakan gagal. Lupus hanya memperoleh rating (11) atau cuma urutan keempat terbawah dari 20 sinetron lokal terpopuler (SRI 1995 / base : All individuals). Masih lumayan apa yang dilakukan produser Wiro Sableng, yang sama-sama mendompleng popularitas cerita komik (beberapa serinya bahkan telah diangkat ke layar lebar) karya Bastian Tito tersebut memperoleh rating (20). Artinya popularitas sinetron ini bisa mengungguli sinetron yang lebih dahulu lahir yakni Semua Bisa Diatur (11) dan Kanan Kiri Oke (13) yang sama-sama produk domplengan pada pendahulunya yang telah populer.
Sikap “gatalan” akan kesuksesan produk terdahulunya juga dilakukan tidak saja dari film atau sinetron ke sinetron, dari novel dan komik ke sinetron, tapi juga dari sandiwara radio populer. Pertimbangannya yaitu tadi ingin mendompleng pendahulunya yang terlanjur populer. Panji Tengkorak, Wiro Sableng, Si Buta Dari Goa Hantu adalah beberapa sinetron seri yang diproduksi ulang dari film layar lebar kedalam format sinetron dengan beberapa perbaikan. Sawung Kampret, Di Bawah Matahari Bali (sebuah kumpulan cerpen Gerson Foyk), Sengsara Membawa Nikmat, Siti Nurbaya adalah beberapa sinetron seri yang diambil dari buku yang memang telah lebih dahulu populer. Bahkan Salah Asuhan jelas-jelas diambil dari sebuah novel yang justru menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah. Namun nasibnya malah rontok dibanding pendahulunya yang didomplengnya yaitu Siti Nurbaya yang sampai sekarang masih melekat dalam ingatan pemirsa.
Sementara sinetron yang diambil dari sandiwara radio yang sangat populer sekalipun, nasibnya justru malah kalah populer dibanding dengan sandiwara radionya. Bahkan beberapa diantaranya bisa dikatakan gagal dari sisi perolehan rating, yang selama ini jadi andalan sebagai satu-satunya indikator banyak tidaknya acara tersebut ditonton khalayak. Sebut saja misalnya Saur Sepuh, Ibuku Malang Ibuku Sayang, Tutur Tinular maupun Kaca Benggala. Satu hal selain penggarapan yang memang kurang maksimal, adalah adanya imajinasi yang terganggu dibanding dengan sandiwara radio yang sedimikian bebas memberi peluang kepada pendengar untuk mengembara dalam imajinasi (theater of mind).
Kasus rontoknya popularitas (dari perolehan rating) sinetron seri yang meniru atau produksi ulang dari cerita terdahulunya, baik dari layar lebar, novel, kumpulan cerpen, komik maupun sandiwara radio lebih mengacu pada segi penggarapan yang kurang matang. Kita mafhum tentu saja, produksi satu seri sinetron selalu diburu waktu produksi. Diperketatnya limit waktu produksi, tentu saja karena lebih mempertimbangkan soal cost-production. Sehingga kepenasaran khalayak yang telah membaca komik maupun novelnya, telah menonton ceritanya dalam format layar lebar maupun sebagai pendengar sandiwara radio yang setia, samasekali tidak terjawab dan tidak terpenuhi sehingga dengan sendirinya akan kecewa ketika menemukan bentuk sinetronnya yang jauh panggang dari api.
Kekecewaan khalayak tadi semakin kental dengan kurang terperhatikannya unsur-unsur casting pemain, penulisan dari cerita buku maupun komik kedalam sebuah skenario sinetron yang sangat membutuhkan kepiawaian, pemilihan waktu tayang yang kurang tepat, terganggunya kenikmatan menonton karena sisipan iklan komersial yang kurang bagus, serta kurangnya ekploitasi teknologi yang akan menyebabkan kekaguman khalayak penonton. Hal terakhir ini dengan mudah bisa kita temukan pada sinetron seri impor terutama dari Mandarin dan Jepang, sehingga tidak aneh kalau serial impor justru dengan mudah digemari dan ratingnyapun tinggi. Kita bisa menyebut untuk periode April 1996, Maria Cinta Yang Hilang meraih rating (29), Power Rangers (12) atau Pendekar Negeri Tayli (12) langsung melonjak dan bisa disejajarkaan dengan produk lokal yang telah lama ada.
Namun yang jelas ruh dari semua problematika penggarapan produksi ulang atau meniru produk terdahulu tersebut, karena faktor miskinnya kreativitas sejak dari produser, sutradara, penulis skenario sampai kepada crew yang lebih menuntut kepintaran untuk menggagas imajinasi penonton. Dan miskinnya kreativitas sinetron lokal tersebut karena sekadar memburu omzet, bahwa sebuah tayangan lokal harus sekian prosen lebih dari tayangan impor, disamping eksistensi dan sikap stasiun televisi yang justru diburu keharusan kembali modal yang telah dikeluarkan.
Jika iklim produksi sinetron lokal masih belum terbebaskan dari problematika yang sangat prinsipil seperti disinggung di muka tadi, maka apakah artinya sebuah Festival Sinetron Indonesia yang meraup kocek sangat besar itu, kalau pada ujungnya selalu dihadapkan pada problematika klasik seperti nasib perfilman kita tempo hari.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar