Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Selasa, 03 Mei 2016

SELAMAT PAGI, DIAZ

Oleh : E. Rokajat Asura

Namanya Diaz. Manis dan senang bercerita. Seperti kebanyakan anak usia TK selalu bikin gemes. Bagiku makhluk kecil itu yang pertama dikenal ketika menempati rumah ini. Tentu saja lewat pengasuhnya. Dia menempati rumah di hadapan kami satu rumah ke arah kiri tepatnya. Artinya tidak tepat di hadapan rumah kami. Seperti layaknya di kompleks perumahan, rumah disusun berjejer ke samping, dalam bentuk couple. Orang tua Diaz menempati dua rumah sekaligus, kemudian bentuk mukanya dirubah sedemikian rupa sehingga tampak lebih luas dan mewah. Tapi kemewahan rumah itu selalu lenyap dalam pandangan kami, karena hanya makhluk kecil yang lucu dan bikin gemes itulah yang selalu menarik perhatian. Bahkan entah kenapa ketika ketemu sama pengasuhnya, selalu saja terdorong untuk bertanya dan selalu ingin tahu lebih banyak tentang Diaz.
Saat aku berangkat ke tempatku mengajar di salah satu SMP kota ini, terlihat Diaz telah siap di teras dengan seragam taman kanak-kanaknya. Anak manis itu selalu menyapa ; “Celamat pagi Bu Guyu !”. Begitu pula ketika pulang sore hari, Diaz telah siap menunggu. Kadang dia telah rapi dan wangi, tapi sering pula masih terkantuk-kantuk. Kupikir tentu ia baru bangun dari tidur siangnya.
Keakraban aku dengan Diaz sebenarnya yang mempertemukan dua keluarga kami. Kang Danipun jadi akrab dengan papa Diaz, apalagi ternyata keduanya punya kegemaran yang sama yaitu main catur. Tapi karena kesibukan masing-masing, mereka praktis hanya bisa ketemu di setiap akhir pekan, itupun kalau papa Diaz tidak jalan-jalan keluar rumah dan biasanya baru pulang hampir tengah malam. Sesekali aku berkunjung ke rumahnya. Sekalipun hanya sampai teras depan, tapi aku bisa memastikan orang tua Diaz memang orang berada.  Dari teras saat pintu jati sedikit terbuka, akan tampak perabotan tertata rapi. Ada sebuah sofa kulit warna krem serasi dengan cat dinding. Pada garasi yang terletak di samping kanan rumah, orang akan dengan mudah menemukan sedan keluaran baru yang harganya tentu sangat mahal. Menurut kang Dani, papa Diaz seorang insinyur sipil dan kerja di sebuah BUMN, mamanya seorang sarjana tapi lebih senang menanggalkan kesarjanaanya dan hanya mengurusi rumah tangga. Karena menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya karir paling tepat bagi seorang wanita, dari kacamata manapun kita memandang katanya.  Diaz adalah anak pertama mereka. Tidak aneh kalau tampak sangat overprotective. Pengasuhnya pernah bilang padaku, hanya ke rumah kami anak itu boleh keluar rumah. Tidak pernah lebih jauh dari itu selain antar jemput ke sekolah.
“Celamat pagi, Bu Guyu !” sapa Diaz suatu pagi. Aku tersenyum dan jongkok lalu mencium anak manis itu. Ia melambaikan tangan ketika aku berjalan meninggalkannya. Setiap pagi sejak pindah ke rumah ini, aku jadi punya kerjaan baru menyapa dan mencium anak tetangga kami itu. Kang Dani sering sedikit menyalahkanku akan kemesraan yang terjadi setiap pagi itu. Bukan kenapa-kenapa, dari kemesraan itu buntutnya aku jadi terlalu perasa akan status rumah tangga kami yang sampai hari ini belum dikaruniai momongan. Sejak sering ketemu Diaz, kenapa jadi sering uring-uringan hanya karena belum punya anak, bilang kang Dani suatu malam. Aku akui malam itu rumah kami terasa sunyi. Di televisi tak ada satupun acara yang menarik perhatian kami, kemudian kami memutuskan untuk segera tidur. Tapi di dalam kamar justru muncul khayalan-khayalan yang berujung pada protes suamiku seperti tadi.
Pagi-pagi berikutnya aku tetap menikmati pertemuan singkat itu. Aku tak peduli pada warning dari kang Dani, yang nggak mau aku berubah melankolis gara-gara akrab dengan anak lucu itu. Bahkan setiap sore aku demikian semangat saat melihat gerbang kompleks perumahan kami. Seratus meter berjalan lurus dari gerbang utama, kemudian belok kanan melewati beberapa rumah sampai ketemu jalan, belok kiri dan melewati tujuh rumah, di sanalah aku selalu ketemu Diaz. Aku selalu rindu dengan senyumnya, suaranya, dan kebiasaan bercerita tentang segala hal yang menurutnya baru.
Suatu sore ia cerita kalau bisa menghitung sampai sepuluh. Iapun mulai menghitung dengan menggunakan jari-jemariku. Sore yang lain ia cerita kalau telah bisa berdoa sebelum tidur. Lalu dengan patah-patah iapun mulai melantunkan doa sebelum tidur. Aku benar-benar senang melihatnya. Aku peluk anak manis itu dan dihujani dengan ciuman. Ciuman kebanggaan dari seorang ibu. Kalau saja pengasuhnya tidak mengingatkan bahwa Diaz akan dimandikan, aku akan lupa dan menganggap  bahwa anak manis itu adalah anakku sendiri. Anak kebanggaanku. Entah kenapa aku bisa berpikiran setolol itu. Apakah karena aku sendiri belum dikaruniai seorang anak atau karena kami terlampau saling akrab.
Ketika aku ceritakan semua kejadian itu pada kang Dani, betapa marahnya ia. Bahkan berjanji akan mengusir anak itu kalau aku masih terlihat berakrab-akrab dengannya. Entah kenapa aku hanya menangis sendiri. Aku tak mau makan malam, tak menonton televisi, tidak memeriksa pekerjaan anak-anak, juga tidak berkeinginan untuk mandi. Aku hanya diam di kamar. Kang Dani mungkin menganggap semua yang aku lakukan itu adalah cara protesku pada rencana “gila”-nya. Entah jam berapa saat itu, ketika ia masuk ke kamar dan berbisik kalau ia tak akan mengusir Diaz. Mana mungkin aku melakukan semua itu, ia anak orang lain. Aku tak akan setolol itu, ulangnya. Perasaanku berbunga-bunga. Entah kenapa.
Sebenarnya aku tak akan mau mendengar cerita pengasuh Diaz, kalau saja tahu ceritanya itu akan berbuntut rasa kecewa di hatiku. Pengasuhnya bilang, mama Diaz sering dibuatnya kesal karena Diaz sekarang ini tak mau digendong. Saat Diaz nangis katanya, mamanya tak bisa membuat anak itu diam. Baru ketika pengasuhnya berjanji, akan membawanya ke “bu guyu”, anak itu mulai berangsur-angsur diam.
“Nggak tahu bu Guru, Diaz juga sering mengigau saat tidur kalau sehari saja tidak ketemu ibu.” cerita pengasuhnya saat aku kembali dari liburan catur wulan. Kebetulan saat liburan itu aku diijinkan kang Dani untuk diam di rumah mama. Sore harinya Diaz datang, baru selesai mandi dan tercium wangi bedak bayi. Aku demikian rindu mencium wangi seperti itu. Tapi tentu saja tidak suka mendengar cerita pengasuhnya tadi. Kalau Diaz sampai mengigau karena tidak ketemu aku, tentu ini artinya telah membuat ia menderita. Terus terang aku tak ingin mendengar ia menderita. Ia adalah bagian dari kebahagiaanku. Kalau ia sebuah pualam, maka keindahannya yang selama ini aku nikmati, karenanya aku tentu akan bertanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan merawat pualamku itu.
Aku samasekali tak pernah berpikir bahkan untuk memimpikannyapun tidak punya keberanian, bahwa kejujuran pengasuh Diaz tempo hari itu, adalah awal dari kepahitan yang harus aku terima. Ya, kepahitan yang berawal karena hilangnya pualamku.
Seperti pagi-pagi sebelumnya aku berangkat kerja. Di halaman Diaz menyambutnya dengan ocehan “celamat pagi, Bu guyu !”. Akupun menjawabnya “selamat pagi, Diaz !”. Iapun tersenyum, lalu merentangkan tangan mungilnya. Seperti kebiasaanku selama ini, aku sedikit berjongkok dan menciumnya. Tapi saat kami mempertemukan rasa kangen itu, tiba-tiba terdengar suara mamanya membentak.
“Mbak Diaz ! Masuk !”
 Anak itu ketakutan lalu menghambur ke arah pengasuhnya. Entah apa yang telah terjadi. Tapi saat aku mengangguk pada mamanya yang berdiri kukuh itu, ia samasekali tak membalasnya. Bahkan aku menangkap roman tidak senang. Akupun berlalu. Benar-benar sakit hati rasanya. Tapi rasa sakit itu aku coba pendam dan benar-benar aku kendalikan agar jangan sampai membuatku terpuruk. Perasaanku sedikit lega saat menangkap rasa bersalah yang terpancar dari sorot mata pengasuhnya. Aku bisa mereka-reka bahkan jadi teringat kembali pada cerita pengasuhnya itu. Cemburu ? Ah, masak iya, bukankah sebenarnya aku yang harus cemburu pada mereka ? Keluarga yang menyenangkan. Tidak saja berlimpah kekayaan, tapi juga dikaruniai seorang anak selucu Diaz.
Sore itu aku tak menemukan Diaz. Bahkan keesokan harinya saat aku berangkat, juga tak menemukan anak manis itu lagi. Besoknya dan setiap pagi juga saat sore hari, aku tak pernah melihatnya lagi. Sakitkah ia ? Aku benar-benar merasa kehilangan. Berkali-kali aku ingin menelpon untuk segera menanyakan kabar tentang Diaz. Tapi setiap itu pula aku teringat sorot mata penuh benci dari mamanya. Jemariku tak punya kekuatan untuk memijit nomer-nomer itu. Akhirnya aku hanya melamun dan mengutuki diri sendiri. Sejak kejadian itu aku seperti kehilangan semangat. Menyambut pagi rasanya lemas bahkan kalau saja tidak mengingat tanggung jawab dan arti kehadiranku di ruang kelas, pasti aku akan memilih diam menyendiri di kamar. Setiap pulang dan melihat gerbang, selalu muncul sedikit harap, mudah-mudahan sore ini aku bisa melihatnya. Harapan itu tumbuh dan menjalar pada seluruh aliran darah, membuat langkahku bersemangat. Aku jadi ingat ketika rasa kangen pada kang Dani saat kami pacaran tidak terkendali, demikian sukacita ketika melihat sosoknya dan sangat kecewa ketika yang dinantikan tak kunjung tiba. Kekecewaan seperti itu pula saat aku tak menemukan Diaz di halaman.
Tanpa Diaz, aku seperti kehilangan sebagian jiwaku. Mungkin kang Dani melihat dan menyadari setiap perubahan itu. Suatu malam ia memaksaku ngajak jalan-jalan. Kami memilih sebuah café yang agak sepi, duduk di kursi di sudut ruangan yang menjorok. Di sanalah kang Dani mulai bicara.
“Aku paham kamu merasa kehilangan, tapi sebenarnya kalau aku boleh jujur, aku sangat bahagia.  Paling tidak dengan kejadian ini akan mengembalikan kesadaran kamu yang selama ini hilang.”
“Enak aja ngomong. Sejak kapan aku kehilangan kesadaran ?” protesku.
“Sejak kamu akrab dengan Diaz. Kalau kamu mau jujur, sebenarnya kamu sedang berada dalam dunia angan-angan. Itulah kenapa aku tak setuju, kamu terlalu akrab dengan anak tetangga itu.”
“Mestinya kamu tidak bicara seperti itu, Dan. Coba sedikit mengerti tentang perasaanku sebagai istrimu … “
“Yang belum dikaruniai momongan…” kang Dani melanjutkan. Aku diam. “lima tahun kita menikah, dan belum punya momongan. Selama ini kita sepakat untuk menunggu dan selalu menunggu, dengan tanpa harus terlalu melankolis. Tapi kenapa setelah kamu ketemu Diaz, kamu jadi kehilangan kontrol ?”
“Kamu tidak paham !”
“Tentang apa ? Tentang perasaan wanita ? Tentang kesepian seorang ibu yang tidak mendengar rengek seorang bayi ? Tentang status perkawinan yang baru akan dinilai lengkap dengan kehadiran anak ?”
“Kamu tidak paham ! Aku menyesal masuk café ini. Kalau tahu akan dimarahi seperti ini, pasti akan aku tolak.” Aku menghabiskan minuman yang tersisa, melap bibir agar tidak belepotan dan angkat kaki tanpa menunggu reaksi suamiku. Tapi di pelataran parkir aku merasakan kesepian yang teramat sangat. Beruntung kang Dani memelukku erat dan aku membenamkan muka ke dadanya.
Entah apa komentarku pada malam di café itu, yang jelas tak bisa mengobati rasa kangenku pada Diaz. Sore hari lewat gordyn aku melihat sedan keluar dari garasi, di jok depan jelas hanya ada mama Diaz. Ia nyopir sendiri. Ketika aku melihat dengan jelas, di mobil itu tak ada Diaz, tiba-tiba muncul keberanianku untuk menelpon. Telpon diterima oleh pengasuhnya. Entah kenapa aku jadi gugup.
“Sore, Mbak. Diaz ada ?”
“Dari mana ?”
“Bu Guru !”
“Lagi tidur, Bu !” katanya pelan. Aku tercenung dan teringat kembali cerita pengasuhnya ketika aku liburan di mama, Diaz sering mengigau menyebut namaku. Apa sekarang juga masih seperti itu ?
Klik ! telpon ditutup dari arah sana. Mungkin karena terlalu lama menunggu dan tak mendengar suaraku lagi. Kalau kejadian itu dilakukan karena mama Diaz cemburu pada keakrabanku dengan putrinya, selayaknya aku minta maaf. Tapi bagaimana caranya, inilah yang selalu membuatku bingung dan buntu. Kalau aku tiba-tiba datang dan minta maaf karena terlampau akrab dengan Diaz, bukankah akan semakin mengukuhkan praduganya selama ini bahwa kami memang sangat akrab. Kalau harus bertanya kenapa tidak pernah menemukan Diaz lagi, bukankah ini ketololanku yang nyata. Tentu akan dengan enteng ia bicara, apa pedulinya aku pada putrinya ? Lagi-lagi aku tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Suatu pagi seperti biasa aku berangkat kerja. Setiap pagi dan sore, aku sengaja membuang harapanku akan melihat Diaz lagi. Aku melangkah keluar rumah tanpa memperhatikan kiri kanan, terutama saat melewati rumah Diaz. Aku tak ingin berangan-angan lagi. Karena aku sangat sadar, angan-anganku itu pada akhirnya akan mengakibatkan aku menderita.
“Celamat pagi, bu Guyu !”
“Diaz ?” aku tersentak dan bersorak mendengar suara putri mungil itu. Aku berbalik dan betapa kagetnya menemukan Diaz berdiri di balik pagar besi yang kokoh dan tinggi. Tangannya yang mungil mencengkram terali pagar, dan wajahnya ditekan pada lubang diantara persilangan terali pagar itu, seperti ingin bebas dari benda yang menghalanginya. Aku benar-benar tak kuasa selain mematung untuk beberapa saat.
“Celamat pagi, bu Guyu !” dengar ia mengulanginya lagi.
“Selamat pagi, Diaz !” jawabku serak. Lalu bergegas pergi tak ingin melihatnya lagi. Aku tak ingin melambungkan kembali angan-anganku. Tak tak mau melihat wajah manis putri khayalku itu terkerangkeng terali pagar yang kokoh dan tinggi.
“Bu Guyu, jahat !”
Aku mendengar dengan sangat jelas. Tapi entah suara siapa. Suara Diazkah ? Atau suara nuraniku sendiri ? Entahlah !!
***

Janganlah kamu sekalian satu sama lain saling hasad menghasad
tipu-menipu, benci-membenci, jauh menjauhi dan janganlah merebut
atau menjual barang yang sedang dijual atau dibeli orang lain
Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara
seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain
tidak boleh ia menganiaya, enggan membelanya dan mendustainya
dan menghinanya
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar