Sebagai seorang penyanyi Dangdut, Mirna tak seberuntung Evi Tamala. Ia juga tak sehebat Iis Dahlia. Mirna masih untuk kelas daerah, sementara Evi Tamala dan Iis Dahlia tingkat nasional. Tapi cita-cita untuk jadi seorang penyanyi hebat, barangkali lebih dari Iis Dahlia dan Evi Tamala. Mirna lahir dan besar di kota kelahirannya, jauh dari hiruk-pikuknya kota Jakarta. Bukan tak ada niat hijrah ke ibukota, tapi tak punya keberanian dan tak mendapat restu dari kedua orang tuanya.
Padahal dilihat dari suaranya yang merdu, mestinya Mirna bisa jadi penyanyi Dangdut hebat. Paling tidak sudah harus masuk ke dapur rekaman. Ia memang selama ini sering masuk dapur, tapi bukan untuk rekaman. Ia masuk dapur untuk bikin sayur dan sambel pete. Kasihan Mirna. Ia punya kemampuan, tapi tak ada hokki. Padahal kedua orang tuanya sejak kecil sudah membantu agar Mirna bernasib mujur. Konon, ketika memberi nama, kedua orang tuanya telah menghitung agar jatuh pada ‘naptu’ yang baik. Kemudian menjelang remaja, selalu disuruh mandi air kembang. Tapi itulah nasib yang belum berpihak pada Mirna. Ia hanya jadi penyanyi Dangdut dari satu hajatan kecil ke hajatan kecil lainnya, hanya manggung dari satu kampung ke kampung lainnya, dengan bayaran alakadarnya pula.
Suatu hari ia pernah mendengar teman-teman sebaya bercerita tentang penggunaan susuk. Tidak hanya satu orang temannya yang mengaku pernah menggunakan susuk. Bahkan ia sendiri mengantarkan temannya ke seorang yang ahli di bidang susuk. Susuk itu dimaksudkan agar orang lain senang dan memiliki sifat pengasihan.
Dari sekian banyak temannya yang menggunakan susuk, semuanya mengakui akan keberhasilannya. Melihat keberhasilan itu, Mirna menjadi tertarik untuk menggunakan susuk. Namun yang menjadi persoalan adalah dana. Dana untuk memasang susuk ke tempat orang pintar temannya itu cukup mahal. Sementara itu Mirna, bukan tergolong orang berada, tidak akan mampu membayarnya. Jangankan untuk membiayai susuk, untuk makan saja, orang tuanya sudah kewalahan.
Bagi Mirna susuk adalah sebuah cara agar ia cepat memperoleh ketenaran. Terdorong oleh keinginan menyenangkan keluarga, akhirnya ia berusaha mencari uang yang diperlukan untuk membiayai susuk. Ia pergi ke teman dekatnya, tapi tidak juga ada yang mau memberi pinjaman. Padahal ketika bertanya pada orang pinter, memang disebutkan kalau ingin maju, Mirna harus segera punya penglaris. Mendengar keterangan orang pinter tersebut, baik Mirna maupun kedua orang tuanya sama-sama setuju.
“Mestinya bapak usaha, bantu Mirna, agar jadi laris !” desak ibu Mirna.
“Ya, aku juga sedang berpikir seperti itu. Tapi harus usaha apalagi ? Kau barangkali punya simpanan barang sedikit, Mir ?” bapaknya berpaling pada Mirna, yang baru saja meminum wedang jahe dan ramuan tradisional lainnya untuk menghaluskan suara.
“Ya, bapak, aku punya simpanan dari mana ? Honor setiap manggung kan selalu dikasihkan sama bapak. Aku hanya minta sisanya untuk beli bedak dan lipstik. Itu saja !”
Mendengar jawaban Mirna seperti itu, ketiganya merenung. Memang sulit mencari uang untuk membayar maskawin, agar Mirna ditanami susuk. Biar laris. Kalaulah sudah laris, tentu harapan untuk menembus dunia rekamanan akan jauh lebih gampang.
Seminggu setelah pembicaraan itu, akhirnya bapak Mirna mendapat pinjaman dari seorang rentenir. Maka berangkatlah Mirna bersama bapaknya ke orang pinter, yang katanya bisa menanamkan susuk dengan harga maskawin yang tidak terlalu besar.
Menurut orang pinter, susuk itu harus ditanam di paha dan pantat. Awalnya Mirna ngeri juga. Masak harus dipasang di paha dan pantat, protesnya. Kedua tempat itu kan termasuk daerah rawan. Tapi ketika orang pinter itu menyebutkan bahwa di kedua tempat tersebut merupakan tempat yang paling cocok, akhirnya Mirna mengalah. Di paha dan pantatnya sekarang dipasang susuk. Entah bagaimana cara memasangnya, Mirna sendiri tak memperhatikan dengan jelas. Ia sendiri merasa risih, ada yang memegang paha dan pantatnya.
Setelah menggunakan susuk, Mirna jadi lebih lincah di atas panggung. Ia jadi semakin dahsyat goyangnya, dan selalu mengumbar senyum pada siapapun. Sejak saat itu ia jadi semakin laris. Kini tidak hanya dikenal di kampung-kampung, tapi juga telah merambah ke kota kecamatan bahkan pernah beberapa kali manggung di kabupaten. Sekali waktu pernah manggung bersama artis dangdut ibukota atas undangan satu partai politik. Tentu saja Mirna dan orang tuanya semakin bahagia. Paling tidak pemasukan dari hasil menyanyi itu semakin banyak.
“Kamu sekarang jadi hebat. Susuk itu benar-benar ampuh ya, Mir ?” tanya bapaknya suatu hari saat Mirna kosong tidak manggung.
“Lha, iya, dong, Pak, buktinya aku semakin laris !” Mirna tersenyum.
“Syukurlah !” ibunya ikut bicara.
Begitulah roda keberuntungan sekarang sedang berada di tangan Mirna. Setiap manggung selalu banyak penonton. Tidak aneh kalau Mirna semakin banyak diundang, dan semakin laris. Suatu hari ia harus manggung di salah satu hajatan orang kaya di kampungnya. Tidak tanggung-tanggung, Mirna dan grup Dangdut yang membawanya manggung sejak pagi sampai sore, kemudian disambung lagi dari sehabis Isya sampai tengah malam. Nah, ketika break Mirna dan kawan-kawan makan sepuasnya. Segala makanan disodorkan. Maklum untuk menjamu artis terkenal. Saat makan itulah, entah kenapa Mirna begitu tertarik sama jengkol.
“Hati-hati, Mir, jangan terlalu banyak makan sambel. Apalagi makan jengkol bisa-bisa suaramu parau, susah nanti malam nggak bisa nyanyi lama.” Pemimpin grup Dangdut itu memberi saran. Mirna mengangguk. Ia terus makan dengan lahapnya. Beberapa buah jengkol itu dicocolkan ke sambel dan dilahapnya dengan nikmat. Selesai makan Mirna mulas-mulas. Tentu saja grup Dangdut dan empunya hajat jadi kalang kabut. Bagaimana kalau Mirna nanti malam tak bisa nyanyi, gara-gara terus pingin ke belakang. Padahal berita Mirna akan manggung malam nanti, sudah tersebar kemana-mana. Berbagai upaya dilakukan, tapi tetap saja, setiap sepuluh menit Mirna harus ke belakang, mencret-mencret sampai-sampai wajahnya nampak pucat. Beruntung ada seorang dukun pinter, ngasih resep, dan setelah ke belakang untuk terakhir kalinya Mirna sembuh.
Malampun tiba dan Mirna manggung dengan sangat memukau. Siapa yang akan menyangka kalau beberapa jam sebelum manggung, artis itu mencret-mencret. Tepukan demi tepukan terus menggema, suitan dan sawer terus mengalir. Semakin malam semakin dahsyat. Mungkin karena kecapekan, setelah pentas itu dikabarkan Mirna sakit. Acara manggung pun banyak yang ia batalkan.
Selang beberapa Minggu, tawaran jadi sepi kembali. Mirna curiga jangan-jangan susuknya sudah mulai kurang ampuh. Akhirnya Mirna pergi ke orang pinter yang ngasihnya. Tapi betapa kagetnya ia, karena ternyata orang pinter yang menanamkan susuk itu sudah tidak ada di rumahnya. Rumahnya disita polisi dan ia sendiri harus ditahan. Tuduhanya terbukti, ia dengan sengaja memasang susuk palsu. Ternyata yang selama ini ia pasangkan bukan intan, tapi hanya perhiasan sepuhan. Konon kalau tidak cocok bisa membahayakan. Mirna dan ayahnya tentu saja kaget. Kenapa bisa terjadi demikian. Kalau memang palsu, kenapa Mirna jadi laris ?
Masih dengan tanda tanya, mereka akhirnya pulang. Di sebuah korban diberitakan, seorang pemasang susuk yang tengah diperiksa polisi mengaku jujur, ia selalu memasang susuk di paha dan pantat karena ingin melihat daerah sensitif secara leluasa. Sialan ! Mirna benar-benar mengumpat. Lebih kaget lagi ketika ia datang kepada orang pinter yang lain, ternyata susuk yang ditanam di paha dan pantatnya itu samasekali bukan susuk selain sebuah paku payung. Kalau tetap dibiarkan bisa berkarat dan membahayakan keselamatannya. Akhirnya susuk itu dicabut.
Mirna terus menyesal. Kalau memang susuk itu susuk palsu, kenapa ia selama ini laris ? Barangkali Mirna lupa. Setelah ia dipasang susuk, muncul keberanian yang luar biasa. Dengan keberanian itu pula ia tak sungkan untuk goyang, dan bisa mengeluarkan suara emasnya dengan leluasa. Apa karena kebebasan bernyanyi dan bergoyang itu yang memuaskan penonton ?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar