Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Selasa, 31 Mei 2016

BUMI MAKIN SEMPIT

Cerpen : E. Rokajat Asura (Dipublikasikan di Pikiran Rakyat Minggu, Juli 1993)
BUMI bulat makin lapang. Su tersenyum. Alhamdulillah, betapa indahnya hidup di alam bebas. Bisa menghirup udara segar tanpa dibentak Sipir. Terbentang jalan lurus tanpa batu tanpa kerikil. Teduh. Damai. Disepanjang jalan Tampa tumbuh subur pepohonan, menghijau di tanah merdeka. Oh, selamat datang kebebasan. Selamat datang kemerdekaan, bisik Su saat itu. Saat dia melambaikan tangan pada Sipir penjara. Saat dia melambai perpisahaan pada tembok kaku, yang selama ini membelenggunya. Saat dia mengharamkan untuk menginjak kembali tanah penjara. Ya, saat dia baru seminggu yang lalu bebas. Ya, Allah, katanya lirih, aku ini bukan orang baik-baik, tapi aku tak akan mampu menerima murkamu. Berilah petunjuk ya, Allah ! Lenguh sapi piaraan, begitu merdu ditelinga Su. Ada kerinduan akan alam desa yang mungkin masih tersisa gemericik air pancuran. Tawa canda anak bertelanjang dada, nanyian gembala demikian mengusik nurani. Sebuah lagu lama. Tapi bagi Su, justru pemandangan seperti itu yang selama ini terbawa mimpi. Su bergegas melangkah saat itu. Ia ngin segera merangkul sang ayah, yang tentu sudah semakin rapuh termakan usia dan digerogoti penderitaannya. Ingin rasanya segera sungkem, kepada emaknya yang nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Dan tentu saja, Su pun ingin segera mencium tangan dara pilihannya, calon istrinya. Delapan bulan cukup merana hidup dipenjara. Waktu sesingkat itu harus dibeli dengan ceceran daging, yang kini nampah tinggal tulang terbungkus kulit. Tak Tampa lagi Su yang gempal kini . Tapi hari ini, menginjak hari ke delapan dia bebas, Su benar-benar jengah. Dunia impian tak pernah ramah menyapa. Semua serba kaku. Semua turut menusuk-nusuk hati. Luka Su semakin berdarah kini. Hampir saja ia mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga, tadi subuh. Matahari terasa semakin dekat, hanya sejengkal di atas kepala. Bumi makin padat. Langit serasa runtuh ke jagat. Su terhimpit diantara puing-puing beton, yang pongah dan sombong. Benar-benar menyakitkan. Gerah. Jengah. Serba salah. Puluhan mata, rausan bahkan mungkin ribuan, menusuk-nusuk punggung, hingga tulang rusuk remuk. Su tak kuasa. Tak berdaya menghadapi cibiran, sindiran dan ejekan. Su tak bisa menghadapi emaknya yang kecut dengan gurat-gurat ketuaan menebal di dahi. Rupanya emaknya kecewa berat karena anaknya dipenjara. Hidup jjadi apatis baginya. Lbih-lebih ketika mengetahui bahwa anaknya bebas. Inilah penjara kedua bagi Su. Su sadar. Dia telah mengecewakan emaknya., tidak bisa tuntas jadi seorang ustadz. Padahal dia tahu, untuk memasukkannya ke pesantren dulu, plus bekal dan biaya ini itu, emaknya menggadaikan kalung warisan. Konon, menurut cerita adiknya, hingga kini kalung itu tidak pernah bisa tertembus. Tapi Su yakin, bukan karena kalung itu yang membuat emaknya kecut. Bukan. Bukan itu. Yang membuat emaknya kecut, bagi Su adalah penjara ketiga. Sejak dia datang, menginjakkan kaki di kampung ini, bapaknya tak pernah sekalipun menegur. Memang masih sering makan berrsama, ke pancuran bersama. Tapi itu hanya kepura-puraan semata. Seperti layaknya seeorang anak ketika main ruma-rumahan. Hari ini, hari kedelapan bagi Su, dia benar-benar ingin kembali ke penjara. Setidaknya hidup di dalam penjara, masih punya harga diri. Jika dia mengurungkan niatnya untuk menenggak racun serangga, bukan karena takut. Tapi segelas racun, Cuma akan mengantarrkan ke laiang lahat atau paling beruntung ke rumah sakit. Bukan ke penjara. Itu pun kalau masih ada yang mau peduli. Padahal keinginan Su adalah kembali ke penjara. Bukan cuma dua atau tiga penjara yang kini mengurung Su. Tapi empat. Lima. Enam. Bahkan seisi duania adalah penjara baginya. Kecuali di penjara yang satu. Dia tak lebih seonggok tahi, di mata manusia kini. Satu-satunya orang yang masih mau menerima kehadirannya adalah Sumirah, calon isterinya yang kini sudah digaet orang. Karena Sumirah yakin, Su bukan pembunuh. Su bukan pencuri. Semua itu hanya sebuah skenario, ciptaaan putra juragan ikan, suaminya kini. Tapi sayang, Sumirah sudah jadi isteri orang. Sumirah benar-benar telah sumerah pada anak juragan ikan. Sumirah menangis ketika bertemu di pancuran kemarin dulu. Dia amat menyesal tak bisa memegang janji. Tapi saat itu su hanya mesem. Berapa hatinya sakit. Karena menurutnya, cerita Sumirah tadi Cuma basa-basi. Seperti kebanyakan wanita, yang selalu merasa menyesal dijodohkan orang tuanya. Padahal diam-daiam, mereka telah menyediakan secawan cinta untuk lelaki pilihan orang tuanya itu. Munafik. Sumirah memang surga bagi Su. Tapi itu dulu. Karena Sumirah kini bukan Sumirah yang dulu. Kini dia adalah isteri juragan ikan yang disegani. Pakaian Sumirah juga bagus-bagus. Sementara Su masih sepeerti dulu, berpakaia alakadarnya. Bahkan kini ditambah gelar barunya : bekas Narapidana. Juragan makin menganga, membuat Su perih. Hatinya terkoyak. Siang ini, sumirah ngajak kencan. Ditempat kencannya dulu, delapan bulan yang lalu. Di sebuah bukit kecil, di atas perkampungan. Rumputnya masih hijau seperti dulu. Sumirah merajuk saat bertemu Su kemarin sore. Burung-burung beterbangan, berseliweran di atas kepala, cerita Sumirah seakan ingin mengingatkan cerita cinta yang demikian menyegarkannya dulu. Su masih tertegun saat itu. Berat rasanya untuk mengiyakan ajakan isteri orang. Mengajak kencan isteri orang sama dengan mencuri. Dan tuduhan itu pula yang menggiring Su ke penjara, delapan bulan yang lalu. Mestikah kinni diulangi lagi?. Su benar-benar tak mau diajak kencan Sumirah. Itulah kenapa tadi pagi, dia nekad hendak menenggak racun serangga. Tapi juga seperti dulu, Su sang at kesulitan untuk mengatakan tidak kepada Sumirah tercinta. Sekalipun hal itu bertolak belakang dengan suara hatinya. Diam-diam Su melangkah ke kaki bukit kecil, di atas perkampungan. *** Angin semilir mempermainkan pucuk rumput gajah. Padi yang menghijau beriak seperti hamparan permadani. Tapi keindahan itu samasekali tak berarti bagi Su. Dia lebih tertarik mengamati jemari Sumirah yang sedang mempermainkan pisau dapur. Sesaat Su terkesiap. Naudzubillahi min dzalik, benda semacam itulah yang dulu mengantarkan dia ke penjara. Seperti sedang membuka lembaran masa silam, saat itu Su melihat adegan-adegan itu sangat gamblang. “Katanya mau ngobrol, tapi kenapa Bulan bawa pisau ?” akhirnya meledak juga kepenasaran Su. Dia membuka mulut, dan bicara dengan bergetar. Seperti pertamakali ngorol dengan Sumirah dulu, di dalam kandang kuda. Bulan adalah panggilan sayang Su kepada Sumirah. Sumirah tersenyum. Tersembul butiran mutiara di celah bibirnya yang memerah. “Karena saya hendak membunuh, Kakang !” jelas Sumirah datar. Pandangan lurus ke depan, wajahnya benar-benar berubah dingin. Kaku. Su sempat bergidik. Seperti tersedot magnet raksasa. “Membunuh ? Astagfirullah, benarkah ?” Su pura-pura tenang, membohongi hatinya yang tersentak tak karuan. “Benar !” jelas Sumirah tegas. Dipertegas dengan anggukan kepala. Rambutnya terjurai indah ke depan. “Dulu, pisau dapur seperti ini yang mengantarkan kakang ke penjara. Kini, dengan pisau dapur seperti ini pula yang akan mengantarkan saya ke penjara yang sama,” lanjut Sumirah tanpa mengubah nada bicaranya. Benar-benar ajaib dalam pandangan Su saat itu. Su hanya melongo, bibirnya tak terkatup. Dia benar-benar telah kena magnet. Sumirah melanjutkan bicaranya : “Jika saya dipenjara, kakang segeralah menikah. Dengan siapa saja, dengan wanita mana saja. Tak perlu bicara soal cinta, nanti jika saya bebas dan kebetulan bertemu kakang, kakang boleh bicara bahwa kakang terpaksa menikah karena dijodohkan. Dan saya pun tentu boleh mencibir, seperti apa yang kakang lakukan tempo hari. Tempo hari, ketika saya mengatakan bawha saya menikah karena dijodohkan.” jelas Sumirah. Nada bicaranya merendah bahkan nyaris tak terdengar. Tenggorokannya seperti tersekat. Pundak Sumirah nampak terguncang sesaat, menahan gejolak yang meletup-letup. Tapi dia berusaha menggigit bibir, agar tak terus menangis. Dia seperti takut kena cibir Su yang kedua kalinya, sehingga membuat hatinya lebih perih lagi. Su makin tersentak. Dia baru sadar ke mana arah pembicaraan Sumirah tadi. Hati kecilnya mengakui, bahwa sebenarnya dia masih tetap mencintai Sumirah. Cibiran tempo hari itu hanya karena harinya terlampau perih. Tapi apalah artinya cinta, bagi orang yang dibelenggu puluhan penjara. Bukankah cinta hanya akan tumbuh pada orang-orang yang bebas, bisik Su jujur. “Mungkin jika saya telah merasakan kehidupan penjara, saya pun akan berubah jadi manusia perasa. Hidup serta salah dan serba curiga,” sindir Sumirah tanpa mengubah posisi duduknya. Pandangannya tetap menerawang jauh ke depan, melihat burung-burung bercengkrama dengan alam. Tangannya masih tetap memegang pisau. Su tak bicara saat itu. Mulutnya terkunci rapat. Karena baginya diam adalah kebenaran. Diapun membenarkan kata-kata Sumirah barusan. Semuanya. Dari arah pematang bergerombol orang-orang sambil mengacung-acungkan golok dan tombak. Makin dekat makin jelas, mereka menuju ke arah Su dan Sumirah. Su segera bangkit. Naluri kelelakiannya berkata bahwa dia dalam bahaya. Tapi aneh tak secuilpun terbersit niat untuk lari menghindar. Tidak. Tidak perlu takut, tekadnya. Dan ketika orang-orang itu mendekat, berteriak menuding ke arah Su dengan golok dan tombak terhunus, Su tetap mematung. Di belalakangnya Sumirah sama-sama mematung. “Pencuriii…pencuriii….!” teriak mereka. Su sempat melihat, lelaki yang berdiri paling belakang adalah anak Juragan Ikan, suami Sumirah. Tiba-tiba Sumirah maju ke depan dengan mengacungkan pisau dapur. “Dia bukan pencuri,” teriaknya. “Sayalah pencurinya dan pisau ini akan segera merobek perut kalian,” katanya lagi. Semuanya tertegun. Langkahnya terhenti. Tak terkecuali anak Juragan Ikan itu.. “Mundurlah, Sum ! Kami ingin memberi pelajaran kepada bajingan itu. Dia telah menodai kampung kita, dia telah membunuh, dia telah mencuri dan kini malah hendak melarikan istri orang,” tukas seseorang, yang lain menyambut dengan teriakan seraya mengacung-acungkan golok dan tombak. “Pencuriii…pencuriii…” teriak mereka. “Saya akan mundur setelah kalian bersujud, dan berjanji tak akan menyebut dia sebagai pencuri, apalagi pembunuh !” teriak Sumirah dengan wajah memerah. “Sum, sadarlah kau ? Ya, Allah, kenapa jadi begini ?” hanya itu yang keluar dari mulut putra Juragan Ikan. Sumirah terkeke, pundaknya nampak terguncang. “Banci!” katanya kemudian “Sum ? Tegakah kau ? Masyallah, Sum, sadarlah !” terdengar suara putra Juragan Ikan memelas. Su masih tertegun. Tenggorokannya terasa kasat. Ingin rasanya melabrak orang-orang yang ada di depannya itu. Beruntung, ketika suasana makin panas dan nyaris menumpahkan darah, datang pak Kades. Suasana sedikit mereda. Orang-orang itu pulang dengan seribu kepenasaran. Sumirah lega. Dia tertegun disamping Su yang memerah. Tersimpan dendam yang teramat sang at. Masyarakat benar-benar pejara bagi Su. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, tiga hari kemudian, Sumirah ditemukan bersimbah darah dekat pancuran. Dia direnggut maut lewat sebilah pisau dapur. Sementara itu diketahui Su menghilang. Entah kemana. *** Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S Yusuf : 53)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar