Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Selasa, 26 Juli 2016

BELAJAR ADIL SEJAK DARI RUMAH

Oleh : E. Rokajat Asura 

 Kata adil menjadi kata kunci untuk menilai sebuah kinerja dan keberpihakan pada kebenaran. Dan keadilan merupakan isu hangat dan tuntutan utama dalam peradaban manusia sepanjang dalam praktek kehidupan bermasyarakat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mencederai rasa kemanusiaan. Sedemikian pentingnya tentang rasa adil dan keadilan ini, sehingga do’a seorang pemimpin yang adil termasuk dari tiga kelompok doa yang makbul. 

 Pada saat rasa keadilan menjadi barang langka dan rasa kemanusiaan dicederai, maka konsep berkeadilan semestinya menjadi pendidikan akhlak yang diajarkan kepada anak-anak sejak kecil dan selayaknya pula rumah menjadi pesantren untuk menumbuhkan sikap dan konsep berkeadilan. Orang tua yang menjadi figur sekaligus guru yang menumbuh kembangkan keadilan, dimulai dari hal-hal sederhana. 

Pada saat sikap adil telah menjadi sikap hidup sehari-hari, boleh berbesar hati bahwa anak-anak akan mengamalkan sikap hidup tersebut dalam pergaulannya atau setidaknya akan menjadi tameng pada saat ada gejala keadilan mulai diselewengkan. Konsep adil dan keadilan menjadi salah satu fokus perhatian Islam sebagai salah satu pilar mencapai keadaan rahmatan lil alamin. 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan dari An-Numan bin Al Basyir ra, bahwa ayah Numan pernah membawa dirinya menghadap Rasulullah SAW. Ayahnya berkata saya pernah memberikan kepada anakku ini seorang budak yang dulu kepunyaanku. Rasulullah SAW bertanya Apakah masing-masing anakmu, kamu beri seperti anakmu ini ? Ayah Numan berkata Tidak, ya, Rasulullah ! Rasulullah SAW bersabda kalau begitu tariklah kembali pemberianmu itu ! 

 Dalam riwayat lain dikatakan setelah Rasulullah SAW mendengar penjelasan ayah Numan tersebut, lalu beliau bersabda Takutlah kepada Allah SWT dan berbuatlah adil terhadap anak-anak kalian.. 

 Konsep adil sudah harus diperkenalkan kepada anak-anak bahkan untuk urusan yang dianggap sepele. Benar bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan yang berbeda-beda tapi bukan berarti untuk dibeda-bedakan pula dalam hal pemberian misalnya. Prinsip keadilan harus tetap dipenuhi orang tua ketika akan memberi sesuatu kepada anaknya. Sepanjang rasa keadilan itu terpenuhi, membeda-bedakan dalam arti kuantitas tak akan menjadi masalah. Tapi dengan semata mempertimbangkan bahwa kenyataannya masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda, lalu menyebabkan orang tua membeda-bedakan pula pemberian tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan itulah yang diingatkan Rasulullah SAW sebagai perbuatan aniaya. Suatu hari dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Basyir mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan telah memberi hadiah kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda Wahai Basyir, apakah kamu punya anak selain anak ini ? Basyir menjawab Ya, Rasulullah ! Lalu, Rasulullah melanjutkan pertanyaannya Apakah semua anak-anakmu juga kamu beri hadiah seperti ini ? Dijawab Basyir Tidak !. Mendengar jawaban Basyir seperti itu, Rasulullah pun menegaskan Kalau begitu janganlah kamu jadikan aku sebagai saksi, sebab aku tidak menjadi saksi perbuatan aniaya. 

Dalam riwayat lain dijelaskan dengan susunan kata-kata yang berbeda yakni Mintalah persaksian akan hal ini kepada orang lain selain aku. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan kalimatnya Apakah akan menggembirakanmu, jika ketaatan anak-anakmu kepadamu sama ? Basyir menjawab Begitulah ! Lalu, Rasulullah SAW bersabda : Maka jangan mengutamakan anak yang melebihi yang lain kalau begitu. Tidak bisa disangkal bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda. Konsep kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences yang digagas oleh Howard Gardner menegaskan tentang hal ini. Howard membagi kecerdasan seseorang ke dalam 8 model kecerdasan berdasarkan kecenderungan-kecederungannya. Pembagian delapan bentuk kecerdasan ini berasal dari pengumpulan data seorang anak bukan berdasarkan tes-tes tertutup seperti yang diterapkan pada tes IQ yang hanya membedakan anak pintar dan kurang pintar. 

 Howard Gardner menyimpulkan bahwa kecerdasan seseorang, samasekali tidak terkait dengan kondisi fisik (rasialis), kondisi brain dan hasil tes-tes standar. Jadi tidak diperlukan tes tertutup seperti tes IQ atau tes ketidak mampuan seseorang yang hanya akan menyudutkan secara psikis dengan pelabelan ketidak mampuan tersebut. Dalam pandangan Howard, kecerdasan seseorang itu terkait dengan discovering ability, the right man on the right place serta benefiditas. Dengan demikian kecerdasan itu adalah kebiasaan atau prilaku yang diulang-ulang yang melahirkan pikiran-pikiran kreatif dan bisa mengatasi masalah. Dengan berpijak pada landasan teoritis Howard Gardner ini, apakah sikap orang tua yang seringkali membeda-bedakan pemberian kepada anak-anaknya dengan alasan masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, dapat dibenarkan atau justru sedang menanamkan benih sikap mencederai rasa adil ? 

Tanpa mempertimbangkan tentang rasa keadilan, Rasulullah SAW menilai sikap seperti itu sebagai perbuatan aniaya. Kalau saja sepakat bahwa rumah adalah pesantren tempat menggodok anak-anak untuk menjadi sosok bener-bageur-pinter (benar-baik-cerdas), maka ketika orang tua yang menjadi figur, teladan sekaligus guru mencederai rasa keadilan, sebenarnya ia sedang menanamkan benih ketidak adilan. Tidak perlu heran kalau kemudian kelak tidak saja orang tua yang menuai rasa ketidak adilan itu melainkan juga masyarakat. Tak ada kata lain bagi pribadi-pribadi yang sebenarnya adalah khalifah fil ardli untuk senantiasa hati-hati bahkan sangat hati-hati dalam segala hal, termasuk juga pada saat memberi sesuatu kepada anak-anak kita. Kehati-hatian itu pula yang telah dicontohkan parah salafus saleh, para alim ulama dahulu, sehingga berhasil mencapai derajat insan kamil. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar