Informasi
Selasa, 07 Juni 2016
SAMAN OH...SAMAN
Cerpen : E. Rokajat Asura
(Dipublikasikan Mingguan NOVA No. 727, Februari 2002
“Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang itu selalu saja membuat pak Saman tersenyum bangga. Setiap pulang dan pergi bekerja, mereka selalu menagih janji. Sesungguhnya anak-anak itu tak perlu diberi dongeng yang panjang-panjang. Cerita tentang Sang Kancilpun sudah cukup. Dongeng pendek yang telah berulang-ulang itu akan tetap disukai. Apalagi ketika pak Saman mengekspresikan suara Kancil dengan jenaka, anak-anak itu akan tertawa riang. Pak Saman sendiri pada saat-saat seperti itu selalu mengibaratkan dirinya sebagai seorang pahlawan. Pahlawan yang pulang dari medan perang, disambut rakyat-rakyat kecil dengan gembira. Maka luka dan darah yang mengering di badan itu kini, alhamdulillah tak dirasakannya lagi, karena sang pahlawan telah kembali pada haribaan pertiwi yang baru saja diperjuangkannya. Kemudian pak Saman akan berdiri kukuh di depan rakyat-rakyat kecil itu dan siap dengan sebuah dongeng. Selesai mendongeng, lelahpun akan lenyap karena mendapati kebahagiaan pada wajah anak-anak polos itu. Rakyat-rakyat kecil yang telah mengukuhkan kebesaran dirinya.
“Sudah, sudah, sekarang kalian mandi, terus ngaji, ya ?”
“Ya ! Terima kasih, Pak Saman !”
“Terima kasih anak-anak !”
“Assalamu alaikum, Pak Saman !”
“Wa alaikum salam, anak-anak !” senyum pak Saman mengembang. Adegan rutin setiap pulang kerja itu yang membuatnya semakin ceria. Dia jadi teringat cerita Sri Sumarah dan Bawuk, novel karya Umar Kayam yang pernah dibacanya pada saat sekolah dulu. Iya, kebiasaan anak-anak di ujung gang itu selalu mengingatkan dia pada kebiasaan Sri yang selalu minta didongengi. Pada siang-siang begitu Sri akan menyerahkan samasekali badan, pikiran dan perasaannya pada suasana yang dikembangkan embahnya. Suara embahnya, elusan jari-jari embahnya pada kulit kepalanya, keteduhan kamar rumah desa itu adalah suatu kesatuan yang mengeloni Sri. Memang anak Sri tidak seperti itu. Tun tidak sedang didongengi. Dia menikmati itu sepotong-sepotong. Umpamanya, di tengah yang agak panjang, pada waktu baru selesai beberapa bait, Tun akan lari sebentar ke luar kamar ambil sepotong pisang atau buah lainnya, dikunyah-kunyahnya sambil kembali ke kamar, menggeletak di samping ibunya lagi, siap mendengarkan tembang berikutnya. Tapi kenapa anak-anak di gang itu punya kegemaran seperti Sri, sekalipun usia dan jamannya lebih akhir dibanding Tun. Apakah ini tandanya jaman selalu berputar pada titik yang sama ?
Suatu hari istrinya, Salmah, pernah melarangnya terutama kalau suaminya pulang tugas jauh, membawa kereta api dari Surabaya. Akang kan sangat lelah, belum tidur, lebih baik istirahat, saran istrinya. Tapi bagaimana protes Pak Saman ? Nggak, nggak apa-apa ! Di depan anak-anak gang itu, aku merasa selalu menjadi manusia, Nyi ! Bukan hanya sebuah skrup kecil dari besarnya lokomotif. Ketika membawa lokomotif, pak Saman memang hanya sebuah skrup kecil. Tak pernah ada yang mau meliriknya. Namanya juga skrup kecil. Baru kerasa bahwa lokomotif itu maju karena peran seorang masinis kalau terjadi kecelakaan saja. Naudzubillah hi min dzalik, masak untuk mengingat peran orang lain harus didahului sebuah kecelakaan dulu.
Salmah tercenung dan tak bisa mendebatnya. Dia selalu merasa kalah pintar dari suaminya itu. Setiap ada pertengkaran diantara para elit politik misalnya, pak Saman selalu setia mengemukakan analisa-analisanya, sekalipun hanya kepada teman seperjalanan, pada assistennya di ruang lokomotif menyengat itu, dan pada Salmah tentu saja. Selain masalah ketemu waton, juga karena Salmah merasa kalah pinter yang membuat dirinya mau dilamar dulu. Kekaguman itupun yang telah mampu bertahan dalam hidup sederhana dan melahirkan anak-anak. Salmah dan Saman dulu memang satu sekolah, sama-sama di SMP Bojongsalam. Selepas SMP, Salmah memilih kerja di pabrik, tapi Saman meneruskan ke sekolah teknik sampai akhirnya takdir menempatkan dia sebagai seorang masinis. Sejak sekolah, Salmah selalu kalah terutama dalam pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dulu, Salmah selalu minta diajari kalau ada pekerjaan rumah, ulangan harian maupun menjelang ulangan umum. Ya, sejak saat itu dia selalu mendambakan kalau lelaki pinter seperti Saman akan sangat baik untuk dijadikan suami. Samasekali tak pernah terpikir kalau yang pinter Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam itu juga akan pinter dalam nyari duit.
***
Pak Saman tiba-tiba terjaga dari lelap tidurnya. Dia mendengar anak-anak gang itu memanggil-manggil. Tapi ketika melihat beker di atas bupet di kamarnya yang sumpek, dia tidak percaya pada suara itu. Pasti mimpi, gumamnya, mana mungkin anak-anak gang itu minta didongengi jam setengah tiga shubuh. Ya, Allah, aku berlindung dengan kalimah-Mu yang sempurna dari kemarahan Allah dan dari kejahatan hamba-hamba-Nya dan dari ganguan syetan dan dari kehadiran mereka. Pak Sama mengusap muka, sementara Salmah saat itu masih terlelap dan terdengar dengkurnya.
Pak Saman mencoba memicingkan kembali matanya, tapi sulit untuk bisa kembali tertidur. Hari itu dia memang sedang libur. Baru besok malam dia kembali tugas akan membawa kereta ekspress malam Bandung-Solobalapan. Tapi tentu saja bukan karena itu semua yang membuatnya tidak bisa kembali memicingkan semata. Suara anak-anak itu, seperti sengaja ingin membangunkan. Apa ini sebuah firasat ? Lama pak Saman membiarkan lamunannya melanglang.
Ketika lelah dengan lamunan itu, kakinya melangkah keluar kamar, membuka tulak dapur, merapatkan jaket menahan dingin yang menggamit kulit. Lurus ketika membuka pintu dapur, ada sumur yang airnya jernih dan bersyukur tak pernah kering. Tetangga kampung itu menyebutnya sumur ajaib hanya karena tak pernah kering sepanjang tahun. Pak Saman sendiri menerima sumur yang tak pernah kering itu sebagai limpahan rejeki dari langit, karenanya dia selalu wanti-wanti ketika ngambil air, mulailah dengan bismillah katanya, supaya sumur ini diberkahi. Dan malam ini pak Saman mengambil wudlu, lalu sholat malam. Selesai sholat malam, ditambah wirid dan disambung sholat shubuh, barulah dia merasa diserang kantuk.
“Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang Kancil memanggi-manggil pada pagi buta. Mereka tak tahu kalau pagi itu pahlawannya masih terlelap. Dalam lelap tidur itu tak pernah terpikir tentang rakya-rakyat kecil yang minta didongengi, tak ingat lagi tentang cerita Sri juga tak merasa kalau dirinya itu seorang pahlawan. Terpaksa istrinya yang keluar dan memberitahu pada anak-anak itu, kalau suaminya masih tidur. Kekecewaan menggayut pada wajah polos anak-anak itu.
“Emak aja yang mendongeng ya ?” hibur Salmah, tapi anak-anak itu menggelengkan kepala. Ketika kejadian itu diceritakan pada suaminya, ia marah, kenapa tidak membangunkan, protesnya.
“Akang masih lelap tidur. Saya pikir karena libur, akang sengaja mau istirahat.” sanggah istrinya. Pak Saman masih juga tampak kecewa. Dia berdiri di ambang pintu, menatap pada jalan dan disana ia melihat anak-anak bergerombol. Iapun kemudian teriak. “Anak-anak !” katanya. Tapi aneh tak seorangpun yang menoleh. Mereka marah tampaknya. Pak Saman menunduk sedih. Ketika istrinya membawakan singkong rebus, samasekali ia tak semangat untuk memakannya.
“Maafin saya ya, Kang ? Sudah membuat akang kecewa.”
“Nggak apa-apa. Cuma aku menyesal karena hari ini tidak berbuat baik buat orang lain. Padahal kata ustadz, membuat orang lain senang adalah juga sedekah.” kata pak Saman lirih. Dia memang selalu ingat dan terus mengamalkan tentang apa yang didapatnya saat mendengar khutbah Jum’at atau mendengar ceramah di radio.
“Pergilah ke mushola, barangkali ada yang bisa akang kerjakan di sana.”
“Ya, kau benar. Aku akan ke sana.” wajah murung itu berubah ceria. Ia melangkah tegap.
***
Seharian hujan lebat sehinga kali Cikapundung banjir. Pak Saman dan istrinya diliputi kecemasan. Rumahnya memang tak jauh bantaran dari kali itu. Tahun kemarin ketika kali Cikapundung banjir, rumahnya terendam sampai lutut. Bahkan beberapa rumah di bantaran sungai ada yang hanyut terbawa banjir. Air jutaan kubik saat itu seperti tangan raksasa yang memporak-porandakan apa saja yang kebetulan dilaluinya. Mudah-mudah setelah maghrib nanti hujan reda, harap pak Saman sehingga ia bisa pergi tugas membawa penumpang ke Solobalapan. Tapi kali ini keinginannya itu tak terkabul. Hujan tak juga reda. Limabelas menit lebih dari waktu maghrib, hujan masih lebat. Tapi akhirnya pak Saman memaksakan pergi juga. Tubuhnya dibalut mantel tua pemberian dari seorang pengusaha, diluarnya di lapis jas hujan, dan tak lupa membawa senter. Semua itu ia lakukan karena tepat jam 20.00 kereta akan berangkat. Bagaimana jadinya kalau dia tidak datang, seluruh penumpang pasti akan menggerutu. Ia hapal benar tabiat para penumpang kelas bisnis itu, selalu protes dan banyak omong. Sejak dulu ia memang tak mau datang terlambat. Ia tidak mau jadi bagian yang memperparah penyakit manajemen perketa apian negeri ini. Sekalipun Iwan Fals pernah teriak dua jam terlambat itu biasa, tapi bagi pak Saman terlambat adalah pekerjaan luar biasa. Luar biasa memalukan dan luar biasa ketololannya.
“Aku berangkat, Nyi, assalamu alaikum !”
“Wa alaikum salam, hati-hati, kang ! Jangan lupa bismillah dulu !” terdengar lirih suara itu. Entah kenapa, Salmah seperti berat melepaskan suaminya saat itu. Tidak seperti biasanya. Padahal bukan sekali dua kali suaminya pergi saat hujan lebat seperti itu.
“Bismillahi tawaqaltu alallah !” gumam pak Saman dan berjalan menerobos hujan yang tak henti. Langit seperti bocor malam itu, terus-menerus tak terbendung mengucurkan air hujan. Pada saat menyeberang, jembatan bambu berayun-ayun dan seperti mau roboh tertempa air bah. Entah pada langkah ke berapa kaki pak Saman terpeleset dan hampir tercebur. Beruntung dia masih kuat memegang salah satu bambu, kendati senter dan ransel berisi bekal terlempar jauh terbawa banjir. Pak Saman terus berjuang dan akhirnya bisa naik dan meneruskan perjalanan. Pakaianya basah kuyup dan pada beberapa bagian tubuhnya terasa perih. Mungkin luka.
Terbebas dari petaka jembatan itu, ia terus melangkah melewati beberapa rumah dan lorong sempit diantara bangunan beton yang menghimpit. Sesampainya di ujung gang masih juga harus menunggu karena saat itu tak ada satupun mobil yang lewat. Lama menunggu tak juga datang, akhirnya ia berjalan kaki menuju stasion.
Tak sempat menghitung berapa menit yang telah dihabiskan, yang jelas ketika sampai di stasion, jam menunjukan 19.55, lima menit sebelum kereta menuju Solo berangkat. Masih keburu, bisiknya menghibur diri. Tapi pada saat pak Saman lapor, ternyata telah digantikan masinis lain. Ia hanya bisa mengurut dada dan menatap nanar ketika rangkaian gerbong itu berangkat. Ngatiman, yang menggantikannya, sempat mau menyerahkan tugas itu tapi pak Saman tak menerimanya.
“Saya mau nerima karena khawatir akang tak jadi datang. Seharian hujan pasti Cikapundung banjir lagi. Saya ingat kejadian bulan lalu, ketika banjir rumah akang terendam dan tak bisa berangkat kerja.” Ngatiman membela diri ketika melihat sahabatnya itu tertegun di pinggir trotoar. “Sebenarnya saya lelah, Kang ! Baru datang dari Surabaya.”
“Kamu lebih berhak. Jalanlah ! Jangan terlalu memikirkan akang.” Pak Saman lirih. Gondok lakinya tampak jelas turun naik pada leher yang kerontang.
Keesokan harinya Pak Saman dipanggil atasannya.
“Bagaimana kita bisa menjamin keselamatan penumpang, kalau datang saja terlambat. Padahal lancar dan tidaknya lokomotif ada pada anda. Mesin itu harus diperiksa, dan tugas terakhir ada pada anda, Pak Saman. Kendatipun para mekanik telah melakukan kontrol dan pemeriksaan, tetap tanggung jawab akhir ada pada anda.”
“Maaf, Pak. Banjir yang telah menghalangi saya hingga terlambat datang.”
“Sudahlah ! Tak perlu menyalahkan banjir. Itu kan kejadian alam. Apa kita harus selalu mengalah setiap kejadian alam datang ?”
Pak Saman tak bicara. Dia paham betul atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Ketika dia diskor, juga tak banyak bicara selain menerima. Dia ingat betul ketika sebuah kecelakaan terjadi, masinis memang yang harus bertanggung jawab. Apa yang baru saja dikatakan atasannya itu, samasekali tak salah. Dia pulang membawa beban di pundak. Surat itu disimpan didalam saku celananya dan tak ingin diberitahukan kepada siapapun juga kepada istrinya. Tak ada anak-anak yang menyambut. Semua anak-anak di gang itu tahu kalau pak Saman baru pulang lusa malam, maka siang itu benar-benar terasa lengang. Bayangan tentang seorang pahlawan yang disambut ceria rakyat kecilnya sirna sudah.
***
Berita sangat menggemparkan. Ekspress malam Bandung-Solobalapan tabrakan dengan kereta barang dari Surabaya satu kilo arah Barat dari Stasion Banjar. Pak Saman terduduk lemas. Salmah mematung tak bisa bicara. Ia hapal betul kalau kereta itu yang seharusnya dibawa suaminya. Pak Saman mengetahui berita itu dari tetangga yang tadinya hanya ingin memastikan, apakah Salmah mengetahui atau tidak tentang kecelakaan itu. Kemudian para tetangga datang susul menyusul karena mereka tahu dari anak-anaknya kalau pak Saman pergi membawa kereta itu. Tapi ketika mengetahui Pak Saman ada, semua mengucap syukur alhamdulillah. Anak-anak menangis karena girang.
Human error begitu kesimpulan atasannya. Tapi seluruh media massa tetap saja menggugat. Pak Saman terguncang. Keselamatan dirinya, firasat yang datang, banjir yang menghadang justru semakin membuatnya menggigil ketakutan. Seorang wartawan menjenguknya tapi pak Saman tak bisa bicara. Apakah arti semua ini, selalu itu yang jadi tanda tanya. Setiap berita dan semua tudingan ditujukan pada kesalahan masinis yang katanya ngantuk, pak Saman semakin ngeri, karena dia merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebelah hatinya memang pernah mengeluh, apakah mereka juga tahu, betapa beratnya tugas itu. Saat seluruh penumpang tidur, bahkan mungkin saat seluruh atasannya terlelap tidur, pak Saman dan kawan-kawan tetap terjaga, mengendalikan lokomotif, menempuh jarak yang sangat jauh.
Kecelakaan mengerikan itu terus menjadi konsumsi media. Telinga pak Samanpun rela tak rela dipaksa menerima semua itu hingga terasa panas. Betapa tidak. Pada kecelakaan itu, semua menuding kesalahan masinis. Artinya kesalahan Ngatimin, sahabat sekaligus yang menggantikannya malam itu. Hanya seorang wanita dari lembaga konsumen, yang terasa ada di pihaknya. Mengungkap tentang kesejahteraan dia dan kawan-kawannya, tidak sebandingnya antara beban berat yang dipikul dan penghargaan yang diterima. Kendati pak Saman sendiri tak pernah mempersoalkan itu semua. Konflik itu semakin hingar-bingar mengisi jagat informasi.
Seorang tetangga yang kebetulan salah seorang keluarga jauhnya menjadi bagian dari kecelakaan itu, datang menemui pak Saman. Dia bertanya apa benar masinis sering ngantuk, apa benar istirahatnya kurang ? Pak Saman tak bisa menjawab. Juga ketika tetangga itu bicara tentang keluarganya yang menjadi korban kecelakaan itu, pak Saman hanya menitikan air mata. Sebuah pemandangan mengerikan terhampar di hadapannya. Semua orang menggugat, menyalahkan seorang masinis, tapi pernahkah ketika seluruh penumpang selamat sampai di tujuan, ada yang merasakan bahwa dirinya sampai ke tujuan selain takdir Allah adalah karena jasa seorang masinis ? Ketika semua sampai di tujuan, pernahkan ada yang tergerak menemuinya untuk mengulurkan tangan seperti yang pernah ia lihat di televisi yang dilakukan penumpang pesawat pada seorang pilot ?
“Harusnya bapak kan yang membawa lokomotif itu, tapi kenapa tiba-tiba diganti oleh orang lain ? Ini yang membuat saya tak habis mengerti.” kata tetangga itu menggugat. Barangkali dalam hatinya dia bicara, bahwa seharusnya pak Saman juga bagian dari kecelakaan itu. Hal inilah yang membuat pak Saman dan istrinya sakit hati. Dua hari setelah kecelakaan itu, ia jatuh sakit. Satu bulan, dua bulan, bahkan hampir masuk seratus hari, pak Saman masih terbaring. Dari perusahaan hanya dua orang yang datang, rekan-rekan masinis, yang membawa uang hasil sumbangan dari teman-temannya. Beruntung masih ada tetangga yang peduli. Ternyata orang-orang pinter di kantornya masih kalah gesit dibanding anak-anak yang selalu mendengar dongeng pak Saman. Anak-anak itu hampir setiap pagi dan petang datang menjenguk, berdoa bersama-sama untuk kesembuhan pahlawannya. Pahlawan rakyat-rakyat kecil yang selalu memberi sebuah dongeng.
“Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang itu telah mendorongnya untuk berdiri. Pak Saman berangsur-angsur sembuh. Ketika kesehatannya hampir pulih, dia datang ke kantor, mengajukan pengsiun lebih awal dari waktunya. Diluar dugaannya, dua hari berselang telah turun SK. Benar-benar dramatis. Tidak seperti sebelum kejadian kecelakaan menghebohkan itu, sulit untuk mengajukan pensiun muda.
***
Pak Saman mulai mendongeng lagi, tentang Sang Kancil yang cerdik, tentang Kera yang serakah. Tak ada lagi lelah dan kantuk. Mata tuanya kembali berbinar ketika anak-anak itu tergelak, saat seperti itulah dia menjadi seorang manusia yang dianggap ada dan dihargai tidak seperti masinis yang duduk di depan membawa sekian ratus penumpang, tapi tak pernah ada yang memperhatikannya sebagai manusia.
“Kwik … kwik … kwik !”
“Kok bunyi Kera seperti suara lokomotif, pak Saman ?”
Pak Saman tersenyum kemudian dia berdiri dan sedikit membungkuk membentuk lokomotif, anak-anak spontan mengikutinya dari belakang. Kwik .. gujes … kwik … gujes ! Ternyata menjadi lokomotif dalam keseharian terasa lebih menyenangkan. Pak Saman kembali tersenyum di tengah derai tawa anak-anak gang Kancil itu.
“Mau kemana kereta kita, pak Saman ?!”
“Ke langit !”
“Ke langit ?!”
“Ya … kwik .. gujes … kwik … gujes !!”
Dari ambang pintu gubuknya, Salmah memperhatikan kelakuan suaminya. Hanya itu yang bisa dinikmati pada saat-saat tuanya seperti sekarang ini. Suaminya memang tak mengenal postpower syndrom, tidak seperti pejabat-pejabat lain yang takut kehilangan jabatannya. Pensiun dari masinis malah terlihat suaminya lebih nrimo, dan masih tetap bisa jadi lokomotif untuk anak-anak gang itu. Sekarang dia tidak hanya sepulang kerja untuk jadi pahlawan, tapi bisa kapan saja semaunya. Sepanjang anak-anak itu masih mau mendengar dongengnya, ia akan tetap merasa sebagai pahlawan di tengah rakyat kecilnya. Ia selalu berharap kalaupun teknologi menjerat anak-anak, tapi anak-anak di ujung gang itu akan selalu seperti yang dilakukan Sri pada embahnya. Anak-anak itu akan menyerahkan samasekali badan, pikiran dan perasaannya pada suasana yang dikembangkan pak Saman. Suaranya, ekspkresinya, tingkah lakunya, keteduhan depan rumahnya adalah suatu kesatuan yang akan tetap mengeloni anak-anak itu, rakyat kecilnya.
***
Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu
Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya
maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran
dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau engkau menjadi saksi
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan
(Q.S An-Nissa : 135)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar