Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Kamis, 19 Mei 2016

BULAN PUCAT PASI

Cerpen: E.Rokajat Asura
“Ayah saja yang nganter Putri, Ibu kan sibuk !” “Masyaallah, malu saya punya anak laki-laki seperti kamu, Du !” pak Manan menunduk sedih. Emak mengusap-usap pundak suaminya dengan tenaga sisa ketuaannya. *** Seekor kupu-kupu pincang hinggap di dahan. Kupu-kupu itu mengingatkan Pandu pada setangkai mawar yang dipetiknya sepuluh tahun lalu, kemudian diberikan pada Elsya. Tapi itu dulu. Romantisme masa lalu. Elsya sekarang tak butuh mawar lagi, tak butuh rayuan lagi. Elsya sekarang sebuah robot cantik yang kaku, di otaknya telah diprogram sejumlah target dari perusahaannya. Ya, Allah, entah salah siapa kenapa Elsya jadi miniatur tersukses seorang ibu yang merasa diri hebat karena bisa eksis sekalipun lama ditinggal mati suaminya. Pandu malu menatap bayangannya sendiri, yang mengejek bahkan mencibir mentertawakan. Lelaki itu lalanang jagat, seribu langkah dalam satu langkah mengangkangi perempuan. Berat memang, tapi itulah lelaki. Tanah Sunda tak pernah mau menerima, lelaki yang kehilangan kelelakiannya. Prabu Siliwangi tak pernah pudar keharumannya, karena sebagai seorang lelaki tak kehilangan kelelakiannya. Bahkan seorang Kabayan yang kata orang dungu sekalipun, berani berkata lantang “aku ini lelaki.” Apalagi kalau berkaca dengan kacamata agama bahwa seorang lelaki adala pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. “Ya, Allah, aku terlanjur berbuat aniaya terhadap diriku sendiri, jika engkau tidak mengampuni aku dan tidak mengasihiku, pastilah aku akan tergolong orang-orang yang rugi.” lirih suara Pandu saat itu. Seperti menggelindingkan bola salju, Pandu harus melihat hasil pekerjaanya. Elsya makin lama makin besar dan tinggi hati. Kasihan Putri, keluh Pandu diantara setumpuk buku-buku yang baru saja dibaca siswa belasan tahun itu. Dalam halaman-halaman yang terlipat, Pandu mencium kejenakaan anak-anak itu. Pemandangan yang tak pernah dia temukan pada diri Putri. “Alhamdulillah, Putri itu pintar.” “Ya. Putri bahkan cerdas. Sedikit lagi dia jenius.” “Ayah kecewa ?” “Tidak.” “Tapi kenapa mengeluh ?” Elsya tak mengerti. Tapi ketika dilihatnya Pandu, suaminya diam, Elsya pun tak ngotot mencari tahu ketidak mengertiannya tadi. Malam pun merajut sepi sendiri meninggalkan Sandekala yang terkapar tak berdaya. Elsya asyik dengan pekerjaan kantor yang tak terselesaikan dan Pandu asyik dengan lamunannya sendiri dalam lembaran koran yang terus dibolak-baliknya itu. “Kalau ayah ngantuk, tidur saja duluan. Ibu tanggung, kerjaan ini harus dibawa besok.” Elsya tak acuh, pandangannya tetap pada monitor Travelmate 507-nya sesekali membetulkan frame kacamata. Pandu terlihat mendelik dan tanpa berkata-kata ngeloyor masuk kamar. Semakin panjanglah malam-malam itu dilaluinya dengan posisi sebagai pecundang. Darah menggelegak haus, mencari tuan yang kehilangan nyali. Pandu mengurungkan niatnya merebahkan tulang-tulang ragawi yang kelelahan mencari makna, ketika telinganya menangkap suara dari kamar putrinya. Tertatih dia menuju kamar Putri, dilihatnya anak semata wayang itu tertidur sangat pulas. Pandu tersenyum senang dan kecemasanya sontak sirna. Terlalu khawatir saja sebenarnya yang membuat Pandu seperti mendengar rengekan putrinya itu. Setelah membetulkan selimut tebal bermotif warna-warni bunga agar Putri tidur dengan aman dan hangat, Pandu pun keluar. Di kamar Pandu hanya rebahan, matanya belum ngantuk benar saat itu. Hanya karena Elsya menyuruh dan terdorong takut mengganggu kesibukan istrinyalah, membuatnya masuk kamar. Jangankan berdebat, cekcok sedikit saja Pandu nggak suka. Apalagi cekcok hanya gara-gara masuk kamar tidak secara bersama-sama. Seperti biasa lelaki yang terlampau tua untuk seukurannya itu membentangkan lamunan pada langit-langit kamar, dan semakin larut ketika lamunan itu datang berseliweran seperti camar-camar nakal mencari tiang sampan. Satu dari sekian lamunan itu berhasil memperdaya Pandu dan menengadah pasrah. *** Pada sengatan matahari. Pandu kecil berlari-lari di pematang yang baru saja selesai panen dan menyisakan bau jerami yang terendam, mengejar bebek yang berlari tak beraturan. Di belakanganya pak Manan teriak-teriak bersaing dengan bebek-bebek piaraanya. “Kau harus berhasil mengembalikan bebek-bebek liar itu pada rombonganya, Du. Kau laki-laki. Harus bisa mingpin !” Pandu kecil terengah-engah kehabisan nafas dan langkah-langkah kecilnya di pematang itu nampak kesususahan, sesekali terpeleset. Matahari menyengat dan melelehkan cairan tubuh Pandu kecil. “Ayah ! Putri nangis kok malah ngelamun sih ! Ibu kan lagi tanggung !” Elsya berdiri di pintu kamar. Pandu tergesa bangkit dan memang terdengar Putri masih merengek. “Astagfirullah, kenapa tidak kau samperin, anak ketakutan kok dibiarin gitu ?! Dia kan bisa shock !” “Lho ? Kok ibu yang disalahin sih ? Pake istigfar lagi, sepertinya ayah sudah tidak….” “Putri kan anakmu juga !” “Tapi yang mau punya anak kan kamu, Yah !” “Masyallah, Elsya, sadarkah apa yang kamu ucapkan itu ?” Pandu bergegas menuju kamar anaknya. Putri memang menangis dan sedang ditepukin si bibi. Begitu dilihatnya Pandu masuk, si bibi membungkuk dan menyingkir. “Kenapa katanya, Bi ?” “Nggak tahu, Pak ! Non Putri tiba-tiba nangis nggak bisa didiemin … “ “Sudah ! Bibi pergi saja !” Pandu mendekap Putri hingga diam. Sejenak tak terdengar tangis lagi kecuali sisa-sisanya. Pelan Pandu menepuk-nepuk pundak Putri, sebentar kemudian anak itu pun tertidur di pangkuannya. *** “Ibu jahat ya, Bi ?” “Lho .. kok non Putri bicara begitu. Ndak boleh ! Itu namanya pamali. Sama orang tua nggak boleh bicara seperti itu !” Bibi tersentak mendengar kata-kata Putri seperti itu. “Abisnya nggak pernah sayang sama Putri !” “Ibu pasti sayang !” “Kok nggak pernah nganter Putri sekolah ? Ibu pasti jahat … “ “Ssst … !” Bibi menempelkan telunjuk di bibir tuanya. “Nanti Putri masuk neraka ya ?” “Ya … kalau jahat sama orang tua, akan masuk neraka !” “Kalau ibu jahat sama Putri, ibu masuk neraka nggak ?” “Aduh si non … kok ada-ada aja ! Ya … bibi nggak tahu !” Bibi salah tingkah. Sarapan yang masih tersisa dipaksa dimasukan kedalam mulut Putri, tapi anak itu tetap tak mau membuka mulutnya. “Ayah itu orang kampung ya, Bi ? Suka main sama bebek ya ?” “Ya … nggak tahu ! Sudah sekarang makan dulu … biar non Putri sehat.” “Nggak mau … makan aja sama bibi !” *** Putri sekolah siang atau sekolah pagi, tugas Pandu mengantarnya. Sebagai petugas perpustakaan, Pandu memang tidak terlalu sibuk. Hampir seluruh waktu tugasnya dipakai melayani anak-anak. Karena lebih banyak waktu luang, tugas antar jemput baginya bukan sebuah beban yang akan memusingkan kepala. Elsya memang sangat sibuk, sebuah kondisi yang memaksa Pandu untuk memakluminya. Salah sendiri kenapa kemarin dulu mengijinkan Elsya cari kerja. Sebagai sarjana ekonomi dari universitas pavorite di kota ini, Elsya memang banyak peluang untuk mendapat kesempatan maju dan sekarang telah dibuktikannya. Sebagai marketing manager dari sebuah perusahaan besar, tak bisa dihadapi dengan setengah-setengah apalagi kalau sekedar main-main. Apalagi Pandu pernah ngomong, kalau mau kerja ya silakan, asal jangan merasa dipaksa dan ia sendiri sejak awal menegaskan tak mau mendengar keluh-kesah. Bumi pun berputar pada kuasa-Nya, kemudian menorehkan sejarah demi sejarah pada tiap diri yang bernyawa. Bukan keinginan Pandu kalau kemudian dia jadi lebih banyak tahu tentang masalah rumah dibanding istrinya. Bukan pula alasan untuk terus-terusan dijadikan bahan pertengkaran. Baginya hidup adalah pengabdian. Pada Tuhan, pada alam dan pada sesama. Kalau pun harus lebih rendah segalanya dari istri, dia menerima sebagai torehan sejarah dari alam yang harus diterimanya. Tapi tentang godaan itu tetap saja sering menyelusup pada pori-pori nuraninya, yang kadang membuatnya kering tenggorokan. “Kamu itu lelaki, Pandu. Lelaki adalah pemimpin bagi anak istrinya. Astagfirullah al-adziim…bagaimana kau bisa jadi pemimpin, kalau kendali rumah tangga justru ada di tangan istrimu !” suatu hari pak Manan pernah menggugatnya. Tapi Pandu cuma tersenyum. Begitu pun ketika Putri menanyakan kenapa ibunya tak pernah mau mengantarnya ke sekolah, Pandu tak terlalu banyak berkata selain elusan sayang di kepala putrinya itu. Tapi kejadian tadi malam benar-benar membuat Pandu sakit. Perih. Ketika Putri merengek terus karena demam, Elsya hanya teriak minta Pandu mengurusnya padahal dia sendiri hanya asyik berselancar di dunia maya yang jadi kegemaran barunya. Pandu sibuk ngelonin Putri dan membiarkan kelelakianya tercabik-cabik, hancur ke kasur kehidupan tanpa arti. Pun ketika Pandu tertidur di kamar anaknya, sampai pagi terang tak ada seorang pun yang membangunkan kecuali si bibi yang mau membersihkan kamar. Dunia begitu sumpek. Putri masih demam dan diputuskan untuk tidak sekolah, sementara Pandu juga mangkir karena khawatir akan terjadi apa-apa dengan putrinya. Si bibi hanya terlolos bengong menyaksikan pemandangan hari itu. Seorang bapak ngelonin putrinya dan sang ibu sibuk di luar rumah. Tapi si bibi tak ambil pusing, dia asyik dengan pekerjaannya. Hanya sesekali saja masuk kamar Putri, ketika membawa air panas dan sarapannya. Menjelang sore demam Putri makin menjadi bahkan anak manis itu sampai mengigau. Pandu benar-benar bingung apa yang harus dikerjakannya. Pada saat bingung terngiang kembali suara bapaknya. Makin lama makin keras dan menguasai setiap sudut kesadarannya. Akhirnya Pandu menelpon Elsya. Dari seberang sana terdengar nada ketus dan tak sabaran untuk bicara lama-lama. Katanya sedang disibukan dengan pekerjaanya. “Emangnya penting banget kerjaan itu ?” protes Pandu. “Lho .. kok nanya begitu, kayak anak kecil saja. Udah. Ibu akan buru-buru pulang.” Klik gagang telpon disimpan menyisakan sesak di dada Pandu. Dalam nanar pandangannya Pandu mulai merasakan satu demi satu ketidak beresan itu datang silih berganti. Ketika Putri ngigau malam, tugasnya untuk menenangkannya. Bahkan suatu hari ketika si bibi pulang kampung dan Putri mau dibikinin orange juice, Pandu yang sibuk bikin di dapur sementara Elsya asyik menelpon dengan seorang klien. Sekarang terasa betapa hebatnya seorang klien sampai menelpon ke rumah. Puncak dari semua sakit hati itu yang sayang baru disadarinya belakangan ini, mengantarkan Pandu berjalan gontai masuk ke kamar dan lama berdiri kaku di depan lemari pakaian. Dalam sakit hati pula tangan-tangan yang lama tak menunjukan kekekarannya itu sampai juga memegang travel bag dan membukanya. Beberapa pakaian dibereskan. Baru saja hendak menutup rizsleting travel bag yang diisi pakaian pribadinya itu, tiba-tiba matanya terantuk pada sebuah amplop kabinet di bawah tumpukan baju istrinya. Pelan amplop tersebut ditariknya. Tak ada identitas apapun di sana selain bagian bawahnya yang agak gembung berisi sesuatu didalamnya. Terdorong rasa penasaran, Pandu membuka ikatannya dan menarik isinya. Betapa kagetnya dia ketika isi amplop kabinet tersebut ternyata sejumlah amplop warna kuning dan tertera namanya. Amplop yang biasa dia terima setiap awal bulan dari tempatnya bekerja. Lebih kaget lagi ternyata isinya pun masih tetap utuh. Pandu benar-benar sakit dan bahkan mungkin kini telah mulai berdarah. Luka itu terus menganga mengeluarkan nanah dendam. Terngiang kembali kata-kata bapaknya. Terbayang kemudian Elsya ongkang kaki di atas kursi arogansinya. Jangan salahkan siapa-siapa kalau kemudian bisikan hatinya sudah bulat, sore itu juga dia pergi. Tapi ketika di ruang tengah dilihatnya Putri, langkahnya kembali ragu-ragu. Dalam kebimbangannya itu, dia melihat sorot mata si bibi yang penuh tanda tanya. “Bapak mau kemana sore-sore begini ?” “Emh…anu, Bi, saya mau ke dokter.” Pandu gugup. “Kok bawa tas besar ?” giliran si bibi yang merasa aneh. Pandu makin gugup. “Emh … Putri masih panas. Siapa tahu harus opname. Bibi tunggu rumah saja. Kalau ibu pulang, bilang saya ke dokter. Ayo, Putri !” entah kenapa dari bibir Pandu meluncur kata-kata seperti itu, dan refleks tangannya membentang. Putri pun tak banyak bicara, dia gelayutan meninggalkan sorot penasaran dari mata pembantunya. *** Elsya benar-benar gelisah. Semua dokter kenalannya yang biasa merawat Putri, tak seorang pun ngasih jawaban yang melegakan. Dari daftar pasen tak ada nama Putri maupun nama suaminya. Hampir tengah malam, saat Elsya merasakan puncak kegelisahannya. Ditemani si bibi yang tak bicara sepatah katapun, Elsya tak bisa menahan air matanya. Entah air mata apa, kecewakah atau apa dia sendiri masih sangsi, yang jelas malam itu dia mau menangis. Baru malam itu dia merasakan kesepian setelah tidak melihat suaminya, tidak menyaksikan mata bulat putrinya. Kemarin bahkan tadi siang di kantor, Elsya masih merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah benar karena ingin mendongkrak kehidupan rumah tangganya. Tak pernah menyangka sedikitpun kalau pengalihan tugas menjaga Putri pada suaminya, akan berakhir dengan minggatnya Pandu. Terngiang suara mama. Terngiang protes tak tuntas dari suaminya. Terngiang rengek Putri ketika demam. Membuat Elsya kehilangan kesabarannya dan teriak kesal mengagetkan si bibi yang terlolong bengong. Pagi-pagi benar Elsya menelpon polisi tentang kepergian suami dan putrinya, kemudian ngecek beberapa rumah sakit untuk memastikan bahwa tak ada seorang pun korban kecelakaan malam tadi bernama Putri atau Pandu. Siang itu Elsya tidak kerja, kepalanya pening tak karuan. Dia bingung sendiri harus kemana mencari, yang terlihat saat itu hanya tembok-tembok tinggi di sekelilingnya. Kalau saja si bibi tidak ngomong soal keinginan Putri berkunjung ke embahnya di kampung, Elsya tentu tak akan pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari tahu di rumah mertuanya. Sejak malam yang kepikir hanya mamanya semata. Saat itu juga Elsya menelpon mertuanya. “Maaf, Mas Pandu ada di situ, Pak ?” “Siapa ?” “Saya, Elsya, pak ?” “Elsya ? Masak nggak tahu suamimu pergi ke mana.” “Ehm … “ “Kau juga nggak tahu kapan suamimu pergi ?” “Ehm .. saya … “ “Sibuk dengan kerjaan ?” Klik. Elsya menghela nafas panjang. Sebagai wanita dia merasa telah melakukan kebodohan yang teramat sangat, paling tidak semua itu terlihat dengan masih bisa bertahannya di rumah sampai saat itu padahal anak dan suaminya pergi entah kemana. Ada cibiran dalam kata-kata mertuanya tadi, tapi tidak demikian yang dia dengar dari mamanya. “Besok juga dia kembali. Berapa sih gaji dia. Apa bisa buat menghidupi dirinya dan Putri ?” Carut-marut di kelopak mata Elsya makin tak beraturan, seperti coretan-coretan anak kecil yang baru bisa pegang pensil. Sebagai seorang marketing manager yang terbiasa menghadapi masalah-masalah rumit, ternyata Elsya bertekuk lutut ketika menghadapi masalah itu. Sebagai wanita dia merasa telah terpedaya oleh ambisinya. Sebagai seorang ibu dia telah kehilangan kesempatan untuk hadir di sisi putri tercintanya manakala sakit. “Kau harus menang. Tatap lawan bicaramu dan taklukan !” “Kepada siapa ?” “Semuanya ! Termasuk juga suamimu !” “Mas Pandu ?” “Ya ! Buat dia bertekuk lutut sebagai seorang laki-laki yang kehilangan kelelakiannya, karena disanalah kamu akan hidup dalam ambisimu.” Terngiang terus kata-kata mamanya itu. Sebagai seorang wanita, mama memang sangat mengagumkan. Ditinggalkan bapak sendiri dalam usia perkawinan masih belia, mengurus Elsya sendiri dengan keringat bahkan mungkin air mata. Warisan dari kakek yang habis dipakai mengobati papa, membuat mama hidup dalam kubangan penderitaan. Tapi dengan semangat akhirnya bangkit dan terus berdiri tegak dalam ambisinya. “Aku tak bisa, Ma. Aku sayang Putri !” jerit bathin Elsya saat itu. HP di saku blezer merah marun berbunyi. Mama yang telpon. Kurang semangat Elsya menerimanya. “Belum pulang juga laki-laki itu ?” katanya dari seberang sana. Elsya mengiyakan tanpa darah. “Kau tak boleh kalah. Jangan sekali-kali kau bersusah payah untuk mencarinya, karena kalau kamu bersusah payah mencari artinya kamu sudah membeberkan alas tidur untuk tidurmu sendiri. Kau paham ?” Elsya mengangguk diiringi suara mengiyakan pelan. “Elsya ? Masak nggak tahu suamimu pergi ke mana. Kau juga nggak tahu kapan suamimu pergi ? Sibuk dengan kerjaan ?” silih berganti suara mertua dan mamanya, datang merayap pada pendengaran bathin Elsya. Sejenak kegalauan itu berhenti ketika ditelpon dari kantor, dan ada yang harus ditandatangani saat itu juga. Elsya menyuruh staffnya untuk datang ke rumah. Wajah pun dia ganti dengan seraut wajah manis tapi berwibawa seperti yang selama ini didapatkan para klien perusahaanya. Esoknya ada telpon dari GM, Elsya harus ke Singapura dan segalanya sudah disiapkan. Elsya tak bisa menolak karena ini urusan hidup dan matinya perusahaan. Selama seminggu di Singapura hanya sepenggal-sepenggal saja dari waktunya yang bisa dia optimalkan untuk kerjaan. Beberapa kali nelpon ke rumah, Pandu dan Putri belum juga pulang. Pulang kembali dengan hati setengah-setengah, setengah bingung dan setengah kangen. Kemudian Elsya minta cuti beberapa hari, tapi soal laporan dari Singapura akan tetap dikerjakan di sela-sela hari cutinya. Perut terasa melilit. Baru sore itu Elsya sadar kalau dia belum makan sejak kemarin malam. Apa yang disajikan si bibi samasekali tak menarik minatnya. Maka malam itu dalam perjalanan ke rumah mertuanya, Elsya mampir di rumah makan Sunda. Tapi tetap apa yang telah dibayangkan didalam mobil tadi, samasekali tak menggugah selera makannya. Akhirnya hanya meneguk orange juice kemudian meninggalkan meja. Elsya benar-benar kecewa karena harapannya kandas lagi. Padahal yang dia harapkan adalah suara Putri menyambutnya begitu dia menutup pintu mobil. Tapi rumah tua itu semakin nampak lesu. Dia tak melihat benih-benih keceriaan yang bisa makin mekar. Ketika mengetuk pintu, pak Manan yang datang. Dengan sorot mata kurang ramah laki-laki separuh baya itu hanya memberi isyarat mengajaknya masuk. Dari dulu pak Manan memang selalu nampak angkuh dan kurang bersahabat setiap menyambut Elsya, apalagi ketika tahu bagaimana mamanya pernah menyinggung perasaannya. Urusan sepele saat itu sebenarnya, gara-gara pak Manan datang dengan pakaian sederhana dan membawa setandan pisang hasil dari kebunnya. Tapi mama sangat marah, karena tak mau punya besan seperti itu. “Kau rupanya !” “Iya, Pak ! Selamat sore.” Elsya menunduk dan siap-siap untuk sungkem, tapi pak Manan menarik tangannya dan dilingkarkan di belakang membuatnya nampak sangat angkuh. “Sore ! Masuk !” “Terima kasih. Bapak udah dapat kabar ?” hati-hati sekali Elsya mengajukan pertanyaan itu. Pak Manan acuh tak acuh hingga pertanyaan itu tak menemukan jawaban. Sebentar kemudian Emak datang, seperti biasa ramah sekali pada Elsya. Seperti timur dan barat antara pak Manan dengan Emak. “Nak Elsya !” “Emak ! Maafian saya !” Elsya tak sungkan untuk sungkem, dan pada pangkuan wanita tua itu Elsya juga tak sungkan untuk menyatakan apa-apa yang membuatnya tersenggal di tenggorokan. Pak Manan sedikit teriak dari dalam : “tanya cepat mau apa dia kemari, supaya kita tidak terlalu berlama-lama. Ketinggalan kereta Emak sendiri kan yang repot, aku sih masih bisa jalan sampai jalan propinsi.” Emak mengelus kepala Elsya dan pelan mengangkatnya. Elsya mendongak, matanya sembab. Sebuah pemandangan yang jarang sekali nampak pada wajah Elsya, sebagai seorang eksekutif muda yang enerjik. “Kau pasti cari Pandu dan anakmu, kan ?” Elsya mengangguk. “Nggak usah khawatir. Ada di dalam. Masuklah ! Emak tinggal dulu, mau ke kecamatan. Ada urusan sama bapaknya Pandu.” Elsya mengganguk dan matanya yang bulat itu kini benar-benar penuh harap. Kalau saja tidak malu, tentu dia akan berlari dan tak akan sungkan lagi untuk sungkem pada suaminya. Kalaulah dengan mencuci telapak kaki Pandu bisa menebus rasa bersalahnya, saat itu juga Elsya mau melakukannya. Tapi rupanya rasa kangen itu pada anak dan suaminya saat itu terlalu mahal untuk dia dapatkan dengan mudah. *** Di ambang pintu kamar Elsya melihat Pandu berdiri kaku. Matanya menatap tak ramah. Sementara dia tak melihat Putri. Entah dimana, yang jelas bathinnya meyakini kalau buah hatinya itu ada di dalam ruangan rumah sederhana yang didominasi bambu tersebut. “Darimana kau tahu aku ada disini ?” tanya Pandu membuyarkan kebekuan. Elsya tak segera menjawab selain menatap ragu seperti anak perawan memasuki halaman rumah lelaki yang menaksirnya. “Kata hatiku yang mengajak aku ke sini !” pelan Elsya melangkah mendekat pada Pandu yang tetap terpatung kaku. “Masih juga punya hati rupanya wanita hebat seperti kamu.” “Memangnya kenapa ?” “Aku menunggu hinaan apalagi yang akan kau tebarkan disini !” “Ayah ?! Apa maksudmu ? Kapan aku menghina ayah ?” “Kapan ? Kapan akan berakhir maksudmu ?” Pandu mencibir, kemudian melangkah dan duduk di kursi tengah rumah. Sebentar kemudian dari dalam kamar Putri keluar dan berlari ke arah Pandu melewati Elsya yang baru saja merentangkan tangan menyambutnya. Tapi anak itu seperti ketakutan. Elsya benar-benar diam. Dia seperti menyaksikan sebuah pemandangan asing saat itu. “Udah bangun cayang, uh cup .. cup .. Enak bobonya ?” “Putri haus !” kata Putri sambil sesekali menguap. “Habis minum mau bobo lagi ?” “He-eh … “ Putri mengangguk. “Putri ? Sini mama gendong ! Nggak kangen sama mama ?” Elsya mendekat, tapi anak itu malah memeluk erat ayahnya. “Sudah lah ! Lebih baik kau pulang. Kantormu akan bangkrut kalau berlama-lama ditinggalkan seorang manager macam kamu. Biarkan Putri di sini, karena dia telah menemukan dunianya sendiri. Aku tak mau dia kehilangan dunianya seperti ayahnya yang lama kehilangan kelelakiannya.” “Ayah ini bicara apa sih ? Ibu kok nggak ngerti.” “Aku ini sakit, Elsya. Sakit. Lebih sakit lagu dengan pertanyaan-pertanyaan tololmu itu. Apa kau nggak merasa telah mencapakanku bahkan menginjak-injak aku.” Pandu tak bisa menyembunyikan kemarahannya. Kalau saja Putri tidak mengguncang-guncang pundaknya, Pandu akan keterusan. Diciumnya Putri, kemudian dia berdiri dan menggendong Putri dibawa masuk ke kamar. Elsya mengikuti tapi terpaku di ambang pintu ketika melihat Pandu melotot tak suka. Kebekuan mengambang kemudian mengkristal pada bathin masing-masing. Elsya duduk kembali di kursi menghadap halaman. Pelan dari dalam kamar terdengar Pandu cerita pada Putri tentang Sandekala yang mau menelan bulan. Entah cerita apa lagi yang didengar Elsya saat itu, karena sebagian dari waktunya larut pada lamunan-lamunan kosong. Sebentar kemudian Pandu keluar dari kamar dan mendekati Elsya yang sedang menatap kosong ke arah halaman. “Putri sudah tertidur. Cepet katakan apa maksud kamu datang ke mari ?” dengan bicara agak ditekan Pandu seperti sengaja ingin membuyarkan lamunan Elsya. “Aku kangen sama Putri !” “Sama Putri ?!” “Juga sama kamu, Ayah !” “Sama aku ?” “Iya, apa itu salah ?” “Tidak ! Yang salah cara kamu menilai orang. Baru kemarin aku merasa bagaimana aku sakit hati. Aku tak pernah menyangka sedikitpun, kalau gajiku selama ini hanya kau simpan dalam sebuah amplop besar dan tak sempat kau buka. Aku yakin itu. Maka lengkaplah Si Pandu ini sebagai pecundang dan harus mencium tanah kehinaan.” Elsya diam. Dia ingat benar kelakuannya selama ini. Dia tak pernah lagi membuka amplop gaji suaminya seperti awal-awal meniti rumah tangga dulu. Segala keperluan telah dicukupi, sehingga tak merasa perlu lagi untuk membukanya. “Aku tak bermaksud menghinamu, Ayah. Tapi okelah. Aku mohon maaf. Aku terlalu sempit memandang selama ini. Tapi jangan halangi aku untuk kangen-kangenan sama Putri.” Elsya tak ngotot lagi seperti biasanya. Dia seperti telah menemukan kembali sifatnya yang dulu dalam sepenggal lamunannya tadi. “Tidak. Aku tak ingin anakku disentuh seorang ibu yang kehilangan kewanitaaanya. Aku tak rela anakku dididik untuk jadi sombong dan tinggi hati.” Pandu tetap tegang. “Lebih baik kau segera pulang, supaya mamamu tak menelpon lagi ke mari dan memuntahkan kata-kata kotornya. Aku takut kehilangan kesabaranku dan tiba-tiba melukai ibumu.” “Kapan mama telpon ?” “Sebelum kau datang tadi ! Kau tahu mau kemana emak dan bapakku ?” Elsya menggeleng. “Mau berkunjung ke rumah seorang ustadz, karena takut hatinya tidak terkendali karena menerima hinaan dari ibumu.” Elsya terdiam. Pipinya makin terasa panas. Terngiang kembali bagaimana kata-kata ibunya ketika dia menelpon dan mengatakan Pandu dan Putri tidak ada di rumah. Elsya seperti baru sadar, bahwa selama ini kekagumannya pada ibunya itu justru telah menularkan kebusukan. Tak tahu berterima kasih, tak bisa menghormati orang lain dan hidup selalu mau menang sendiri adalah sedikit watak yang dia dapatkan dari darah ibunya sendiri. Elsya tertunduk malu. Tanpa kata-kata dia keluar dari rumah sederhana itu. Dia berjalan menyusuri jalan panjang meninggalkan kendaraan mewahnya, meninggalkan segala atribut yang selama ini telah membelenggunya sampai sulit untuk menghormati seorang lelaki karyawan sebuah perpustakaan negara, padahal laki-laki itu adalah suaminya sendiri. *** Sepuluh tahun silam. Pandu dan Putri berjalan sesekali berlarian di sebuah taman kota. Seorang perempuan tua compang-camping menikmati pemandangan itu. Tak sadar bibirnya tergetar dan terlolos kata : “Putri !”. Astagfirullah. *** Ada tiga hal yang termasuk kebinasaan Pertama, seorang pemimpin bilamana kamu berbuat baik, dia tak berterima kasih, dan kalau kamu berbuat kesalahan dia tidak memaafkan Kedua, tetangga yang busuk hatinya, kalau dia melihat kebaikan Ditutup-tutupi, tetapi kalau melihat suatu kejelekan dia kan sebarluaskan. Dan ketiga, seorang istri bila kamu berada di rumah senantiasa Mengganggumu dan kalau kamu sedang tidak ada di rumah, Ia mengkhianatimu. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar