Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Kamis, 19 Mei 2016

SEPANJANG KEINGINAN UDIN

Oleh : E.Rokajat Asura
Namanya sangat singkat, Udin. Cuma empat hurup, tidak kurang tidak lebih. Dari sononya namanya ya seperti itu. Ini bukan nama rekayasa bukan pula singkatan. Tapi soal keinginan jangan tanya. Keinginan Udin panjang sekali, lebih panjang dari rel kereta api Jakarta – Surabaya. Sejak kecil Udin selalu memelihara keinginan demi keinginan itu. Bahkan beberapa diantara keinginan itu ada yang sampai menjadikannya sebuah obsesi. Memang tidak selamanya keinginan itu terwujud, banyak juga yang tidak terlaksana sehingga keinginan tinggal keinginan. Setiap akhir tahun sudah jadi kebiasaan Udin yaitu mengadakan introspeksi tentang keinginan mana yang terlaksana dan keinginan mana yang tidak terlaksana. Nah, kesimpulan pada tahun sekarang ternyata banyak keinginan yang tidak terlaksana. Artinya selama tahun ini prestasi Udin sangat buruk. Tidak heran kalau sekarang dia selalu merenung mencari akal dan ramuan yang jitu, agar keinginan-keinginan di tahun depan nanti akan banyak yang terlaksana. Paling tidak 51 satu prosen dari keinginan itu terlaksana, dan 49 yang tidak terlaksana. Sengaja menggunakan komposisi seperti itu agar kelihatannya lebih keren, atau paling tidak mengikuti bagaimana para pemegang saham menentukan kebijakan. Hampir setiap hari, pagi-pagi benar Udin telah memegang buku dan pensil. Dia mulai menulis satu demi satu keinginan yang ingin diwujudkan dalam tahun depan. Selama seminggu mencatat keinginan-keinginan itu akhirnya telah tertulis tidak kurang dari 60 buah keinginan. Jumlah yang fantastis tentu saja, karena dengan jumlah keinginan sebanyak itu, paling sedikit dalam sebulan harus mewujudkan lima buah keinginan. “Inilah planning saya untuk tahun depan,” jelas Udin ketika Sugeng, salah seorang teman dekatnya menanyakan apa yang ditulisnya selama seminggu ini. Satu demi satu Sugeng menelitinya, lalu ia senyam-senyum dengan sejumlah catatan yang ada dalam buku milik sahabatnya itu. “Kamu punya jurus apa untuk mewujudkan semua keinginan ini ?” tanya Sugeng serius. Ditanya seperti itu Udin tidak langsung menjawab. Dia sendiri masih bingung, jurus apa yang paling ampuh agar semua keinginan yang telah ditulisnya dalam buku cukup tebal itu semuanya terwujud. “Kamu perlu seorang peramal, yang harus meramal nasib kamu tahun depan nanti. Nah, keinginan-keinginan yang sesuai dengan ramalan itulah yang harus kamu prioritaskan. Dengan cara seperti itu kamu tidak akan terlalu membuang-buang energi secara percuma. Kalau kamu butuh seorang peramal, aku punya teman !” jelas Sugeng seraya menuliskan nama dan alamat temannya yang terkenal sebagai peramal. Sesaat Udin seperti ragu-ragu dengan usulan Sugeng itu, tapi akhirnya dia menerima juga. Menurut pemikiran Udin saat itu, dengan diramal paling tidak dia sendiri akan memiliki jurus untuk memilih dan memilah keinginan mana saja yang harus diprioritaskan. Singkat cerita pada suatu hari Udin pergi ke tempat meramal. Di sana mulailah dia diramal, dari mulai rejeki, jodoh sampai sejumlah keinginan yang telah dicatatnya. Sejam berikutnya, Udin telah melenggang meninggalkan tempat itu dengan wajah ceria. Betapa tidak, menurut ramalan di akhir tahun ini, dia akan menerima kejutan demi kejutan yang berkaitan dengan rejeki. Kejutan demi kejutan itu konon akan datang langsung ke rumahnya. Maka melambunglah khayalan Udin. Andaikata dikejutkan dengan diperolehnya sejumlah rejeki pada akhir tahun ini, dia punya rencana dari mulai mengganti sepeda motor, mencat rumah, wisata dan tentu saja melamar gadis pujaannya. Pagi-pagi Udin sudah mandi, lalu duduk di depan teras lengkap dengan buku dan pensil. Dia mulai menuliskan rencana. Pertama, mengganti sepeda motor. Dia hitung berapa harga motor lamanya dan berapa harga motor baru sehingga munculah margin. Dalam kolom pemasukan ia menuliskan, andaikata kejutan itu sejumlah lima belas juta maka sekian prosen dipakai untuk nambah beli motor, sekian prosen untuk mencat rumah, wisata dan sekian prosen untuk disimpan di dalam tabungan agar nanti kalau telah cukup waktu menikah, tidak akan terlalu kelabakan. Jam sepuluh pagi Udin belum beranjak dari tempat duduknya karena menunggu datangnya kejutan. Hari itu dia memutuskan untuk tidak pergi jualan, karena takut ketika kejutan itu datang, dia sendiri tidak sedang di tempat. Sampai sore hari ternyata kejutan itu belum juga datang. Kecewakah Udin ? Ternyata tidak. Dia justru berharap, siapa tahu kejutan itu akan datang besok. Sebaliknya dia mulai instrospeksi. Tadi pagi jam delapan dia sudah duduk di teras, tapi siapa tahu kejutan itu justru datang jam tujuh saat dia sedang di kamar mandi. Keesokan harinya jam tujuh Udin sudah menunggu kejutan. Tapi sampai sore hari bahkan sampai tengah malam kejutan itu tidak muncul juga. Pada hari ketiga ia bangun lebih pagi dan jam enam sudah duduk di teras menunggu kejutan. Tapi anehnya sampai sore kejutan itu belum muncul juga. Udin tetap tidak kecewa, sebaliknya keesokan harinya jam lima pagi sudah duduk di teras untuk menunggu sang kejutan tiba. Demikianlah terus, Udin selang sehari selalu memundurkan waktu duduk di teras itu. Hingga akhirnya entah pada hari ke berapa, Udin genap tidak tidur samasekali. Selama itu pula ia tidak pergi dagang sehingga sebagian dari tabungannya mulai dikuras untuk biaya hidup selama beberapa hari menunggu kejutan. Apalagi pengeluaran selama menunggu kejutan itu benar-benar melambung, karena untuk segala keperluan Udin menyuruh orang lain sementara dia sendiri duduk di teras menunggu sang kejutan datang. Dia sengaja menyuruh orang untuk melayani dirinya, agar tidak ada kesempatan kejutan lewat begitu saja. Hampir sebulan duduk di teras menunggu sang kejutan, Udin dikabarkan ambruk. Maklum karena terlalu sering begadang sehingga kesehatannya terganggu. Lalu Udin dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan harus opname. Menurus hipotesa dokter, Udin menderita tekanan darah rendah komplikasi dengan wasir. Udin yang diopname akhirnya sampai juga beritanya kepada Sugeng yang saat itu baru pulang dari Surabaya. Sahabat dekatnya itu datang menjenguk. Melihat wajah Udin yang pucat dengan tulang pipi yang menonjol, Sugeng benar-benar tidak kuasa menahan tangis. “Kenapa kamu jadi begini, Din ?” tanya Sugeng sambil berurai air mata. Udin tidak segera menjawab melainkan menunjuk ke atas meja kecil tempat buku yang selama ini dipegangnya tersimpan. Sugeng membuka-buka buku. Pada halaman dalam ada tulisan besar : Kamu Akan Mendapatkan Kejutan Rejeki Yang Datang Ke Rumah. Dibawah tulisan itu ada juga serentetan tulisan yang berisikan rencana mengganti sepeda motor, wisata dan melamar gadis pujaanya. Di halaman lain Sugeng membaca tulisan tentang hari pertama Udin menunggu kejutan sampai akhirnya dia ambruk. Pada tulisan-tulisan itu terlihat bulatan-bulatan stabilo yang memberi tanda kalau hari itu Udin gagal menerima kejutan. “Kenapa kamu jadi bodoh begini, Din ?” “Aku tidak bodoh, justru karena aku pintar semua itu terjadi. Kata peramal teman kamu itu, semua ramalan akan terjadi kalau kita percaya seratus prosen dan melatih kesabaran dari apa saja yang diramalkannya itu,” jelas Udin terbata-bata mengingat kesehatannya belum pulih. Mendengar pengakuan Udin seperti itu, untuk kesekian kalinya Sugeng hanya menggelengkan kepala. “Din, yang namanya ramalan itu hanya sebuah prediksi, bukan sesuatu yang pasti. Kejutan rejeki itu mustahil datang kalau kamu hanya menunggu, duduk termenung di depan teras. Coba kamu bayangkan, kalau selama sebulan ini kamu terus berdagang, kamu terus pergi ke pasar, menjalin hubungan dengan orang lain, berapa keuntungan yang akan kamu peroleh sekarang ? Mungkin itulah kejutan rejeki kamu di akhir tahun. Tapi sekarang, kamu bukannya mendapat kejutan rejeki malah sebaliknya sangat banyak kehilangan rejeki. Buang-buang rejeki.” Udin termenung. Entah kenapa selama sebulan ke belakang dia benar-benar telah berlaku bodoh, menunggu rejeki turun dari langit tanpa berusaha sedikit pun. Udin kemudian memejamkan mata, dengan kegagalan seperti itu berapa point keinginannya lenyap begitu saja. Akhir tahun yang menyedihkan tentu saja. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar