Di sebuah kota baru. Persaingan adalah gesekan batu-batu api. Kematian dan penderitaan sebuah kekalahan warna dalam setiap rentang masa. Peluh dan nafas sesal, bercampur bau amis kemiskinan. Di salah satu gang sempit dan pengap, Karmina menghabiskan masa kanak-kanaknya. Tak pernah dia menolak atau berontak dilahirkan jadi anak waktu dalam desakan problematika kehidupan. Tak pernah bertanya atau menggugat, salah siapa semua ini. Dia terlalu lugu untuk bisa menyikapinya. Ibunya yang sejak usia remaja asyik menghabiskan waktu luang dengan kartu, dianggap Karmina sebagai bagian dari denyut nadinya. Pun ayahnya yang tak pernah keluar dari gudang dengan kaki dipasung pada balok kayu adalah sebuah kebersahajaan.
“Empat ditambah empat berapa, Mina ?”
“Delapan pak Guru !”
“Ibukota negara kita dimana ?”
“Jakarta, pak Guru !”
Ketika di Sekolah Dasar, Karmina anak cerdas. Tapi kecerdasan itu bukan lah kebanggaan ibunya, karena dia lebih bangga pada lembaran uang. Baru akan terlolos puja-puji dari mulutnya, ketika Karmina kecil pulang membawa uang. Entah pemberian dari siapa, entah karena jasa apa dan dari mana pun, tetap akan memberi kenikmatan karena bisa berlama-lama main kartu.
***
Di sebuah SLTP. Hingar bingar kemewahan dan teriakan anak-anak. Dua anak wanita berjalan dalam warna kontras kehidupan, Karmina dan temannya, Ajeng, keluar dari gerbang. Karmina dengan langkah menyusuri gang sempit dan Ajeng dengan keempukan sedan serta sopir pribadi. Keduanya ceria dalam dunia yang berbeda. Kelak Karmina pun sering bertanya, kenapa harus ada perbedaan. Tidak seragam putih semua merah semua. Tapi roda menggelinding dan rentang kerikil itulah yang kemudian harus diakrabinya.
“What’s your name ?”
“Mina ! Karmina !”
Karmina senang bahasa Inggis juga matematika. Tapi dia buntu pada tembok sekolah. Cerita guru dan canda teman adalah sebuah fatamorgana. Karmina dipaksa menghasilkan uang untuk menutup utang ibunya. Hari-hari indah berjalan diantara langkah-langkah kaki orang dewasa. Mengenakan seragam putih-biru itu, kini hanya tinggal titik nadir kenangan. Satu-satunya kebanggaan adalah persahabatannya dengan Ajeng. Ajeng anak bungsu keluarga Anggana, seorang perwira polisi terlampau mengagumi kepintaran Karmina. Dan Karmina cukup bangga mendengar cerita tentang sekolah.
“Iya, Pa ! Katanya Mina nggak punya biaya lagi.”
“Memangnya bapak Mina nggak mampu bayar sekolah ?”
“Kan bapak Mina nggak kerja !”
“Ibunya ?”
“Ibunya juga ! Kata Mina ibunya senang berjudi. Apa sih judi itu, Pa ?”
Suatu hari keluarga Anggana mengajukan rencana bantuannya untuk jadi bapak angkat bagi Karmina, tapi ditolak oleh ibunya. Dia lebih senang mendidik Karmina agar cepat mandiri katanya. Begitu pula ketika Anggana memberikan sejumlah uang untuk membantu meringankan biaya sekolah Karmina, tak lebih dari tiga hari habis dipakai judi.
“Karmina itu anak saya. Saya lah yang bertanggung jawab untuk mendidiknya. Maaf, lebih baik bapak tidak terlalu mencampuri urusan keluarga kami.”
“Tadinya saya cuma ingin membantu saja, Bu. Karena menurut putri kami, anak ibu itu cukup pandai.”
“Kalau itu urusannya, saya kira banyak orang lain yang membutuhkan bantuan bapak. Kan anak-anak lain juga lebih banyak yang pintar dibanding anak saya. Barangkali mereka akan menerimanya.”
***
Karmina demam. Sepanjang hari tertidur di atas dipan di salah satu sudut ruang tengah. Kepala terasa berat bagai ditusuk-tusuk jarum. Dalam rentang malam hari, adik bungsunya memaksa membangunkan dan menangis. Disinari remang lampu, adiknya mendekap dan memaksa menuntun tangan kakaknya. Karmina berusaha bangkit sekalipun masih sakit. Dia berjalan mengikuti keinginan adiknya. Keduanya kemudian berhenti di depan kamar ibunya. Penasaran oleh suara yang mencurigakan, akhirnya Karmina memberanikan diri menyingkapkan gorden kamar ibunya. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui ibunya sedang bergumul dengan seorang laki-laki, tanpa sehelai pakaian pun. Karmina bergegas mengajak adiknya menjauh. Di depan kamar tempat menyekap ayahnya, keduanya terduduk dan menangis.
“Emak jahat, Bapak ! Bermain kuda-kudaan !”
“Hus itu ’kan lagi dipijit !”
“Kok bapak nggak pernah dipijit !”
“Sudah ! Jangan banyak ngomong kamu. Nangis kok sambil ngomong. Kata emak kalau mau nangis, ya nangis, kalau mau ngomong ya kamu ngomong saja.”
“Teteh jahat !”
“Kamu salah. Kata emak orang jahat itu kalau tidak mau ngasih duit. Bapak juga jahat karena tidak ngasih duit.”
Tepat ketika seharusnya Karmina duduk di kelas tiga SMP, potretnya telah berubah menjadi Novi, dalam bunga rampai kehidupan baru. Karmina dipaksa hidup dalam dua warna. Karmina sebagai anak yang gagal jadi dokter, dan Novi yang dipaksa genit dan harus mengerti dalam ketidak mengertian. Novi menghabiskan ketidak mengertian dalam malam dingin, gelinjang ranjang atau janji manis empuknya kehidupan sedan mewah. Beda dengan Novi, Karmina masih menjalin mesra dengan Ajeng. Ajeng selalu merasa senang, dan Karmina pun tetap sangat menyenangkan.
Jalan gelap diperkenalkan pada kepolosan dan kepura-puraan hidup oleh ibunya. Seorang ibu yang rela memakan anaknya sendiri. Alasan karena terlilit utang, dijajakanlah kegadisan Karmina pada bandot tua tanpa penyesalan. Serentetan pengalaman pahit dicekokkan tanpa sungkan dan belas kasihan. Cekokan yang menumbuhkan dendam.
Suatu hari secara tidak sengaja Ajeng lewat di rumah Karmina, tanpa perencanaan sebelumnya. Tapi ketika mengintip dari kaca depan rumah Karmina, Ajeng sangat kaget melihat sahabat yang dikaguminya itu sedang duduk di kursi, melamun sambil merokok. Wajahnya bermake up tebal dengan rambut yang acak-acakan. Berkali-kali Ajeng mengusap matanya, tapi tetap tidak berubah. Karmina yang sangat dikaguminya itu telah berubah menjadi seorang sosok menakutkan. Ajeng lari berurai air mata, meninggalkan rumah itu.
“Mina jahat, Ma ! Mina merokok seperti mang Ujang sopir kita !”
“Mina tidak jahat !”
“Mina cemong-cemong seperti badut-badut di Taman Ria !”
“Itu namanya sedang latihan drama, Sayang !”
Untuk sementara Ajeng diam terpuaskan. Kecintaan pada Mina tumbuh lagi. Suatu hari orang tua Ajeng menyuruh salah seorang pembantunya, mendatangi rumah orang tua Karmina untuk melarang Mina bergaul dengan Ajeng. Kejadian itu meledakan molotov di wajah ibu Mina. Karmina yang sedang tidur, dibangunkan dengan paksa. Merasa dihina oleh keluarga Anggana, ibunya dengan bengis memukul dan memarahi Karmina hingga menjerit-jerit. Keibaan tetangga hanyalah semilir angin gunung yang mampu menggoyangkan ujung padi. Setelah selesai menumpahkan kemarahannya, ibu Karmina masuk kamar dan menjewer anak bungsunya. Karmina duduk selonjoran di lantai berurai air mata dengan lebam di wajah. Ketika tidak terdengar lagi isak adiknya dan sumpah serapah ibunya, Karmina bersijinjit menuju gudang dan menangis ketika tahu pintu itu rapat digembok. Lama dia menangis sampai akhirnya terdengar dari dalam kamar suara ayahnya.
“Bapak bisa merasakan bagaimana penderitaan kamu, Mina. Kau pasti sakit dipukuli. Tapi jangan menangis ! Hadapilah kemarahan itu dengan manis. Karena itu akan membuatmu cepat besar. Setelah kau besar nanti, kamu akan bebas mau jadi apa dan mau kemana mengajak langkah. Saat itu emakmu pasti tidak akan ikut campur lagi.”
Karmina keheranan mendengar ayahnya bisa bicara, karena sebelumnya setiap dia mengantarkan makanan tak pernah terdengar ada kata selain bicara lewat sorot mata tajam mengamati.
***
Tulang dan dagingnya masih ngilu tapi mamih memaksa Karmina untuk cepat datang. Dia tak bisa menolak. Dengan manis dihadapinya kedua lelaki suruhan itu. Sejak saat itu setiap pagi Novi tak bisa kembali ke rumahnya seperti dulu. Gembok dan centeng pertahanan terakhir menghentikan langkahnya. Burung kecil itu hanya bisa mengepakan sayap dari ruang depan ke kamar. Kalau pun dipaksa tentu sayap itu akan patah. Novi kangen pada loncat tali, kangen pada congklak biji nangka, juga pada monopoli. Samasekali tidak sadar kalau saat itu sedang main monopoli dengan mamih. Bagi Novi mamih dan lelaki dianggapnya perintang waktu main. Semakin menjadilah rasa dendam itu, bahkan setiap terdengar cicit burung di halaman belakang, dia sirami rasa dendam di batinnya. Dia ingin cepat membuka pintu dan menghirup udara kekanakannya.
Suatu hari Karmina nekad kabur. Pada gelap malam dia berhasil mencongkel jendela dan menumpahkan rasa kangen pada ayahnya. Ditatapnya wajah kuyu itu dalam-dalam. Ketika bulatan senyum samar tergambar di wajah ayahnya, Mina menyambut dengan sukacita.
“Bapak tidak sakit ?”
“Heeh, bapak tidak sakit. Dunia yang sedang sakit !”
“Dunia ?”
“Ya, dunia sedang sakit. Dan kau jangan terlalu percaya pada kesebentaran dunia. Percayalah pada kekekalan Tuhan.”
“Tuhan ? Dimana Tuhan ?”
“Tuhan ada pada kepasrahan !”
“Saya tidak mengerti, bapak !” Mina jujur dan terlalu polos menanggapi semua itu. Senyum mengembang dan Novi nampak senang.
“Tidak cuma kamu yang tidak mengerti. Tapi juga orang-orang diluar sana.”
Malam itu Karmina ngobrol banyak dengan ayahnya. Dia pun mulai tahu bagaimana cerita masa lalu ibunya. Pada usia muda ibunya terkungkung dalam kehidupan serba kesulitan, meninggalkan watak bengis dan mendewakan uang karena dianggap akan mengangkat denyut hidupnya. Kecantikan dijadikan modal pemikat lelaki berkantong tebal. Dia sudah sangat terbiasa pacaran dengan siapa pun. Karena sesungguhnya bukan untuk membagi kasih sayang, melainkan tidak lebih sekedar untuk memperlancar rejekinya.
“Tujuan bapak menikahi ibumu, justru terdorong ingin menyelamatkan dia sebelum jatuh ke pangkuan laki-laki yang akan menghancurkan masa depannya.”
Bumi bulat benar dan roda itu menggelinding teratur. Kesulitan mengantarkan Penta, ayah Karmina, dan istrinya pada arena pertengkaran. Suatu hari sakit kepala Penta menjadi-jadi bahkan sering bicara sendiri karena frustrasi menghadapi diri. Sejak saat itu pula seluruh modalnya habis dipakai berobat. Entah karena ketakutan atau suatu skenario dari rentetan kartu-kartu, akhirnya Penta dipasung didalam gudang.
“Bapak sengaja menceritakan semuanya padamu, biarpun usia masih sangat muda. Bapak harap kau bisa menjaga diri sekalipun kesusahan selalu melilit kehidupan kita.”
Penta menggantungkan harapan satu-satunya pada Karmina. Samasekali tidak tahu kebenaran apa yang terjadi dalam genggaman kehidupan anak gadisnya. Karmina sendiri hanya bisa menangis bingung mendengar kata-kata itu. Mina yakin bapaknya sudah sehat. Pengikat besi dibuka paksa dengan kekuatan sisa ketika kemudian terdengar dari ruang depan teriakan ibunya diikuti adu mulut. Mina yakin suara laki-laki itu suruhan mamih. Dan ketika terdengar suara pukulan diikuti jerita ibunya, Mina mau teriak tapi cepat ditutup mulut kecil nya oleh Penta.
“Cepat pergi ! Selamatkan dirimu !”
“Bapak bagaimana ?”
“Mereka masih percaya kalau bapak sakit !”
Karmina mengangguk ragu tapi akhirnya dia loncat dari jendela dan pada saat yang sama salah seorang pesuruh mamih melihatnya. Bumi gelap benar. Titik cahaya hanya pada kemustahilan. Karmina disekap.
***
Suatu siang lain, Karmina menunggu Ajeng di depan sekolah. Pertemuan yang menyenangkan. Keduanya berjalan menyusuri gang di pinggir jalan besar. Tapi akhirnya pertemuan itu berakhir dengan kekecewaan, karena Karmina dijemput oleh dua orang lelaki kekar dan tegap. Ajeng mengantarkan sahabatnya dalam ketidak mengertian. Dunia terbelah dua hingga dalam meronta mengharap, Ajeng benar-benar kehilangan sahabatnya.
Pada suatu razia, Novi bertemu dengan Haris, salah seorang wartawan sebuah mingguan. Bagi Haris, Novi alias Karmina ini menarik. Endusan jurnalisnya mengatakan bahwa Karmina seorang remaja yang punya cerita. Ketika diangkat dalam sebuah tulisan memang sangat mengejutkan. Tidak saja bagi kepolisian, tapi juga bagi mamih, Zakaria (seorang pemerhati masalah sosial) dan masyarakat luas. Berita itu sampai pula pada Penta yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit. Sekalipun tidak mencantumkan nama Karmina, rangkaian cerita itu terasa sangat akrab dengan kehidupannya. Novi memang polos. Cerita itu mengaliar transparan. Dimata sosiolog seperti Zakaria, Novi adalah kasus hebat. Tidak heran pada akhirnya melanglang dalam kepenasaran, tapi sayang jejak telah terhapus cukup rapih.
Novi adalah bidang sasaran. Haris, Zakaria maupun anak buah mamih terus memburu, pada gelap pada terang pada ujung-ujung rahasia kota. Penta juga istrinya yang dipenjara karena menyiksa anak bungsunya secara biadab juga sasaran pencarian itu. Pada sudut kenistaan mereka tak paham persahabatan sejati antara Novi dan Ajeng. Kecuali Zakaria yang menyusuri Ajeng. Keuletannya membuahkan hasil. Dari mulut Ajeng, dia mengetahui bahwa Karmina kini ada di luar kota, di sebuah desa bersama kakeknya, ayah Penta. Karmina adalah fenomena. Ketika terangkat persahabatan itu, pak Anggana kebakaran jenggot. Jejak tahta menyergap padahal benang merah itu mempertegas horison khayal anaknya.
“Dulunya Ajeng nggak tahu, kalau Ina itu suka main sama Oom-oom. Tapi gimana ... kasihan Ina. Ina itu pintar. Sayang ibunya nggak baik.”
“Sudahlah ! Papa ngerti. Hanya mulai saat ini, Ajeng nggak boleh bertemu dengan Ina lagi.”
“Kenapa ?”
“Nggak kenapa-kenapa. Kalau Ajeng sayang papa, jangan bergaul dengan Ina. Titik. Tidak ada pertanyaan lagi.”
Ajeng gelisah, pada tembok ada Karmina, pada bantal ada Novi dan dalam renung maya Novi dan Karmina datang silih berganti. Dalam gelisahnya hidup kok jadi nol besar. Pada ujung harap Karmina adalah kemustahilan. Ajeng diam dalam demam ketidakpuasan.
***
Bukan cuma oplaag terdongkrak oleh kasus Karmina. Tapi kesenangan khayali yang diburu Haris sekarang. Berbeda dengan Haris, bagi Karmina publisitas sebuah kungkungan. Kungkungan sebuah pedang tajam membelah perkembangan jiwanya dalam kelana ketidak teraturan. Publisitas adalah pembongkaran sejarah. Publisitas juga pencorengan muka hitam arang. Bapaknya di rumah sakit, ibunya seorang biadab dan dirinya seorang pelacur. Lengkap sudah lembaran kotor berdebu itu. Haris dan Zakaria yang ingin memanfaatkan dirinya, bagi Karmina adalah pengingkaran manusiawi. Sejak saat itu dia tak mau ditemui siapa menemui apa dalam kenapa.
Pada cermin Karmina alias Novi, Ajeng sebenarnya adalah bayangan. Tidak aneh kalau kemudian prestasinya drastis turun. Kartu mati bagi pak Anggana. Persahabatan Karmina dan Ajeng adalah abadi. Suatu hari Pak Anggana, istri dan Ajeng pergi ke daerah tempat persembunyian Karmina. Tapi sayang, rumah tempat tinggal kakek Karmina sedang dibongkar. Ajeng benar-benar kecewa. Sepanjang perjalanan pulang dia menangis menyesali pada bentangan perjalanan kemuning senja itu.
Penta telah keluar dari rumah sakit. Kesehatannya sudah pulih. Yang pertama dilakukan adalah menemui istrinya yang sedang dipenjara, karena dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Pertemuan yang memilukan. Penta yang semakin kurus demikian asing di mata istrinya. Rasa bersalah menggayut sehingga pertemuan singkat itu diisi dengan saling mematung dan hanya genggaman tangan yang mencoba untuk bicara.
Tidak cuma Penta yang kehilangan Karmina, tapi juga Haris, Zakaria dan anak buah mamih. Rasa kehilangan dalam masing-masing dimensi. Suatu hari ada titik terang. Ajeng menerima surat dari Novi. Zakaria lebih dahulu mencium jejak. Dengan dalih ingin membantu, dia berhasil mengorek seluruh rahasia termasuk bagaimana pola kerja mamih dan relasi-relasinya. Zakaria pulang dalam sukacita.
***
Suatu hari di dalam koran terbitan ibu kota, ada sebuah tulisan Zakaria yang membahas tentang latar belakang prostitusi yang melibatkan remaja yang merupakan sebagian dari topik seminar yang dilakukan dua hari sebelumnya. Tentu saja salah satu yang jadi fokus pembahasan adalah Novi. Karena dianggap tulisan seorang peneliti yang cukup urgen mendapat perhatian dari mana-mana. Zakaria sukses mendongkrak popularitas lewat kepolosan Novi. Tapi mamih benar-benar gelisah. Rahasia sumber mata uang itu terkoyak. Maka jalan satu-satunya bagaimana mendapatkan kembali Karmina. Pemburuan dimulai dalam detak memburu waktu. Jalan terakhir yang bisa mereka lakukan adalah menemui ibunya Karmina, yang kini masih mendekam di penjara. Pada suatu hari kakek Karmina diberitakan meninggal dunia di rumah Anggana. Sesuai dengan wasiat dari almarhum yang dikatakan pada Anggana, dia ingin dilayat oleh anak satu-satunya yaitu Penta. Tapi karena tidak diketahui dimana rimbanya, keinginan tersebut gagal. Satu-satunya yang masih mungkin adalah mengundang menantunya untuk datang. Dengan ijin khusus akhirnya ibu Karmina berhasil datang ke tempat berkabung, untuk memberi penghormatan yang terakhir.
Karmina sangat sedih. Ditemani Ajeng, dia menumpahkan segala kesedihannya. Dia sangat merasa kehilangan, karena selama ini kakeknya tersebut banyak membantu menyelamatkan dirinya dari ancaman kaki tangan mamih. Hubungan persahabatan yang tulus terkristal dalam dukacita.
Dalam suatu kesempatan kaki tangan mamih bisa menculik ibu Karmina yang sesungguhnya harus kembali ke penjara, ke sebuah villa tempat mamih dan Oom Sungkar biasa bertemu, terutama dalam membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat rahasia untuk kemajuan jaringan usahanya. Kejadian tersebut tentu saja sangat mengagetkan bagi para pengawal penjara, pihak polisi dan tentu saja keluarga Karmina. Isu pun kemudian berkembang, ada pihak tertentu yang memutar balikan fakta, dengan mengembangkan opini masyarakat bahwa sesungguhnya yang menculik ibu Karmina tidak lain Zakaria. Sebagai seorang peneliti yang independen, kapabilitasnya terancam.
Dalam galau suasana, Karmina justru sakit. Rupanya dia shock dengan pemberitaan yang semakin simpang siur. Bahkan dia sering menyesali kenapa harus kabur dari rumah mamih. Kenapa harus mau meladeni pertanyaan-pertanyaan Haris yang simpatik. Karmina sadar mengukutuki bahwa semua kejadian itu karena kesalahan dan kecerobohannya. Tapi Ajeng menampik. Seperti juga pemahaman bapaknya sekarang ada pihak yang takutnya kedoknya terbongkar. Air terus mengalir rembes ke sana ke mari. Redaksi menghubungi polisi untuk kemudian bersama-sama reporternya sengaja diterjunkan langsung untuk mencari tahu dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina itu, dan siapa yang sebenarnya telah melakukan penyekapan tersebut. Tapi jaringan mamih benar-benar tertata rapi dan didukung oleh komunikasi yang canggih, sehingga ketika wartawan dan polisi sedang celingukan, mereka justru telah menyusun satu skenario baru. Padahal polisi mengarahkan penggerebekan justru ke salah satu losmen milik mamih, yang sering dipakai transaksi seks. Tapi mereka tidak berhasil, selain bertemu dengan beberapa orang anak asuh mamih, yang sudah tidak masuk kelompok usia muda lagi. Jangankan bisa bertemu dengan mamih, melihat potretnya saja tidak berhasil. Mamih sebenarnya telah melakukan pembersihan, semua anak asuhnya diangkut ke salah satu kawasan yang cukup sulit untuk dijangkau tanpa masuk terlebih dahulu kedalam jaringan laba-labanya. Beberapa wartawan memburu Oom Sungkar, dan diluar dugaan Oom Sungkar mengaku telah pisah dengan mamih.
Sakit Karmina cukup parah. Ajeng dan keluarganya sangat sedih. Dan Anggana rupanya benar-benar harus bekerja ekstra. Suatu hari Anggana mengadakan pertemuan intern dengan jajaran redaksi tabloid yang selama ini banyak memuat kasus Karmina. Mereka bersepakat untuk sementara menghentikan pemberitaan, untuk keselamatan keluarga Karmina. Tapi pemburuan terus berlanjut, dimana sebenarnya tempat penyekapan ibu Karmina dan siapa pelakunya. Sebagai orang penting Oom Sungkar memang cukup lihai, sehingga setiap gerak-gerik kepolisian selalu gampang ditebaknya. Begitu pula dengan rencana pemberhentian sementara berita yang menyangkut Karmina dan jaringan mamih, rupanya telah terlebih dahulu tercium mau kemana diarahkan skenario tersebut. Hal itu terbukti dengan tidak dilepaskannya ibu Karmina. Yang merasa kebingungan tentu saja pemimpin redaksi, yang benar-benar sudah dipermainkan oleh Oom Sungkar.
Penelitian Zakaria sudah hampir berakhir. Secara panjang lebar dalam laporannya itu diceritakan, bagaimana seorang anak muda usia bisa terjerumus kedalam lembah kenistaan. Zakaria menawarkan beberapa asumsinya, yang salah satu diantaranya sebagai penguat salah satu asumsinya adalah cerita tentang Karmina. Didalam laporan tersebut Zakaria menulis tentang adanya komplotan yang terorganisir secara kuat, yang mengadakan pemburuan kepada remaja-remaja cantik yang serba kekurangan secara materi. Penelitian Zakaria memang yang dijadikan acuan kepolisian. Dalam sebuah seminar, hasil penelitian Zakaria tersebut dipublikasikan. Sehari setelah diadakan seminar tersebut, dan hasilnya seminarnya dirilis banyak koran dan majalah, didapat keterangan bahwa Zakaria meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Karmina sudah sembuh. Setiap penerbitan baik koran maupun majalah, selalu diikutinya. Begitu pun dia tidak ketinggalan akan berita ibunya yang sedang disekap oleh salah satu komplotan tidak dikenal, paling tidak sekalipun tidak membaca korannya, toh dengan setia Ajeng selalu menceritakannya.
Pada suatu malam tanpa sepengetahuan keluarga Anggana, Karmina keluar rumah. Besok paginya sudah tersebar berita menghebohkan, ada seorang gadis cantik berada di salah satu puncak gedung tinggi. Gadis tersebut tidak lain adalah Karmina alias Novi, yang sedang mengajukan ancaman. Dia mengancam akan menjatuhkan diri kalau ibunya tidak segera dilepaskan dari penyekapan. Kejadian yang sangat menghebohkan itu, merupakan tamparan menyakitkan bagi pihak kepolisian. Dengan berbagai cara dia membujuk agar Karmina mau turun dan menemui petugas kepolisian.
Tidak cuma polisi yang membujuk, tapi juga Haris, Anggana bahkan Oom Sungkar yang sebelumnya pernah membeli kegadisan Karmina tersebut, turut pula membujuk dengan dalih akan membantu menemukan ibunya. Semua orang seperti berlomba ingin memberi perhatian, agar bisa membujuk Karmina. Tapi tak seorang pun yang bisa membujuknya. Pihak kepolisian mulai mengadakan pengepungan dan menyediakan matras untuk tempat jatuh Karmina, disamping itu beberapa petugas telah melakukan pendekatan dari arah belakang gedung.
Ajeng dengan mamanya nampak sangat sedih dan khawatir akan keselamatan Karmina. Tapi rupanya Karmina seperti sudah frustasi, dia tidak mengindahkan sekelilingnya kecuali ingin melihat ibunya. Semua perhatian memang tertuju kepada Karmina, sehingga tak seorang pun memperhatikan, kalau diantara orang-orang yang ada di sekitar tersebut nampak Penta memperhatikan Oom Sungkar dengan seksama. Pada satu detik masa saat Oom Sungkar membujuk Karmina melalui megaphone kepolisian, Penta melemparkan pisau dan tepat di punggung Oom Sungkar. Keadaan pun jadi hiruk pikuk. Saat itu lah sebagian orang tiba-tiba serempak menjerit karena melihat Karmina benar-benar menjatuhkan diri dari gedung tinggi tersebut.
Pagi di sebuah taman rumah sakit. Layar baru saja terbuka sinar pagi. Karmina duduk di kursi roda, didorong oleh Ajeng. Mereka berdua memperhatikan sepasang kupu-kupu yang sedang terbang mengitari bunga. Nampak dari wajahnya memancarkan kebahagiaan. Jabat erat tangan antara Karmina dengan Ajeng, seperti satu kekuatan yang luar biasa dan tak akan ada seorang pun yang bisa memisahkannya.
(Para Penari, Antologi Cerpen Pilihan,
Lomba Cerpen Tingkat Nasional 2002, Jawa Timur, halaman 37)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar