Informasi
Jumat, 22 April 2016
TELEVISI DAN PERUBAHAN PERILAKU
OLEH E. ROKAJAT ASURA
Luar biasa pengaruh tabung kaca yang bernama televisi ini. Seratus tahun setelah Abbe Casseli, seorang Italia berhasil menemukan sistem pengiriman gambar dengan listrik melalui kawat (P.C.S Sutisno, 1993 : 4), tepatnya 24 Agustus 1962 siaran pertama televisi di Indonesia berlangsung secara terbatas. Dan dalam rentang setengah abad kemudian, dengan persaingan antara TVRI, RCTI, SCTV, TPI, ANTV, INDOSIAR, METRO TV, Trans TV dan Trans 7 dan TV1 benar-benar telah menghipnotis jutaan pasang mata. Dampak siarannya menjadi sorotan banyak pihak, dari yang bernada skeptis, apriori bahkan bernada cemas. Sejak telenovela yang membius ibu-ibu sekaligus meracuni pola pikirnya, tayangan anak-anak yang tidak mendidik, sampai adegan kekerasan dan pornografi yang dituding jadi biang keladi meningkatnya tindak kriminalitas secara signifikan di masyarakat. Disamping itu tabung kaca ini juga secara ajaib telah menyulap dan melahirkan jutawan-jutawan baru, melambungkan artis-artis dalam panggung selebritas. Dibanding media cetak dan elektronik radio, sebagai bagian dari media massa, media ini tampak lebih gebyar sehingga menambah rasa percaya diri yang terlibat didalamnya bahkan nyaris overconfident hingga memunculkan arogansi.
Sorotan negatif dan positif pada setiap tayangan televisi terus mengalir, kendati dengan mengurut dada, perubahan yang diinginkan tetap terabaikan. Social control yang diharapkan sebagai katup terakhir yang menjadi saringan, laik dan tidak laik siar sebuah program justru hanya menjadi lips service semata. Seperti seseorang yang tengah mabuk, euporia, atau berada dalam suasana pesta, sorotan-sorotan terhadap diri sendiri itu dianggap sebagai perpanjangan dari sebuah kekaguman. Samasekali tidak dijadikan sebagai alat bercermin, tempat mawas diri, instrospeksi untuk lebih “mendewasakan” diri. Tak bisa dipungkiri memang, seperti dikatakan Dofivat, komunikasi telah mencapai satu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi mutakhir telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”. Tapi justru dengan serentak dan serempak itupula, pengaruhnyapun sedimikian dahsyat sehingga memberi pengaruh yang signifikan pada setiap perubahan perilaku.
Dengan pengaruhnya yang demikian dahsyat, tanpa dibentengi tata nilai yang disepakati bersama, saya khawatir justru pada akhirnya seperti kata Ernest van den Haag, yang dikutip Drs. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Psikologi Komunikasi” halaman 226, semua media akan mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan walaupun tampak menggoncangkannya, media massa memperluas isolasi moral sehinga mereka terasing dari yang lain, dan realitas dari diri mereka sendiri. Orang mungkin berpaling pada media massa bila ia kesepian atau bosan. Tetapi sesekali media massa menjadi kebiasaan, media massa dapat merusak kemampuan memperoleh pengalaman yang bermakna.
Televisi yang mampu menghadirkan tayangan secara audio-visual telah mampu meninabobokan penonton. Sebagai sebuah miniatur kehidupan, acara-acara televisi akan menjerat penonton tanpa didahului penolakan. Apalagi semua sajian itu bisa dinikmati dengan gratis, sehingga masyarakat penonton tidak akan merasa rugi untuk berlama-lama ada di depan televisi. Memang benar bahwa reaksi orang terhadap media massa ditentukan beberapa faktor dominan, seperti potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan serta pengalaman. Tapi kasus itu menjadi lain ketika masyarakat kita yang serta merta berada dalam tahap filming society. Di negara maju, justru masyarakat dimulai dari reading society, kemudian berangsung-angsur menjadi filming society. Kondisi ini terbukti dengan tetap tingginya angka buta huruf, tapi tidak buta menonton televisi. Kondisi ini menjadi penting diperhatikan, karena ketika seseorang belum termasuk ke dalam reading society kemudian tiba-tiba berada dalam filming society, hal utama yang paling kentara adalah dilahapnya segala jenis tontonan, tidak berdasarkan kebutuhan dan tidak terjadinya proses memilih serta memilah. Maka tidak aneh kalau ada seorang anak yang juga penonton setia berita dan sinetron drama rumah tangga, sebaliknya seorang ibu tidak saja gandrung menonton telenovela tapi juga penonton setia Doraemon.
Buku yang anda pegang ini berisi kumpulan tulisan seputar sinetron, telenovela, sajian musik dalam televisi. Sebuah buku yang lebih cocok disebut sebagai sebuah perjalanan pengamatan saya terhadap beberapa tayangan televisi. Essay-essay dalam buku ini saya pilih dan pilah dari tulisan sekitar 1991-1998. Sembilanpuluh prosen telah diterbitkan di beberapa media cetak. Kesemuanya lahir dari kekhawatiran dan kecemasan saya sebagai bagian tak terpisahkan dari perkembangan televisi di tanah air dewasa ini. Beberapa essay memang mengandung fakta terikat oleh kurun waktu tertentu, tapi secara substansial tetap merupakan pemikiran yang masih urgen dengan kondisi acara-acara televisi sekarang ini. Bahkan sisi ini yang menarik, ada apa sebenarnya sampai kesalahan dan kelemahan itu berlama-lama bahkan menjadi bagian dari sebuah rutinitas.
Menyatukan pemikiran yang berlandaskan dari kecemasan dan kekhawatiran saya dalam sebuah buku ini, tidak bermaksud ingin melebih-lebihkan kesulitan persoalan tayangan televisi kita yang memang telah sulit dan rumit. Melebih-lebihkan kesulitan, seperti kesimpulan Drs. Jalaluddin Rakhmat yang bersumber dari pendapat Coleman, khawatir akan menimbulkan keresahan yang melumpuhkan tindakan. Pemikiran ini juga bukan bentuk kemarahan. Karena kemarahan hanya akan mendorong tindakan impulsif dan kurang dipikirkan. Ini semua adalah buah pikiran sebagai tanda cinta, yang tidak rela sebuah kecanggihan yang bernama media televisi justru menjadi madharat bagi perkembangan masyarakat kita.
Dr. Yusuf Qardhawi seperti diungkap Luthfi Assyaukanie dalam buku “Politik, Ham, Dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer” terbitan Pustaka Hidayah, pernah ditanya oleh seorang remaja berusia 18 tahun tentang ikhwal menonton televisi. Ahli fikih asal Mesir ini menjelaskan dampak positif dan negatif yang dapat ditimbulkan tayangan TV itu dengan arif, seperti yang ia tulis dalam bukunya “Fatawa Mu’ashirah”, seluruh tayangan yang dihadirkan TV dapat dinilai dengan hati nurani pemirsa. Melihat aurat seseorang dalam tayangan TV sama hukumnya dengan melihat aurat orang tersebut dalam aslinya. Pendapat tersebut menarik tidak saja karena kearifannya, tapi sebuah catatan penting yang bisa kita garis bawahi adalah diperlukan penilaian dengan hati nurani pemirsa pada setiap tayangan televisi.
Seorang pemirsa akan bisa menilai dengan hati nurani apabila dia telah dewasa dalam berpikir. Kedewasaan berpikir itu yang akan memunculkannya sebuah tata nilai. Andai saja sebuah tata nilai telah menjadi bagian integral pada mayoritas masyarakat penonton, maka sebenarnya kekhawatiran akan dampak negatip dari tayangan-tayangan televisi itu menjadi sedikit lumer. Kalaupun pengelola televisi khilaf atau kurang kencang menutup katup social control-nya, masyarakat tidak akan secara otomatis termakan, teracuni dan menjadi bulan-bulanan tayangan televisi tersebut. Bukankah seperti kata Alfin L. Bertrand nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan atau orang. Kelestarian emosi itu juga adalah implementasi dari kedewasaan berpikir.
Kritik sebagai bagian dari seni dan bagian integral dari pendewasaan berpikir, tentu saja menjadi kaya dimensi kendati objek kritik adalah pada dasarnya satu yaitu sajian-sajian di televisi. Seni sebagai karya kreatif, meminjam istilah Japi Tambayong, adalah sebuah karya yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, hasil perwujudan dan pengejewantahan pikiran dan perasaan dari kemampuan dan kebolehan seseorang terhadap segala hal yang dipandang, dirasakan dan dijiwai. Maka dalam lingkup itu pula, pemikiran-pemikiran ini berada. Mudah-mudah tidak jauh panggang dari api.
Essay dengan tajuk “Moralitas Iklan Komersial” yang diterbitkan di Mingguan Citra No. 266/VI/1-7 Mei 1995 merupakan refleksi dari kekhawatiran banyak pihak yang mengaburkan pengertian kerja kreatif yang samasekali menapikan moral. Kejadian ini tampak dengan menjamurnya model-model iklan yang seronok yang secara substansil tidak memperkuat image produk yang akan diiklankan. Dalam short training menulis iklan yang diselenggarakan Masima Training and Consulting Jakarta, dimana saya adalah salah seorang nara sumbernya, topik ini menjadi diskusi yang menarik. Publikasi essay ini memang tahun 1995 tapi ternyata kasus ini menjadi bahan perbincangan sampai hari ini. Sebuah kondisi yang menarik tentu saja. Menarik dalam arti apakah langgengnya masalah tersebut diakibatkan karena para kreator yang menggunakan kacamata kuda, tidak pernah peduli dengan masukan-masukan dari luar, atau stagnansi kreativitas para kreator iklan ?
Kajian tentang tradisi dongeng sebelum tidur yang semakin luntur, sebagai akibat dari pergesekan dengan budaya pop, bisa anda telaah dalam tajuk essay “Tradisi Dongeng Sebelum Tidur : Hilang Nyali Menghadapi Power Rangers” yang dipublikasikan di Kompas Minggu, edisi 14 Januari 1996. Barangkali masalah pergesekan yang merugikan ini terjadi sebagai buntut dari kondisi masyarakat kita yang secara tiba-tiba berada dalam filming society itu tadi, tidak seperti yang terjadi di Barat, filming society justru muncul sebagai dampak dari reading society. Sehingga di Barat tradisi mendongeng tetap berdampingan dengan tayangan-tayangan televisi. Pemikiran ini tentu menjadi bahan diskusi kapan saja terutama anda yang punya kepedulian pada nilai-nilai tradisi yang tetap ingin dipertahankan sebagai bagian dari khasanah budaya kita.
Ketika televisi swasta bersaing telenovela, TVRI Bandung justru punya tayangan lokal yang menarik. Menarik tidak saja karena hasil gagasan budayawan kahot, RAF, tapi tayangan ini sangat kental dengan suasana Pasundan bahkan terasa sebagai stereotype manusia trans-modern Sunda. Sajian ini bernama “Inohong Di Bojongrangkong”. Sinetron seri dengan format sketsa kadang-kadang juga karikatural, menurut pemikiran saya merupakan refleksi hidup (manusia Sunda). Anda boleh beda pendapat tentu saja. Hanya dalam essay bertajuk “Refleksi Hidup Dari Kita Untuk Kita” yang dipublikasikan Pikiran Rakyat Minggu, 10 Februari 1991 Halaman 10 ini, bertitik tolak dari telaah beberapa kali penayangan serial tersebut.
Essay lain yang bertajuk “Gila Sukses Dan Produksi/Pikiran Rakyat, 3 Nopemer 1996 halaman 7”, “Telenovela Melampaui Ambang Batas / Pikiran Rakyat Minggu, 30 April 1995 Halaman 5”, “Penonton Menuntut Tema Yang Riil / Pikiran Rakyat Minggu, 5 Agustus 1990 Halaman 7”, “Sikap Latah dan Underestimated Pengagas Sinetron” serta “Wajah Musik Kita / Pikiran Rakyat Minggu 19 Februari 1995” merupakan perspektif pemikiran dari sebuah kondisi dimana para kreator, penggagas acara, penanggung jawab acara dan tim produksi lainnya yang gegabah dan gampangan dalam bekerja. Konsep I do the Best hanya jadi slogan, karena dengan alasan dikejar jam tayang misalnya, seperti ingin menghalalkan kerja gampangan tersebut. Padahal sebuah karya merupakan hasil dari proses berpikir kreatif. Berpikir dikatakan kreatif, menurut MacKinnon, harus memenuhi tiga syarat yaitu melibatkan respons atau gagasan baru, dapat memecahkan persoalan secara realistis dan harus merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinil, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin. Ada yang harus dipertanggung jawabkan dan jadi target dari apa yang digagasnya tersebut. Artinya ketika kerja serampangan, mengekor pada karya mereka yang sukses, saya berasumsi semua itu bukanlah kerja kreatif. Anda yang ternyata tersindir boleh saja marah, tapi jangan lama-lama karena marah hanya akan melemahkan ketajaman berpikir.
Pendahuluan ini bukan dimaksud sebagai bimbingan untuk menelaah essay-essay yang tersaji dalam buku ini. Tapi sebagai sebuah wacana yang diharapkan dapat membuka “percakapan” sehingga kita pada akhirnya akan menggagas sebuah diskusi yang menarik dan sehat dengan satu tujuan sama-sama memikirkan pranata seperti apa yang kita anggap ideal untuk pertelevisian kita. Sehingga ketika anda menemukan essay “Rahasia Keluarga Dalam Kuis / Pikiran Rakyat edisi 30 Juli 1995 halaman 7”, “Nyanyi Dibarengi Tari, Awas Merusak Seni / Pikiran Rakyat edisi 16 Juli 1989 halaman 7” atau “Imbasan Perang Dalam Film atau sinetron / Pikiran Rakyat Minggu 3 Februari 1991 halaman 6”, hal itu merupakan ancang-ancang untuk memasuki wilayah kerja kreatif dari penggagas acara televisi. Ancang-ancang ini bisa kita anggap sebagai jembatan yang akan menyambungkan antara wilayah kreatif, wilayah pengamatan, dan wilayah penikmat.
Tanpa bermaksud memberi ruang untuk mengkristalkan “tradisi tepok dada” atau membudayakan arogansi dari pengelola dan segenap tim kreatif televisi yang memang secara alami memungkinkan untuk itu, terutama apabila dibandingkan eksistensinya dengan media cetak dan media elektronik radio, tiga essay terakhir yaitu “Kritik Sosial Pada Komedi Televisi Belum Mati / Pikiran Rakyat edisi 2 Juli 1995”, “Bintang Mahal Hollywood Mayoritas Dari TV / Pikiran Rakyat edisi 29 September 1996” dan “ Film atau sinetron Dijadikan Promosi Pariwisata / Pikiran Rakyat edisi 2 Juli 1995” adalah sebuah apresiasi, pengalaman dan pengamatan tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan kesan. Dalam konteks ini apresiasi terhadap beberapa tayangan televisi.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, benda ajaib berupa tabung kaca bernama televisi ini, dalam kaitannya dengan media komunikasi, tidak saja sebagai sebuah institusi kolektif tapi juga sebuah wahana yang sebenarnya bisa dijadikan pressure group. Dalam kaitannya menekan pembuat kebijakan sehingga selalu memperjuangkan publik, bukan sebaliknya menjadi penekan publik untuk kepentingan birokrasi, pengelola atau sebuah gerakan tertentu yang ingin merancukan pemahaman publik.
Kaitanya dengan proses kreatif dan lemahnya social control dari pengelola dan tim kerja kreatif dalam menggagas dan menyebarluaskan hasil kerjanya tersebut yang masih menjadi masalah urgen sekarang ini, kumpulan essay ini diharapkan akan membuka sebuah wacana yang akan memberi aksentuasi pada setiap pengambilan keputusan dalam perspektif antara pengelola televisi dihadapan pemirsanya. Lebih jauhnya pemikiran kritis ini diharapkan dapat menggugah sebuah tanggung jawab sosial pengelola televisi, agar tetap menjaga tatanan nilai yang berlaku di masyarakat. Kalaupun tidak bisa mengoptimalkan tatanan nilai itu, cukup bijak apabila dalam setiap tayangan yang disajikan tak ada sedikitpun keinginan untuk mengotori dan mengaburkan tatanan nilai itu.
Kalaulah sekarang ini masih banyak tayangan-tayangan yang kurang mendidik, mengadop sebuah kebobrokan tata nilai sebagai konsumsi pemirsa, kerja serampangan, mudah-mudahan bukan satu kondisi kenyataan sesungguhnya. Saya hanya khawatir, jangan-jangan seperti menurut Budi Darma yang menyitir pendapat Arthur Koesler dalam The Act of Creation dan Wolter Kaufmann dalam The Future of The Humanities, yang mengatakan bahwa masalah kemanusiaan dan budaya telah diungkapkan secara halus oleh ahli seni dan filsapat dalam karya-karyanya. Karya-karya itu merupakan perwujudan perasaan dan pemikiran orang terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan budaya yang terjadi di sekelilingnya. Jadi kalau seandainya sekarang bermunculan hasil karya seni sastra dengan tema-tema kebobrokan masyarakat, maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut sedang sakit (Ir. Drs. M Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung (1993) : Eresco).
Mudah-mudahan pemikiran-pemikiran kritis atas sajian-sajian televisi sebagai implementasi dari rasa khawatir saya ini tidak akan menimbulkan keresahan yang melumpuhkan tindakan. Tapi sebaliknya menjadi semacam shock theraphy sehingga akan bekerja lebih baik lagi. I do the Best menjadi konsep berkarya yang tidak hanya berada dalam dunia imajinasi semata. Selamat menikmati dan menelaah kumpulan essay ini, dan mudah-mudah bisa membuka perspektif pemikiran yang baru.
****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar