Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Jumat, 22 April 2016

KEPADA SIAPA KITA BERGANTUNG

Cermin oleh : E. Rokajat Asura

Dengan kekayaan yang dimilikinya, Samsul banyak dikagumi orang. Sebagai seorang pemimpin di daerahnya, ia memang menjadi panutan siapa saja. Kalau ada orang yang butuh bantuan, silakan datang kepadanya pasti akan dibantu. Kalau ada yang sakit dan tidak punya uang untuk berobat, jangan kemana-mana, temui saja Samsul, semuanya akan beres seketika. Apalagi kalau butuh bantuan untuk masjid, jalan kampung atau urusan yang menyangkut kepentingan umum, Samsul telah menyediakan dana khusus untuk semua itu.
Selama Samsul jadi pemimpin memang semua merasakan enaknya, semua merasakan bagaimana mudahnya menyelesaikan masalah. Tapi sayang, Samsul tak lama menjadi pemimpin daerah itu. Karena satu dan lain hal, ia diturunkan dari jabatannya. Sekarang Samsul memang lantas ditinggalkan oleh semua. Tak ada yang meminta bantuan ini-itu lagi. Ia hidup sendirian di rumahnya yang mewah. Tak ada lagi yang menghiraukan dia, kecuali anak dan istrinya.
Sekarang semua orang sedang terfokus pada Darma, pemimpin berikutnya. Ia memang tidak kaya dan royal seperti Samsul. Sebaliknya Darma seorang yang sederhana tapi cerdas. Dengan kecerdasannya itu semua masalah bisa diselesaikan, dari mulai biaya untuk berobat, masalah kelaparan sampai kepada urusan perbaikan masjid. Dengan kecerdasan Darma, semua bisa diatur. Maka tidak mengherankan kalau Darma selalu kedatangan banyak tamu dengan seribu satu masalah. Pulang dari rumah Darma semua bisa tertawa karena telah ditemukan cara menyelesaikan masalah itu.
***
Pada kesempatan lain Darma justru ditinggalkan banyak orang. Ketika label “pemimpin daerah” itu sudah tidak lagi ia pegang, Darma bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Nasibnya malang seperti Samsul. Ditinggalkan banyak teman dan tak pernah dikunjungi siapa-siapa. Sekarang ia hidup sepi bersama seorang istrinya.
Cerita justru sedang terfokus pada Badrul. Pemimpin baru. Ia tidak kaya dan royal, juga tidak begitu cerdas. Badrul naik menjadi pemimpin justru karena kesaktiannya. Konon ia punya sebilah keris dan beberapa ajimat dalam bentuk batu permata. Entah darimana benda keramat itu ia peroleh. Hanya yang jelas Badrul yakin benar kalau sesungguhnya dengan bantuan jimat-jimat itulah ia berhasil menjadi seorang pemimpin.
Ada anak muda tawuran langsung damai hanya karena diajak salaman oleh Badrul. Seorang pengusaha langsung mau mengeluarkan uang untuk perbaikan masjid dan jalan, gara-gara diajak salaman oleh Badrul. Seribu satu masalah yang muncul akan segera selesai, tuntas, kalau diselesaikan atau lebih tepatnya diajak salaman oleh Badrul. Luar biasa memang tangan Badrul ini, ibarat tangan emas yang akan merubah bongkahan batu hitam menjadi permata.
Tapi ketika semua ajimatnya itu hilang, seperti juga sebilah kerisnya yang raib entah kemana, lalu Badrul pun terpuruk sendiri. Ia hidup sepi dan menyendiri di sebuah pondok di ujung kampung. Tak ada teman, tak ada kerabat juga tak pernah ada seribu satu orang yang mengharap bantuannya lagi. Temannya sekarang hanyalah istri dan dua orang putranya yang masih kecil. Sedemikian cepat hilangnya jimat itu, secepat itu pula tampuk kepemimpinan hilang dari genggaman Badrul.
***
“Memilih pemimpin yang beruang, akan hilang ketika uangnya hilang. Memilih pemimpin cerdas, akan hilang ketika kecerdasan itu lenyap, dan memilih pemimpin yang punya ajimat pun sama ruginya ketika ajimat dan tetek bengek benda sakti itu raib entah kemana. Lalu siapa yang harus aku pilih,” begitulah pertanyaan yang selalu menggoda pikiran Karim, seorang sopir angkutan kota yang menghabiskan sebagian hidupnya di jalanan.
“Kau pilih saja seorang pemimpin yang menguntungkan bagimu,” usul Norma, istrinya.
“Dulu saya juga berpikiran begitu, tapi keuntungan itu selalu berubah setiap saat. Kalau sekarang saya merasa diuntungkan kalau ada yang memberi pinjaman uang untuk perbaikan angkot ini, lantas aku memilihnya sebagai pemimpin, bagaimana jadinya kalau besok ceritanya berubah lagi. Bagaimana kalau besok justru yang saya butuhkan adalah beberapa kilogram beras, apakah akan memilih tukang beras sebagai pemimpinku ?” sergah Karim.
Ditanya seperti itu Norma tidak bisa menjawab. Dari dulu memang selalu begitu, setiap harus memilih pemimpin, ia selalu bingung karena selalu berubah-ubah keinginannya termasuk juga berubah-ubahnya janji para calon pemimpin itu. Akhirnya keduanya diam dan melamun sampai akhirnya kantuk menyergapnya. Suami istri itu tertidur pulas.
Di dalam tidurnya Karim bermimpi bertemu seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya tenang, senyum selalu mengembang dari bibirnya. Pada mata lelaki tua itu ia melihat kedamaian terpancar. Inikah pemimpinku ? Begitu pertanyaan Karim.
“Dulu, nabi Ibrahim juga begitu sulit memilih siapa Tuhannya. Ketika melihat matahari di pagi hari, ia lalu mengatakan pada dirinya itulah tuhannya. Tapi ketika matahari tenggelam di ufuk barat, Ibrahim lalu kecewa. Tidak mau katanya punya tuhan yang hilang dan tenggelam,” cerita lelaki berjubah putih itu. Mendengar penjelasan seperti itu Karim jadi teringat akan keadaannya yang bingung kepada siapa ia harus menggantungkan diri.
“Begitu juga dengan keadaan saya, sepuh, bagaimana cara memilih seorang pemimpin ?”
“Pilihlah yang paling jujur. Jujur terhadap dirinya sendiri, jujur terhadap orang lain,” jelas lelaki berjubah putih itu.
“Jujur ? Bukankah semua orang selalu mengaku jujur kepada siapa saja yang diajaknya bicara ?”
“Benar, tapi kejujuran memang bukan untuk dikatakan, tapi akan terwujud dalam kelakuannya sehari-hari,” jelas lelaki berjubah putih itu lagi.
Obrolan itu terus berlangsung. Tapi ketika sedang asyik-asyiknya dialog, Karim dibangunkan karena adzan shubuh telah tiba. Angkutan kota miliknya itu harus segera dihidupkan, kemudian membawa sepuluh penumpang dari kampungnya menuju pasar, dan di sana ia akan mangkal sebentar, mengangkut beberapa pedagang yang selesai belanja, lalu mengakut anak-anak sekolah. Demikian roda kehidupan Karim terus berputar.
Diantara penumpang yang ia temui siang itu, tak ada seorang pun yang layak dijadikan pemimpin, karena rata-rata tidak jujur. Kebanyakan penumpang menyebutkan jarak terdekat padahal sebenarnya tujuannya bukan ke sana, lebih jauh dari yang disebutkan. Artinya kebanyakan para penumpang itu memang tidak jujur.
Lalu ketika ia makan di warung tegal, ia juga tidak menemukan kejujuran di tukang warung itu. Pada Karim wanita gembrot itu bicara kalau sayurnya tidak pedas, tapi ketika Karim memakannya justru terasa sangat pedas. Ketika dikomplain, pedagang itu dengan enteng bicara, pedas yang dirasakan Karim seperti itu tidak termasuk pedas, katanya.
Ketika ia kembali ke rumah dengan pencarian yang tak usai, Karim bercengkrama dengan anaknya yang masih berusia empat tahun. Ketika diberikan permen, anaknya itu menolak dengan menggelengkan kepala karena di tangannya memang ada satu permen. Lalu sebentar kemudian anaknya itu menangis dan mengatakan mau pipis. Ketika dibawa ke kamar mandi, anak itu lantas pipis. Ketika ia lapar, anak itu juga menangis dan bilang mau makan. Ketika diberi makan, ia akan diam bahkan seringnya langsung tidur. Pada anaknya itulah Karim menemukan kejujuran. Tapi apakah anaknya itu yang harus dipilih sebagai pemimpin, tempat ia menggantungkan kehidupan ini ?
Karim bingung sendiri karena tak mungkin menjadikan anak terkecilnya sebagai pemimpin. Sayang, Karim sepertinya lupa bahwa anak kecil seperti itu memang selalu jujur karena masih ada dalam genggaman kesucian Allah SWT. Jadi selayaknya pada pemilik kekuasaan tertinggi itulah kita menggantungkan diri dan menjadikan Dia sebagai pemimpin kehidupan ini.
***



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar