Dua puluh tahun lalu tulisan ini dipublikasikan di Tablod Citra, tetapi isinya masih relevan dengan kekinian. Artinya secara umum kreatif iklan masih jalan di tempat atau bahkan mundur. Ini asumsi saja tidak didukung data empiris. Selamat membaca.
MORALITAS IKLAN KOMERSIAL
Mingguan Citra No. 266/VI/ 1-7 Mei 1995
Oleh ENANG ROKAJAT ASURA
“Xonce-nya man..na ?
Sariawan ? Koq diam aja ?”
Satu dari sepuluh alasan kenapa produsen beriklan untuk melaunching produk adalah agar produknya tetap berada dalam top of mind, sehingga senantiasa berada dalam dunia kompetisi (pasar). Dari kepentingan bisnis itulah muncul kreasi orang untuk mencipta iklan komersial yang tepat guna dan punya penetrasi yang baik. It cause something to exist, or make something new and original, begitu kata orang bule. Untuk kemudian muncul iklan komersial yang nyeni, bergagasan baru, humoris bahkan yang sifatnya nyerempet-nyerempet ngeseks baik secara visual maupun auditif (secara auditif lewat permainan kata dan secara visual dengan mengeksploitir kemolekan wanita).
Seperti apapun kemasan, bentuk, wajah secara utuh dari iklan komersial yang digagas, top-targetnya memang tak lebih dari keinginan memposisikan produk (yang dipromosikan) pada top of mind khalayak tadi. Ingin selalu menjadi yang pertama pada ingatan konsumen, yang memungkinkan khalayak memilihnya. Itu memang immute laws of marketing, dalam pandangan Al Ries & Jack Trout. Artinya syah saja bahkan menjadi keharusan. Terlebih mengingat bahwa ingatan manusia itu terbatas, hanya mampu menjawab paling banyak tiga nama yang pernah masuk kedalam memori otaknya.
Betapa menjadi yang pertama itu lebih baik, yang digagas dalam Hukum I dari Al Ries & Jack Trout (Immutable Laws of Marketing : 1990) memang terbukti. Coba saja ketika kita ditanya misalnya siapa orang pertama yang terbang secara solo di atas Samudera Atlantik, spontan akan menjawab Charles Lindbergh. Tapi siapa orang kedua yang terbang solo di atas Samudera Atlantik setelah Charles Lindbergh ? Paling tidak memerlukan beberapa saat sebelum bisa menjawab. Itulah kenapa better to be the first than it is to be better. Padahal orang kedua setelah Charles yakni Bert Hinkler, termasuk seorang pilot hebat dengan segudang reputasi lain dan jam terbang yang mapan. Orang seakan tak acuh untuk mengingat yang kedua. Tak aneh kalau dalam pasar (kehidupan sehari-hari) ketika orang ingin membeli pasta gigi cukup dengan mengatakan “beli odol” karena odol itulah merk pertama yang masuk pasar dan sekaligus masuk top of mind khalayak.
Akan halnya kreasi iklan komersial, karena senantiasa dituntut (mengemban tugas) agar berada dalam top of mind khalayak, harus menjadi yang pertama (kendati secara kualitas sebaliknya), sehingga mampu menciptakan traffic ke dalam toko untuk menarik langganan baru disamping mempertahankan langganan lama. Kenyataan ini pada gilirannya banyak kreator iklan komersial melupakan moralitas mission dari iklan tersebut, seakan-akan social control yang seharusnya dinomorsatukan mengingat segmen khalayak melebar – terutama iklan komersial di televisi – malah ini kurang dipandang serius. Tak aneh kalau kemudian iklan-iklan yang nyerempet dan tak memperhatikan adat ketimuran begitu menjamur.
Kreasi iklan komersial sabun mandi merk tertentu yang ditayangkan di semua televisi swasta misalnya, dengan menampilkan hasil shoot kaki dan beberapa bagian sensual lainnya, bisa jadi kreasi baru dan kreatif dan yakin bisa masuk top of mind khalayak. Tapi bagaimana pengaruhnya pada khalayak terutama pada usia rawan ? Kasus yang sama terjadi pada iklan salah satu ubin keramik (sambil melorotkan baju luar kemudian di-shoot kakinya yang mulus bikin glek saja. Begitupun iklan pembalut wanita yang menonjolkan hal-hal yang menonjol pada wanita, atau jamu wanita lewat teknik medium-shoot seorang wanita berpakaian senam. Kasus yang sama terjadi pula pada iklan komersial auditif yang diputar di radio, iklan jamu kuat yang dikenal lewat idiom PAKDE. Dengan suara isin-isin seorang wanita menjabarkan bahwa PAKDE itu kependekan dari panjang, kuat dan gede. Siapapun akan langsung tahu, bahwa yang dimaksud adalah – maaf – alat vital kaum Adam sesuai dengan mission iklan komersial tersebut yakni jamu kuat laki-laki.
Apa jadinya jika khalayak terus dipaksa mengkonsumsi iklan komersial nyerempet dan mempertontonkan aurat tadi, padahal berdasarkan catatan SRI 1993/1994 saja 58 % dari populasi 1.585.000 pemirsa yang dijadikan sampel mendengarkan radio dan tidak kurang dari 63 % dari populasi yang sama adalah pemirsa setia televisi swasta. Kalau kemudian kita begitu mengkhawatirkan dampak negatip dari menjamurnya iklan komersial yang “tidak bertanggung jawab” tadi, mengingat khalayak pemirsa termasuk di dalamnya usia rawan (15-19 tahun), adalah menjadi masuk akal.
Dengan perhitungan kasar saja, berapa juta pada saat yang sama yang akan terkontaminasi dengan informasi tayangan iklan produk dengan kategori “nol moralitas” macam tadi dalam rentang waktu lima belas menit dari lima stasiun televisi. Berapa prosen dari jumlah tadi yang masih berusia rawan “coba-coba” (15-19 tahun). Belum termasuk informasi lewat tayangan iklan auditif dari radio-radio swasta. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing iklan komersial telah mampu mengembangkan theater in mind, menghantui pikiran khalayak pendengar.
Memang seolah kepentingan bisnis produsen lebih dijadikan titik acuan para kreator iklan komersial dibanding kepentingan konsumen (terlalu klise kalau ditambah bahwa konsumen adalah raja), yang tidak saja ingin membeli produk yang diiklankan tapi juga merasa dihargai moral dan tradisi yang dipegangnya dalam keseharian.
Andai produsen dan para kreator iklan mau berpikir jernih bahwa investasi pada bidang promosi sepenuhnya akan dibeli oleh konsumen, lalu andai sepuluh prosen saja pemirsa antipati sampai tidak mau membeli (semacam unjuk rasa), berapa kerugian yang akan ditanggung ? Padahal dari sudut manapun kita memandang sebenarnya perbuatan mulia jika berkreasi dengan tidak melupakan moral.
Soal para produsen dan kreator dalam etika berbisnis selalu dijejali konsep Al Ries & Jack Trout memang demikian seharusnya, agar tetap berada dalam dunia kompetisi. Tapi menyediakan tempat terhormat (baca: memikirkan moralitas) untuk konsumen juga tak kalah penting sebelum sikap antipati menjamur sebagai sikap diam konsumen.
Berkreasi dengan memanfaatkan hal-hal yang nyerempet ngeseks, vulgar, eksploitasi kemolekan wanita memang selalu menarik. Kendati sebenarnya cara ini adalah sebuah kreasi gampangan. Dampaknyapun hanya beberapa saat, selebihnya akan muak. Dari rasa muak, lambat laun akan berubah antipati.
Dalam berkreasi sebenarnya banyak sisi yang bisa diangkat dengan menghilangkan (paling tidak diperingan) konsentrasi pada hal-hal vulgar. Buktinya iklan vitamin C yang disitir di awal tulisan terbukti sukses dan populer, yang jelas-jelas terhindar dari “bahaya”. Atau iklan rokok dengan memanfaatkan pemandangan alam nan asri ditambah lagu yang enak didengar, mengangkat tradisi Bali atau Sunda pada iklan beberapa makanan, humor antik gaya Mandra pada iklan obat nyamuk, sama-sama populer dan sukses serta terhindar dai “bahaya” kontaminasi moral. Banyak iklan yang sukses dari kreasi seorang kreator yang bertanggung jawab. Kreativitas justru mencari sesuatu yang baru dan orisinil.
***
*) Bagaimana menggagas iklan yang menarik tanpa harus nyerempet, bisa dibaca
dalam buku “Kiat Praktis Menulis” karya saya yang sedang dalam proses penerbit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar