Oleh : E. Rokajat Asura
Keluarga Makmur hidup rukun dan bahagia. Ia punya seorang anak manis yang diberi nama Sejahterawati. Sekalipun hanya makan tahu tempe, tak pernah Makmur uring-uringan. Begitu pula istri dan anaknya, hidup bahagia sekalipun sangat sederhana. Bahkan seringkali kehidupan keluarga Makmur membuat iri tetangga. Kok hidup dengan sederhana tetapi tidak mengurangi keharmonisan rumah tangga ya ? Rumah masih ngontrak kenapa bisa rukun dan tidak tidak pernah terdengar ribut ya ?
“Kebahagiaan itu tidak terletak pada uang dan harta, tapi ada dalam hati kita,” jelas Makmur ketika suatu hari dikerubuti ibu-ibu yang sengaja datang meminta tips bagaimana agar bisa hidup bahagia, tentram, aman dan terkendali.
“Apa hati bisa tenteram sementara dapur belum ngebul ?” tanya seorang ibu yang terkenal senang ngutang hanya agar kelihatan seperti orang banyak uang.
“Bagi saya makan itu bukan tujuan hidup, Bu, tapi makan hanya untuk penyambung hidup,” jawab Makmur mengemukakan konsep hidupnya yang sederhana.
Mendengar jawaban Makmur seperti itu, ibu-ibu hanya saling pandang. Tetap bagi pikiran mereka, pola pikir Makmur seperti itu tak bisa diterima. Bagi mereka kebahagiaan justru terletak pada kekayaan. Uang. Soalnya mana mungkin bisa memenuhi keinginan tanpa punya uang. Pertemuan itu bubar tanpa menghasilkan kesimpulan apa-apa. Ibu-ibu itu kembali ke rumah tetap dengan pola pikir dan pola hidup semula.
Suatu hari Makmur kena PHK dengan alasan perusahaan sedang mengadakan effisiensi. Tentu saja Makmur kaget, padahal dialah tulang punggung keluarga. Ketika istrinya mengetahui Makmur di-PHK, ia hanya menunduk sedih. Tak terbayang bagaimana memenuhi kebutuhan dapur, kebutuhan sekolah dan tentu saja uang untuk kontrak rumah. Rumah tangga yang harmonis itu nyaris limbung.
Suatu hari Makmur pamit untuk cari kerjaan. Tapi sore harinya tidak pulang, bahkan keesokan harinya pun belum juga pulang. Tentu saja istri dan anaknya sangat mengkhawatirkannya, apalagi sebelumnya Makmur tak pernah pergi jauh-jauh. Sehari berlalu, dua hari, bahkan genap tiga hari Makmur belum juga pulang. Cerita miring mulai terdengar. Ada yang mengatakan Makmur punya istri lagi. Ada pula yang menyebutkan kalau Makmur tersesat dan jadi korban pengeroyokan. Istri dan anaknya hanya bisa pasrah sambil tetap berdo’a, semoga Makmur selamat dan cepat kembali.
Sepuluh hari sejak kepergiannya, akhirnya Makmur pulang. Badannya kuyu, pakaiannya kotor dan wajahnya sangat lelah. Istri dan anaknya menyambut dengan suka cita. Tak ada kebahagiaan bagi mereka selain berkumpul kembali. Sang istri sudah tidak sabar lagi mendengar cerita Makmur yang tidak pulang sampai sepuluh hari. Sebuah rekor yang luar biasa. Pada malam harinya Makmur mulai cerita. Ternyata ia pergi ke sebuah tempat keramat, meminta berkah. Menurut leluhur di tempat keramat itu bahwa Makmur cocok berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Makmur diberi sebentuk batu ali. Tapi ada satu hal yang tak boleh dilanggar yaitu tidak boleh tergoda wanita apalagi kalau sampai dikawin. Padahal menurut sesepuh di sana, setelah memiliki batu ali ini dorongan untuk punya istri lagi sangat besar. Mendengar itu, sang istri kebingungan. Bukan bingung karena suaminya takut kawin lagi, tapi bingung darimana harus menyediakan modal. Untuk dagang, tentu butuh modal yang tidak kecil.
Setelah menemui kesepakatan bersama, akhirnya kalung simpanan yang ditabung bertahun-tahun lamanya harus dijual. Dan dua pertiga-nya dipakai modal, sementara yang sepertiga dibelikan beras, untuk kebutuhan makan sehari-hari. Makmur menetapkan hati untuk jualan Bubur Kacang. Tempat usahanya dipilih di simpang jalan dekat sebuah pabrik dan pasar. Tempat yang cukup strategis.
Hari pertama, dagangannya laris manis. Betapa senangnya hati mereka. Hari ke hari bahkan dalam waktu sangat singkat, Makmur sudah bisa membeli gerobak. Kehidupannya pun mulai tampak berubah.
Setahun kemudian, Makmur benar-benar berubah. Dagangannya semakin maju. Ia kini telah mampu membeli sebuah rumah dan tanah, bahkan sepeda motor bekas. Ia berhasil membeli sebuah toko di dekat terminal. Tokonya itu berukuran tiga kali empat, tapi cukup strategis untuk jualan.
Dibalik keberhasilan usahanya, tampak ada perubahan pada Makmur. Dulu ketika hidup sederhana, ia selalu tersenyum pada siapa saja. Kepada anak dan istri sangat sayang dan sehari-harinya selalu bercanda. Tapi sekarang, semua itu telah berubah. Ia tampak sombong, tak pernah mau tersenyum pada tetangga, dengan anak dan istripun jarang bercanda lagi. Sehari-harinya ia hanya memikirkan dagangan dan dagangan. Setiap malam seluruh waktunya dipakai untuk memikirkan jualan dan uang hasil dagangnya.
“Kalau terus-terus begini saya tidak kuat, Kang ! Masak sih akang cuma memikirkan dagang dan uang. Mana perhatian untuk keluarga ?” protes istrinya pada suatu malam. Mendengar keluhan istrinya seperti itu, Makmur marah besar.
“Kamu tahu, semua ini karena saya memikirkan kalian supaya tidak hidup menderita lagi. Bukannya berterima kasih, malah minta macam-macam,” bentak Makmur dengan nada tinggi.
“Yang kami butuhkan perhatian, bukan hanya tercukupi uang dan makan,” protes istrinya lagi.
Makmur terus uring-uringan. Semalaman ia tak tidur. Keesokan harinya ia dagang seperti biasa. Tapi sore harinya ia tidak pulang. Sehari, dua hari, bahkan selama seminggu tidak pulang ke rumah. Setiap ditengok ke tempat dagangnya, selalu tak bisa ditemui. Di toko itu hanya ada dua pembantunya.
Genap sepuluh hari setelah kepergian Makmur, tersiar kabar ternyata Makmur kawin lagi. Katanya ia kawin dengan seorang janda kembang, yang sama-sama jualan di terminal. Betapa sakitnya hati istri Makmur. Hari itu juga ia pulang kembali ke orang tuanya, meninggalkan rumah dan segala isinya. Bersama anaknya ia hidup di rumah orang tuanya.
“Apa akang tidak ingat, punya istri lagi itu pantangan dari sepuh ?” suatu hari isteri tuanya masih sempet mengingatkan. Tapi rupanya Makmur benar-benar lupa diri. Ia tidak mau mendengar apa yang diucapkan isteri pertamanya, yang terbayang bagaimana kehangatan sang isteri muda, yang menurut pengakuan Makmur selalu bisa menyenangkan suami.
Tidak kuat dimadu akhirnya istri pertama Makmur minta cerai. Makmur malah senang. Sekarang ia hidup bahagia bersama istri mudanya. Dua bulan sejak perceraian itu, rumah beserta istrinya dijual. Anehnya tak sedikitpun diberikan kepada istri tuanya. Semua diserahkan pada istri muda. Makmur giat kembali bekerja, dan sering meninggalkan isteri mudanya di rumah.
Makmur tidak menyadari kalau sikap dan watak dari istri mudanya ini berbeda dengan istri pertamanya. Tapi dasar sudah terbius rayuan istri muda, Makmur lupa segalanya. Makmur juga sudah lupa akan larangan sesepuh di tempat keramat itu. Sekarang bukan saja tergoda tapi benar-benar telah kawin. Bahkan isteri tua yang selama ini menemani suka dan duka, justru rela diceraikan.
Suatu hari ada kejadian menggemparkan. Isteri muda Makmur kedapatan main serong dengan seorang supir. Betapa terpukulnya Makmur. Saat itu juga istri mudanya dicerai. Kini, Makmur hidup sendiri mengelola toko. Tapi entah kenapa belakangan ini Makmur kurang konsentrasi dalam dagangnya. Tidak aneh kalau kemudian semakin hari penghasilan semakin menurun. Beberapa persediaan baik uang maupun perhiasan, sedikit demi sedikit sudah mulai dijualnya.
Ternyata kesialan Makmur belum juga berakhir. Suatu hari Makmur sakit-sakitan. Berbulan-bulan ia dirawat di rumah sakit. Ada yang bilang kena guna-guna istri mudanya. Tapi menurut dokter Makmur mengidap penyakit lever. Semua uang dari hasil berdagangnya, habis terkuras untuk biaya pengobatan.
Setahun kemudian ia sembuh. Ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan kehidupannya lebih sulit dari sebelumnya. Dan sekarang hidup sendiri di rumah kontrakannya. Istri mudanya telah meninggalkannya dengan segudang hutang. Ia tak pernah nyangka, perubahan kekayaan itu akan berakhir pada titik nol. Ia hidup sengsara tanpa rumah, tanpa anak dan isteri. Kalau begini akhirnya, dulu ia tak bercita-cita ingin kaya, hanya itu yang sering ia gumamkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar