Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Rabu, 20 April 2016

PELANGI PEREMPUAN TUA

Perempuan tua itu selalu melihat pelangi datang dan pergi. Ia datang setelah hujan reda, dan pergi saat malam menyelimuti. Rutinitas itu selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Orkestra alam itu, dinikmati seperti secangkir kopi pahit bagi perokok berat di awal pagi. Tidak sekedar menghangatkan tenggorokan tapi juga ada sekian banyak makna tanpa harus dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan mungkin tak akan ada kata yang bisa tepat mewakili keindahan dan kenikmatan itu.
Seperti juga langit, perempuan tua itu pun memiliki pelangi.  Pelangi-pelangi kecil yang dulu lahir dari rahimnya, juga datang dan pergi. Satu demi satu datang, kemudian pergi dan tak pasti kapan akan kembali. Sebuah rutinitas, sunatullah adanya. Tapi kini rutinitas itu terasa lain. Setiap memandang pelangi, maka ia menyediakan ruang untuk bersemayamnya rasa pilu. Entahlah apa karena usianya yang semakin renta sehingga lebih banyak bicara dengan perasaan atau karena memang seperti kebanyakan perempuan tua seperti dirinya, yang berubah semakin sensitif dalam menghadapi segala hal. Seperti juga yang dirasakannya kini, simfoni itu terasa semakin sepi, bahkan kadang terasa sebagai tragedi. Tragedi kehidupan yang sebenarnya ia sendiri tak pernah mau menjejakkan pikirannya di sana.

Nelengneng kung nelengneng kung
geura gede geura jangkung
geura sakola ka bandung
ngarah bisa ngabantu indung...

(Nelengneng kung nelengneng kung
cepatlah besar dan tinggi
agar bisa sekolah ke bandung
agar bisa membantu ibu...)

Dengar ! Ia kini kembali melantunkan lagu lama itu. Dulu, lagu itu seringkali dilantunkan manakala meninabobokan putra-putrinya, dari yang paling sulung sampai yang bontot sama-sama pernah mendengar lagu itu. Indah. Syahdu. Kendati sekarang lagu itu terasa lirih. Ah, ada gesekan angin pada pucuk-pucuk daun bambu, meninggalkan perih pada ulu hati.
Tiga dari anaknya telah berumah tangga dan meninggalkan rumah ini. Lihat, rumah tua yang didominasi batu alam ini juga terasa dingin. Padahal di sini, di taman antara ruang depan dan ruang belakang ini, selalu ramai dipakai putra-putrinya bermain. Pohon jambu di halaman rumah selalu licin karena sekian kali dalam sehari dipanjat putra-putrinya. Rumput gajah di taman dan halaman depan memang tak pernah tumbuh dengan baik selain dicabuti juga tergilas sepeda mini yang selalu hilir mudik. Dulu, di setiap sudut rumah tua ini penuh binar sukacita.
Mata perempuan tua itu tiba-tiba merebak. Ia seperti sedang melihat kembali putra-putrinya bermain di taman. Ia yang duduk di kursi jati di teras belakang sambil menyulam, selalu memandangnya dengan senyum.
"Hati-hati jangan sampai menginjak mawar !" katanya serak. Tapi semakin dipandang taman itu semakin kabur dan saat ia mengedipkan matanya, sejurus bayangan itu hilang dan kembali taman itu sepi.
Selain lebaran, tiga putra-putri perempuan tua ini tak pasti kapan akan berkumpul di sini. Bercengkrama seperti saat-saat mereka kecil. Lebaran tahun  lalu saja putranya yang sulung malah absen dengan alasan tugas belajar ke luar negeri. Perempuan tua itu malah tak ingin sekedar membayangkan siapa lagi lebaran nanti yang akan absen.
Dulu selalu ada jadwal rutin untuk bersama-sama, paling tidak ketika makan malam sepulang mengaji. Tapi kini di rumah besar ini praktis hanya Wita dan seorang pembantu yang jadi tempat mengadu. Ia selalu merasakan setiap ruangan di rumah ini semakin terasa lengang. Padahal ketika keempat anaknya berkumpul dulu, selalu tergoda untuk memperbesar setiap ruangan yang ada. Bahkan halaman samping dan belakang yang tak terlalu luas, direncanakan pula untuk dibangun sebuah kamar. Tapi itu dulu.
Ketika Wijaksana, lelaki gagah itu meninggal, perempuan tua itu masih bisa berdiri tegak. Kehampaan hidup tanpa suami, berhasil ia sisihkan karena melihat putra-putrinya saat itu masih kecil. Ia bertekad untuk menjadi ibu sekaligus ayah bagi keempat putra-putrinya. Berhasil ! Ya, perempuan tua itu memang berhasil, tidak saja membesarkan keempat putra-putrinya, tapi juga membentuknya menjadi manusia-manusia unggul untuk masing-masing lingkungannya.
Selain sepi belakangan perempuan tua itu merasakan ada kekhawatiran yang bertalu-talu di dadanya. Kekhawatiran akan nasib Wita. Seringkali hal ini membuat nafasnya sesak.  Tadi pagi ia persis menghitung usia Wita sekarang ini. Bulan depan anak bungsunya itu akan ulang tahun ke-28. Usia kelewat matang buat perempuan dalam tradisi tanah Pasundan. Artinya ia sudah pantas berumah tangga, sudah layak untuk mempersembahkan cucu. Silakan periksa dari ujung kampung Sukawening di utara, sampai ke selatan Tegalsari, berapa orang wanita seusia Wita yang belum menikah. Kekhawatiran itu berubah menjadi gelisah, saat ia ingat kunjungan adik iparnya, haji Ibrahim kemarin petang. Jang haji (begitu ia biasa memanggil) juga mengkhawatirkan Wita yang belum menikah. Coba ceuceu tanya, kata haji Ibrahim sebelum pulang, jangan-jangan Wita pernah menyakiti laki-laki. Dalam keadaan marah dan kecewa, kapan lelaki mah  bisa nekat menanamkan penghalang pada anak kita itu.
Wita dihalangi ? Ah, ini juga bagian dari kekhawatiran perempuan tua itu. Tapi masak iya, jodoh dari Gusti Alloh akan terhalang hanya oleh kemarahan seorang manusia ? Bukankah urusan jodoh, pati dan rejeki, Gusti Alloh yang menentukan ?
Berhari-hari perempuan tua itu dininabobokan rasa gelisah, sehingga pada setiap sepertiga malam, ia membiarkan wajahnya dijilati dingin air wudlu. Dengan merapatkan baju hangat, ia membiarkan bulat-bulat tubuh dan pikirannya pada kekuasaan Gusti Alloh. Empat puluh hari tanpa berhenti, dan akhirnya membuahkan hasil. Wita dilamar. Kekhawatiran itu tertebus kini. Tapi saat menghitung berapa orang yang akan diundang dalam resepsi bulan depan itu, ia ingat akan pelangi. Pelangi yang selalu datang dan pergi. Perempuan tua itu menunduk dan merasakan sepi menguasai setiap denyut nadinya. Saat Wita pergi dibawa suaminya nanti, praktis hanya ia dan pembantunya yang akan mengisi seluruh ruangan rumah besar ini. Bayangkan sejak membuka mata saat shubuh tiba, sampai mata kembali terpejam, seluruh waktunya hanya akan dipakai mengitari seluruh ruangan dingin ini. Tentu sepi demi sepi yang senantiasa akan aku rangkai, gumamnya pada angin. Betapa tidak bergunanya sebagai perempuan tua, mengisi rumah besar hanya ditemani sepi. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat suaminya yang karena penyakit jantung, meninggalkan untuk selama-lamanya. Mungkin, lamunnya, kalau kakang masih ada, tak akan didera sepi demi sepi dalam menghabiskan sisa usiaku.
"Biarkan kita sampai pakotrek iteuk, Neng," kata Wijaksana saat duduk berdua di taman sambil menatap putri bungsunya bermain karet.
"Aku tak akan pernah bisa hidup sendiri, Kakang !" keluh perempuan tua itu.
"Ya, seperti juga kakang !"
"Kakang janji tidak akan...."
"Ssst...jangan biarkan bayangan hitam itu mendekat, Neng, biarlah kita menatap langit biru tanpa awan," Wijaksana memegang erat tangan istrinya.
Tiba-tiba saja perempuan tua itu merasakan tenggorokannya tersekat. Tubuhnya berguncang kuat. Beruntung pembantunya cepat tanggap memegang kedua tangan perempuan tua itu sehingga tidak membiarkan tubuh juragannya melayang jatuh dari kursi jati.
Pada saat diganggu rasa sepi, perempuan tua itu ingin memeluk erat Wita dan menghalau laki-laki yang akan membawanya pergi. Tidak ! Wita jangan pergi meninggalkan rumah besar ini. Wita bukan pelangi yang harus datang dan pergi. Ia selalu ingin menjadikan Wita sebagai sebuah boneka, yang tak berdaya pada cengkraman tangan tuanya. Pada Wita, perempuan tua itu ingin membawa kemana ia suka agar tak bertemu dengan sepi. Kalaupun sepi tetap mengganggu, maka ia ingin merasakannya bersama-sama.
"Mang Haji minta undangan kosong lima belas katanya, untuk teman-teman lamanya saat menunaikan haji dulu," Wita membuyarkan lamunan ibunya. Perempuan tua itu memandang nanar anaknya yang tiba-tiba menjelma jadi pelangi. Ya, pelangi yang akan selalu datang dan pergi.
"Kamu tidak boleh pergi, Wita !" sergahnya tiba-tiba.
"Lho, Wita nggak akan kemana-mana. Wita cuma menyampaikan pesan mang haji Ibrahim, Bu !" Wita tak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba bicara seperti itu. Perempuan tua itu tersenyum, menggoyang-goyangkan tangan Wita. Setelah merasa yakin yang berdiri di hadapannya itu Wita, senyum perempuan tua itu semakin lebar dengan binar mata menyala.
"Aku cuma khawatir saja !"
"Ya, Bu ! Wita juga merasakan kekhawatiran ibu. Ibu pasti akan merasa sepi di sini, seperti saat ditinggalkan teh Ida."
"Seorang ibu tak akan pernah terbebas dari rasa khawatir terhadap anak-anaknya sampai kapanpun. Saat kecil khawatir ia sakit, saat besar khawatir anaknya bernasib malang, dan sekarang ibu khawatir kamu meninggalkan rumah ini seperti ketiga kakak-kakakmu." Perempuan tua itu tiba-tiba menunduk menatap kilau lantai keramik warna coklat muda. Terlihat bayangan tubuhnya yang ringkih termakan sepi. Di sana ia menemukan betapa hidup terasa sangat singkat. Ia ingat benar saat Wita dilahirkan, masuk TK, sampai lulus dari sebuah perguruan tinggi. Kini anak yang saat kecil sering terkena demam itu, malah akan segera menikah.
Perempuan tua itu tak pernah bisa menghalau sepi. Bahkan ketika di halaman rumahnya yang luas, telah dibangun tenda, panggung untuk para nayaga degung, sementara di ruang tengah orang hilir mudik dengan pekerjaan masing-masing, justru sepi itu semakin mengkristal. Dulu, ketika kupingnya menangkap lagu dangdut yang diputar kencang-kencang, ia selalu protes. Kupingnya hanya bisa menikmati keroncong atau kecapi suling, tidak lebih dari itu. Tapi perhatikan sekarang ketika seorang pekerja yang membantu di dapur, memutar lagu dangdut dari tape sangat kencang, ia malah samasekali tak peduli.
Saat Wita bersanding dengan lelaki pilihannya, perempuan tua itu tak sadarkan diri. Suasanapun menjadi haru biru. Sebagian menyangka karena perempuan tua itu terlalu diliputi rasa bahagia, karena si bungsu telah menikah dan selesailah tugasnya sebagai seorang ibu. Sebagian yang lain mengira karena almarhum suaminya datang untuk menyaksikan putri tercintanya mengakhiri masa lajangnya. Samasekali tak ada yang tahu kalau sebenarnya ia tak bisa mengontrol diri menghadapi rasa sepi di tengah keramaian itu.
***
Seperti kekhawatirannya selama ini, Wita diboyong suaminya ke luar kota. Tapi tidak seperti dalam lamunannya, perempuan tua itu samasekali tak bisa menghardik menantunya. Bahkan tidak pula terlintas pikiran betapa enaknya lelaki keparat itu, memboyong anak gadisnya justru ketika ia sudah dewasa dan mandiri pula. Juga ia tak berani untuk protes dan menggugat, apakah lelaki tak tahu diri itu tidak pernah membayangkan, betapa sebagai ibunya ia bersusah payah sejak mengandung sembilan bulan, mengurusnya dengan kasih sayang hingga anak itu genap berusia 28 tahun ? Tidak ! Ia tak seberani dalam lamunannya. Justru ketika Wita sungkem minta restu, ia hanya bisa menitikan air mata. Begitu pula ketika menantunya mohon diri, perempuan tua itu mencium kepalanya lalu dengan serak ia bicara :
"Kini giliranmu untuk menjaga Wita. Kamu pasti tak pernah lupa pepatah penghulu kemarin, menjaga Wita dalam sehat dan sakit adalah sebagian dari tanggung jawab yang akan kamu pikul."
"Pasti, Bu. Insyaalloh, aku tak akan pernah melupakan itu. Maafkan aku, karena akan menjauhkan Wita dari dekapan ibu."
Dengar betapa pintar lelaki itu. Perempuan tua itu selayaknya muak dengan kesombongannya. Tapi tidak, ia bahkan merasakan tiba-tiba sulit untuk bernafas. Lagi-lagi ada yang tersekat di tenggorokannya. Entah bahagia atau justru sangsi, karena lelaki yang banyak bicara biasanya tak cakap menjaga kata-katanya.
Tangis perempuan tua itu benar-benar meledak saat Wita tak lagi terlihat dalam jarak dekapnya. Gadis manis itu kini telah menjadi milik orang lain, isaknya. Tentu hanya pada pembantunya ia bicara begitu. Dan dengan lugu, pembantu yang telah sekian lama menemaninya itu mengangguk pelan. Lalu, tangannya refleks memijiti ujung jari kaki juragannya itu. Padahal jelas, perempuan tua itu tidak sedang pegal dan tak membutuhkan pijatan.
"Berapa anakmu itu, Jah ?"
"Ah, juragan, rupanya sudah lupa. Anak saya 'kan sembilan, Gan !"
"Sembilan ?"
"Muhun, Gan !"
"Sudah nikah semua ?"
Pembantu setia itu mengernyitkan dahi dengan pertanyaan juragannya yang menurutnya konyol itu. Bukankah pada kesembilan anaknya, juragannya itu sangat hapal ? Ia punya sembilan anak, lima sudah menikah dan seluruhnya tak serumah lagi. Empat sisa anaknya, memang belum menikah tapi tak seorangpun yang serumah. Bahkan yang terkecil, sejak lulus sekolah dasar, ikut bekerja dengan tetangganya di Pasar Caringin sebagai kuli pikul.
"Kamu kok nggak ngejawab pertanyaanku, Jah ?!"
"Ya, Gan ! Lima sudah menikah !"
"Lima ? Kamu pernah merasakan sepi ?"
"Sepi ? Apa itu, Gan, saya kok tidak mengerti !"
Perempuan itu terkekeh mendengar jawaban polos pembantunya. Ia membentulkan tusuk kondenya, merapikan rambut putihnya, lalu ia bangkit. Di depan cermin ia mematung, merapikan kebaya brukat warna gading dan kain batik tulis halusnya. Ia beringsut masuk ke kamar dan langsung mencium aroma melati. Sebentar kemudian terdengar ia bersenandung, sebaris langgam Dewi Murni. Sementara pembantunya hanya mematung di tempatnya semula, tak mengerti pada setiap perubahan juragannya, yang dalam pandanganya terlalu tiba-tiba dan mengagetkan itu.
Sampai selepas maghrib, Ijah, tak melihat juragannya keluar dari kamar. Ia sungguh sangat mengkhawatirkannya. Karenanya ketika haji Ibrahim mampir sepulang dari pengajian, begitu saja Ijah bercerita tentang segala perubahan juragannya itu.
"Ia sedang kesepian, Jah !" Haji Ibrahim tak terlalu mengkhawatirkanya. Tapi Ijah tak puas dengan jawaban itu, dan memaksa haji Ibrahim untuk menengoknya.
"Kamu ini kunaon, Jah, kok seperti linglung begitu."
"Pokoknya juragan haji harus melihatnya sekarang !"
Haji Ibrahim mengetuk pintu kamar kakak iparnya itu. Tak terdengar jawaban. Pelan, haji Ibrahim mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci. Perempuan tua itu duduk di pinggir tempat tidur jati, berkebaya merah marun, bersanggul dengan tusuk konde emas maskawin dari almarhum suaminya. Iapun mengenakan kain batik halusan. Sejenak haji Ibrahim tertegun. Baru melihat kakak iparnya berdandan istimewa seperti itu.
"Assalamu alaikum !"
"Wa alaikum salam. Oh, Jang Haji ?"
"Ceuceu ini kenapa ? Dan mau kemana ?"
"Memangnya kenapa Jang Haji ?"
"Kok dandannya seperti itu ?"
"Euceu sedang nunggu pelangi yang selalu datang dan pergi. Tapi sekarang kalau ia datang, euceu harap tak akan pernah pergi lagi."
"Astagfirulloh ! Benar yang saya khawatirkan. Ceuceu ini sedang kesepian ? Kenapa harus kesepian, Ceu ? Bukankah anak kita sesungguhnya bukan anak kita ? "
"Ah, Jang Haji ini...."
"Muhun, Ceu, ‘kan kata orang pinter juga anak kita itu cenah hanya anak-anak jaman. Seperti layaknya anak panah, dan kita adalah busurnya. Tugas kita melemparkan anak panah itu pada tempat yang semestinya," Haji Ibrahim mencoba mengingatkan kakak iparnya itu tentang hakekatnya seorang anak seperti kata-kata Khahlil Gibran.
"Anak kita bukan anak kita ? Anak jaman ? Busur ? Maksud Jang Haji ini gimana ?"
"Ya, karena sebenarnya kita hanya ketitipan, Ceu. Apakah ceuceu pernah menentukan kapan ceuceu hamil, kapan ceuceu harus melahirkan, kapan ceuceu menentukan anak-anak harus kawin dan lain sebagainya ...."
"Ya, jelas, tidak atuh Jang Haji !"
"Itulah, Ceu, artinya kita tak pernah memiliki anak-anak kita sekalipun. Kita hanya ketitipan. Beruntunglah kalau kita bisa menjaga barang titipan itu hingga menjadi apa yang seharusnya, tidak menelantarkannya. Bukankah kalau sekarang harus jauh, artinya sebagian dari tugas kita menjaga anak-anak sedikit berkurang. Ya 'kan, Ceu ?" Haji Ibrahim lalu duduk di pinggir kakaknya itu. Pintu kamar dibiarkan terbuka hingga Ijah yang bersimpuh di ruang tengah bisa melihatnya ke dalam. Lalu ia membacakan ayat al-Qur'an bahwa sesungguhnya anak-anak, harta, istri adalah cobaan yang bisa menggelincirkan keimanan seseorang.
"Tapi apa salah kalau euceu merasa kehilangan Jang Haji ?" tanya perempuan tua itu lirih.
"Tidak ! Ceuceu tidak salah !"
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?"
Ditanya seperti itu Haji Ibrahim tidak langsung menjawab. Ia menghitung anak-anaknya, satu demi satu juga meninggalkan dirinya. Istrinya pernah sakit gara-gara kesepian.
"Apa karena mereka ini perempuan terlalu bicara dengan perasaan ?" gumamnya kemudian.
"Apa salah kalau ceuceu merasa sepi ?" ulang perempuan tua itu.
"Tidak, Ceu !" jawab Haji Ibrahim.
"Kalau memang tidak salah, biarkan euceu di sini sendirian, Jang Haji. Euceu ingin merasakan semua ini sendiri." Entah kenapa suaranya tiba-tiba terdengar lirih. Dalam mata tuanya terlihat satu demi satu anak-anaknya datang dan pergi. Seperti pelangi. Perempuan tua itu memejamkan mata. Pelan. Titik air bening berkilau di sudut mata tuanya. Haji Ibrahim mendengus pada angin.

(Majalah Kartini No. 2122 -  16 September 2004 halaman 94)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar