O
leh : E. Rokajat Asura
Kalau anda percaya bahwa bayi dianggap sebagai makhluk kecil yang tak tahu apa-apa, anda tidak sendirian. Selama bertahun-tahun banyak ahli yang merasa yakin bahwa pikiran bayi masih kalah canggih dengan pikiran siput. Ia samasekali bukan apa-apa. Teori tabula rasa mendukung hal itu. Tapi segera tanggalkan pikiran itu kalau anda percaya dengan hasil riset Benyamin S. Bloom, guru besar pendidikan Universitas Chicago. Bloom menemukan fakta yang mencengangkan bahwa ternyata 50% potensi hidup manusia terbentuk sejak dari kandungan sampai usia 4 tahun. Itu yang pertama. Lalu, pada usia 4-8 tahun akan terbentuk 30% potensi berikutnya.
Kalau dikalkulasikan kemudian, maka didapat fakta bahwa potensi dasar manusia sebesar 80% justru dibentuk pada usia dini yang sebagian besar sebelum masuk sekolah. Disadari atau tidak, segala gerak-gerik yang dilihat, informasi yang didengar dari lingkungan sekelilingnya akan tersimpan rapih dalam memori jangka panjangnya, yang akan menjadi sikap dan cara berpikirnya kelak.
Bisa anda bayangkan apa yang akan terjadi manakala anda menonton tayangan televisi yang tidak bermutu, bentakan dan cacian pelakon sinetron, kata-kata kotor dalam volume televisi yang besar, sementara anda sedang menggendong si kecil.
Pandangan keliru yang menyatakan bahwa bayi itu bukan apa-apa dibantah Andrew Meltzoff, pakar psikologi perkembangan dari Universitas Washington. Berdasarkan hasil risetnya, Andrew justru menemukan fakta bahwa ternyata bayi sejak hari pertama sudah mampu menirukan gerakan manusia. Melalui panca indera sebagai pintu masuk, mereka belajar dari apa yang kita lakukan dan ucapkan. Ia pun belajar pada reaksi orang-orang di sekitarnya ketika bicara, ketika menghadapi tekanan, saat marah dan bercanda.
KEKUATAN PIKIRAN DAN KATA
Pikiran dan kata-kata diyakini memiliki kekuatan yang dahsyat. Pengaruh dari pikiran kata-kata ini pada anak akan menjelma menjadi sikap, kepribadian dan watak anak-anak sebagai individu. Dalam buku Mind Power for Children karangan John K dan Nancy Fischer telah diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Think, Yogyakarta membahas tentang hal ini.
Ketika anak-anak membuat keributan sementara anda membutuhkan suasana yang tenang, lalu muncul rasa kesal dan mengekspresikan kekesalan itu dengan wajah yang tiba-tiba kusut, cara bicara cenderung menekan dan pendek-pendek, bahkan bisa meledak kalau tak sempat dikontrol, apa yang akan dipikirkan anak-anak ? Anak-anak akan memikirkan kejadian itu, memikirkan cara anda menghadapi masalah, lalu memberi reaksi terhadap semua kejadian yang berlangsung saat itu. Bisa jadi dalam sesaat anak-anak hanya mengekspresikannya dalam bentuk ketidaknyamanan berada di dekat anda. Tapi sadarkah anda bahwa saat itu sebenarnya sedang memberi pelajaran berharga bagaimana caranya menghadapi masalah yang mengesalkan ?
Sama halnya dengan pikiran, kata-kata pun memiliki kekuatan yang sama kuatnya. Setiap kata yang diucapkan orang tua akan memberi kesan yang kemudian diolah sedemikian rupa oleh otak anak-anak. Satu hal yang khas dan semestinya menjadi perhatian adalah bahwa anak-anak ternyata lebih terfokus pada kata terakhir dibanding rangkaian kalimat di awal. Anak-anak tak akan terpengaruh dengan berapa panjang dan pentingnya kata-kata di awal kalimat itu.
Maya A. Pujiati dalam salah satu tulisannya di www.pustakanilna.com tentang kekuatan kata-kata ini memberi illustrasi yang menarik, bagaimana seorang anak benar-benar hanya terfokus pada kata terakhir yang diucapkan orang tuanya. Maya menulis begini :
”Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya; ’Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!. Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Itulah efek kata terakhir yang menjadi fokus perhatian anak. Anak mendengar kalimat negatif Jangan rewel dari ibunya, namun yang menjadi fokus anak pada kata rewel dan itulah yang dipikirkan kemudian diekspresikan dengan sikap merengek dan menangis keras tanpa alasan jelas. Kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak diinginkan.
***
(sumber rujukan tulisan ini salah satunya adalah dari tulisan-tulisan di www.pustakanilna.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar