Informasi
Selasa, 10 Mei 2016
SENYUM ITU INDAH
Oleh : E. Rokajat Asura
Setiap pagi menjelang, Putri, anak kelas dua SMU di bilangan Pondok Gede berangkat, bu Nani selalu saja waswas. Begitupun ketika suaminya berangkat kerja, bu Nani sama waswasnya. Bu Nani waswas setiap anaknya berangkat sekolah, bukan karena takut anaknya tidak bisa mengikuti setiap pelajaran. Ia justru takut karena berita di koran dan televisi yang selalu menceritakan tawuran antar etnis, penodongan dan pengedaran narkoba yang semakin meningkat. Sementara Putri memang akan melewati jalur-jalur rawan kecelakaan.
Lain lagi kekhawatiran bu Nani setiap suaminya pergi kerja. Ia khawatir bukan karena takut suaminya kepincut gadis lain, atau takut nyari selingkuhan. Bukan. Soal itu sih, bu Nani percaya betul, suaminya memang dijamin seratus proses bukan tipe lelaki mata keranjang atau yang gatalan setiap melihat jidat licin. Bu Nani khawatir karena tingkat kejahatan di angkutan umum, perampasan dan penodongan di taksi belakangan ini semakin meningkat.
Maka setiap pagi itu selalu saja bu Nani terpekur, berdo’a apa saja yang ia bisa lantunkan, untuk keselamatan anak dan suaminya. Ia memang selalu tidak tenteram sebelum mengetahui dengan pasti bahwa anak dan suaminya itu sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Barulah ia akan bisa memasak dan mengurus tetek-bengek sebagai ibu rumah tangga. Menjelang tengah hari saat masakan siap, cucian kering, ia kembali khawatir dan menunggu dengan waswas sampai Putri betul-betul datang dengan selamat. Begitulah selalu yang ia hadapi hari-hari belakangan ini.
Kekhawatiran seperti itu memang tidak baik, bu Nani tahu betul masalah itu. Seorang psikolog kondang memang pernah bicara, kekhawatiran seperti itu adalah stress yang tidak dikelola dengan baik sehingga ia akan menyedot energi positip dari tubuhnya. Tapi harus bagaimana lagi, toh sekalipun dicoba untuk tenang, tetap saja kekhawatiran seperti tadi akan muncul dan terus muncul setiap hari.
Satu hal yang sedikit bisa meringankan beban itu adalah ketika Putri datang dengan senyum dan cium tangan, sementara nanti sore suaminya datang dengan senyum. Ah, memang indah senyum itu. Bu Nani memang sempat mengkhayal, kalau saja semua orang mudah senyum, mungkin akan aman negeri ini. Bu Nani seperti diucapkan pada suaminya, coba kalau setiap kernet dan sopir bis kota itu senyum pada setiap penumpang, tak akan muncul ketegangan sekalipun penumpang bayar kurang.
Tadi malam bu Nani mendengar cerita dari suaminya bahwa seorang teman kantornya, sebut saja Pahrul, datang ke kantor dengan luka pukul di wajahnya. Usut punya usut ternyata karena urusan sepele. Pahrul saat itu naik metro mini dari rumah menuju kantor. Seperti biasa pada jam-jam sibuk, tak akan ada metro mini yang kosong kecuali metro mini yang mogok. Maka ia naik dan ikut desak-desakan. Entah karena apa, ada seorang bapak yang keinjek. Bapak itu ngotot, dan Pahrul rupanya meladeninya. Adu mulut terjadi, dan berakhir dengan sebuah pukulan telak di wajah Pahrul. Buk ! Pahrul pun pening dan nyaris terjadi perkelahian massal kalau tidak ada seorang tentara yang sama-sama numpang.
“Coba kalau saat itu kamu tersenyum dan minta maaf, tak akan terjadi adut otot sampai muka bengep,” begitulah saran suami bu Nani pada sahabatnya.
Entah karena bicaranya yang lemah-lembut sehingga menyentuh perasaan Pahrul atau memang karena ia takut kena bogem mentah lagi, keesokan harinya setiap naik kendaraan umum, ia telah siap untuk senyum. Konon ketika ada seorang ibu menginjak kakinya, Pahrul buru-buru senyum. Hasilnya memang luar biasa, ibu itu balik membalas senyumnya dan mereka ngobrol ngalor-ngidul. Lain waktu, Pahrul nyaris ketubruk seorang bapak yang lari entah karena apa. Pahrul pun cepat-cepat menolong, memegang pundaknya si bapak yang terengah-engah sambil tentu saja tersenyum, suasana pun lumer dan menyenangkan. Sejak saat itulah, di dada Pahrul selalu tertanam : Aku Harus Siap Tersenyum !
Keesokan harinya, bu Nani telah menyiapkan sepatu, tas kantor dan sarapan untuk anak dan suaminya. Ketika ia mengantarkan di pintu, bu Nani tak lupa bicara :
“Kamu tidak lupa gosok gigi kan, Put, soalnya jangan sampai lupa hari ini untuk tersenyum kepada siapapun,” begitulah peringatan bu Nani.
“Oke !” Putri mengacungkan jempol diikuti senyum bu Nani dan suaminya.
Siang hari Putri pulang. Tapi ia datang tidak tersenyum, sebaliknya wajahnya hanya merenggut asem. Sambil makan siang, bu Nani mencoba mengorek ada apa sebenarnya sampai Putri datang tanpa senyum. Putri pun cerita. Katanya di mikrolet ada tiga pemuda yang siap-siap akan menodong ibu-ibu. Terdorong oleh rasa setia kawan dan kasihan pada si ibu, Putri pun langsung tersenyum pada ibu itu sambil berkata, hati-hati Bu, perhiasan ibu takut kena jambret. Rupanya mendengar omongan Putri seperti itu, ibu tadi siap-siap mengemasi barangnya, dan buntutnya ketiga pemuda itu yang balik marah pada Putri karena kesal aksinya digagalkan seorang cewek ingusan.
Ketika Putri turun agak jauh dari sekolahnya rupanya ketiga pemuda tadi mengikutinya, lalu di tempat sepi mereka menghadang Putri. Salah seorang diantara pemuda tadi menodongkan pisau. Jelas saja Putri gemeteran, tapi ia tidak lupa untuk tetap tersenyum. Mungkin karena merasa dilecehkan tiba-tiba Putri didorong dan hampir jatuh. Beruntung ada beberapa orang guru lewat sehingga ketiga pemuda tadi langsung ngibrit. Itulah kenapa ia mangkel banget, gara-gara senyum malah jadi celaka katanya.
Mendengar cerita putrinya, bu Nani pun tersenyum. Pasti bukan karena gara-gara senyum semua itu terjadi, malah bu Nani justru berpikir sebaliknya. Coba kalau waktu itu Putri tidak tersenyum, mungkin si ibu di mikrolet akan kena jambret. Kalau Putri tidak senyum, mungkin pisau salah seorang pemuda itu benar-benar akan mencelakainya. Jadi, begitu kesimpulan bu Nani, besok semakin lebar lah kamu tersenyum, Put !
Ada kejadian lain sore itu di ujung gang tak jauh dari rumah Putri. Dua pemuda pengacara alias pengangguran banyak acara, adu mulut bahkan nyaring adu jotos. Konon katanya gara-gara kedua pengangguran tadi rebutan uang parkiran. Putri lewat ke tempat itu dan hampir lari saat kedua pemuda itu benar-benar mau berantem. Tapi karena ia ingat pesan mamanya, sambil lewat ke tempat itu sempat juga nyeletuk : Tersenyumlah kawan, karena senyum itu indah !
Rupanya salah seorang pemuda yang mau berantem itu mendengarnya. Sebenarnya kalau pun terjadi berantem, yang lebih kecil itu sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menang. Secara fisik ia kalah, bahkan kalau dilihat pengalaman juga masih jauh dibanding musuhnya itu. Makanya ia putar akal, dan sebelum benar-benar berantem ia menemukan jalan. Dengan senyum ia bicara :
“Sebelum kita berantem, bagusnya lap dulu itu ingusnya,” katanya. Entah karena merasa malu atau bagaimana, musuhnya itu langsung tersentak kaget dan melap ingusnya. Padahal sesungguhnya tak ada ingus, bekasnya pun tidak terlihat. Saat musuhnya melap ingus, pemuda yang lebih kecil itu langsung bereaksi memiting musuhnya. Dengan mudah musuhnya bisa dikalahkan dalam satu gerakan. Ketika pemuda tadi bertemu kembali dengan Putri, tak lupa mengucapkan terima kasih. Senyum itu memang indah, Put, katanya.
Malam hari giliran suami bu Nani yang merenggut. Rupanya ketika akan pulang, dompetnya kena sambar copet. Terang aja uang tunai, kartu, dan KTP amblas digondol pencopet. Ia memang lupa akan senyum dan sebaliknya hanya bisa marah-marah. Beruntung ia satu bis dengan seorang temannya, sehingga suami bu Nani tidak sampai benar-benar kehilangan muka karena tidak bisa bayar bis.
Saat makan malam semua kejadian itu diceritakan pada anak dan istrinya. Entah kenapa, tiba-tiba bu Nani dan Putri saling menatap lalu keduanya tersenyum. Menyaksikan anak dan istrinya tersenyum, suami bu Nani jelas tersinggung.
“Bagaimana kalian ini, mendengar aku kena musibah kok malah tersenyum sih ?” gerutu suami bu Nani. Lagi-lagi ibu dan anak itu tersenyum, lebih manis dari senyumnya yang pertama tadi.
“Hei, kalian sengaja mau melecehkan aku, ya ?” suami bu Nani benar-benar kesal. Melihat suaminya kesal, bu Nani angkat bicara.
“Buat apa marah-marah, Pak. Musibah itu ‘kan terjadi bukan karena kita menghendaki, tapi musibah itu untuk menguji sejauhmana kesabaran kita !” jawab bu Nani tenang.
“Aku tahu itu, tapi kenapa harus tersenyum ?” protes suaminya
“Kalaupun kita marah-marah, mengumpat, kesal, protes, toh dompet itu tidak akan kembali, Pak. Maka daripada marah-marah, kenapa tidak tersenyum saja. Paling tidak dengan senyum, otot kita lebih kendur,” jelas Putri sambil tetap tersenyum. Mendengar itu, ayahnya pun tersenyum. Memang benar, buat apa marah-marah hanya akan bikin kita capek. Sudah capek, dompet tetap hilang, memang rugi dua kali. Maka tersenyumlah ia.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar