Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Senin, 09 Mei 2016

BUNGA KERING


Oleh : E. Rokajat Asura
(Judul asli “Bunga-bunga Kering” dipublikasikan di Jawa Pos Minggu, Desember 1990)

Stasiun bawah tanah al-Jabal sejak pagi buta telah penuh sesak, semua mata memandang dunianya sendiri-sendiri. Saling tak menyapa, kecuali mengangguk jika minta tempat duduk dengan bibir tetap terkatup. Tanpa rasa akrab sekalipun, padahal sejarah pernah mencatat bahwa mereka semua keturunan Syam yang bertahta sekian lama, sedangkan hanya sedikit saja orang asing. Namun karena percikan api dendam yang membuat mereka dingin, angkuh serta hidup sendiri-sendiri.
Masa lalu adalah masa lalu, cukup untuk disimpan di museum dengan sekali-kali boleh orang asing membuka bahwa semua penduduk berasal dari satu batang yang sama, satu keturunan dan hanya perang saudara itu yang membuat mereka berpisah. Kini, perang itu telah hanya namun tidak berarti selesai. Dendam masa silam masih tetap membekas bahkan sengaja tetap sengaja dipelihara dalam dada-dada mereka. Jika seorang anak terpaksa yatim, maka dendam anak itu akan membekas dan terus membekas kepada siapa saja lalu secara tak disengaja dendam itu akan turun pula ke anak-anaknya kelak.
Seorang lelaki tua tergopoh menuju bangku kosong. Ada yang menarik dari tubuhnya yang telah sedikit bungkuk itu. Sorot matanya, ya, sorot matanya tajam menampakkan bahwa dia seorang pemberani di masa mudanya. Rambutnya yang memutih seperti tak terurus, turut menghiasi gurat-gurat tua di wajahnya yang setiap keriput telah mencatat sejarah. Alis matanya tebal terlukis rapi di dahinya yang lebar. Dia menyerangai begitu dekat ke kursi, lalu mengangguk pelan menyapa seorang wanita setengah tua yang duduk tercenung di sebelah kursi yang kosong.
“Selamat pagi, Nona, kursi…” serak suara lelaki tua itu dan ternggorokannya seperti tersekat tak bisa meneruskan kata-kata sesaat setelah melihat si wanita itu membuang muka. Tas hitam itu didekapnya, menjaga degup dadanya yang sempat terusik.
“Sama…dimana-mana sama …” gumam lelaki tua itu seraya menjatuhkan pantatnya di kursi, sebelah tangannya membuka kancing baju bagian atas dan mengibas-ibas menahan gerah.
“Anda mau ke kota ?” tanya si lelaki membuka percakapan, lain dari kebiasaan penduduk kebanyakan. Dia orang asing yang tak tahu tradisi baru di kampung itu ? Oh, bukan, dia telah tua saja rupanya.
“Maaf, saya tak ingin bicara…” ketus si wanita.
Lelaki tua itu terkekeh.
“Bandot tua memang tak sepantasnya mengajak bicara seorang gadis cantik seperti anda, Nona ! Tapi jangan salah, bertanya belum tentu ingin mengajak ngobrol atau mengobrol pun tak selamanya mesti diawali dengan bertanya ya ‘kan ?”
Wanita itu diam, lelaki tua melirik dan tersenyum pahit. Matanya tiba-tiba merebak memandang titik di atas langit-langit stasiun itu, menerawang, menangkap bayangan yang sekelebat muncul lalu menghilang kembali. Wanita menoleh melalui sudut matanya, ketika si lelaki terbatuk menahan asap rokok yang menyengat.
“Kasihan!” cibir si wanita, lelaki tua itu tetap tak acuh, tasnya semakin didekap erat seolah pada tas itulah ia akan dan selalu menemukan kedamaian.
“Pagi ini cerah sekali, sepertinya saya menjadi muda kembali. Hanya sayang manusia sekarang sudah tak tahu bagaimana menyapa karunia Tuhan ini. Asap rokok, polusi kendaraan dan ah …” Lelaki tua itu kembali terbatuk, sementara si wanita menutup mulutnya menahan tawa.
“Anda jangan tertawa!” ketus lelaki tua itu kasar.
“Mau tertawa atau tidak, itu bukan urusan. Kita di sini, sama-sama sebagai penumpang, sederajat, dan saya ingatkan jangan sekali-kali anda melarang apa yang orang lain lakukan. Kita bukan manusia yang hidup di jaman Syam lagi. Kini kita telah lahir dengan dunia baru…”
“Tapi saya tersinggung !” umpat lelaki tua itu. “Saya batuk bukan krena sering minum alkohol atau banyak meroko, saya batu lantaran korban masa lalu, Nona ! Mestinya anda tahu, bila tak ada pertempuran dahulu, mungkin anda tak akan pernah bebas seperti sekarang ini. Pertempuran suatu jalan untuk menghentikan saling curiga diantaa keturunan Syam, dan hasilnya memang terasa sekarang ini. Di sini tak ada lagi saling bunuh, karena curiga atau dendam. Pertempuran memang telah selesai kemarin…”
Karuan saja si wanita merenung semakin dalam begitu lelaki tua di sebelahnya terdiam karena terganggu batuknya yang terus menggoda.
“Dan sayalah korban pertempuran itu, Pak Tua !” seragah si wanita dingin. “Begitu menyakitkan ! Anak saya hilang, suami tak diketahui rimbanya. Saya benci pertempuran, karena itu bukan cara untuk menghentikan benci dan dendam. Pertempuran justru akan membuat dendam baru, saling curiga baru,  bahkan mungkin lebih hebat. Mungkin orang sejaman anda, Pak Tua, telah hilang dendam dan saling curiganya, karena terhalang kematian atau karena malu dilucuti. Tapi istri-istrinya, anak-anaknya, cucu-cucunya, cicit-cicitnya yang merasa kehilangan akan hilang pula dendamnya ? Oh, tidak ! Tidak, Pak Tua. Justru semuanya akan membangun dendam baru sejak mereka dalam rahim…” terbata-bata si wanita itu bicara tertahan kerongkonganya yang mendadak kering. Pundaknya tiba-tiba terguncang, menangis sesenggukan, ada dendam baru terpancar dari sorot matanya yang memerah. Lelaki tua itu termangu.
Penumpang makin sesak karena kereta terlambat datang, udara makin tak nyaman. Dari seberang seorang wanita belia sibuk membawa barang-barang yang dipak dalam dus, napasnya tersengal dibebani bawaan yang melebihi kapasitas tenaganya itu. Dus paling besar disimpan tepat di depan lelaki tua itu, hanya sekilas orang melihat kedatangan gadis belia itu, tak ada niatan untuk menyapa apalagi menolong mengurangi bebannya. Wanita belia itu menjatuhkan pantatnya ke atas dus yang tergeletak di lantai, kancing bajunya dibuka dan masyallah, ia tak peduli dengan rahasia dibalik bajunya itu tidak juga terlihat rikuh.
“Ya, Allah, udara kok makin panas saja…” keluhnya sambil tak henti mengibas-ibaskan tangannya. “Dulu panas dengan asap mesiu, sekarang panas dengan asap industri, tak ada bedanya, sama-sama memusingkan. Seperti semua lelaki, sama memusingkan. Anda tahu, tante, tadi pagi di terminal ditemukan seorang bayi mati dekat onggokan sampah. Jelas lelaki yang salah, kalau saja mereka bertanggung jawab tak akan ada kejadian bayi dibuang. Laki-laki memang ingin enaknya saja, belum kasus perkosaan, pembunuhan, penculikan … dan pelakunya, semua lelaki !”
“Stop, cukup, Nona, tak perlu dilanjutkan !” sergah lelaki tua itu tersadar dari lamunannya begitu wanita belia yang baru datang itu ngoceh membuang kekesalannya. “anda tidak sopan, ini tempat umum, Nona. Dan bicara seperti itu memang mengganggu ketertiban, bisa mengundang kecemburuan dan ini akan mengancam keselamatan anda sendiri, Nona !”
“Sopan ?!” gadis belia itu mencibir. “saya tak peduli, sopan atau tidak itu kan urusan saya, pak Tua. Saya tahu kini bukan jaman anda tua, karenanya kini kesopanan hanya barang antik yang layak disimpan di museum. Sopan atau tidak sekarang bukan ukuran, yang menjadi ukuran sekarang seberapa jauh kita bisa hidup mandiri. Titik.”
“Benar, Nona !” sambuh wanita setengah tua menimpali.
“Maaf, tante, saya bukan nona tapi nyonya. Sekali lagi, nyonya…”katanya seraya tersenyum lengkap dengan kerdipan mata yang hanya dimengerti ia dan kebanyakan wanita sejenisnya.
“Ya, benar, nona…eh nyonya …. ?”
“Noorma Al-Alim binti Kursudi Abdul bin Durman Hik…”
“Benar, anda benar Nyonya Noorma. Kita tak usah repot-repot memikirkan kesopanan apalagi bagi saya … “
“Nama tante ?”
“Nadia !”
“Hanya itu ?”
“Nama kepanjangan barangkali nona … “ timpal lelaki tua yang entah kenapa selalu saja merasa dirinya bagian dari percakapan saat itu.
“Tidak ada !”
“Kenapa ?”
“Karena kita sebagai wanita bisa dan harus bisa mandiri, Nyonya. Apalagi bagi saya yang ditinggal mati suami, kita harus bisa membuktikan diri untuk mandiri dan saya tak ingin memakai nama suami. Memakai nama suami berarti membonceng, jelas hal ini tidak mandiri…” Nadia menerangkan. Noorma tercenung, mencoba mencerna kata-kata teman bicaranya itu. Lelaki tua entah kenapa tiba-tiba saja merasa perlu untuk terkekeh.
“Anda wanita-wanita lucu yang pernah saya temui dan lebih cocok hidup di planet lain, bukan di sini. Dan saya tahu, itu semua anda lakukan karena anda telah dan tak berhasil menjadi wanita yang sesungguhnya…” jelas si lelaki masih terkekeh. Noorma dan Nadia melotot, tersinggung dengan kata-kata si lelaki itu.
“Anda telah menghina kami, Pak Tua !” sergah Noorma.
“Menghina ?” tanya si lelaki terbelalak. “Bukankah menghina itu hanya ada dalam kamus orang-orang yang menjunjung tinggi kesopanan, Nona ? Sementara anda sendiri ?” tanya si lelaki itu tak lepas dari senyum sinisnya.
“Maksuda anda ?”
“Nama saya Makmur bin Suheb bin Ajidwipamarguna bin…”
“Cukup pak Makmur, nama anda terlalu panjang, kayak…euhm..maksud saya begini …”
“Maksudnya bagaimana Nona … “
“Nyonya !”bentak Noorma. “anda masih bisa mendengar bukan ?”
“Bagi saya nyonya atau nona tak penting karena hanya ada satu pilihan, seorang wanita dikatakan nona bilamana ia seorang istri pertama yang syah dan keman-mana didampingi suaminya. Bagi istri yang kedua dan seterusnya, tetap akan saya katakan nona, n-o-n-a, karena ia memiliki suami yang telah punya istri. Begitupun ia yang janda atau bepergian tanpa didampingi suami, saya akan menyebutnya nona, saya tidak tahu apakah anda ini istri pertama, kedua, ketiga atau apakah anda ini janda. Yang saya tahu, anda datang ke sini sendirian, karenanya saya akan memanggil anda dengan sebutan nona. Paham ?”
Noorma dan Nadia tercenung. Mereka bertiga tetap diam tak menyongsong ketika kereta api dari arah timur yang akan menuju kota datang. Mereka bertiga hanya menatap penumpang-penum[ang saling berebut masuk, tak ada ketertibatan lagi, semua serba terburu-buru. Penduduk Al-Jabal memang mendadak naik drastis jumlah penduduknya begitu perang saudara itu selesai, dan kini mereka sibuk menikmati udara kemerdekaan.
“Anda berdua tidak turut naik ?” tanya Makmur menggoda lamunan dua wanita berbeda usia itu yang entah kenapa secara tidak sengaja menjadi teman ngobrolnya hari itu.
“Anda sendiri ?”
“Saya ? Tidak !” Makmur menggeleng. “Saya menunggu kereta yang cocok untuk saya tumpangi, kereta yang didalamnya ada seribu kupu-kupu indah…” Noorma dan Nadia saling pandang, kemudian terkekeh mendengar kata-kata Makmur.
Kereta melaju dengan kecepatan tinggi menembus udara kota yang panas, bising, makin tak karuan. Dus besar yang tadi dibawa Noorma sama tak karuan, bahkan dus itu serta-merta berguling-guling padahal tak ada agin, pula tak ada yang menyinggungnya. Makmur terkesiap melihat dus yang terguling-guling sendiri itu, lalu beranjak dari tempat duduknya menghampiri dus ajaib itu. Sesaat dia melirik ke arah Noorma yang terbelalak tak bisa menyembunyikan perasaannya.
“Ajaib, tak ada angin bisa berguling. Kita buka !” gumam Makmur membuat Noorma terlihat semakin salah tingkah.
“Jangan ! Jangan dibuka, itu milik saya dan anda tak punya hak untuk membukanya…” Noorma gugup sekali, dia bergegas menghalangi Makmur yang telah bersiap-siap membuka dus ajaib itu.
“Memang, saya tak punya hak untuk membuka, Nona. Tapi ingat, saya punya kewajiban untuk membuka keajaiban ini, di sini hak tidak berlaku, Nona. Maaf !”
Noorma tertegun melihat Makmur yang tak menghiraukan larangannya, dia terus membuka dus itu, tali-temalinya dibuka satu persatu dan…Makmur terduduk menyaksikan keanehan yang menurutnya luar biasa. Nadia menjerit mengundang orang-orang yang ada di stasiun menghampirinya. Semua mata terbelalak melihat sesosok bayi mungil dari dalam dus yang tidak bernyawa lagi.
Dus beserta mayat bayi itu diamankan. Noorma pingsan. Makmur hanya terduduk menyulam air mata, dia tidak bereaksi ketika dua orang berseragam putih-putih dengan emblim bertuliskan Rumah Sakit Jiwa menghampiri lalu secara paksa membawanya pergi meninggalkan stasiun itu. Kedua orang berseragam putih-putih itu terdengar bergumam:
“Kenapa bapak kabur, padahal belum sehat betul…”
Makmur terus menangis, sementara Noorma dibopong dibawa ke posko, Nadia makin tercenung kemudian menjerit berkali-kali. Sesaat kemudian ia bangkit dan berjalan gontai menelusuri rel kereta api. Di sudut stasiun terlihat ia tercenung, menatap langit tak berawan, lalu tersenyum bahkan tak henti terus tersenyum, sesekali ia menari indah sekali tak henti bersama angin. Nadia berjalan dan terus berjalan menembus kegelapan, entah sampai kapan.
***
Jauhkanlah dirimu dari pebuatan aniaya,
sesungguhnya perbuatan aniaya itu akan mengakibatkan kegelapan
di hari kiamat, dan hindarkanlah dirimu dari sifat kikir yang keterlaluan
karena kebinasaan generasi sebelummu itu disebabkan
mereka memiliki sifat kikir yang keterlaluan
sehingga membawa mereka ke arah pertumpahan darah
serta menghalalkan semua yang diharamkan
(H.R Bukhari dan Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar