Oleh : E. Rokajat Asura
Kenapa beras dibuang-buang, sekarang kan lagi mahal
Itulah short massage service (sms) dari seorang kawan. SMS itu meluncur ketika sama-sama menghadiri upacara adat sawer pernikahan. Sungguh, kalau bukan gara-gara sms tersebut, saya tak akan teringat betapa upacara adat sawer itu sarat makna. Bukankah pada saat saweran, tak hanya beras yang ditabur tapi ada uang logam, kunyit dan beberapa barang lain. Tak sembarang yang ditabur, selain yang memiliki simbol dan mengandung pesan moral. Tapi upacara adat ini menjadi kehilangan greget – selain sebuah rangkaian upacara – salah satu sebab tak dipahaminya nilai-nilai moral yang terbungkus secara simbolis itu. Sehingga upacara adat sawer kalah populer bersanding dengan organ tunggal.
Sawer secara harpiah seperti diungkapkan RH. Uton Muchtar dan Ki Umbara dalam buku MODANA terbitan PT. Mangle Panglipur, 1994 halaman 127-138 adalah menaburkan isi bokor yang terdiri dari beras, kunyit, uang logam dan seperangkat alat makan sirih. Tradisi Sawer dilaksanakan dibawah panyaweran yaitu halaman depan rumah tepat dibawah jatuhnya air dari genteng. Tradisi sawer dilaksanakan setelah akad nikah berlangsung. Secara maknawi, tradisi sawer ini samasekali tidak mengangkat hal-hal berbau mistik. Hanya saja karena bahasa dan seluruh peralatan dalam tradisi ini mengandung simbol-simbol, seringkali dipahami sebagai sesuatu yang membesar-besarkan unsur mistik. Padahal tradisi sawer sebenarnya tidak jauh beda dengan khotbah nikah yang isinya berupa pesan-pesan moral yang dinyanyikan dalam bentuk dangdanggula, asmarandana, kinanti maupun anggana sekar. Petikan kidung sawer di bawah ini dalam lagu asmarandana, salah satu contoh bagaimana pesan moral itu disampaikan :
laki rabi masing tigin
runtut raut jeung panutan
titip cepil sareng panon
sepuh raos dadanguan
tur raos titingalan
putra mantu runtut rukun
Eulis Ujang saaleutan
(rumah tangga harus lurus
harmonis dengan pasangan
jaga telinga dan mata
orang tua tentram pendengaran
serta nyaman pandangan
anak dan mantu selalu rukun
Eulis Ujang selalu bersama-sama)
Dalam tradisi sawer pesan moral untuk kedua mempelai itu tidak saja dalam bentuk kata-kata, tapi juga dalam seluruh perangkat yang dipergunakan dalam upacara adat tersebut. Bunga rampai yang ditabur-taburkan tidak saja dimaksudkan untuk menyemarakkan suasana, tetapi memiliki maksud tersendiri. Dalam hal ini orang tua dulu yang menciptakan tradisi ini, ingin mengatakan kepada kedua mempelai hidup rumah tangga selayaknya bunga rampai, tidak saja terlihat cantik dan serasi, tetapi juga menebarkan wangi. Kehidupan rumah tangga yang menarik dilihat orang lain, serasi dan selalu menebarkan wangi karena tak pernah cekcok secara berlebihan, sebuah tujuan yang mulia. Ketika leluhur kita menabur-naburkan bunga rampai di depan rumah pada saat upacara sawer tidak dimaksudkan untuk menyenangkan ruh leluhur, melainkan secara simbolis sedang menanamkan ajaran bahwa membina rumah tangga harus terus dilakukan agar bisa seperti bunga rampai.
Kunyit yang berwarna kuning tidak ada kaitannya dengan roh-roh halus. Kunyit yang berwarna kuning emas, melambangkan kekayaan dan kesejahteraan. Para leluhur memberi perhatian kepada masalah kesejahteraan ini. Benar, dalam rumah tangga, kekayaan bukan tujuan utama, tapi memegang peranan dalam keharmonisan kehidupan. Orang tua dulu telah berpikir jauh ke depan, betapa masalah finansial ini menjadi salah satu pemantik retaknya rumah tangga. Konsep ini sejalan dalam ajaran Islam, bukankah Nabi Muhammad SAW, jauh hari mengingatkan bahwa kefakiran akan mendekatkan kepada kekafiran.
Beras putih yang ditabur-taburkan bersamaan dengan kunyit dan uang logam, dalam tradisi saweran, termasuk salah satu konsep hidup. Hal ini terkait dengan lingkungan masyarakat yang agraris. Beras dan uang logam yang ditabur-taburkan ke arah penonton secara bersama-sama mengandung arti hidup senang dan banyak rejeki. Harapan semua orang yang dicoba diingatkan pada pengantin yang akan membangun rumah tangga, bahwa mencari rejeki agar banyak dan hidup senang itu harus terus diupayakan, tapi jangan sampai lupa untuk memberi tetangga dan siapa saja yang membutuhkan. Kaya boleh tapi jangan jadi materialistis dan kikir ketika kekayaan itu berhasil diraihnya. Dalam sebuah hadits, sebaik-baiknya seorang muslim adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Seperangkat makan sirih melambangkan kerukunan hidup rumah tangga. Kerukunan itu akan tercapai manakala ada keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Keseimbangan ini tercermin dari komposisi makan sirih yang terdiri dari apu, gambir, jambe, kapol, saga dan tembakau. Menurut para sepuh yang sering makan sirih, apabila komposisi tadi tidak seimbang, disamping tidak nikmat dimakan juga akan menyebabkan pusing. Hal ini menyiratkan bahwa ketidak seimbangan dalam hidup rumah tangga antara perempuan dan lelaki, akan menyebabkan pusing dan tekanan psikologis lainnya.
Benar bahwa kebijaksanaan yang diwariskan orang tua dulu kepada generasi berikutnya adalah kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup. Kepasrahan dan kesungguhan para leluhur menghadapi hidup tercermin dalam berbagai bentuk tradisi, baik yang sifatnya kolosal maupun individual. Demikian pula kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup itu tercermin dalam konsep hidup sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai kembali berangkat tidur malam harinya. Dari kepasrahan dan kesungguhan dalam hidup itulah, kemudian mewujud dalam perilaku sehari-hari baik ketika berhubungan dengan sesama maupun dengan alam sekitar. Lalu muncul pemahaman bahwa semua benda yang ada di lingkungan itu memiliki kekuatan dan simbol-simbol yang harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat nilai-nilai moral itu diwariskan kepada generasi berikut, tak jarang disikapi secara ekstrim baik yang menerima maupun yang menolak. Kelompok yang menolak, melakukan penolakan secara ekstrim sehingga tidak memberi ruang sedikit pun untuk melakukan telaah. Pada saat menolak, maka tak ada kesempatan untuk menelaah ada apa di balik simbol-simbol itu, sehingga pada akhirnya niat baik orang tua dulu menjadi kabur karena makna yang hakiki tidak sempat tergali. Dan kelompok yang menerima, menerimanya dengan ekstrim pula sehingga tak memberi ruang pula untuk mengkritisi. Kelompok ini menerima dan melaksanakan tradisi semata-mata karena menganggap harus dilaksanakan dan menganggap sebagai kesalahan apabila tidak dilaksanakan. Sikap seperti ini akan menimbulkan tradisi menjadi kering arti, budaya menjadi miskin makna.
Tradisi sawer sepertinya telah berada dalam dua sikap ekstrim seperti itu. Ketika seorang juru sawer membuka saweran dengan menyampaikan sebentuk sajak misalnya, bagi mereka yang menerima tradisi sawer dengan ekstrim menganggap hal itu sebagai bagian dari kekuatan dan dan penghormatan kepada nenek moyang sehingga pantang untuk ditinggalkan. Sementara mereka yang menolak secara ekstrim menganggap pembuka berbentuk sajak itu hanya sebaris kata-kata yang samasekali tidak berarti apa-apa. Coba perhatikan salah satu sajak pembuka sawer di bawah ini :
Bul kukus mendung ka manggung
Ka manggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci neda suci
Pun sapun ka sang Rumuhun
Ka luhur ka Sunan Ambu
Ka Batara Naga Raja
Kula amit ngidung heula
Nyilokakeun nyukcruk laku
Laku nu mundut rahayu
Ngalap lambah nu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Beas diawur-awur tumbal pangurip sajati
Ti pohaci Sang Hyang Sri
Di dangdayang Tresnawati
Menabur-naburkan beras dan uang logam kepada penonton dalam tradisi sawer, hendaknya jangan diartikan sebagai memberi contoh kepada pengantin dan masyarakat (penonton) untuk menghambur-hamburkan uang, beras dan lain sebagainya dengan sia-sia. Sesungguhnya dalam tradisi itu terkandung nilai moral bahwa rejeki itu harus dicari, ketika didapat jangan jadi kikir, hanya memperkaya diri sendiri dan selalu menutup mata dengan kesengsaraan orang lain. Demikian pula dalam syair-syair yang dilagukan juru sawer secara ringkas mengandung tujuan selalu meminta maaf dan harapan kepada Allah SWT sebelum memulai sesuatu, memberi nasihat kepada mempelai wanita bagaimana cara berbakti kepada suami, sebagai pasangan suami istri harus selalu mencari cara agar hidup tentram dan harmonis, mendoakan kedua mempelai agar hidup tentram lahir dan bathin. Wallohu alam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar