Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Selasa, 10 Mei 2016

BERMAIN-MAIN DENGAN SUMPAH

Oleh : E. Rokajat Asura

Dalam sebuah pelantikan pejabat selalu dilakukan sumpah jabatan. Maksudnya sebagai bukti bahwa ia akan memegang amanat jabatan itu untuk digunakan sesuai dengan proporsinya. Sumpah jabatan mengandung sebuah semangat spiritual yang tinggi. Sumpah jabatan menjadi salah bukti kesungguhan pejabat tadi agar tidak menyalahgunakan jabatan. Kalau kemudian pejabat tadi terbukti menyalahgunakan jabatan, terbukti mengingkari jabatannya itu, tentu bukan sumpah jabatan yang salah tapi individu pejabatan itulah yang salah.
Ketika dua orang bertengkar atau cekcok, tak ada yang mau disalahkan. Jalan tengah biasanya ditempuh dengan menyuruh keduanya untuk bersumpah. Sumpah seperti ini menjadi sebuah cara pembuktikan sosial kepada satu sama lain tentang perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya itu tidak benar. Kalau kemudian di akhir hari ketahuan bahwa para pelaku sumpah tadi salah, tentu bukan sumpahnya yang salah melainkan masing-masing individu itulah yang ingkar. Individu tadi dengan sengaja telah melakukan pembohongan publik. Bohong atas sumpahnya sendiri.
Ketika seseorang dituduh mencuri, ia tidak akan dipercaya begitu saja dengan hanya mengaku tidak mencuri. Orang yang menuduh mencuri biasanya secara psikologis akan berubah manakala pencuri itu berani bersumpah. Namun demikian ketika ketahuan ternyata sumpahnya bohong, tentu saja bukan sumpahnya yang salah tapi pencuri itu yang salah. Dia telah berani bermain-main dengan sumpah.
Ketika sumpah dijadikan pembelaan dan hanya untuk bermain-main, maka nilai sumpah terasa menjadi hambar dan tidak bernilai. Kenyataan seperti itulah yang dirasakan Her belakangan ini. Padahal saat ini ia justru sedang dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. Bayangkan saja, istrinya diduga berselingkuh. Beberapa bukti dari omongan tetangga telah dikantongi. Hanya saja Her sendiri belum menangkap basah kelakuan istrinya itu. Tapi ketika dikonfirmasi, istrinya tetap bersikeras mengaku tidak selingkuh. Bahkan ketika diajak bicara baik-baik dengan mengumpulkan kedua keluarga, istrinya tetap bersikeras kalau ia tidak berbuat. Ia samasekali tidak selingkuh. Ketika pamannya menyuruh keluar dari pekerjaanya, istri Her dengan enteng mau menerima.
“Kalau memang sumber tuduhan selingkuh itu karena saya bekerja, sehingga punya keleluasaan untuk berselingkuh, saat ini juga saya bersedia keluar kerja. Tapi tentu saja jangan konyol. Saya mau keluar kerja kalau memang mas Her telah bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” jelas istri Her.
“Bagaimana Her, kau sanggup ? Inilah salah satu cara untuk membuktikan benar tidaknya omongan tetangga dan tuduhan kamu bahwa istrimu tidak selingkuh,” urai sang paman. Her berpikir. Selama ini ia memang telah bekerja keras, kendati kebutuhan rumah tangganya masih saja belum tercukupi. Dari sanalah pertimbangan sang istri kenapa ia mau bekerja.
Pertemuan itu tidak membuahkan hasil apa-apa. Isu bahwa istri Her berselingkuh semakin santer. Istri Her sendiri tetap bersikeras tidak mau mengaku. Pada suatu hari Her mengajak istrinya menemui seorang ustadz. Di hadapan sang ustadz Her bicara panjang lebar:
“Begitulah, pak Ustadz, saya memohon petunjuk bagaimana mengatasi masalah ini ?” keluh Her. Pak Ustadz hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu ia cerita tentang bagaimana kebohongan itu bisa berakhir dengan sebuah kecelakaan. Apalagi kalau berbohong dengan cara bersumpah, tentu akan lebih rugi lagi akibatnya.  Kebohongan yang terus-menerus akan membuat ia tidak dipercaya lagi, demikian pula dengan orang yang senang bermain-main dengan sumpah, tidak akan dipercaya lagi sumpahnya. Kendati pada suatu hari ia benar-benar bersumpah dengan segala kesungguhan, sumpah itu tetap saja menjadi tidak bernilai dan ia akan tetap dianggap bohong. Lalu ustadz itu mensitir sebuah kisah.
Pada suatu masa, katanya, ada seorang gembala kambing. Ia biasa menggembalakan kambing itu jauh keluar kampung. Di sebuah padang rumput yang maha luas, di sanalah ia melepas kambing-kambingnya yang ratusan itu. Setiap hari begitulah pekerjaannya, pagi hari membawa kambing-kambing itu, melepaskan di padang rumput, sore hari dikumpulkan dan dibawa pulang. Suatu hari ia terjebak dengan perbuatan iseng hanya karena dilanda kesepian, diam sendiri di padang rumput yang maha luas itu. Terpikir olehnya bagaimana kalau berteriak minta tolong, seolah-olah ia didatangi oleh srigala. Ia pun melakukannya. Ia berteriak lantang.
“Tolong…tolong ! Ada srigala. Tolong aku, kambing-kambingku dimakannya. Tolong...”
Rupanya beberapa orang dari kampung terdekat bisa mendengar suara gembala yang minta tolong tersebut. Berbondong-bondonglah penduduk desa itu menuju padang rumput untuk menolong si gembala. Betapa anehnya ketika mereka tiba ke padang rumput melihat si gembala sedang tiduran, kambing-kambingnya berkeliaran dengan damai, dan tak tanda-tanda bekas kedatangan srigala.
“Hai, gembala, benarkah kau akan diterkam srigala ?” tanya salah seorang penduduk desa yang hendak menolongnya.
“Oh, tidak, tidak ada srigala di sini.”
“Lalu siapa yang teriak minta tolong tadi ?”
“Oh, itu memang aku. Aku sengaja teriak minta tolong untuk menguji apakah penduduk desa di sini masih peduli pada seorang gembala atau tidak. Aku khawatir diam di sini sendirian. Kalau memang benar-benar ada srigala dan tidak ada yang peduli menolongku, bagaimana nasibku nanti ?”
Mendengar alasan gembala yang memang masuk akal itu, penduduk desa hanya saling pandang kemudian satu persatu pulang meninggalkan sang gembala. Sementara itu si gembala sendiri hanya tersenyum puas karena telah berhasil mengelabui mereka.
Selang beberapa hari, si gembala melakukan hal yang sama. Ia teriak nyaring meminta tolong kepada penduduk desa. Beberapa orang yang mendengarnya sempat ragu-ragu, jangan-jangan si gembala itu berbohong lagi dan hanya akan mengelabui mereka. Dari sepuluh orang yang mendengar, lima orang diantaranya memutuskan untuk tidak menolong dan mengabaikan teriakan si gembala itu karena khawatir terkelabui untuk kedua kalinya. Sementara lima orang yang lain dengan ragu-ragu akhirnya datang untuk menolong. Apalagi ketika teriakan itu makin lama terdengar makin sayup-sayup. Mereka menyangka tentu srigala itu telah demikian buas memangsa kambing-kambing si gembala. Kelima orang itu kendati tetap ragu-ragu akhirnya datang juga ke padang rumput tempat si gembala menggembalakan kambing-kambingnya.
Namun betapa kecewanya ketika di padang rumput ia melihat si gembala sedang menyantap bekalnya. Dengan emosi salah seorang dari kelima penduduk desa itu mendekati si gembala. Dengan menjambak leher, penduduk desa itu menghardik.
“Sialan kamu ! Sudah dua kali mengelabui kami. Apa maksud kamu sebenarnya bangsat !”
“Aku...aku tadi seperti melihat srigala. Sumpah, aku seperti melihat srigala itu datang dari sudut sana. Aku khawatir sekali. Sebelum srigala itu datang, aku cepat-cepat teriak minta tolong,” jelas si gembala dengan gemetaran.
“Aku tidak percaya. Kau hanya sedang bermain-main,” teriak yang lain. Lalu mereka meninggalkan si gembala dengan perasaan jengkel.
Pada suatu hari ketika belasan penduduk desa sedang berkumpul, lagi-lagi mereka mendengar teriak si gembala. Teriakan itu terdengar timbul tenggelam bahkan terasa menyayat hati. Sesekali teriakan itu seperti sedang menahan sakit. Namun tak ada seorang pun dari penduduk desa itu yang bersedia menolongnya. Mereka menyangka pasti si gembala itu sedang bermain-main dan mereka tak mau kena tipu untuk ketiga kalinya. Padahal sesungguhnya saat itu si gembala sedang berjuang dengan maut karena sedang diterkam srigala. Beberapa saat kemudian seorang pencari rumput menemukan si gembala meninggal dengan mengerikan.
Mendengar kisah itu istri Her langsung menangis. Ia menyesal sekali telah berbohong dan bermain-main dengan sumpah. Mendengar pengakuan istrinya seperti itu Her tidak bisa berbuat apa-apa. Mau marah, malu dengan pak Ustadz. Dibiarkan begitu saja jelas hatinya terasa tercabik-cabik. Akhirnya ia pamit pada ustadz dan samasekali tidak mempedulikan istrinya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar