Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Rabu, 11 Mei 2016

SURAT UNTUK EMAK

Oleh : E. Rokajat Asura

Kepada, yang terkasih
Emak
Dimana saja berada

Assalamu alaikum warohmatulohi wabarokatuuh
Apa kabar, Mak ? Ema sedang apa sekarang ini ? Sekarang aku tak mendengar lagi emak bernyanyi. Neng nelengneng kung geura gede geura jangkung, geura sakola ka bandung (neng nelengneng kung cepat besar dan jangkung, cepat sekolah ke bandung). Nyanyian itu telah hilang, Mak. Pada jembatan itu aku hanya melihat kardus-kardus, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri. Emak bisa tanyakan pada bulan tadi malam, aku benar-benar menggigil memanggil-manggil emak, tapi tetap aku tak mendengar emak bersenandung. Aku hanya mendengar peluit. Trit. Trit. Trit. Kudengar memanggil-manggil. “Mana duit. Mana duit”. Aku bangun. Aku memang tak punya duit. Astagfirulloh, tentu sepatu besi itu akan menginjak-injak lagi, seperti pada bapak seminggu lalu, seperti yang diceritakan emak tempo hari.
Sekalipun tak ada emak, setiap pagi aku selalu bersenandung, dan terus bersenandung setiap mengingatmu. Ingat pada belaianmu, ingat pada suara emak. Setiap malam atau pagi-pagi sekali, selalu bersenandung memanggil-manggil emak dengan senandung itu. Neng nelengneng kung gera gede geura jangkung, geura sakola ka bandung.
Emak, sedang apa emak sekarang ? Mudah-mudahan Allah selalu bersama emak seperti yang selalu emak ceritakan padaku dari dulu.
Aku sedang ingat emak sekarang, tapi kenapa emak masih juga tak ada, tangan-tanganmu tak ada. Aku ingat, sejak bertemu bapak-bapak itu, emak jadi tak pulang lagi. Aku sering melihat yang memanggul kardus itu, tapi bukan emak. Aku melihat yang mengais-ngais sampah, juga bukan emak. Ya, Allah, dimana emak sesungguhnya sekarang ? Apakah emak dimakan sandekala, Ya, Allah ? Atau emak disembunyikan malaikat-Mu supaya emak tidak diinjak bapak-bapak itu lagi.
Mak, aku sekarang sudah besar, Mak. Aku sudah bisa berlari. Aku sudah bisa membaca diajari emak baru. Aku menyebutnya emak baru, karena memang seperti emak tapi hanya sebagiannya saja. Aku tidak tidur di bawah jembatan lagi. Di sini banyak teman, ada Budi, Rekso, Husin, Deden, Asep. Tapi katanya mereka juga tak pernah bertemu dengan emaknya. Tak pernah main-main dengan bapaknya. Aku hanya melihat seorang emak di sini. Semua memanggilnya emak. Semua memanggilnya sama. Tapi bukan emak asli karena hanya bertemu sekarang saja. Dan beda dengan emak, tak pernah bersenandung tak pernah mendongeng. Emak baru ini juga tak pernah mengelus dan hanya bertemu saat makan saja. Tapi dia itu baik, Mak, suka memperhatikan makan, memperhatikan kami kalau belum mandi, dan sangat marah kalau ada diantara kami yang tak semangat belajar membaca.
Tadi malam aku memohon pada Allah, Mak. Seperti kata emak, kalau ada apa-apa lebih baik minta langsung sama Allah. Aku cuma minta agar kita bisa bersama lagi. Kan nggak enak kalau setiap malam harus berebut emak disini. Lalu, emak sendiri sebenarnya berkumpul di mana ? Apa emak pernah bertemu dengan emaknya Budi ? Apa pernah bersama emaknya Deden ? Apa emak sehat ? Emak tidak kedinginan lagi ya ‘kan, Mak ?
“Ya, Allah, di sana tentu banyak emak, kenapa tidak di sini saja ? Di sini cuma ada satu emak untuk semua. Kasihan kalau harus membagi kasih sayang pada kami. Aku ingin satu emak untuk sendiri. Biar bisa bersama-sama, bersenandung, mendongeng dan mengelus-elus sebelum tidur.”
Sore tadi aku diajak emak baru itu ke pasar baru. Aku melihat banyak orang naik mobil. Mereka berjalan-jalan bersama anaknya. Mak, apa aku boleh bertanya langsung sama Allah, apakah hanya orang yang punya mobil saja yang boleh jalan-jalan sama emaknya ? Kalau boleh bertanya sama Allah, aku juga mau langsung nanya kapan dong, Mak, kita bisa beli mobil supaya bisa berkumpul dan berjalan-jalan lagi. Dulu, kita bebas jalan bersama kemana saja kita suka. Tapi sekarang kenapa hanya yang punya mobil saja. Aku tidak melihat lagi yang mencari kardus di sini, berjalan bersama-sama. Ini sebenarnya tempat apa sih, Mak ?!
Malam tadi aku minggat saja, karena aku kangen sekali pada emak. Bersama angin aku mendengar senandung emak. Pada pucuk jambu dan akasia, seperti melihat ada emak di sana, memanggil-manggil. Senandung itu kedengaran semakin jelas, Mak, tapi ketika aku naik ke atasnya tak terdengar lagi. Senandung itu mungkin sudah pindah.
“Kemarilah ! Kemarilah kau, Jang ! Katanya kangen sama emak ya ?” Nah begitu kata emak tadi malam. Aku berjalan mencari, lalu aku melihat bulan turun. Kutanya sama bulan, katanya emak ada di taman alun-alun. Tapi ketika sampai di taman alun-alun, suara emak hilang. Apa karena disini banyak pedagang kaset yang memutar tapenya keras-keras ? Aku juga ingin meninju kondektur bis yang teriak-teriak sangat kencang, sehingga tak bisa mendengar suara emak lagi. Sayang ya, Mak, tinjuku kecil, tentu kalau aku memukulnya tak akan berasa apa-apa. Aku jadi ingat bapak sekarang, Mak, aku juga pernah memukul bapak, tapi tidak terasa apa-apa katanya, bapak malahan ketawa waktu itu.
Aku terus berjalan meninggalkan alun-alun. Ketika aku capek, aku sampai di depan sebuah gedung. Banyak orang di sana, berkumpul, memanggul kardus, mengais-ngais sampah. Sebentar kemudian aku kembali mendengar peluit. Trit. Trit. Mereka berlari semua, ke segala penjuru. Aku juga ikut berlari, masuk kedalam gedung lain, tapi tiba-tiba lampunya padam dan aku menggigil karena takut gelap. Esoknya ketika terang, aku melihat Emak, tapi tetap berdiri dan tidak senyum.
“Mak, ini aku !”
Emak  diam saja. Aku jadi ingat sekarang. Tentu bapak-bapak yang malam mengusir dan menendang emak-emak itu yang telah menyihirnya sehingga emak tidak bisa bergerak. Apakah anak-anak juga bisa disihir dan tidak bergerak, Mak ?
“Mak, ini aku, Ujang. Mencari emak !” teriaku saat itu. Dan ketika mataku terbuka aku melihat bapak berbaju putih, emak juga ada di sana. Tapi tak bisa bergerak-gerak. Tanganku sakit. Benar-benar jahat bapak-bapak itu, kini telah menyihirku juga sehingga tak bisa bergerak.
***
Anastasia yang lebih senang memanggil dan dipanggil Ana itu masih termenung membaca tulisan seorang anak bernama Ujang Kurnia tersebut. Pikirannya penuh dengan serangkaian pertanyaan. Belasan tahun lalu, benarkah Ujang Kurnia penulis surat itu adalah juga Ujang Kurnia yang kini sangat dia kenal ?! Kendati sisi-sisi kertasnya sudah terkoyak dan tintanya sudah tidak baik lagi, tapi tulisannya masih terbaca dengan jelas. Untuk sementara Ana percaya bahwa surat itu bukan hasil rekayasa, tapi benar-benar ditulis belasan tahun lalu, saat penulisnya masih belia yang selalu memandang dunia hanya dari satu sudut yaitu sudut angan-angannya sendiri. Tapi yang tetap menjadikan misteri baginya adalah dua nama Ujang Kurnia yang kini ada dalam benaknya, Ujang Kurnia kecil penulis surat itu dan Ujang Kurnia seorang pemuda calon suaminya.
Tentu saja Ana merasa dituntut untuk berpikir, karena apa yang akan ditentukannya adalah sangat menentukan. Menentukan dengan siapa dia harus berumah tangga, tidak sesederhana ketika dia memilih taksi, tak menjadi perlu benar mengetahui dan memikirkan dengan siapa supir yang akan membawanya pergi. Kalaupun dalam taksi itu mendapatkan supir yang ugal-ugalan atau sengaja mempermainkan argo, kerugiannyapun sudah dapat ditebak. Tapi ketika tidak mengetahui benar siapa calon suaminya, sama artinya akan menghabiskan sekian tahun, sekian bulan, sekian juta menit dalam kebersamaan yang sia-sia. Sejenak Ana diam, menunduk dan merasakan angin berdesir dalam sanubarinya. Entah kenapa apabila ia sedang galau, ingin rasanya memeluk bulan karena di sana ia pasti akan merasakan dekapan Allah sungguh terasa.
Ana sangat percaya dengan bibit, bobot, dan bebet seseorang. Ketiga syarat seperti itu menjadi mutlak benar untuk kriteria seorang suami. Ana tak pernah beranggapan kalau kriteria itu sebuah pikiran kolot, sebaliknya sebuah keharusan sebagai perwujudan dari kehati-hatiannya. Tentang bobot dan bebet Ujang Kurnia sekarang, Ana tak meragukan lagi. Sebagai seorang dosen, Ujang tidak saja ulet tapi juga bertanggung jawab. Tapi siapa Ujang, darimana asalnya, anak siapa, bagi Ana semuanya itu tetap masih gelap.
Sayang, gerutunya mengutuki diri sendiri, aku tak menahannya barang sebentar tadi untuk mendiskusikan surat itu. Tadi sehabis makan malam di sebuah restoran, kemudian diantarkannya pulang dan di perjalanan dia menerima surat kuno tersebut dari kekasihnya, Ana hanya menganggap hal itu sebagai sebuah lelucon. Samasekali tak pernah terpikirkan sebelumnya, apakah ini sebuah cara Ujang Kurnia menguji dirinya atau sebuah niat tulus ikhlas dari kekasihnya itu, agar Ana semakin tahu siapa calon suaminya ? Apapun alasannya, bagi Ana tetap sebuah misteri dan cukup pelik untuk mengungkapnya.
Pagi-pagi benar sebelum berangkat kantor, Ana menelpon Ujang Kurnia. Dengan nada bicara sewajar mungkin seolah tak ada persoalan besar yang sedang dihadapinya. Selain menanyakan agenda hari ini, mau makan siang di mana, dan tak lupa menyuruhnya mampir nanti malam jika tak pulang bersama-sama. Ujang menanggapinya dengan biasa-biasa saja, sekalipun sebenarnya dia sendiri sangat menunggu-nunggu komentar dan reaksi Ana akan surat kuno yang dia serahkan padanya kemarin sore itu. Ujang sengaja memberikan surat kuno tersebut sebagai refleksi tanggung jawab pribadinya, agar Ana bisa berpikir dan bersikap. Dia memang tidak sedang main-main, tapi justru sedang membuka pintu dan siap untuk memasuki gerbang yang baru saja dibukanya tersebut. Pada awal langkah dan beberapa meter dari gerbang, semua merasa suasana yang nyaman, sinar terang benderang dan semerbak wangi bunga. Tapi siapa sangka lebih dalam dari pintu gerbang itu, justru aneka macam cobaan dan godaan telah menghadangnya. Salah satu dari cobaan itu adalah masa lalu dia sendiri yang tak akan memenuhi kriteria yang telah ditentukan Ana dalam mencari calon pasangannya. Ujang memang tidak sedang main-main, sekalipun sebuah surat kuno itu terkesan sebuah permainan anak-anak.
“Nggak ! Kamu jangan kira saya sedang main-main. Surat itu adalah sebuah kebenaran masa lalu.” Ujang Kurnia begitu mantap ketika Ana mulai mempersoalkan surat itu, di halaman belakang rumah asrinya di kawasan hijau.
“Kebenaran masa lalu ? Bagi siapa ?!” Ana masih tetap tak percaya.
“Tentu saja bagi saya, Ana ! Kamu kira bagi siapa, bagi para pemulung itu ?”
“Sampai sore tadi, saya masih memimpikan kebenaran itu adalah milik mereka bukan milikmu.” Ana nampak dingin dan tak begitu bergairah.
“Sudah kuduga !” Ujang mencoba untuk tersenyum melumerkan kekakuan yang begitu saja terhampar di hadapannya.
“Masa lalu bagi saya adalah sebuah tonggak, Kang !” Ana berdiri mencium anggrek, kemudian duduk kembali di kursinya dan tak berani menatap wajah Ujang yang dingin. “Tonggak itu yang akan menentukan bangunan seperti apa yang bisa berdiri pada masa depannya.”
“Artinya kamu tak percaya pada bangunan sekarang yang sedang kita nikmati.”
“Bisa ya juga bisa tidak.” Ana tersenyum dan mengerling ke arah kekasihnya. Ujang Kurnia tetap diam dan dingin.
“Pastinya gimana ?”
“Saya bisa tetap percaya, jika masa lalu yang terefleksikan pada surat kuno itu adalah sebuah permainan dan isapan jempol semata. Tapi saya bisa tidak percaya pada bangunan masa sekarang yang telah akang bangun, kalau ternyata surat kuno itu adalah sebuah titik masa lalu.”
Masyaallah, Ujang Kurnia berdiri dan mengusap wajah. Tak pernah terbayangkan kalau kekasihnya itu sedemikian kukuh memegang prinsip. Dia lalu meremas jemari Ana dan bicara datar. “Selamat tinggal !”
Ana tersentak kaget dan pada saat kesadarannya kembali, justru Ujang Kurnia tak terlihat ada di sampingnya lagi. Ana menunduk lesu, dan mulai mengutuki dirinya sendiri tentang bobot, bebet dan bibit yang selama ini dipegangnya erat-erat. Sampai malam berakhir dan terang mengusirnya, Ana masih tetap duduk di tempatnya dan membiarkan dingin merusak sendi-sendi tulangnya.
Seminggu mereka tak bertemu. Seminggu pula tak pernah saling tahu apa yang terjadi dengan diri masing-masing. Ujang Kurnia yang punya tonggak masa lalu pahit itu, tak pernah berkecil hati dan terus bekerja dengan sungguh-sungguh karena dia yakin pada saatnya nanti, akan ada seorang bidadari turun dari syurga membawa wangi dan kasih sayang untuknya. Maha besar Allah yang akan membimbing umatnya dengan memberikan satu ketetapan hati.
Sementara itu Ujang sendiri tak mencoba melupakan Anastasia, juga tak ingin membencinya, karena Ujang yakin, Ana pernah singgah di hatinya dan sekarang sedang terbang mengembara. Berbeda dengan Ana, dia tetap kukuh dengan pendiriannya sekalipun untuk itu dia rela diopname di sebuah rumah sakit.
“Kau bukan sakit, tapi kasmaran.” seorang sahabatnya  menghibur. Ana tersenyum tapi entah kenapa senyum itu terasa pahit kini.
“Aku tetap dengan pendirianku, dan tak mau berubah hanya karena aku sakit.” ucap Ana terdengar lirih ketika mamanya bicara tentang kehadiran dan kehilangan Ujang dari hari-hari putrinya.
“Tapi dia tanggung jawab dan sukses !”
“Ma ! Jangan sekali-kali mengacaukan memori otak Ana. Dulu mama yang bersikukuh dengan urusan bobot, bibit, dan bebet. Sekarang mama mencoba merubahnya. Ana bisa bingung.”
“Maksud mama tak sekaku itu, sayang, tapi semuanya bisa saling menambahi.”
“Apa mama rela punya mantu seorang bekas gembel ? Seorang anak pemulung ?” Ana memejamkan mata dan butir-butir bening dari sudut matanya itu kini ikut menyaksikan perbincangan mereka. Matanya terasa perih saat ia mencoba membukanya, karena di sana pada setiap sudut yang terjangkau pandangannya hanya ada bayangan Ujang Kunria. Mama nampak tersentak dan bibirnya bergetar. Ternyata Ana demikian kukuh dan kaku memegang prinsip itu. Mama pernah membenci masa lalu suaminya yang kotor, karena pada ujung usianya juga berbuat kotor. Tapi apakah Ujang yang masa lalu demikian suram itu, juga akan mengakhiri usianya dengan hari-hari yang suram pula ? Inilah yang tak pernah Ana pikirkan. Dia lebih rela kehilangan hari-harinya dalam rumah sakit, daripada mencoba memberi toleransi tentang masa lalu kekasihnya itu.
Ujang selalu membaca surat kuno itu karena disanalah dia menemukan dunia masa lalunya, yang manis untuk dikenang. Pada surat itu pula, Ujang hanya menemukan bayangan emak dan bapaknya, yang tak pernah ketemu sampai hari-hari dimana dia meraih sebuah kesuksesan dalam hidupnya.
Seperti sebuah lakon, peran Ujang Kurnia dan Anastasia menjadi peran masing-masing dalam benak penontonnya. Pada akhir cerita Ujang Kurnia kembali hanyut dalam merangkai sebuah surat baru.
“Sekarang aku tak mendengar lagi Ana bernyanyi. Nyanyian itu telah hilang, Mak ! Pada lalulalang dan taman kota itu aku hanya menyaksikan tembok-tembok, dingin, tergeletak seperti aku tadi malam. Dalam dingin aku menggigil sendiri, menggigil memanggil-manggil Ana, Mak. Tapi tetap tak mendengar Ana bersenandung. Aku hanya mendengar suara jam dinding dan bunyi handphone. Aku harap itu Ana, tapi ternyata sia-sia. Ana tak pernah terdengar lagi. Aku bangun. Apa bapak-bapak itu pula yang membuat Ana kaku dan tak pernah mau bernyanyi lagi ? Siapa sebenarnya bapak-bapak itu, Mak ?!”
***
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur
Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya
dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu
(Q.S. Al-Haddid : 20)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar