Informasi

Novel Raden Pamanah Rasa bisa dipesan langsung SMS/WA ke 081310860817 Tafsir Wangsit Siliwangi bisa dipesan langsung SMS/WA 081310860817

Selasa, 27 September 2016

Lanjutan Bincang Novel Suluk Gunung Jati (5)

Kelanjutan Bincang Novel Suluk Gunung Jati bersama Mas Arfino Irtondo di Radio NU. Ini linknya : https://m.youtube.com/watch?v=5h-jKpn_OeY

Bincang Novel Suluk Gunung Jati (4)

Ini kelanjutan Bincang Novel Suluk Gunung Jati (4) https://m.youtube.com/watch?v=PGGXSwyM6-U

Bincang Novel Suluk Gunung Jati (3)

Link lanjutan Bincang Budaya tentang Novel Suluk Gunung Jati di Radio NU dipandu Mas Arfino Irtondo. https://www.youtube.com/watch?v=nxiDTJELyII

Senin, 26 September 2016

Bincang Novel Gunung Jati (2)

https://m.youtube.com/watch?v=86OAV-YjCOo Link bincang novel Suluk Gunung Jati part-2 di Radio NU dipandu Mas Arfino Irtondo.

Bincang Suluk Gunung Jati di Radio NU

Silakan disimak...

https://m.youtube.com/watch?v=MNig691Rx8s

Rabu, 07 September 2016

Novel Suluk Gunung Jati (2)

Telah Terbit Novel SULUK GUNUNG JATI E. Rokajat Asura Penerbit Imania Rp. 85.000 Info dan pesan langsung : 081380582793 

"Saya harus berulangkali meyakinkan diri saya bahwa yang saya baca ini ‘cuma’ sebuah novel. Tapi nyatanya saya tidak bisa menghindar bahwa ini bukan ‘sekadar’ novel. Banyak pelajaran kehidupan yang diceritakan mengalir begitu saja, menyajikan kisah tanpa batas pemisah, dan membuat kita merenung tanpa harus duduk termenung. Sosok Sunan Gunung Jati menjadi terasa begitu akrab selepas membaca buku ini.” (Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama (NU) Australia – New Zealand dan dosen senior di Fakultas Hukum, Monash University) 

"Kau adalah kujang mungil, ditempa dari wesi kuning, dari bumi Sunda berada, melanglang menunjuk langit,” getar nini paraji yang mengiringi sukma dan asma Syarif Hidayatullah. Ia kemudian menjelma menjadi seorang raja yang juga ulama–kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati–meneruskan jejak para leluhur. Bila langkah Nyimas Rarasantang–ibunda Sunan Gunung Jati–melakukan perjalanan spiritual mencari Nur Muhammad dimulai dari Keraton Pajajaran – Amparan Jati – Pasai – Campa – Mekkah, Sunan Gunung Jati menempuh dari arah sebaliknya. Pertemuan dengan Sunan Ampel merupakan titik awal pembagian daerah dakwah, sekaligus upaya rekonsiliasi Sunda-Jawa pasca Perang Bubat. Bagaimana Sunan Gunung Jati menghadapi eyangnya sendiri di Pakuan Pajajaran yang berbeda keyakinan? Nglurug tanpa bala kalah tanpa ngasorake dan desa mengurung kota, langkah yang kemudian ditempuhnya. Langkah ini tidak saja berhasil menyebarkan Islam kepada leluhur, tapi juga memperkuat barisan pertahanan. Sehingga ketika medan jihad terbuka, laskar Islam di bawah komandonya, tidak saja berhasil mengusir Portugis tapi sekaligus meruntuhkan Pakuan Pajajaran. Sikapnya sebagai pandhita ratu terlukis kuat saat menghadapi ulama kontroversial–Syaikh Siti Jenar. Ketika Syaikh Siti Jenar diundang ke Cirebon dan mengatakan: ‘Tidak ada Siti Jenar, yang ada Gusti Allah’, Sunan Gunung Jati pun membalas: ‘Ya sudah panggil Gusti Allah ke sini.’ Kekerabatan kedua ulama ini tidak semata terikat oleh Syaikh Nurjati–pamanda Syaikh Siti Jenar–tapi buah dari saling memahami ajaran yang berbeda. Sunan Gunung Jati termasuk yang ‘pasang badan’ pada saat Dewan Wali hendak ‘mengadili’ Syaikh Siti Jenar.
“Kau bicara seperti itu kepada santri-santrimu?”
“Tentu saja, karena ilmu ruhani harus diajarkan kepada semua orang. Dengan membuka tabir itulah orang-orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.” 
"Kalau badan tidak ada sementara yang aku lihat adalah badan, siapa sesungguhnya yang sedang bicara denganku sekarang ini?” pancing Sunan Gunung Jati. “Aku mengajarkan ilmu agar manusia benar-benar dapat merasakan kemanunggalan. Selain kemanunggalan hanyalah bangkai”, ujar Syaikh Siti Jenar.

Senin, 05 September 2016

Tafsir Wangsit Siliwangi

Cuplikan Tafsir Wangsit Siliwangi (2) http://erasura.blogspot.com/2016/09/cuplikan-tafsir-wangsit-siliwangi-2.html

Cuplikan Tafsir Wangsit Siliwangi (2)

Dengan demikian ketika penutur Wangsit Siliwangi menyuruh kepada para pengikutnya yang akan menyertai berkumpul di sebelah selatan ‘geura misah ka beulah kidul’, boleh jadi tidak semata membagi menjadi empat kelompok dan berkumpul di empat arah mata angin, melainkan ada tujuan strategis sehingga diharapkan dari para pengikut inilah yang akan menggerakan kemunculan Pajajaran Anyar itu. Keinginan menyeberangi Nusa Larang – namun gagal – menjadi indikasi kuat tentang pemilihan arah selatan sebagai tujuan untuk menjauhi kuta Pakuan itu. Mereka yang kembali ke arah utara, termasuk orang-orang tipikal tak bisa mudah melupakan masa lalu. Mereka kemudian beranak pinak di bekas kota kesayangannya itu. Tapi seperti diprediksi oleh penutur wangsit, pada akhirnya mereka tidak menjadi pribumi di negerinya sendiri karena mulai terdesak oleh para pendatang yang dalam prediksi Prabu Siliwangi sebagai bakal kaseundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun (bakal terdesak tamu. Teman dari tempat jauh, tapi teman yang menyusahkan).

Minggu, 04 September 2016

Sunan Gunung Jati

Novel Suluk Gunung Jati http://erasura.blogspot.com/2016/09/novel-suluk-gunung-jati.html

Novel Suluk Gunung Jati

Telah Terbit Novel Suluk Gunung Jati E. Rokajat Asura Imania Jakarta Rp. 85.000 Info pesan langsung sms/wa : 081380582793
        "Kau adalah kujang mungil, ditempa dari wesi kuning, dari bumi Sunda berada, melanglang menunjuk langit,” getar nini paraji yang mengiringi sukma dan asma Syarif Hidayatullah. Ia kemudian menjelma menjadi seorang raja yang juga ulama–kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati–meneruskan jejak para leluhur. Bila langkah Nyimas Rarasantang–ibunda Sunan Gunung Jati–melakukan perjalanan spiritual mencari Nur Muhammad dimulai dari Keraton Pajajaran – Amparan Jati – Pasai – Campa – Mekkah, Sunan Gunung Jati menempuh dari arah sebaliknya. Pertemuan dengan Sunan Ampel merupakan titik awal pembagian daerah dakwah, sekaligus upaya rekonsiliasi Sunda-Jawa pasca Perang Bubat. Bagaimana Sunan Gunung Jati menghadapi eyangnya sendiri di Pakuan Pajajaran yang berbeda keyakinan? Nglurug tanpa bala kalah tanpa ngasorake dan desa mengurung kota, langkah yang kemudian ditempuhnya. Langkah ini tidak saja berhasil menyebarkan Islam kepada leluhur, tapi juga memperkuat barisan pertahanan. Sehingga ketika medan jihad terbuka, laskar Islam di bawah komandonya, tidak saja berhasil mengusir Portugis tapi sekaligus meruntuhkan Pakuan Pajajaran. 

          Sikapnya sebagai pandhita ratu terlukis kuat saat menghadapi ulama kontroversial–Syaikh Siti Jenar. Ketika Syaikh Siti Jenar diundang ke Cirebon dan mengatakan: ‘Tidak ada Siti Jenar, yang ada Gusti Allah’, Sunan Gunung Jati pun membalas: ‘Ya sudah panggil Gusti Allah ke sini.’ Kekerabatan kedua ulama ini tidak semata terikat oleh Syaikh Nurjati–pamanda Syaikh Siti Jenar–tapi buah dari saling memahami ajaran yang berbeda. Sunan Gunung Jati termasuk yang ‘pasang badan’ pada saat Dewan Wali hendak ‘mengadili’ Syaikh Siti Jenar.            "Kau bicara seperti itu kepada santri-santrimu?” 
           "Tentu saja, karena ilmu ruhani harus diajarkan kepada semua orang. Dengan membuka tabir itulah orang-orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.”
          "Kalau badan tidak ada sementara yang aku lihat adalah badan, siapa sesungguhnya yang sedang bicara denganku sekarang ini?” pancing Sunan Gunung Jati. "Aku mengajarkan ilmu agar manusia benar-benar dapat merasakan kemanunggalan. Selain kemanunggalan hanyalah bangkai”, ujar Syaikh Siti Jenar.

Sabtu, 03 September 2016

Cuplikan Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara

Berkaitan dengan kalimat ‘dia mudu marilih pikeun hirup ka hareupna’ selain sebagai sikap demokratis yang ditunjukkan Prabu Siliwangi, Kang Lucky memberi penekanan agar menjabarkan dengan luas arti kehidupan di masa datang itu. Tujuan mendirikan Pajajaran Anyar jangan hanya diartikan mendirikan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, itu terlalu kecil. Dalam konstelasi kemaharajaan kerajaan nusantara, itu harus ada raja dirajanya. Itu logikanya. Pengertian Pajajaran Anyar bisa jadi kebangkitan Indonesia atau kebangkitan sistem ketatanegaraan nusantara seperti pada waktu dulu. Bersatunya kerajaan-kerajaan di Sunda Besar. Namun bisa juga yang dimaksud dengan Pajajaran Anyar itu wilayah pengganti yang ada di sini. Tapi pengertian Pajajaran Anyar ini berkait dengan pertanyaan pada akhir Wangsit Siliwangi itu sendiri berupa pertanyaan “Raja Saha?” (Raja Siapa?).

Rabu, 31 Agustus 2016

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (7)

Ketika pemilik kedai menyodorkan nasi dengan alas daun jati, lelaki itu mengambilnya. 
"Tak ada ikan?”
“Ikan susah didapat sekarang. Katanya di Palabuan Cirebon sering terjadi keributan. Banyak nelayan yang enggan turun ke laut. Jadilah ikan langka di pasar. Seadanya saja,” jelas pemilik kedai. 
"Sudahlah! Dengan acar kulit melinjo ini pun sudah cukup. Apalagi Euceu memasaknya dengan sempurna,” ujar lelaki bertubuh tambun itu. Dan nasi di daun jati itu sekejap telah berpindah ke dalam perutnya. Tapi tampaknya ia masih belum kenyang. Diambilnya pisang yang tergantung. Lalu dimakan dengan lahap.

Senin, 29 Agustus 2016

Raden Pamanah Rasa

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (6) http://erasura.blogspot.com/2016/08/cuplikan-novel-raden-pamanah-rasa-6.html

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (6)

“Kapan kau akan menjelaskannya padaku, Sayang?” tanya perempuan bermata biru itu yang kemudian mengenalkan dirinya dengan nama Samantha. “Kapan saja kau mau mendengarkannya, Samantha,” ujar Hulubalang dengan senyum bangga. Ia telah berhasil mengatasi mabuk laut selama ini, tapi ternyata tidak bisa mengatasi mabuk cinta. Tanpa diminta, ia lalu menjelaskan tentang Tritangtu di Buana. “Apa ketiga posisi itu selalu dijalankan di mana pun di Nusantara ini?” Hulubalang mengangguk pelan. Lalu terdengar Samantha seperti sedang menghafal, mengulang kembali apa yang baru saja dijelaskan Hulubalang. Jagat palangka, jagat kreta, jagat daranan.

Minggu, 28 Agustus 2016

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (5)d

“Bagaimana mungkin menyebarluaskan ajaran baru, sementara seluruh rakyat di sini telah memiliki keyakinan berbeda,” sergah seorang utusan datuk kepada utusan lain. Lalu, mereka melaporkan hasil pertemuan itu kepada datuk masing-masing. Kekhawatiran itu ternyata mendapat reaksi yang sama. Semua menolak keinginan para pendatang Portugis itu. Tidak mungkin. Maka, para datuk itu kemudian mengadakan rapat serentak. Nusantara sedang dalam bahaya. Bukan akan diluluhlantakkan senapan mesin Portugis, tapi ajarannya yang akan dikotori. Padahal kerajaan-kerajaan di Nusantara telah berdaulat dalam kemaharajaan Nusantara. Hari ini giliran para datuk berkumpul. Cuaca tak begitu terik sebenarnya, tapi para datuk merasa serupa dipanggang di atas bara. Bukan tidak percaya dengan pesan yang dibawa para wakilnya. Tapi barangkali mereka ingin mendengarnya sendiri. Di Malaka mereka berkumpul. Menghadap wakil Portugis, Alfonso d'Albuquerque. Para datuk itu menyebut pemimpin Portugis itu dengan nama Laksamana Bungker.

Kamis, 18 Agustus 2016

Harimau

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (4) http://erasura.blogspot.com/2016/08/cuplikan-novel-raden-pamanah-rasa-4.html

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (4)

“Harimau jadi-jadian,” batin Raden Pamanah Rasa semakin waspada. Harimau putih itu kembali mengaum, suaranya menggetarkan ranting-ranting pepohonan. Gelapnyawang dan dua sahabatnya serempak mundur menjauh. Sementara Raden Pamanah Rasa memperkuat kuda-kuda. Ia tak berniat menyerang untuk melumpuhkan harimau putih itu.

Jumat, 12 Agustus 2016

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (3)

Ketiga sosok bertopeng itu tampaknya masih pingsan. Raden Pamanah Rasa segera menaburkan tanah ke tubuh tiga pengasuhnya. Tak berapa lama kemudian ketiganya bangun. Sekujur tubuhnya normal kembali. Tak ada luka lebam bekas pukulan, tak terlihat benjol bekas tonjokan. 

 “Ada apa sebenarnya, Paman?” 

 “Tiga orang ini ketahuan sedang memanah Raden dari balik rerimbun pohon. Kami menegurnya dan mereka marah.” 

 “Paman tahu dari mana asal ketiga orang bertopeng ini?”
“Mereka mengaku dari Astana Japura. Tapi mungkin hanya rekaan saja, Raden.”

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (2)

“Sesungguhnya gelap itu tak ada, melainkan tidak adanya cahaya ke tempat itu. Seperti juga angkara itu tidak diciptakan Nu Ngersakeun, sebab bila diciptakan, Nu Ngersakeun telah kehilangan kesuciannya,” ujar Rakean Taksaka, sang penasihat. 

"Jadi apa sesungguhnya angkara itu kalau tidak diciptakan oleh Nu Ngersakeun, Paman?” “Angkara itu tak lain adalah keadaan di mana kebaikan hilang darinya. Keadaan di mana Nu Ngersakeun tidak hadir bersamanya.” 

"Kalau demikian angkara itu sebenarnya tidak untuk dimusnahkan, sebab ia tidak diciptakan?”

Kamis, 11 Agustus 2016

Cuplikan Novel Raden Pamanah Rasa (1)

Tersiar kabar mereka datang untuk berdagang. Tapi ternyata mereka bersenjata modern. Anak panah atau tombak bukan tandingan senapan yang bisa memuntahkan bunga api itu. Teknologi senjata api belum dikenal di Nusantara. Maka ketika mereka datang dipersenjatai seperti itu, apalagi kalau bukan kiamat? “Apa mereka hantu pembunuh itu, Datuk?” seorang pemuda berteriak di antara desing peluru. Entah pada siapa ia memanggil Datuk, sebab tak seorang pemimpin pasukan pun mengenalnya. Mungkin ia sedang dilanda ketakutan sehingga teriakan itu lebih merupakan rasa frustrasi. Pedang tetap di tangan, tapi kepada siapa harus ditebaskan?

Jumat, 29 Juli 2016

Parfum dan Saputangan

PARFUM DAN SAPUTANGAN http://erasura.blogspot.com/2016/07/parfum-dan-saputangan.html

PARFUM DAN SAPUTANGAN

Oleh : E. ROKAJAT ASURA
Selain serentetan pertanyaan, parfum dan saputangan merupakan dua barang yang bisa memberi indikasi apakah pasangan kita selingkuh atau tidak. Teori sederhana ini pernah beberapa kali dilakukan oleh seorang istri nun jauh dari ujung Tangerang sana. Believe it or not, begitu kata orang. Tapi yang namanya teori sederhana, artinya validitasnya juga masih mengandung error. Mengandung error atau tidak, toh Sumi, kita sebut saja demikian, masih mau menggunakannya. 

"Kenapa kau, Sum, kok jadi begitu perhatian sama parfum dan saputangan ?" celetuk temannya.  "
"Abisnya aku penasaran banget, apakah suamiku selingkuh atau tidak." "Emang bisa ?" "Kata teori sih begitu..." 
"Teori darimana ?" 
 "Tau ah...yang pasti aku akan mencobanya daripada terus penasaran," jelas Sumi lagi. Maka sejak mendeklarasikan niatnya itu, Sumi jadi rajin mempelajari setiap wangi parfum. Dalam waktu singkat ia pun sudah hapal beberapa wangi parfum yang biasa digunakan perempuan dan mana yang biasa digunakan laki-laki. Ia pun hafal nama-nama parfum dari kelas eksekutif sampai kelas sopir. Maklum sebagai seorang sales di perusahaan cukup besar, suaminya sering berhubungan dengan orang dari berbagai kalangan. 
 "Coba apa nama parfum ini, apa buat laki apa buat wanita ?" tanya seorang sahabatnya sekedar memberikan test apakah Sumi benar-benar sudah kampiun dalam urusan parfum atau belum. Sumi menciumnya beberapa kali. Pikirannya mengingat-ingat sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian ia menyebutkan nama satu parfum. 
"Bener nggak ?"
"Ho-oh...tapi untuk wanita apa laki-laki ?" 
"Parfum laki-laki !" jawab Sumi pasti. Temannya angkat jempol karena Sumi bisa menjawab dengan pasti. Nah, dalam urusan saputangan pun Sumi sama piawainya. Ia bisa hapal mana saputangan untuk laki mana untuk wanita, bagaimana lipatan saputangan pria dan bagaimana lipatan saputangan yang biasa dilakukan wanita. 
*** 
Sudah seminggu suami Sumi pulang lambat. Katanya sih banyak kerjaan, bertemu klien di beberapa tempat. Sumi tak begitu saja percaya, tapi ia pun tidak langsung sewot menghadapi masalah itu. Ia beranggapan, kalaulah memang suaminya itu selingkuh, berpindah ke lain hati, maka ia ingin menyelesaikannya secara baik dan benar. Begitulah tekad Sumi. 
"Abang capek dong ?" rajuk Sumi 
"Terang dong..." 
"Mau makan dulu apa mandi dulu, Bang ?" 
"Istirahat saja dulu lah..." jelas suami Sumi seraya merebahkan badan di sofa. Sumi menyimpan tas suami ke kamar belakang, tempat dimana dia bisa menyelesaikan tugas kantor. Lalu kembali ke ruang tengah, membawa minum dan penganan. Suaminya melahap semua sajian istrinya dengan nikmat. Samasekali tidak menaruh curiga apa-apa. 

Singkat kata ketika suaminya mandi, dengan teliti Sumi menciumi kemeja suaminya. Ia terus menciumi di bagian-bagian dimana suaminya biasa menyemprotkan parfum. Ketika menciumi bagian kiri kemeja suaminya, Sumi mulai curiga. Di sana ia mencium wangi parfum yang lain dari biasanya. Ia kembali menciumnya dan semakin nyatalah bahwa di sana telah menempel wangi parfum merek tertentu yang biasa dipakai oleh perempuan. Malam itu perang pun tidak bisa dihindari. Sumi terus mencecar dengan berbagai pertanyaan yang intinya memojokkan suaminya. Sebaliknya sang suami tak menerima tuduhan-tuduhan itu karena memang ia samasekali tidak merasa telah berpindah ke lain hati. Kalau berpindah ke lain warung sih pernah, karena kantin langganannya memang sedang tutup. Pikiranya daripada mati kelaparan, mendingan berpaling ke lain warung. 
"Abang telah bohong, abang memeluk wanita lain ya 'kan ?" cecar Sumi.  
"Sum, mana mungkin aku punya waktu memeluk wanita lain. Lagipula kapan waktunya, dari pagi sampai malam aku terus bertemu klien, Sum." 
"Siapa tahu salah satu klien itu adalah wanita." 
"Emang..." 
 "Tuh, kan, jadi benar abang ngaku selingkuh ?" 
 "Sumi, nyebut, nyebut !" Adu mulut berlanjut menjadi pertengkaran hebat, lalu berubah menjadi aksi lempar-lemparan. Pokoknya malam itu benar-benar terjadi perang, lebih dahsyat dari perang Irak kemarin. Keesokan harinya orang ketiga pun dipanggil. Maklum hubungan mereka sudah semakin panas. Saking panasnya, ketika telor mentah disimpan dekat mereka berdua, sepuluh menit kemudian langsung matang.  
"Atas dasar apa dik Sumi menuduh suami selingkuh ?" tanya penasihat perkawinan. 
"Saya sudah mencium wangi parfum yang aneh dan biasa dipakai wanita di kemeja suami saya, Pak ! Dan itu sudah berlangsung beberapa kali," jelas Sumi. "Benar begitu, Mas ?" tanya penasihat perkawinan kepada suami Sumi.
"Kalau urusan wangi parfum, memang benar, Pak. Sebenarnya sebulan belakangan ini saya nyambi jualan parfum dari salah satu perusahaan. Untuk nambah-nambah penghasilan. Mungkin karena saking seringnya memegang parfum yang dikhususkan untuk wanita, nempel di kemeja saya, Pak !" 
"Benar begitu ?" 
"Benar, Pak, saya berani sumpah !" jelas suami Sumi seraya memperlihatkan catatan-catatan penjualan. Di sana memang tertulis jenis parfum, jumlah pesanan dan nama pelanggannya. Mendengar penjelasan itu, Sumi agak mereda juga kemarahannya. 
"Ternyata begitu katanya dik Sumi !" 
 "Tapi saya tidak percaya !" "Bagus, kalau kau tidak percaya, sekarang juga akan kubawa ka counter parfum dan menemui salah seorang calon pembeli," jelas suami Sumi. Memang demikian akhirnya sang suami membawa istrinya ke counter parfum tempat ia memesan barang, kemudian siang itu juga dibawa menemui salah seorang calon pembelinya. Puaslah Sumi. Suaminya memang tidak selingkuh. Dari sisi parfum, samasekali tidak bisa dijadikan alasan.
"Jadi benar abang tidak selingkuh ?" 
"Memangnya kenapa, Sum ? Kau masih curiga rupanya ?" 
"Curiga sih tidak, cuma waspada." 
 "Lalu ?" 
"Dari parfum memang tidak terbukti, tapi saputangan ini punya siapa ?" tanya Sumi seraya menyerahkan saputangan warna cerah dan di sana ada sulaman tertulis sebuah nama. Suaminya tampak tersentak. Ia samasekali tidak pernah mengingat saputangan siapa sebenarnya yang sedang dipegang istrinya itu. 
"Ini saputangan siapa ?" 
"Aku nggak tahu, Sum !" 
"Nggak tahu atau pura-pura tidak tahu ?"
Suaminya tidak menjawab karena memang tidak tahu. Sejak penemuan saputangan itu Sumi langsung minta cerai. Seminggu setelah cerai, ibunya datang dari kampung. 
"Bagaimana, Sum, apa suamimu senang menerima saputangan bikinan mak sendiri itu ?" 
"Saputangan ?" 
"Ya, mak ‘kan pernah mengirim saputangan padamu !"
"Warna cerah dan ada inisial SM ?" 
 "Iya, itu kan singkatan namamu, Sumi Maemunah !" Sumi langsung pingsan. Entah teori mana yang menjelaskannya, kenapa saat itu juga pingsan. ***

Rabu, 27 Juli 2016

Mata Air

MATA AIR http://erasura.blogspot.com/2016/07/mata-air.html

MATA AIR

Cerpen : E. Rokajat Asura
Matahari di tengah pusat langit membakar ubun-ubun, membakar yang ada di bumi dan sekelilingnya. Dia mengusap keringat dengan punggung tangannya, tapi keringat itu terus mengucur dari dahi bahkan terus ke pipi hingga akhirnya sampai juga pada sudut bibirnya. Sebagian terjilat, asin dan ia cepat-cepat membuang bersama sebagian sisa-sisa ludahnya. Ada juga sebagian keringat itu yang berhasil mengucur dengan leluasa melalui sela-sela kosong dibalik bajunya. Entah kenapa panas demikian menyengat, samasekali tak memberi kesempatan untuk mereka yang jalan kaki. Di sini samasekali tak ada tempat berteduh, tak juga ada tempat untuk sejenak melepaskan lelah. Dia seperti teringat akan sebuah kisah kelak pada hari terakhir dimana seluruh manusia akan berbaris di padang tak bertepi disaksikan matahari sejengkal dari atas kepala. Dia termenung menekan dada dan merasakan betapa keringnya kerongkongan sehingga ketika dia bernapas bahkan sekedar mengeluh pun, serasa keluar asap dari mulutnya. Sesekali menelan ludah yang tak lagi ada cairannya, mata lelah itu menatap nanar pada titik terjauh, seperti itu pula jarak yang harus dia tempuh jauh dan panjang, bahkan mungkin apa yang telah dilaluinya sampai detik ini tidak setengah dari seluruh yang harus ditempuhnya. Tanah ini bukan gurun pasir, bukan di timur tengah, tapi di sebuah tanah yang tak pernah ditanami apa-apa tidak pernah menghasilkan apa-apa selain badai pasir. Entah tanah dimana tapi yakin ada bahkan dekat dan sangat dekat dengan diri kita. Tapi perlu dicatat, tidak semua yang melewati tanah ini merasa panas sebaliknya ada yang mampu merasakan kesejukan luar biasa. Tidak. Bukan dengan memasang alat di belakang kepala, tidak pula ada AC tapi dengan cara sendiri-sendiri. Dia terus tertatih menempuh jarak yang masih jauh. Entah dimana, di kelokan yang mana apakah harus ke kiri atau ke kanan, dia sendiri tidak begitu jelas memahaminya. Hanya saja dengan sisa-sisa tenaga dia, wanita itu, ya wanita itu akan terus berjalan dan berjalan sampai benar-benar menemukan sumber air. Dia bukan Siti Hajar yang menempuh jarak terjauh untuk putra tercinta Ismail. Dia seorang wanita dengan catatan perjalanan hidup yang panjang dan wangi. Dia akan terus berjalan sampai menemukan sumber air, bukan untuk mandi tidak pula untuk membuang dahaga. Paling tidak pada mata air itu dia ingin bicara ternyata betapa penting setitik air ketika ada di tanah gersang seperti ini. Kemarin baru dia merasakan betapa pentingnya jemari kaki ketika di sudut rumah terantuk kaki kursi dan berdarah. Kemarin baru dia bersyukur memiliki jemari kaki yang lengkap. Tapi apakah rasa syukur itu ada dan terlisankan harus didahului sebuah kecelakaan ? Syukur macam apa itu. Dia khawatir rasa syukur itu bukan karena merasa diri kecil di depan kebesaran Allah, tapi karena dia telah terbebas dari rasa sakit. Ah, betapa bodoh hidup dipermainkan otak dan perasaan. Dia masih terus berjalan dan merasakan betapa kerongkongan semakin kering. Lalu tiba-tiba dia berhenti menunduk lesu melihat jemari kakinya yang gemetar. Lama termenung entah apa yang sedang dipikirkan, apakah sedang berpikir akan mendirikan pabrik di tanah gersang itu sehingga akan ada sebuah kehidupan atau justru ia sedang berpikir kenapa tidak jadi semut saja yang dalam kekecilannya itu tentu tak terlalu banyak membutuhkan energi untuk berjalan. Pandangan tiba-tiba nanar, dada terguncang hebat ketika di hadapannya dalam jarak cukup jauh terlihat air seperti sebuah kolam, airnya jernih dan menyejukan. Lalu ia bergegas mendekati kolam itu, terus berjalan hanya tetap tak selesai. Ah, tiba-tiba ia mengeluh dan merasakan betapa lelah terasa sampai ke ujung rambut di kaki itu. “Ya, Allah, kenapa sumber air itu tak ada di tempatnya. Padahal aku yakin ada di sini, ya di sini dekat tiang pancang ini. Bener, ya, Allah, di sini aku tadi melihatnya. Hem, apakah wanita kotor sepertiku ini tidak boleh menghilangkan dahaga, tidak boleh pula sekedar membasahi tenggorokan. Padahal kau Maha Tahu, betapa kering kerongkongan ini, ya, Allah !” Bruk, dia terduduk kehabisan tenaga. Benar-benar kehabisan tenaga terutama tadi ketika mempercepat langkah saat dilihatnya di depan ada sumber air sejuk dan menggoda. Dia terduduk tanpa tenaga dan hanya melamun yang bisa dilakukannya saat itu. Saat matahari membakar bumi, saat panas menyengat sanubari dia memang hanya bisa melamun. Melamun betapa nikmat andai ada setitik air saja yang lewat ke kerongkongannya. Dia mulai menangis sedih, tapi sayang dari sudut mata lelahnya itu samasekali tak keluar air mata walau setitik. Dengan sisa tenaganya ia mencoba berdiri, tapi tak kuasa karena pada hitungan dua ia telah ambruk bahkan mencium tanah sehingga bibir dan pipinya merasakan betapa pasir itu menyengat. Ah, masih untung ada daun jatuh entah darimana sehingga wajahnya tidak terlalu terbakar. Betapa nikmat jadi daun jatuh terbawa angin, ia memang setengah mati tapi masih bisa menolong orang sekalipun wanita kotor seperti dirinya saat itu. Pada saat itulah tiba-tiba ia dalam khayalnya melihat layar raksasa, tak ada Jeremy Thomas dan Bella Saphira di sana. Tapi dalam layar raksasa itu justru dia melihat dirinya sendiri, perjalanan hidupnya selama ini sejak dari masa balita sampai dia menemukan pekerjaan dosa dan menyadari tanpa bisa melepaskan jeratnya. Pada layar raksasa itu ia sendiri berlinang air mata bukan karena rangkaian cerita hasil rekacipta seorang penulis skenario, bukan, bukan itu. Tapi air mata itu muncul karena dia melihat betapa perjalanan hidupnya itu layak untuk ditangisi. Seperti hari itu, Salasa, tanggal 13 Juni seminggu setelah ulang tahun kelima belas. Oom Syamsu, pamannya dari ibu telah berhasil dengan buas sekali mencengkramkan kuku-kukunya menghilangkan kehormatan seorang gadis cantik yang selama ini dijaga dengan segenap perasaan. Dia menangis sampai keluar airmata darah tapi tetap saja kehormatan itu tak bisa kembali. Kehormatan yang tersembunyi itu samasekali tak bisa diganti. Dia pada saat itu telah menjadi gadis yang kotor. Kelas dua SMA lalu dia akrab dengan Ho Ming Cai, seorang babah pemilik hotel di puncak. Pada layar raksasa itu tergambar jelas, saat tahun baru, engkoh Ho Ming Cai pun telah pula merusak dirinya tapi saat itu ia tidak menangis air mata darah selain air mata pura-pura. Tapi ada satu hal yang membuatnya sakit saat engkoh itu menyuruhnya pulang dan memberi uang untuk ongkos. “Pulang sana hoh, kalna oweh tidak butuh lagi kamu hoh, dia sudah tidak palawan hoh…” Sakit itu terus membekas dan sejak itu pula dia selalu jatuh dari satu dekapan seorang laki-laki ke dekapan laki-laki lain. Entah berapa lama hanya yang jelas sebagian besar dalam layar raksasa itu tergambar kehidupan kelam dan memuakkan. Waktu ia mengucek sudut matanya karena terasa ada pasir yang menggoda, barulah dia benar-benar sadar bahwa layar raksasa itu adalah rekaman kehidupannya sendiri. Persis tak ada yang terlewat, bahkan pada setiap denyut nadinya pun tergambar tanpa cacat. Sungguh sebuah rekaman maha canggih yang tak terpikirkan sebelumnya. Entah siapa yang telah merekamnya dengan tingkat keakuratan maha sempurna itu. Dia menekan dada, terpejam dan merasakan bagiamana seluruh tubuhnya tanpa tenaga. “Ya, Allah, hanya padamu aku berharap, silakan ambil cerita kelam masa laluku itu,” gemetar suara, entah pada siapa. Pada tanah lapang maha luas itu tentu tak akan ada yang bisa mendengarnya sekalipun menjerit apalagi hanya bergumam. Pada saat itulah ia melamun dan teringat akan cerita Dayang Sumbi yang sedang asyik menenun, lalu alat tenunnya dan terjatuh sampai akhirnya dia bicara kepada siapa saja yang bisa membawakan alat tenunnya, kalau ia wanita akan dijadikan saudara sementara kalau ia laki-laki akan dijadikan suaminya. Dia, wanita itu pun sama bicara, kepada siapa saja yang bisa membawakan setetes air atau mau menunjukan kemana arah yang membawa kaki ke pinggir sungai, kalau ia lelaki akan dijadikan suami dan apabila perempuan akan menjadi saudara sejati. Tapi beda dengan pengalaman Dayang Sumbi, pada dia tak yang mau datang, jangankan manusia, nyamuk saja tidak ada. Dia berusaha bangkit kembali, tertatih dan menggusur tubuh dengan sisa-sisa tenaga. Dia tetap bersikeras untuk terus berjalan sampai akhirnya menemukan sumber air. Di depan lagi-lagi ia menemukan mata air bahkan terasa betapa segarnya tenggorokannya setelah terbasus air. Ingin rasanya mandi, seperti dulu saat dibawa ayahnya ke pinggir pantai. Dia bisa bebas bermain air. Entah kenapa tiba-tiba ia ingat sewaktu sekolah, renang, bahkan terus berenang sampai benar-benar lelah. Air itu semakin terasa menyejukan dahaga. Ya, Allah, dekatkan aku pada sumber air. Nggak, nggak akan seperti para pejabat yang membuang air hanya untuk mengguyur mobil-mobil mewahnya, tak peduli tetangga-tetangganya kesulitan air. Tidak, aku tidak akan seperti itu ya, Allah, kalau saja kau masih memberi kesempatan mempertemukan aku dengan air itu. Saat berjalant tertatih, tiba-tiba daun jatuh di atas kepalanya. Ia memegangnya dan menatap nanar, betapa daun yang baru jatuh itu langsung kekuningan tersengat matahari. Ya, Allah, kenapa daun ini yang kau kirim. Bukankah daun ini mustahil bisa membawa setitik air, ya, Allah ? Lama ia tertegun menghitung langkah yang entah pada langkah ke berapa ratus ribunya ia benar-benar harus berhenti. Berhenti bukan karena lelah tapi berhenti karena saatnya harus berhenti, paling tidak ketika dia menemukan sumber air itu. “Ya, Allah, aku tak sanggup lagi. Jangankan untuk terus berjalan, mengangkat ujung jari saja tanpa tenaga. Ya, Allah, kenapa hanya aku yang harus merasakan betapa beratnya beban ini ?” bisiknya diantara deru angin. Pada saat itulah dia mulai jalan lagi tapi tidak mengandalkan tenaga, sebab ia berjalan bertumpu pada kekuatan angin kini. Tidak aneh ia sudah tidak memiliki keinginan menemukan sumber air lagi, tidak pula berusaha untuk meluruskan langkah. Semuanya mengandalkan pada kekuatan angin, kemana ia akan dibawa tanpa bisa menolak apalagi protes pada kehendak angin itu. Kalaulah angin bertiup ke selatan, ke sana pula ia terdorong. Saat angin bertiup ke timur, ke sana ia berjalan. Begitulah terus detik demi detik hingga akhirnya saat angin diam, dia sampai di sebuah tempat entah dimana, entah kampung apa namanya. Sekujur tubuhnya tak jelas merasakan sakit ada di sebelah mana. Perih, panas dan entah bagaimana dia harus mengatakan penderitaannya saat itu. Maklum ketika angin bertiup sesungguhnya ia tidak berjalan tapi lebih tepat kalau dikatakan menggelinding. Dalam pasir panas itu, ia menggelinding, sehingga terasa pasir panas itu seperti mencakar-cakar kulitnya. Tak hanya ceceran darah yang keluar tapi juga terasa remuk. Pada saat dia diam dalam sakit, entah kenapa tiba-tiba telinganya mendengar dengan jelas gemiricik air. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Sejenak diam dan berdiri dengan sekuat tenaga, dahaga itu benar-benar tak bisa ditahan lagi. Kerongkongannya bergolak rasa panas ingin segera dilewati air. Tak salah memang, sebelah kiri ada sumur kecil di atas pasir memusar seperti sehabis tersedot angin. Dia merayap pelan, dan tertegun di bibir sumur itu. Jauh, dalam jarak tak berbatas terlihat air menari-nari. Ah, betapa segara sekalipun baru memandangnya. “Ya, Allah, semoga ini bukan rekayasa lagi, bukan fatamorgana lagi, tapi benar-benar air yang keluar dari jemari kasihmu ya, Allah. Kasihmu yang selalu tercurah pada manusia kotor sekalipun.,” katanya dalam diam. Lalu ia merasa betapa sudut-sudut matanya basah. Tanpa berhenti bersyukur lalu dengan memakai kain sebagai tambang, ia jatuhkan kain itu ke dalam sumur. Dalam jarak terjauhnya terdengar ujung kain yang entah berapa puluh meter itu menyentuh bibir air. Soal ujung kain yang terus memanjang itu, dia pun tak sempat berpikir karena yang ia harapkan ujung kain yang basah tetap mengandung air hingga bisa membahasi tenggorokannya. Pelan kain itu ditariknya, ujung kain memang basah lalu ia mendongak. Air jatuh pelan ke tenggorokannya, membahasi kekeringan di sana. Sisanya ujung kain itu dipakainya membasuh wajah. Baru saja dua tiga kali ia lakukan caranya itu, tiba-tiba terganggu suara dengusan anjing seraya menjulur-julurkan lidahnya. Dia cepat menjulurkan kainnya, diputar-putar sebentar agar banyak menyerap air, beberapa saat kemudian kain itu ditariknya kembali. Setetes dua tetes air sempat masuk ke mulut anjing yang menganga. Tapi sayang diberi minum anjing bukannya segar malah terlihat tak bergerak lagi. Dia terduduk lesu berurai air mata. Kenapa bukan anjing itu yang lebih dulu diberi air dan bukan dirinya, sehingga mungkin bisa memperpanjang umurnya. *** “Selamat ya, Nyonya, kelihatannya lebih seger sekarang,” Suster Hana yang selama ini merawatnya di ruang VIP itu menyapa ramah. “Apa yang masih terasa, Nyonya ?” “Alhamdulillah, sudah enakan, Suster. Tapi ini entah kenapa pikiran saya kok sulit konsentrasi, sampai-sampai susah membedakan apakah saya ini sedang mimpi atau ada di alam nyata,” Mainar Suwandi, istri direktur utama PT. Topan Persada, importir barang-barang mewah untuk kalangan jetset negeri ini. “Maksudnya apa, Nyonya ?” Suster Hana terus memeriksa, bahkan terlalu berlebihan hanya untuk menunjukan bahwa dia seorang suster yang care terhadap pasiennya. Tentu saja hanya dia lakukan untuk pasien di ruang VIP dan VVIP saja. Ada harapan lain apa yang dilakukan suter Hana yaitu dia berharap Mainar Suwandi akan merasa betah dan nyaman, sehingga nanti ketika keluar dari rumah sakit akan bicara panjang lebar pada seluruh koleganya sehingga kelak apabila kolega-koleganya itu sakit akan memilih rumah sakit ini. Dia hapal benar, seringkali ada pasien dari kalangan jetset yang pura-pura sakit hanya karena ingin merasakan dirawat di sebuah rumah sakit modern dan mahal sehingga akan memperpanjang deretan pujian dari teman-temannya. “Tadi saja, Suster, waktu diberi minuman sama Dokter Jefrey, saya langsung merasakan seperti sedang melamun, lalu saya berada di sebuah tanah gersang tanpa pepohonan, matahari demikian sangat dekat membakar ubun-ubun. Saya terus berjalan sambil merasakan dahaga, terus berjalan mencari pepohonan hanya untuk mengurangi rasa panas, Suster,” jelas Nyonya Mainar Suwandi serius menceritakan pengalaman yang baru saja ia alami. “Oh, pangaruh obat barangjali, Nyonya, agar bisa istirahat lebih tenang supaya cepat terjadi recovery,” Suster Hana tersenyum ramah. “Tapi kenapa kok sebagian besar seperti perjalanan hidup saya sendiri, Suster ? Apakah ini mimpi atau apa…” “Nggak usah banyak pikiran, Nya. Mendingan mimpi di sini daripada di gedung parlemen, ya nggak kan nya ?” Suster Hana tersenyum manis sekali. Nyonya Mainar Suwandi ikut tersenyum, menarik selimut yang melorot ke pinggang. Lagi-lagi Suster Hana tersenyum. Pada setiap yang dia lakukan, pada setiap upaya agar seluruh pasien VIP itu nyaman, pasti Suster Hana akan mendapat pujian dari direktur rumah sakit. Kredit point untuk perjalanan karirnya sendiri. Selama terpejam sebenarnya Nyonya Mainar sedang mencari kembali layar raksasa yang menceritakan perjalanan hidupnya itu. Tapi entah kenapa tidak semudah seperti menemukannya. Pada saat konsentrasi mencari jalan cerita itu tiba-tiba ia mendengar suara anjing kehausan. Pelan Nyonya Mainar bangun, dari jendela ruangannya terlihat jelas seekor anjing menjulur-julurkan lidahnya. Tiba-tiba saja Nyonya Mainar Suwandi merasakan kepalanya pening, seluruh ruangan seperti bergerak dan berputar-putar. Dia kembali ingat pengalaman bathin yang baru saja dilaluinya tadi, terutama pada saat ia menyesal karena tidak bisa menolong anjing yang kehausan. Saat itu juga tiba-tiba Ny. Mainar ambruk. Pada berita koran keesokan harinya ditulis besar, Nyonya Mainar Suwandi koma.

Selasa, 26 Juli 2016

Belajar Adil

BELAJAR ADIL SEJAK DARI RUMAH http://erasura.blogspot.com/2016/07/belajar-adil-sejak-dari-rumah.html

BELAJAR ADIL SEJAK DARI RUMAH

Oleh : E. Rokajat Asura 

 Kata adil menjadi kata kunci untuk menilai sebuah kinerja dan keberpihakan pada kebenaran. Dan keadilan merupakan isu hangat dan tuntutan utama dalam peradaban manusia sepanjang dalam praktek kehidupan bermasyarakat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mencederai rasa kemanusiaan. Sedemikian pentingnya tentang rasa adil dan keadilan ini, sehingga do’a seorang pemimpin yang adil termasuk dari tiga kelompok doa yang makbul. 

 Pada saat rasa keadilan menjadi barang langka dan rasa kemanusiaan dicederai, maka konsep berkeadilan semestinya menjadi pendidikan akhlak yang diajarkan kepada anak-anak sejak kecil dan selayaknya pula rumah menjadi pesantren untuk menumbuhkan sikap dan konsep berkeadilan. Orang tua yang menjadi figur sekaligus guru yang menumbuh kembangkan keadilan, dimulai dari hal-hal sederhana. 

Pada saat sikap adil telah menjadi sikap hidup sehari-hari, boleh berbesar hati bahwa anak-anak akan mengamalkan sikap hidup tersebut dalam pergaulannya atau setidaknya akan menjadi tameng pada saat ada gejala keadilan mulai diselewengkan. Konsep adil dan keadilan menjadi salah satu fokus perhatian Islam sebagai salah satu pilar mencapai keadaan rahmatan lil alamin. 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan dari An-Numan bin Al Basyir ra, bahwa ayah Numan pernah membawa dirinya menghadap Rasulullah SAW. Ayahnya berkata saya pernah memberikan kepada anakku ini seorang budak yang dulu kepunyaanku. Rasulullah SAW bertanya Apakah masing-masing anakmu, kamu beri seperti anakmu ini ? Ayah Numan berkata Tidak, ya, Rasulullah ! Rasulullah SAW bersabda kalau begitu tariklah kembali pemberianmu itu ! 

 Dalam riwayat lain dikatakan setelah Rasulullah SAW mendengar penjelasan ayah Numan tersebut, lalu beliau bersabda Takutlah kepada Allah SWT dan berbuatlah adil terhadap anak-anak kalian.. 

 Konsep adil sudah harus diperkenalkan kepada anak-anak bahkan untuk urusan yang dianggap sepele. Benar bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan yang berbeda-beda tapi bukan berarti untuk dibeda-bedakan pula dalam hal pemberian misalnya. Prinsip keadilan harus tetap dipenuhi orang tua ketika akan memberi sesuatu kepada anaknya. Sepanjang rasa keadilan itu terpenuhi, membeda-bedakan dalam arti kuantitas tak akan menjadi masalah. Tapi dengan semata mempertimbangkan bahwa kenyataannya masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda, lalu menyebabkan orang tua membeda-bedakan pula pemberian tanpa memperhatikan unsur-unsur keadilan itulah yang diingatkan Rasulullah SAW sebagai perbuatan aniaya. Suatu hari dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Basyir mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan telah memberi hadiah kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda Wahai Basyir, apakah kamu punya anak selain anak ini ? Basyir menjawab Ya, Rasulullah ! Lalu, Rasulullah melanjutkan pertanyaannya Apakah semua anak-anakmu juga kamu beri hadiah seperti ini ? Dijawab Basyir Tidak !. Mendengar jawaban Basyir seperti itu, Rasulullah pun menegaskan Kalau begitu janganlah kamu jadikan aku sebagai saksi, sebab aku tidak menjadi saksi perbuatan aniaya. 

Dalam riwayat lain dijelaskan dengan susunan kata-kata yang berbeda yakni Mintalah persaksian akan hal ini kepada orang lain selain aku. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan kalimatnya Apakah akan menggembirakanmu, jika ketaatan anak-anakmu kepadamu sama ? Basyir menjawab Begitulah ! Lalu, Rasulullah SAW bersabda : Maka jangan mengutamakan anak yang melebihi yang lain kalau begitu. Tidak bisa disangkal bahwa masing-masing anak memiliki watak dan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda. Konsep kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences yang digagas oleh Howard Gardner menegaskan tentang hal ini. Howard membagi kecerdasan seseorang ke dalam 8 model kecerdasan berdasarkan kecenderungan-kecederungannya. Pembagian delapan bentuk kecerdasan ini berasal dari pengumpulan data seorang anak bukan berdasarkan tes-tes tertutup seperti yang diterapkan pada tes IQ yang hanya membedakan anak pintar dan kurang pintar. 

 Howard Gardner menyimpulkan bahwa kecerdasan seseorang, samasekali tidak terkait dengan kondisi fisik (rasialis), kondisi brain dan hasil tes-tes standar. Jadi tidak diperlukan tes tertutup seperti tes IQ atau tes ketidak mampuan seseorang yang hanya akan menyudutkan secara psikis dengan pelabelan ketidak mampuan tersebut. Dalam pandangan Howard, kecerdasan seseorang itu terkait dengan discovering ability, the right man on the right place serta benefiditas. Dengan demikian kecerdasan itu adalah kebiasaan atau prilaku yang diulang-ulang yang melahirkan pikiran-pikiran kreatif dan bisa mengatasi masalah. Dengan berpijak pada landasan teoritis Howard Gardner ini, apakah sikap orang tua yang seringkali membeda-bedakan pemberian kepada anak-anaknya dengan alasan masing-masing anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, dapat dibenarkan atau justru sedang menanamkan benih sikap mencederai rasa adil ? 

Tanpa mempertimbangkan tentang rasa keadilan, Rasulullah SAW menilai sikap seperti itu sebagai perbuatan aniaya. Kalau saja sepakat bahwa rumah adalah pesantren tempat menggodok anak-anak untuk menjadi sosok bener-bageur-pinter (benar-baik-cerdas), maka ketika orang tua yang menjadi figur, teladan sekaligus guru mencederai rasa keadilan, sebenarnya ia sedang menanamkan benih ketidak adilan. Tidak perlu heran kalau kemudian kelak tidak saja orang tua yang menuai rasa ketidak adilan itu melainkan juga masyarakat. Tak ada kata lain bagi pribadi-pribadi yang sebenarnya adalah khalifah fil ardli untuk senantiasa hati-hati bahkan sangat hati-hati dalam segala hal, termasuk juga pada saat memberi sesuatu kepada anak-anak kita. Kehati-hatian itu pula yang telah dicontohkan parah salafus saleh, para alim ulama dahulu, sehingga berhasil mencapai derajat insan kamil. ***

Kabayan

KABAYAN NYEBRANG REL http://erasura.blogspot.com/2016/07/kabayan-nyebrang-rel.html

KABAYAN NYEBRANG REL

KABAYAN NYEBRANG REL SUATU HARI KABAYAN JALAN-JALAN KE BANDUNG … DARI CICADAS DIA JALAN KAKI KE ARAH KOSAMBI … SINGKAT CERITA DIA NYAMPE JUGA KE DAERAH KOSAMBIL DEKET PERLINTASAN JALAN KERETA API … BEGITU MAU NYEBRANG REL KABAYAN LIAT ADA TULISAN … DILARANG MELINTASI REL … WAH CEUK PIKIRAN KABAYAN TEH … SAYA HARUS NYEBRANGNYA DINA TUNGTUNG REL … SOALNYA TIDAK BOLEH MELINTASI REL … MAKANYA DIA TIDAK JADI NYEBRANG REL TAPI JALAN AJA DISISI REL SAMBIL NYARI DIMANA TUNGTUNGNYA … SATU KILO TIDAK KETEMU JUGA… DUA KILOMETER TIDAK KETEMU JUGA … SINGKAT CERITA SUDAH JALAN KAKI KANA SAPULUH KILOMETERNA … TAPI KABAYAN TIDAK NEMUIN TUNGTUNG RELNYA … MAKANYA TADINYA MAU KE PASAR KOSAMBI JADI NGGAK NYAMPE-NYAMPE …

Kamis, 14 Juli 2016

Sabtu, 09 Juli 2016

Ach's Book Forum: [Book On News] 3 Buku Yang Bercerita Tentang Ketan...

Ach's Book Forum: [Book On News] 3 Buku Yang Bercerita Tentang Ketan...:                                          Halo teman pembaca semua!                 Apa kabar kalian semua? Semoga selalu dalam ...

Ach's Book Forum: [Book On News] 3 Buku Yang Bercerita Tentang Ketan...

Ach's Book Forum: [Book On News] 3 Buku Yang Bercerita Tentang Ketan...:                                          Halo teman pembaca semua!                 Apa kabar kalian semua? Semoga selalu dalam ...

Rabu, 15 Juni 2016

Novel terpilih Ubud Writers & Readers Festival

NOVEL KUPILIH JALAN GERILYA http://erasura.blogspot.com/2016/06/novel-kupilih-jalan-gerilya.html

NOVEL KUPILIH JALAN GERILYA

KUPILIH JALAN GERILYA 
Novel inilah yang dipilih Dewan Kurator (Seno Gumbira Ajidarma, Iswadi Pratama, Kadek Sonia Piscayanti) dari dua novel yang dikirim – satunya lagi Jugun ianfu – yang meloloskan saya untuk mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2016, Oktober yang akan datang di Ubud, Bali. Alhamdulillah bisa bertemu dan bertukar pikiran dengan sastrawan mancanegara. 

 Sekilas tentang novel Kupilih Jalan Gerilya :
"Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujar Panglima Sudirman ketika Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuh ringkih itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit, membuktikan pada dunia – negara Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin politik telah ditawan Belanda. Air mata Alfiah menderas setiap membayangkan suaminya yang sakit-sakitan mendaki bukit, menembus belantara, menghadang tanah tandus berbatu, menghindari serbuan Belanda tanpa henti. Tapi di balik wajah pucat itu sinar matanya tak pernah berubah – tajam berkharisma, membuat Simon Spoor frustasi. Operasi pengejaran Sudirman selalu gagal. Saat Sudirman kembali ke Yogyakarta, rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang mempertahankan martabat negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral rintang, tapi tak berhasil mengusir penyakit TBC yang bersarang di tubuhnya. Setelah rongrongan Belanda berakhir, ia pun menghadap Illahi, menghembuskan napas terakhir dengan tenang setelah memeriksa rapor putra-putrinya. Langit Magelang menjadi saksi. 

"Aku bangga sekali, Bu, sepanjang hidupku Gusti Allah senantiasa memberikan jalan yang sederhana, dekat dengan alam, anak-anak dan rakyat yang hidup dan pikirannya sederhana. Rasanya tugasku sudah selesai. Kalaupun pada akhirnya dipundut Sing Kagungan, aku rela,” ujar Sudirman sebelum menutup mata. ISBN: 978-602-7926-21-9 Kode: XK-11 Kategori: NOVEL SEJARAH 

CATATAN KURATORIAL:
 Pada periode submisi dan seleksi penulis emerging Indonesia tahun ini, panitia menerima kiriman naskah dari 894 penulis yang berasal dari 201 kota di 33 propinsi Indonesia. Sepanjang sejarah program penulis emerging, yang pertama kali diadakan pada 2008, jumlah penulis ini merupakan yang tertinggi. Hal ini mencerminkan betapa sesungguhnya gairah untuk menulis masih cukup tinggi di kalangan para penulis muda tanah air. Selain itu, tingginya jumlah penulis ini juga menunjukkan betapa program penulis emerging Indonesia di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) telah menjadi salah satu wahana utama bagi penulis emerging Indonesia untuk menunjukkan pencapaiannya. Karya-karya para penulis peserta seleksi dibaca terlebih dahulu oleh tim pre-kurasi yang terdiri dari sastrawan Ubud, Ketut Yuliarsa dan Manajer Program Indonesia UWRF, I Wayan Juniarta. Proses pembacaan ini melahirkan daftar panjang terdiri dari karya yang direkomendasi. Karya-karya inilah yang kemudian dibaca dan ditelaah oleh kami, para anggota Dewan Kurator. 

Sangat tidak gampang mendapatkan karya-karya sastra, yang punya keberanian untuk melepaskan diri dari kecenderungan, yang sudah terlanjur mapan dan tipikal. Menulis (karya sastra) bukan cuma soal memiliki isu atau tema atau ide, lalu menguraikannya dalam sekian banyak bab, sejumlah puisi, atau sejumlah esai, melainkan juga soal bagaimana menghadirkan kembali sebuah dunia yang mampu memberikan bukan saja perspektif yang segar, tetapi juga pengalaman berbahasa yang terus menerus tumbuh dalam karya yang disajikan. Dengan persepektif demikian, tentu saja kami akan memprioritaskan karya-karya, yang dari sisi artistik maupun tema, mampu hadir dengan ciri dan kekuatan masing-masing dan tidak sekedar memperbanyak jumlah karya sastra. Pada faktanya, karya-karya seperti ini banyak lahir dari penulis-penulis muda, dengan pergaulan teks yang cukup beragam yang tercermin pada karya-karyanya. Mereka ini tampaknya berasal dari “generasi membaca” yang tidak puas dengan sekedar menjadi pewaris kecenderungan-kecenderungan yang sudah ada dan mapan. Meskipun dalam beberapa hal harapan tersebut belum terpenuhi secara ideal, namun karya-karya yang mereka kirimkan paling tidak memberikan harapan yang lebih menjanjikan bagi perkembangan sastra di Tanah Air. 

Karya-karya yang terpilih adalah karya yang telah menampilkan pencapaian kreativitas, bisa dikatakan pencapaian tertinggi atau menuju pencapaian tertinggi, dari masingmasing penulisanya. Usia tampak jelas sudah tidak menjadi ukuran pencapaian. Sejumlah penulis muda atau emerging telah menampilkan pencapaian yang mampu bersaing dengan para penulis senior. Dengan demikian, para penulis emerging yang berkualitas ini memang layak untuk mendapat tempat pada forum-forum kesusastraan yang prestisius. Tema-tema yang mereka tawarkan pun, terutama yang dilatari nilai dan perspektif lokalitas, telah memberikan warna yang menarik dalam proses seleksi ini. Dapat disimpulkan bahwa karya-karya para penulis emerging, terutama mereka yang kali ini terpilih untuk menghadiri UWRF, telah menunjukkan pencapaian yang melebihi istilah emerging. Karya-karya mereka menunjukkan kedewasaan dan kemapanan yang tidak terduga. Setiap karya tampak merupakan hasil kerja keras, penelitian yang tekun, serta kreativitas yang bernyali, dan dalam beberapa hal mendekati “kegilaan yang disadari.” 

Seleksi kali ini membuktikan bahwa penulis baru tidak selalu masih mentah karyanya bahkan sebaliknya bisa membuat “penulis mapan” terperangah, untuk menghindari kata minder. Ini juga membuktikan bahwa banyak penulis berkemampuan mumpuni yang tidak terdeteksi semata-mata hanya karena tidak mendapatkan forum yang setara dengan kualitas karyanya. Kami ucapkan selamat kepada para penulis yang terpilih. Sampai jumpa di Ubud pada Oktober mendatang. 

Ubud, Juni 2016 
DEWAN KURATOR UWRF 2016 
Aeno Gumira Ajidarma 
Iswadi Pratama 
Kadek Sonia Piscayanti 

Sujiwo Tedjo, dalang dan penulis, tentang novel Kupilih Jalan Gerilya : 
"Di dalam buku sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya membosankan. Di dalam roman, pahlawan bisa penuh warna seperti manusia biasa pada umumnya. Begitu pula Kiai Lelonobronto, nama samaran Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam karya E. Rokajat Asura ini. Kejenakaannya bersama sang adik, Samingan, maupun romantismenya bersama sang istri, Alfiah, barulah sebagian warna-warni sang gerilyawan dalam karyanya.” 

 K.H Agus Sunyoto, Sejarawan NU tentang novel Kupilih Jalan Gerilya : 
"Sangat menarik ... pengungkapan yang cemerlang antara aktualita, faktualita, politik, sejarah, budaya, dan jiwa patriotik melalui bahasa naratif yang komunikatif dan mudah dicerna." 

Informasi Tambahan : 
Saya ucapkan selamat sekali lagi atas lolosnya Anda untuk hadir di UWRF tahun ini bersama penulis - penulis lainnya. Perkenalkan saya Gustra Adnyana, koordinator program UWRF. Saya dan kawan-kawan akan membantu Anda selama Anda mengikuti kegiatan Festival ini. Berikut saya akan memberikan beberapa informasi mengenai UWRF dan kedatangan Anda di Bali. Tentang Ubud Writers & Readers Festival 2016 Tahun ini UWRF akan dilaksanakan pada tanggal 26 - 30 Oktober di Ubud, Bali dengan menghadirkan lebih dari 150 pembicara yang terdiri dari penulis, seniman, budayawan, dan para pemikir lainnya. Tema yang diusung di festival ke-13 kali ini adalah ' Tat Tvam Asi ', sebuah penggalan filosofi Hindu dari abad ke-6 dengan makna yang sangat dalam. Dalam bahasa Indonesia ' Tat Tvam Asi ' dapat diterjemahkan menjadi ' Aku adalah engkau, engkau adalah aku ' atau ' Kita semua satu '. Di Bali sendiri, konsep ini sangat kental digunakan dalam masyarakat. Filosofi ini mengajarkan manusia bahwa mereka semua sama, bahwa mereka semua terhubung satu sama lainnya. Ideologi ' Kita semua satu ' ini pun sebenarnya adalah identitas dari negara Indonesia. Seperti yang kita tahu, Nusantara Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis, agama, budaya, dan sejarah, sebuah latar belakang yang menjadikan Indonesia begitu kaya dengan perbedaan. Namun perbedaan-perbedaan tersebut dihormati oleh masyarakatnya dengan saling mengerti dan saling respek diantara mereka. Sejak pertama kali dilangsungkan, UWRF selalu membawa bermacam sosok dari seluruh dunia dengan bermacam cerita. Cerita-cerita yang mereka bagi berganti menjadi diskusi dan pertanyaan yang dilontarkan, yang membuat cerita - cerita tersebut dekat di hati dan menyatu dengan jiwa. dan itu adalah contoh nyata yang sederhana dari filosofi Tat Tvam Asi. "Daging kita satu arwah kita satu, walau masing jauh, yang tertusuk padamu berdarah padaku" dikutip dari puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Satu. Yakinilah bahwa setiap jiwa terhubung dan menyakiti satu jiwa lain sama seperti menyakiti jiwa sendiri. Dengan tema Tat Tvam Asi, UWRF akan mengajak Nusantara Indonesia untuk mendalami arti dari filosofi tersebut, dan mendalami nilai kemanusiaan, empati, juga kehidupan. Kegiatan Festival terdiri dari berbagai jenis kegiatan seperti: Main Program (acara utama, sesi diskusi) Special Events (acara special, jamuan dan diskusi intim bersama penulis) Workshops (untuk dewasa & profesional) Arts Program (acara seni & pementasan) Film Program Children's Program (program untuk anak - anak) Youth Program (program untuk remaja) Cultural Workshops (pembelajaran tentang budaya Bali) Fringe Event (acara di luar Ubud) Book Launch (Peluncuran buku) The Kitchen (program bagi koki dan penulis buku masak) Festival Club (acara kumpul bersama penulis diatas jam 10 malam) Satellite Event (acara di luar pulau Bali). Untuk gambaran lainnya dapat Anda lihat di website kami www.ubudwritersfestival.com dan buku program UWRF tahun 2015 di link berikut http://www.ubudwritersfestival.com/browse-the-2015-program-book-225-events-170-writers

Selasa, 14 Juni 2016

Gaya Mendidik

GAYA RASULULLAH MENDIDIK http://erasura.blogspot.com/2016/06/gaya-rasulullah-mendidik.html

GAYA RASULULLAH MENDIDIK

Oleh E. Rokajat Asura *) Dalam buku “Sang Nabi”, penyair dan filsup Kahlil Gibran pernah ditanya oleh seorang ibu yang sedang mendekap bayinya, bicaralah padaku tentang anak. Maka meluncurlah syair yang kemudian menjadi terkenal. Syair tentang hakikat seorang anak. Anakmu bukan anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka dilahirkan melalui kau tapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tapi bukan milikmu Engkau bisa memberikan cinta, tapi tidak dengan fikiranmu Karena mereka punya fikiran sendiri Engkau bisa merumahkan tubuh mereka tapi tidak jiwa mereka Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah masa depan Yang tak dapat engkau kunjungi sekalipun dalam mimpi Kau bisa menjadi seperti mereka tapi jangan jadikan mereka sepertimu Karena hidup tak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah Yang hidup untuk diluncurkan Sang pemahan telah membidik arah keabadian Merenggangkan dengan kekuatannya Sehingga anak panah meluncur dengan cepat dan jauh Jadilah tarikan tanganmu sebagai pemanah untuk sumber kegembiraan Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang Maka ia juga mencintai busur yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari syair terkenal tersebut ? Tak sedikit orang tua yang beranggapan anak adalah investasi, sehingga ia punya hak untuk mengatur segala aspek kehidupan agar sang anak menjadi “apa yang dikehendaki orang tuanya”. Dengan atas nama cinta, orang tua berhasil merumahkan tubuh dan jiwa anak-anak, padahal – seperti kata Kahlil Gibran dalam syairnya – jiwa anak-anak itu tinggal di rumah masa depan yang tak dapat dikunjungi orang tuanya sekalipun dalam mimpi. Tugas orang tua – seperti kata Kahlil Gibran – menjadi busur yang akan meluncurkan anak-anak panahnya dengan sekuat tenaga, dan setiap tarikan tangan merentang tali busur dengan rengkuh tubuh sebagai busur semata untuk meluncurkan anak-anak panah secepat dan sejauh mungkin menuju arah keabadian yang sejak awal telah dibidiknya. Begitu anak panah meluncur, biarkan menjadi anak panah bukan menjadi pikiran dan obsesi-obsesi anda. Biarkan mereka menjadi ‘anak panah’ dengan keunikan dan kecenderungan kecerdasannya masing-masing. Dengan cara seperti itu setiap tarikan tangan anda pada tali busur menjadi sumber kegembiraan anak-anak panah yang meluncur cepat dan jauh. Konsep kecerdasan majemuk yang dikembangkan Howard Gardner sejalan dengan konsep pendidikan anak model Kahlil Gibran yakni orang tua benar-benar menjadi busur atau fasilitator dan katalisator untuk meluncurkan anak-anak panah mereka menemukan hasil akhir terbaiknya, bukan mencetak anak-anak sesuai dengan ukuran dan keinginannya. Orang tua adalah sing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dijadikan satu dari tujuh asa Perguruan Nasional Taman Siswa sejak pertengahan 1922. Sebagai anak-anak panah, seorang anak diharapkan mengembangkan dirinya dengan semangat kuat menuju target keabadian yang telah dibidik sejak awal oleh sang pemanah, setelah orang tua – dan guru – meluncurkan mereka dengan segenap tenaga dan kemampuan. Inilah implikasi model KTSP bahwa guru dan orang tua merupakan pemberi dorongan, pengawas dan pengarah kerja para peserta didik. Bukan menjadi pencetak bata, yang ukuran, bentuk dan racikannya telah ditentukan sesuai dengan keinginannya. Dalam kegiatan belajar mengajar – menurut Luna Setiati S.Sn – ada tiga cara dan gaya komunikasi seorang guru dengan para anak didiknya pada proses KBM yaitu authoritarian, permissive dan authoritative. Tentu, ketiga gaya tersebut memiliki dampak yang satu sama lain berbeda. Bahkan salah satu faktor yang dapat melejitkan kemampuan anak didik pun terkait dengan gaya komunikasi guru dalam proses belajar mengajar. Lalu, bagaimana gaya mendidik Rasulullah SAW yang telah berhasil membentuk generasi terbaik yaitu para sahabat alaihi salam ? Salah satu keberhasilan Rasulullah SAW mendidik para sahabat menjadi generasi terbaik, tak terlepas dari sistem dan metoda mendidik yang digunakan. Ada enam pilar yang menjadi tumpuan Rasulullah SAW mendidik para sahabatnya menjadi generasi terbaik yaitu lemah lembut, memberi pujian, memperhatikan waktu, bertahap, argumentasi yang jelas dan mengurangi kesenjangan antara guru dan murid. Lemah lembut menjadi karakter Muhammad SAW. Keberhasilan dakwah beliau terkait erat dengan karakter ini. Seperti dijelaskan Allah SWT dalam salah satu ayatnya yaitu ”maka disebabkan dari rahmat Allah-lah kami berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Sikap lemah lembut memiliki energi yang dahsyat manakala terjadi kesalah pahaman atau kesalahan anak didik dalam proses belajar mengajar. Sikap lemah lembut Rasulullah SAW ini tercermin ketika suatu hari – seperti diriwayatkan Anas r.a – ada seorang Arab Badui kencing di salah satu bagian mesjid dan para sahabat kontan membentak bahkan ada yang memarahinya. Tapi bagaimana dengan Rasulullah ? Rasulullah SAW malah meminta seember air, lalu menyiramkannya pada bagian yang dikencingi orang Arab Badui tadi seraya mengatakan bahwa sungguh tidak pantas mesjid dikencingi. Akan halnya kelemah lembutan, memberi pujian kepada anak didik memberi dampak yang dahsyat. Rasulullah SAW melakukan hal itu kepada para sahabat baik yang telah melakukan kebaikan ataupun dalam upaya memberi motivasi. ”Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar seandainya ia rajin sholat malam,” ungkap Rasulullah. Lalu apa yang terjadi ? Setelah kejadian itu Abdullah bin Umar semakin mengurangi kuantias tidur malamnya dan memperbanyak ibadah malam. Dalam kegiatan belajar mengajar Rasulullah SAW sangat memperhatikan tentang waktu, kemampuan anak didik dalam hal ini para sahabat dan memberi argumentasi yang tepat. Secara sunatullah hal ini seirama dengan metoda turunnya ayat-ayat al-Qur’an yakni dimulai dengan surat pendek, memperhatikan waktu dan tentu saja ayat yang saling menguatkan. *** *) E. Rokajat Asura, novelis, tinggal di Cilegon. Salah satu novel best sellernya adalah novel sejarah dwilogi Prabu Siliwangi, yang diterbitkan Edelweiss Publishing (Mizan Grup)

Kamis, 09 Juni 2016

Cermin

JODOH BODOH http://erasura.blogspot.com/2016/06/jodoh-bodoh.html

JODOH BODOH

Oleh : E.Rokajat Asura
Ada tiga sahabat karib sejak di sekolah menengah. Sebut saja Ari, Septian dan Harun, nama ketiga sahabat itu. Ketiganya kebetulan satu hobby, satu sekolah, satu kuliahan. Dan sekarang, luar biasanya, ketiganya juga bekerja di perusahaan yang sama. Kejadian langka ini tentu saja semakin mengukuhkan persahabatan mereka. Boleh dikata, tak ada Ari tanpa Septian dan Harun, demikian pula sebaliknya dimana ada Harun, bisa dipastikan di sana Septian dan Ari juga ada. Soal jodoh, ini juga terbilang aneh. Sampai sekarang ketiga sahabat kental itu masih juga belum ketemu jodohnya. Entah karena belum waktunya, entah karena seperti sangkaan orang-orang, ketiga sahabat itu sulit untuk dipisahkan. Mereka lebih mementingkan persahabatan daripada membangun rumah tangga. Khawatir kalaupun mereka menikah, anak istrinya bisa ditelantarkan kalau ada urusan yang menyangkut persahabatan mereka. Padahal secara fisik, ketiganya terbilang punya tampang di atas rata-rata dan hidup mapan pula. Suatu hari ada seorang wanita cantik, sebut saja Farah, karyawan baru di kantor ketiga sahabat itu. Entah kenapa pada saat yang sama ketiganya menaruh hati. Bahkan secara sembunyi-sembunyi mereka mulai mendekati wanita itu. Karena dianggap sebagai teman sekantor, Farah menyambut persahabatan ketiga cowok itu tanpa ada pretensi apa-apa. Ketika malam minggu tiba, tanpa disengaja pula, ketiga cowok itu datang berkunjung ke rumah Farah. Pertama datang adalah Ari. Selang lima menit muncul Harun, disusul kemudian sepuluh menit berikutnya Septian yang tiba. Tentu saja ketiganya kelabakan. Sementara Farah samasekali tidak menaruh curiga apa-apa. Dia menganggap karena memang ketiganya senang bertandang. Cuma itu. Farah hanya tahu sedikit tentang informasi bahwa ketiga lelaki itu sudah lama bersahabat. Senin hari di kantor ketika makan siang, ketiga lelaki itu berikrar, daripada persahabatan hancur, lebih baik tak seorang pun yang menjalin persahabat istimewa dengan Farah. Begitulah akhirnya, mereka seperti juga karyawan lain, hanya kalau ada urusan penting saja berhubungan dengan Farah. Apalagi antara ketiga lelaki itu dengan Farah berbeda departemen, sehingga akan sangat kentara apabila diantara mereka ada yang sengaja main mata. *** Selang beberapa bulan, Ari dipanggil orang tuanya ke Yogya. Katanya ada yang harus diomongkan. Maka dengan diantar ke bandara, Ari pulang kampung. Kedua sahabatnya pergi ke kantor dan bekerja seperti semula. Dua hari sejak kepulangan Ari, Septian dan Harun menerima telpon. Singkat saja isinya. Ternyata, katanya, Ari di Yogya akan dijodohkan dengan putri kenalan ayahnya. "Kamu terima ?" tanya Harun di telpon. "Saya lihat dulu, kalau cantik, sayang ‘kan dibuang begitu saja," canda Ari. Demikian pula ketika Septian menelpon, Ari menjawab persis seperti ia katakan kepada Harun. Seminggu kemudian Ari balik ke kantor. Ketemu dengan ketiga sahabatnya lagi. Pada satu kesempatan ia mulai ngobrol tentang proses penjodohan dengan putri sahabat ayahnya itu. "Cantik nggak ?" canda Septian "Di foto sih iya...tapi aku nggak begitu bisa mastiin, soalnya fotonya ‘kan waktu kuliah. Biasa, foto yang masih culun." "Namanya ?" "Adila Farahandira. Keren, nggak ?" "Lumayan !" "Kapan kamu janjian ketemu ?" "Katanya sih aku yang harus aktif, soalnya anak itu kerja di Jakarta juga. Tapi aku belum diberi nomor teleponnya," jawab Ari mengakhiri perbincangannya. Kisah Siti Nurbaya abad IT itu pun begitu saja terjadi. Pada satu kesempatan, Ari benar-benar dibuat tidak percaya. Betapa tidak, ternyata wanita yang dijodohkan ayahnya itu tidak lain adalah Farah. "Sorry, bukan aku ingin menghancurkan persahabatan kita, tapi aku samasekali tak menyangka kalau wanita itu adalah Farah," jelas Ari di depan dua sahabatnya. Septian dan Harun hanya saling pandang. Lalu keduanya tertawa. Ari jelas tidak mengerti. Ditatapnya kedua sahabatnya itu, tapi yang ditatap malah makin terpingkal. "Apaan sih ?" "Itu artinya kamu kena batunya. Kan ada peribahasa, jodoh itu bodoh, karena nggak bisa pilih-pilih. Yang dipilih malah lari, yang nggak dipilih datang sendiri," jelas Harun. "Kamu tahu, minggu depan aku juga tunangan. Tahu siapa gadis yang kumaksud ?" tanya Septian "Nggak tahu !" "Lasmi !" "Orang mana ?" "Jalan X No. 17 !" "Nggak salah kamu ?" "Kenapa ?" "Lha, itu kan rumahnya Harun !" "Itulah memang yang namanya jodoh itu bodoh, artinya nggak bisa diprediksi, nggak bisa dipilih-pilih." "Maksudnya ?" "Aku memang akan tunangan dengan adiknya Harun !" Mendengar penjelasan Septian seperti Ari hanya tersenyum. Soalnya ia ingat bener, dulu sewaktu masih kuliah, antara Septian dengan Lasmi, kerjanya berantem melulu. Kalau diam sebentar saja, itu namanya nggak seru. "Sayang ya," jelas Ari "Kenapa emang ?" Harun penasaran. "Aku nggak punya adik perempuan. Kalau punya, siapa tahu jodoh kamu justru dengan adikku." Harun hanya mesem. Ia memang belum punya jodoh. Tapi dengan melihat pengalaman masing-masing sahabatnya, terus-terang ia enggan untuk berandai-andai. Soalnya kalau berandai-andai, malah nggak jadi. Sebaliknya ia juga tidak mau pilih-pilih, khawatir yang tidak dipilih justru jodohnya. *** Ketika dua sahabatnya, Ari dan Septian menikah, Harun masih sendiri. Suatu hari ia diajak temannya yang lain ke kampungnya. Kebetulan ada acara pasar kaget, acara tahunan, yang biasanya seluruh penduduk tumplek menghadiri pesta itu. Diam-diam acara tahunan ini juga jadi semacam arena cari jodoh. Harun yang dari sananya memang senang menjelajahi pedesan, menerima dengan suka hati. Aku bisa berpetualang, alasannya. Di tempat pasar kaget ketika sedang memilih salah satu kerajinan desa itu, kaki Harun terinjak terumpah. Ia tidak saja menjerit tapi mencak-mencak. Tapi ketika melihat yang menginjak itu seorang nenek, keriput, rambutnya uban semua, ia kontan meminta maaf. Soalnya tidak mau menghina wanita, takut justru si nenek jadi jodohnya. Pasti lebih berabe. Pulang dari tempat itu, Harun begitu saja gemetaran ketika di jalan ketemu dengan si nenek kembali. Apalagi si nenek memaksanya mampir. Hanya karena takut menyinggung si nenek lah, Harun dan temannya bersedia mampir. "Nenek sudah berbuat kesalahan kemarin, menginjak anak ini. Hitung-hitung menebus dosa, mampir lah kalian. Nenek bersyukur kalian tidak menolak. Sebentar, nenek bikinin minum," aku si nenek jujur. "Nggak usah, Nek !" Harun melarang. "Nggak apa-apa, cuma air saja." Lalu si nenek batuk-batuk. Rupanya itu isyarat. Karena sebentar kemudian, seorang gadis cantik datang membawa nampan diisi minuman dan penganan. Harun melotot. Baru kali itu ia melihat wajah perempuan demikian sempurna. Tapi lagi-lagi ia tak mau beranda-andai, soalnya takut malah lari. Ia juga tidak mungkin tiba-tiba saja marah pada gadis cantik itu, dengan harapan akan berbalik jadi jodohnya. Ia sekarang benar-benar menyerahkan bulat-bulat pada keputusan Allah SWT. ***

Selasa, 07 Juni 2016

Oh...masinis...

SAMAN OH...SAMAN http://erasura.blogspot.com/2016/06/saman-ohsaman.html

SAMAN OH...SAMAN

Cerpen : E. Rokajat Asura (Dipublikasikan
Mingguan NOVA No. 727, Februari 2002 “Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang itu selalu saja membuat pak Saman tersenyum bangga. Setiap pulang dan pergi bekerja, mereka selalu menagih janji. Sesungguhnya anak-anak itu tak perlu diberi dongeng yang panjang-panjang. Cerita tentang Sang Kancilpun sudah cukup. Dongeng pendek yang telah berulang-ulang itu akan tetap disukai. Apalagi ketika pak Saman mengekspresikan suara Kancil dengan jenaka, anak-anak itu akan tertawa riang. Pak Saman sendiri pada saat-saat seperti itu selalu mengibaratkan dirinya sebagai seorang pahlawan. Pahlawan yang pulang dari medan perang, disambut rakyat-rakyat kecil dengan gembira. Maka luka dan darah yang mengering di badan itu kini, alhamdulillah tak dirasakannya lagi, karena sang pahlawan telah kembali pada haribaan pertiwi yang baru saja diperjuangkannya. Kemudian pak Saman akan berdiri kukuh di depan rakyat-rakyat kecil itu dan siap dengan sebuah dongeng. Selesai mendongeng, lelahpun akan lenyap karena mendapati kebahagiaan pada wajah anak-anak polos itu. Rakyat-rakyat kecil yang telah mengukuhkan kebesaran dirinya. “Sudah, sudah, sekarang kalian mandi, terus ngaji, ya ?” “Ya ! Terima kasih, Pak Saman !” “Terima kasih anak-anak !” “Assalamu alaikum, Pak Saman !” “Wa alaikum salam, anak-anak !” senyum pak Saman mengembang. Adegan rutin setiap pulang kerja itu yang membuatnya semakin ceria. Dia jadi teringat cerita Sri Sumarah dan Bawuk, novel karya Umar Kayam yang pernah dibacanya pada saat sekolah dulu. Iya, kebiasaan anak-anak di ujung gang itu selalu mengingatkan dia pada kebiasaan Sri yang selalu minta didongengi. Pada siang-siang begitu Sri akan menyerahkan samasekali badan, pikiran dan perasaannya pada suasana yang dikembangkan embahnya. Suara embahnya, elusan jari-jari embahnya pada kulit kepalanya, keteduhan kamar rumah desa itu adalah suatu kesatuan yang mengeloni Sri. Memang anak Sri tidak seperti itu. Tun tidak sedang didongengi. Dia menikmati itu sepotong-sepotong. Umpamanya, di tengah yang agak panjang, pada waktu baru selesai beberapa bait, Tun akan lari sebentar ke luar kamar ambil sepotong pisang atau buah lainnya, dikunyah-kunyahnya sambil kembali ke kamar, menggeletak di samping ibunya lagi, siap mendengarkan tembang berikutnya. Tapi kenapa anak-anak di gang itu punya kegemaran seperti Sri, sekalipun usia dan jamannya lebih akhir dibanding Tun. Apakah ini tandanya jaman selalu berputar pada titik yang sama ? Suatu hari istrinya, Salmah, pernah melarangnya terutama kalau suaminya pulang tugas jauh, membawa kereta api dari Surabaya. Akang kan sangat lelah, belum tidur, lebih baik istirahat, saran istrinya. Tapi bagaimana protes Pak Saman ? Nggak, nggak apa-apa ! Di depan anak-anak gang itu, aku merasa selalu menjadi manusia, Nyi ! Bukan hanya sebuah skrup kecil dari besarnya lokomotif. Ketika membawa lokomotif, pak Saman memang hanya sebuah skrup kecil. Tak pernah ada yang mau meliriknya. Namanya juga skrup kecil. Baru kerasa bahwa lokomotif itu maju karena peran seorang masinis kalau terjadi kecelakaan saja. Naudzubillah hi min dzalik, masak untuk mengingat peran orang lain harus didahului sebuah kecelakaan dulu. Salmah tercenung dan tak bisa mendebatnya. Dia selalu merasa kalah pintar dari suaminya itu. Setiap ada pertengkaran diantara para elit politik misalnya, pak Saman selalu setia mengemukakan analisa-analisanya, sekalipun hanya kepada teman seperjalanan, pada assistennya di ruang lokomotif menyengat itu, dan pada Salmah tentu saja. Selain masalah ketemu waton, juga karena Salmah merasa kalah pinter yang membuat dirinya mau dilamar dulu. Kekaguman itupun yang telah mampu bertahan dalam hidup sederhana dan melahirkan anak-anak. Salmah dan Saman dulu memang satu sekolah, sama-sama di SMP Bojongsalam. Selepas SMP, Salmah memilih kerja di pabrik, tapi Saman meneruskan ke sekolah teknik sampai akhirnya takdir menempatkan dia sebagai seorang masinis. Sejak sekolah, Salmah selalu kalah terutama dalam pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dulu, Salmah selalu minta diajari kalau ada pekerjaan rumah, ulangan harian maupun menjelang ulangan umum. Ya, sejak saat itu dia selalu mendambakan kalau lelaki pinter seperti Saman akan sangat baik untuk dijadikan suami. Samasekali tak pernah terpikir kalau yang pinter Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam itu juga akan pinter dalam nyari duit. *** Pak Saman tiba-tiba terjaga dari lelap tidurnya. Dia mendengar anak-anak gang itu memanggil-manggil. Tapi ketika melihat beker di atas bupet di kamarnya yang sumpek, dia tidak percaya pada suara itu. Pasti mimpi, gumamnya, mana mungkin anak-anak gang itu minta didongengi jam setengah tiga shubuh. Ya, Allah, aku berlindung dengan kalimah-Mu yang sempurna dari kemarahan Allah dan dari kejahatan hamba-hamba-Nya dan dari ganguan syetan dan dari kehadiran mereka. Pak Sama mengusap muka, sementara Salmah saat itu masih terlelap dan terdengar dengkurnya. Pak Saman mencoba memicingkan kembali matanya, tapi sulit untuk bisa kembali tertidur. Hari itu dia memang sedang libur. Baru besok malam dia kembali tugas akan membawa kereta ekspress malam Bandung-Solobalapan. Tapi tentu saja bukan karena itu semua yang membuatnya tidak bisa kembali memicingkan semata. Suara anak-anak itu, seperti sengaja ingin membangunkan. Apa ini sebuah firasat ? Lama pak Saman membiarkan lamunannya melanglang. Ketika lelah dengan lamunan itu, kakinya melangkah keluar kamar, membuka tulak dapur, merapatkan jaket menahan dingin yang menggamit kulit. Lurus ketika membuka pintu dapur, ada sumur yang airnya jernih dan bersyukur tak pernah kering. Tetangga kampung itu menyebutnya sumur ajaib hanya karena tak pernah kering sepanjang tahun. Pak Saman sendiri menerima sumur yang tak pernah kering itu sebagai limpahan rejeki dari langit, karenanya dia selalu wanti-wanti ketika ngambil air, mulailah dengan bismillah katanya, supaya sumur ini diberkahi. Dan malam ini pak Saman mengambil wudlu, lalu sholat malam. Selesai sholat malam, ditambah wirid dan disambung sholat shubuh, barulah dia merasa diserang kantuk. “Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang Kancil memanggi-manggil pada pagi buta. Mereka tak tahu kalau pagi itu pahlawannya masih terlelap. Dalam lelap tidur itu tak pernah terpikir tentang rakya-rakyat kecil yang minta didongengi, tak ingat lagi tentang cerita Sri juga tak merasa kalau dirinya itu seorang pahlawan. Terpaksa istrinya yang keluar dan memberitahu pada anak-anak itu, kalau suaminya masih tidur. Kekecewaan menggayut pada wajah polos anak-anak itu. “Emak aja yang mendongeng ya ?” hibur Salmah, tapi anak-anak itu menggelengkan kepala. Ketika kejadian itu diceritakan pada suaminya, ia marah, kenapa tidak membangunkan, protesnya. “Akang masih lelap tidur. Saya pikir karena libur, akang sengaja mau istirahat.” sanggah istrinya. Pak Saman masih juga tampak kecewa. Dia berdiri di ambang pintu, menatap pada jalan dan disana ia melihat anak-anak bergerombol. Iapun kemudian teriak. “Anak-anak !” katanya. Tapi aneh tak seorangpun yang menoleh. Mereka marah tampaknya. Pak Saman menunduk sedih. Ketika istrinya membawakan singkong rebus, samasekali ia tak semangat untuk memakannya. “Maafin saya ya, Kang ? Sudah membuat akang kecewa.” “Nggak apa-apa. Cuma aku menyesal karena hari ini tidak berbuat baik buat orang lain. Padahal kata ustadz, membuat orang lain senang adalah juga sedekah.” kata pak Saman lirih. Dia memang selalu ingat dan terus mengamalkan tentang apa yang didapatnya saat mendengar khutbah Jum’at atau mendengar ceramah di radio. “Pergilah ke mushola, barangkali ada yang bisa akang kerjakan di sana.” “Ya, kau benar. Aku akan ke sana.” wajah murung itu berubah ceria. Ia melangkah tegap. *** Seharian hujan lebat sehinga kali Cikapundung banjir. Pak Saman dan istrinya diliputi kecemasan. Rumahnya memang tak jauh bantaran dari kali itu. Tahun kemarin ketika kali Cikapundung banjir, rumahnya terendam sampai lutut. Bahkan beberapa rumah di bantaran sungai ada yang hanyut terbawa banjir. Air jutaan kubik saat itu seperti tangan raksasa yang memporak-porandakan apa saja yang kebetulan dilaluinya. Mudah-mudah setelah maghrib nanti hujan reda, harap pak Saman sehingga ia bisa pergi tugas membawa penumpang ke Solobalapan. Tapi kali ini keinginannya itu tak terkabul. Hujan tak juga reda. Limabelas menit lebih dari waktu maghrib, hujan masih lebat. Tapi akhirnya pak Saman memaksakan pergi juga. Tubuhnya dibalut mantel tua pemberian dari seorang pengusaha, diluarnya di lapis jas hujan, dan tak lupa membawa senter. Semua itu ia lakukan karena tepat jam 20.00 kereta akan berangkat. Bagaimana jadinya kalau dia tidak datang, seluruh penumpang pasti akan menggerutu. Ia hapal benar tabiat para penumpang kelas bisnis itu, selalu protes dan banyak omong. Sejak dulu ia memang tak mau datang terlambat. Ia tidak mau jadi bagian yang memperparah penyakit manajemen perketa apian negeri ini. Sekalipun Iwan Fals pernah teriak dua jam terlambat itu biasa, tapi bagi pak Saman terlambat adalah pekerjaan luar biasa. Luar biasa memalukan dan luar biasa ketololannya. “Aku berangkat, Nyi, assalamu alaikum !” “Wa alaikum salam, hati-hati, kang ! Jangan lupa bismillah dulu !” terdengar lirih suara itu. Entah kenapa, Salmah seperti berat melepaskan suaminya saat itu. Tidak seperti biasanya. Padahal bukan sekali dua kali suaminya pergi saat hujan lebat seperti itu. “Bismillahi tawaqaltu alallah !” gumam pak Saman dan berjalan menerobos hujan yang tak henti. Langit seperti bocor malam itu, terus-menerus tak terbendung mengucurkan air hujan. Pada saat menyeberang, jembatan bambu berayun-ayun dan seperti mau roboh tertempa air bah. Entah pada langkah ke berapa kaki pak Saman terpeleset dan hampir tercebur. Beruntung dia masih kuat memegang salah satu bambu, kendati senter dan ransel berisi bekal terlempar jauh terbawa banjir. Pak Saman terus berjuang dan akhirnya bisa naik dan meneruskan perjalanan. Pakaianya basah kuyup dan pada beberapa bagian tubuhnya terasa perih. Mungkin luka. Terbebas dari petaka jembatan itu, ia terus melangkah melewati beberapa rumah dan lorong sempit diantara bangunan beton yang menghimpit. Sesampainya di ujung gang masih juga harus menunggu karena saat itu tak ada satupun mobil yang lewat. Lama menunggu tak juga datang, akhirnya ia berjalan kaki menuju stasion. Tak sempat menghitung berapa menit yang telah dihabiskan, yang jelas ketika sampai di stasion, jam menunjukan 19.55, lima menit sebelum kereta menuju Solo berangkat. Masih keburu, bisiknya menghibur diri. Tapi pada saat pak Saman lapor, ternyata telah digantikan masinis lain. Ia hanya bisa mengurut dada dan menatap nanar ketika rangkaian gerbong itu berangkat. Ngatiman, yang menggantikannya, sempat mau menyerahkan tugas itu tapi pak Saman tak menerimanya. “Saya mau nerima karena khawatir akang tak jadi datang. Seharian hujan pasti Cikapundung banjir lagi. Saya ingat kejadian bulan lalu, ketika banjir rumah akang terendam dan tak bisa berangkat kerja.” Ngatiman membela diri ketika melihat sahabatnya itu tertegun di pinggir trotoar. “Sebenarnya saya lelah, Kang ! Baru datang dari Surabaya.” “Kamu lebih berhak. Jalanlah ! Jangan terlalu memikirkan akang.” Pak Saman lirih. Gondok lakinya tampak jelas turun naik pada leher yang kerontang. Keesokan harinya Pak Saman dipanggil atasannya. “Bagaimana kita bisa menjamin keselamatan penumpang, kalau datang saja terlambat. Padahal lancar dan tidaknya lokomotif ada pada anda. Mesin itu harus diperiksa, dan tugas terakhir ada pada anda, Pak Saman. Kendatipun para mekanik telah melakukan kontrol dan pemeriksaan, tetap tanggung jawab akhir ada pada anda.” “Maaf, Pak. Banjir yang telah menghalangi saya hingga terlambat datang.” “Sudahlah ! Tak perlu menyalahkan banjir. Itu kan kejadian alam. Apa kita harus selalu mengalah setiap kejadian alam datang ?” Pak Saman tak bicara. Dia paham betul atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Ketika dia diskor, juga tak banyak bicara selain menerima. Dia ingat betul ketika sebuah kecelakaan terjadi, masinis memang yang harus bertanggung jawab. Apa yang baru saja dikatakan atasannya itu, samasekali tak salah. Dia pulang membawa beban di pundak. Surat itu disimpan didalam saku celananya dan tak ingin diberitahukan kepada siapapun juga kepada istrinya. Tak ada anak-anak yang menyambut. Semua anak-anak di gang itu tahu kalau pak Saman baru pulang lusa malam, maka siang itu benar-benar terasa lengang. Bayangan tentang seorang pahlawan yang disambut ceria rakyat kecilnya sirna sudah. *** Berita sangat menggemparkan. Ekspress malam Bandung-Solobalapan tabrakan dengan kereta barang dari Surabaya satu kilo arah Barat dari Stasion Banjar. Pak Saman terduduk lemas. Salmah mematung tak bisa bicara. Ia hapal betul kalau kereta itu yang seharusnya dibawa suaminya. Pak Saman mengetahui berita itu dari tetangga yang tadinya hanya ingin memastikan, apakah Salmah mengetahui atau tidak tentang kecelakaan itu. Kemudian para tetangga datang susul menyusul karena mereka tahu dari anak-anaknya kalau pak Saman pergi membawa kereta itu. Tapi ketika mengetahui Pak Saman ada, semua mengucap syukur alhamdulillah. Anak-anak menangis karena girang. Human error begitu kesimpulan atasannya. Tapi seluruh media massa tetap saja menggugat. Pak Saman terguncang. Keselamatan dirinya, firasat yang datang, banjir yang menghadang justru semakin membuatnya menggigil ketakutan. Seorang wartawan menjenguknya tapi pak Saman tak bisa bicara. Apakah arti semua ini, selalu itu yang jadi tanda tanya. Setiap berita dan semua tudingan ditujukan pada kesalahan masinis yang katanya ngantuk, pak Saman semakin ngeri, karena dia merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebelah hatinya memang pernah mengeluh, apakah mereka juga tahu, betapa beratnya tugas itu. Saat seluruh penumpang tidur, bahkan mungkin saat seluruh atasannya terlelap tidur, pak Saman dan kawan-kawan tetap terjaga, mengendalikan lokomotif, menempuh jarak yang sangat jauh. Kecelakaan mengerikan itu terus menjadi konsumsi media. Telinga pak Samanpun rela tak rela dipaksa menerima semua itu hingga terasa panas. Betapa tidak. Pada kecelakaan itu, semua menuding kesalahan masinis. Artinya kesalahan Ngatimin, sahabat sekaligus yang menggantikannya malam itu. Hanya seorang wanita dari lembaga konsumen, yang terasa ada di pihaknya. Mengungkap tentang kesejahteraan dia dan kawan-kawannya, tidak sebandingnya antara beban berat yang dipikul dan penghargaan yang diterima. Kendati pak Saman sendiri tak pernah mempersoalkan itu semua. Konflik itu semakin hingar-bingar mengisi jagat informasi. Seorang tetangga yang kebetulan salah seorang keluarga jauhnya menjadi bagian dari kecelakaan itu, datang menemui pak Saman. Dia bertanya apa benar masinis sering ngantuk, apa benar istirahatnya kurang ? Pak Saman tak bisa menjawab. Juga ketika tetangga itu bicara tentang keluarganya yang menjadi korban kecelakaan itu, pak Saman hanya menitikan air mata. Sebuah pemandangan mengerikan terhampar di hadapannya. Semua orang menggugat, menyalahkan seorang masinis, tapi pernahkah ketika seluruh penumpang selamat sampai di tujuan, ada yang merasakan bahwa dirinya sampai ke tujuan selain takdir Allah adalah karena jasa seorang masinis ? Ketika semua sampai di tujuan, pernahkan ada yang tergerak menemuinya untuk mengulurkan tangan seperti yang pernah ia lihat di televisi yang dilakukan penumpang pesawat pada seorang pilot ? “Harusnya bapak kan yang membawa lokomotif itu, tapi kenapa tiba-tiba diganti oleh orang lain ? Ini yang membuat saya tak habis mengerti.” kata tetangga itu menggugat. Barangkali dalam hatinya dia bicara, bahwa seharusnya pak Saman juga bagian dari kecelakaan itu. Hal inilah yang membuat pak Saman dan istrinya sakit hati. Dua hari setelah kecelakaan itu, ia jatuh sakit. Satu bulan, dua bulan, bahkan hampir masuk seratus hari, pak Saman masih terbaring. Dari perusahaan hanya dua orang yang datang, rekan-rekan masinis, yang membawa uang hasil sumbangan dari teman-temannya. Beruntung masih ada tetangga yang peduli. Ternyata orang-orang pinter di kantornya masih kalah gesit dibanding anak-anak yang selalu mendengar dongeng pak Saman. Anak-anak itu hampir setiap pagi dan petang datang menjenguk, berdoa bersama-sama untuk kesembuhan pahlawannya. Pahlawan rakyat-rakyat kecil yang selalu memberi sebuah dongeng. “Pak Saman, mana dongengnya ? Pak Saman, mana dongengnya ?” anak-anak di gang itu telah mendorongnya untuk berdiri. Pak Saman berangsur-angsur sembuh. Ketika kesehatannya hampir pulih, dia datang ke kantor, mengajukan pengsiun lebih awal dari waktunya. Diluar dugaannya, dua hari berselang telah turun SK. Benar-benar dramatis. Tidak seperti sebelum kejadian kecelakaan menghebohkan itu, sulit untuk mengajukan pensiun muda. *** Pak Saman mulai mendongeng lagi, tentang Sang Kancil yang cerdik, tentang Kera yang serakah. Tak ada lagi lelah dan kantuk. Mata tuanya kembali berbinar ketika anak-anak itu tergelak, saat seperti itulah dia menjadi seorang manusia yang dianggap ada dan dihargai tidak seperti masinis yang duduk di depan membawa sekian ratus penumpang, tapi tak pernah ada yang memperhatikannya sebagai manusia. “Kwik … kwik … kwik !” “Kok bunyi Kera seperti suara lokomotif, pak Saman ?” Pak Saman tersenyum kemudian dia berdiri dan sedikit membungkuk membentuk lokomotif, anak-anak spontan mengikutinya dari belakang. Kwik .. gujes … kwik … gujes ! Ternyata menjadi lokomotif dalam keseharian terasa lebih menyenangkan. Pak Saman kembali tersenyum di tengah derai tawa anak-anak gang Kancil itu. “Mau kemana kereta kita, pak Saman ?!” “Ke langit !” “Ke langit ?!” “Ya … kwik .. gujes … kwik … gujes !!” Dari ambang pintu gubuknya, Salmah memperhatikan kelakuan suaminya. Hanya itu yang bisa dinikmati pada saat-saat tuanya seperti sekarang ini. Suaminya memang tak mengenal postpower syndrom, tidak seperti pejabat-pejabat lain yang takut kehilangan jabatannya. Pensiun dari masinis malah terlihat suaminya lebih nrimo, dan masih tetap bisa jadi lokomotif untuk anak-anak gang itu. Sekarang dia tidak hanya sepulang kerja untuk jadi pahlawan, tapi bisa kapan saja semaunya. Sepanjang anak-anak itu masih mau mendengar dongengnya, ia akan tetap merasa sebagai pahlawan di tengah rakyat kecilnya. Ia selalu berharap kalaupun teknologi menjerat anak-anak, tapi anak-anak di ujung gang itu akan selalu seperti yang dilakukan Sri pada embahnya. Anak-anak itu akan menyerahkan samasekali badan, pikiran dan perasaannya pada suasana yang dikembangkan pak Saman. Suaranya, ekspkresinya, tingkah lakunya, keteduhan depan rumahnya adalah suatu kesatuan yang akan tetap mengeloni anak-anak itu, rakyat kecilnya. *** Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau engkau menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (Q.S An-Nissa : 135)